PERNIKAHAN KEDUA 11Kami saling bertatapan sejenak. Memandang anak tangga yang melingkar itu sesungguhnya hatiku gentar. Kalau jatuh dari sana, akan jadi apa? Berpikir cepat, sebelum Diaz melakukan apapun yang ada di pikirannya, aku melangkahkan maju sambil menarik tangannya memutar menjauhi tangga yang tampak mengancam itu. Diaz yang tak menyangka dan sama sekali tak siap menjerit mendapati tubuhnya memutar dan berakhir di atas karpet tebal dengan posisi telungkup. Sementara aku sendiri jatuh lebih dulu, terduduk di atas karpet."Aww.. Sialan lo Key. Awas kalau gitar gue rusak!"Dia lebih mengkhawatirkan gitarnya dari pada tangannya yang kupelintir tadi. Lalu…"Aww… tangan gue…!"Nah kan. Aku menarik nafas dalam-dalam. Diaz bangkit dan menjerit lagi merasakan sakit di pergelangan tangannya."Gue keseleo beneran! Gila!""Kan gue udah pernah bilang…""Trus gimana gue main gitar?""Ya libur dulu. Ujian tinggal dua bulan lagi. Gitar lo nggak bakalan kemana-mana."Diaz masih terus menyum
PERNIKAHAN KEDUA 12Rania.Kami saling tatap tanpa sedikitpun senyum. Meski dia dua tahun lebih muda dariku, tubuhnya tinggi besar. Dan jangan lupakan roknya yang pendek dengan kemeja seragam pas body. Dia cantik tentu saja, dengan rambut ikal berwarna coklat yang tergerai di atas punggung, melambai lembut tertiup angin sore.Aku sungguh ingin bertanya kabar Ibu, tapi sekuatnya kutahan karena dari tatapan matanya aku tahu bahwa jawaban yang dia berikan akan menyakitiku. "Key! Ayo pulang!"Seruan Diaz membuatku menoleh. Dia berdiri menunggu di dekat gerbang pemakaman. Aku mengangguk, namun tiba-tiba saja Rani mencekal tanganku."Bagaimana kamu bisa kenal Diaz?"Aku memandangnya dalam-dalam, dan menarik tanganku hingga lepas dari cekalannya."Bukan urusanmu.""Urusanku. Diaz itu pacarku.""Rasanya aku tadi mendengar Diaz bilang kalau kalian sudah putus."Wajah Rani cemberut."Jadi kamu mau balas dendam karena Papaku mengambil Ibumu?" Dia tersenyum miring, jelas sekali mengejek."Ayahmu
PERNIKAHAN KEDUA 13PoV IBUDadaku berdebar kencang membaca pesan Keysha yang baru saja masuk. Sebuah pesan dengan nada menghiba dan memohon. Anakku yang lembut hati, begitu mudah memaafkan padahal aku tak pernah meminta. Padahal luka yang kutorehkan di hatinya amatlah dalam.Tak terasa air mataku membasahi pipi, sebisa mungkin aku mencoba tak terisak ataupun membuat gerakan agar tak membangunkan Mas Reyhan yang tidur dalam selimut yang sama di sebelahku. Dia tak boleh tahu bahwa aku baru saja membuka blokiranku pada nomor WA Keysha. Aku membukanya karena teringat, besok adalah hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Hari yang istimewa bagi setiap remaja. Tapi, aku bahkan telah merenggut masa remajanya yang indah. Bagaimana dia bisa bertahan hidup? Bersekolah sambil membawa Kiara. Dan dari mana dia mendapat uang untuk makan? Apakah mereka makan dengan kenyang? Apakah Ara masih suka minta susu?Tuhan, kenapa kesalahan yang kulakukan dimasa lalu menyakiti anakku sedalam itu?Tujuh bela
PERNIKAHAN KEDUA 14(Selamat Ulang Tahun Keysha, Guru gue yang galak. Lo mau kado apa? Cepat balas sebelum gue berubah pikiran.)Aku menghapus air mata yang mengaliri pipi. Membaca pesan itu membuatku tertawa, tertawa sambil menangis. Begitu maha adilnya Allah hingga dia mengirimkan orang-orang baik di sekitarku, yang selalu menghapus setiap air mata yang menitik sebelum menjadi banjir.(Aku nggak mau kado Diaz. Aku sudah cukup bahagia kalau kamu belajar dengan benar.)Balasannya langsung masuk seketika itu juga.(Belajar atau nggak itu urusan gue. Gue sukses atau nggak itu juga nggak ada urusannya sama lo. Yang gue tanya, kado yang lo inginkan dan nggak ada sangkut pautnya sama gue.)Diaz, meski bicaranya Lo gue, dia seorang pengamat yang baik.(Kalau gitu, doain aku dan Ara bisa ketemu lagi sama Ibu ya, dan do'akan Ibuku baik-baik saja dan selalu bahagia.)Lama tak kuterima balasannya. Entah sedang apa dia. Aku meletakkan ponsel di atas meja kecil tempatku menaruh buku pelajaran dan
PERNIKAHAN KEDUA 15Rumah ini mungil, tapi sangat nyaman. Ada dua kamar di sana, salah satunya diperuntukkan untukku dan Kiara. Sebuah kamar dengan tempat tidur berukuran sedang, cukup untuk kami berdua, lemari dari kayu yang halus - lemarinya kosong - dan juga sebuah meja belajar dengan kursi yang empuk dan nyaman."Bu Guru sama adek cantik tidur di sini ya. Tadi kamarnya sudah Mbok bersihkan, sprei nya baru diganti juga begitu Mas Zaid bilang ada yang mau nempatin.""Makasih banyak, Mbok. Oh ya, jangan panggil saya Bu Guru, saya cuma nemanin Diaz belajar dan saya juga masih sekolah loh. Nama saya Keysha dan adik saya Kiara. Dia biasa dipanggil Ara."Mbok Imas tersenyum dan mengangguk-angguk."Yo wis, taruh dulu tasnya di dalam, sebentar lagi kita sarapan bareng. Mbok mau goreng bakwan jagung.""Saya bantu ya Mbok."Aku bergegas meletakkan tas di dalam kamar dan mengekori langkah Mbok Imas ke dapur. Kiara sudah menghilang. Aku kembali ke depan hendak melihat Kiara dan tertegun meliha
PERNIKAHAN KEDUA 16Seperti biasa, aku hanya bisa bermain ponsel ketika Kiara sudah tidur. Kotak coklat itu kuletakkan di atas meja belajar. Merasakan lagi tidur di kamar yang nyaman ini, hatiku dipenuhi rasa syukur. Apalagi Kiara langsung lelap, tak seperti di kamar kost-an dulu. Dia sempat rewel selama beberapa hari, bahkan sempat demam.Kubuka aplikasi WA, dan kontak yang pertama kulihat adalah milik Ibu, berharap beliau membuka blokiran WA-nya. Tapi nihil. Di daftar chat paling atas, aku justru mendapati chat dari Diaz yang dikirimnya tadi pagi.(Lo kemana? Katanya mau ke makam Ayah lo?)Aku tertegun. Apalagi kemudian dia mengirimkan foto makam Ayah.(Ini tadi gue nanya sama Lea. Tapi rupanya gue kena prank.)(Key?)Lalu terakhir dia mengirimkan foto tangannya meletakkan bunga mawar merah di atas makam Ayah. Aku menghela nafas, ternyata bunga itu dari Diaz. Berapa lama dia disana? Apakah dia tahu bahwa Bang Zaid yang lebih dulu datang?Ragu, aku mencoba mengirimkan pesan padanya.
PERNIKAHAN KEDUA 17Aku kembali memutar arah menuju jalan pulang. Hatiku nelangsa, mengingat api yang membakar matanya tadi. Diaz, kembali seperti Diaz yang kutemui di hari pertama. Dia memandangku tanpa senyum, dan mengucapkan kata-kata yang tak kumengerti."Kalau begitu, mulai sekarang sebaiknya Lo urus Bang Zaid, semua jadwalnya, pekerjaannya, makanannya. Dia lebih membutuhkan Lo daripada gue. Dan Lo juga lebih membutuhkan dia daripada gue. Klop kan?"Apa sih maksudnya? Kenapa dia bilang kayak gitu? Dia kan tahu aku dibayar untuk jadi gurunya, satpam, atau bahkan pengawal pribadinya. Aku harus memastikan dia pulang tepat waktu dan belajar dengan benar. Tapi hari ini, dia seperti sengaja terlambat pulang. Dan… apakah dia lupa bahwa seharusnya hari ini aku gajian?"Tapi, minggu depan sudah mulai PAS, Diaz. Kita harus belajar. Kalau…""Kan sudah gue bilang, kesuksesan gue nggak ada urusannya dengan lo. Pulang sana!""Diaz, tolong jangan mempersulitku."Diaz hanya memandangku, lalu ber
PERNIKAHAN KEDUA 18Aku mulai memisahkan uang gaji itu ke dalam amplop. Uang bensin, SPP sekolah, karena meski sekolahku negeri, aku masih membayar uang SPP. Aku juga menyisihkan uang untuk mendaftarkan Ara ke sekolah TK besok. Sekolah biasa saja, tak perlu mahal yang penting punya guru-guru yang keibuan. Selain itu juga membeli beberapa keperluan, seperti sabun dan sampo. Semuanya kucari yang murah dan kalau bisa dengan harga promo. Aku jadi ingat Ibu, dulu aku sering menemani Ibu belanja, berburu barang promo. Kami tidak bisa terpaku pada satu merk saja. Hasilnya, kami bisa tinggal di rumah yang nyaman, makan makanan bergizi setiap hari, dan yang terpenting Ayah dan Ibu bisa menabung. Meski akhirnya semua tabungan itu tidak kami nikmati.Setelah semuanya kumasukkan ke dalam amplop yang sudah ditulisi, aku menyisihkan satu juta rupiah untuk kuberikan pada Mbok Imas. Meski semua kebutuhan disuplai Bang Zaid, siapa tahu ada yang kurang. Beli gas? Minyak goreng? Garam? Diam-diam aku ter
PERNIKAHAN KEDUA 62 (ENDING)Jam sepuluh malam, pesta telah sepenuhnya usai. Rumah lengang meski dekorasi taman belum dibongkar. Para ART, Kiara dan kedua anakku dibawa Tante Arumi ke rumahnya. Mereka semua ingin membiarkan kami hanya berdua malam ini karena aku menolak kamar pengantin di hotel. Aku ingin berada disini. Di tempat aku bertemu mereka berdua. Tempat aku memulai takdirku. Dengan bergandengan tangan, kami naik ke lantai atas. Kamar Diaz telah disulap Lea menjadi kamar pengantin yang indah. Begitu membuka pintunya, aroma wangi mawar langsung menerpa hidung. Membawaku pada kenangan tujuh belas tahun silam. Aku mengerjap, memaksa diriku untuk menyadari bahwa tangan yang kugenggam ini bukan tangannya. "Nggak apa-apa kan kita disini? Dibawah…"Diaz membungkam bibirku dengan jarinya. Kami berdiri berhadapan, dengan tatapan lembut di matanya. Kemarin, aku memang meminta untuk tidak menempati kamarku bersama Bang Zaid, setidaknya untuk sementara waktu sampai aku merasa nyaman de
PERNIKAHAN KEDUA 61 Begitu mobil berhenti di halaman rumah, Zakia langsung berseru-seru memanggil Kiara. Kebetulan sekali hari ini Kiara pulang kuliah lebih awal. Adikku itu terkejut, berlari keluar dengan wajah tegang. Setelah banyak kejutan sepanjang hidupnya, dia sepertinya telah bersiap akan satu kejutan terakhir."Kia, ada apa?!" Suara Kiara panik.Tapi keponakannya itu malah melompat-lompat kegirangan. Perlahan, wajah Kiara mengendur."Oh, kamu dapat nilai terbaik? Lulusan terbaik?"Zakia mengangguk, masih melompat-lompat."Hemm… Alhamdulillah. Keponakan Tante kan memang pintar.""Ada lagi. Coba tebak!""Apa?"Aku tersenyum melihatnya. "Aku akan punya Papa! Yeaaayyy!"Mata Kiara melebar. Lalu dia menyadari bahwa aku dan Diaz berdiri mengawasi. Tatapan matanya menyorot, meminta penjelasan. Lalu, tangan Diaz yang menggenggamku-lah yang menjadi fokusnya. Kiara tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Dia lalu berlari menghambur dan memelukku erat-erat."Jadi?"Aku mengangguk.Kiara menar
PERNIKAHAN KEDUA 60 "Mama, sembuh dong. Besok kan hari perpisahan sekolah aku."Zakia sibuk mengusap dahiku dengan kompres. Aku tersenyum melihatnya. Sejak semalam, aku terserang demam. Badanku panas dan kepalaku pusing sekali. Aku tahu bahwa aku tak boleh sakit. Besok, akan ada perpisahan sekolah. Zakia akan lulus SD.Ya. Lima tahun lagi telah berlalu sejak kepergian Bang Zaid. Zakia kini berusia dua belas tahun dan akan segera lulus SD, sementara aku masih setia hidup dalam kenangan bersamanya. Setiap malam, aku tidur sendirian, memeluk sepi, dan dia selalu hadir dalam mimpi meski tanpa kuminta."Sayang, jangan siksa dirimu seperti ini. Menikahlah lagi. Aku ikhlas."Itulah mimpi yang sering datang. Dan di dalam mimpi, aku menangis. Tangis yang kemudian terasa hingga aku bangun. Bantalku yang basah oleh air mata menyadarkan bahwa mimpiku merasuk hingga ke dasar jiwa. Dan semalam, Tiba-tiba saja aku demam tinggi. Kiara sudah memanggilkan dokter dan kata dokter aku baik-baik saja dan
PERNIKAHAN KEDUA 59Muhammad Zaidan Adhyaksa. Nama itu akan terukir indah di sanubariku selamanya.Suamiku telah menepati janjinya. Penyakit itu tak mampu mengalahkan semangat hidupnya yang tinggi. Lima tahun setelah operasi, kami kembali hidup normal dan bahagia, tanpa pernah menyangka takdir menghampirinya sore itu. Aku tak akan pernah melupakan sore itu, tiga bulan yang lalu, Lea datang ke rumah dengan wajah sembab. Dia memintaku duduk, mengambilkan segelas air dan meminta Kiara membawa Zakia dan Zen ke dalam. Menatap wajahnya, hatiku berdebar kencang. Lebih dari dua puluh tahun lamanya kami bersahabat. Aku tahu dengan pasti kapan sesuatu yang serius terjadi."Le, ada apa?"Lea memelukku. Mengusap-usap punggungku, persis Bang Zaid."Kamu percaya takdir kan?" Suaranya bergetar.Aku mengangguk. Bagiku tak ada yang perlu diragukan dari ketetapan-Nya. Tapi, mendengar pertanyaannya, selarik perasaan gelisah menyambar hatiku dengan cepat. Lalu aku teringat bahwa Bang Zaid tidak di rumah
PERNIKAHAN KEDUA 58Untukmu, yang tengah bertarung melawan kerasnya hidup, dan kamu, yang sedang meniti takdir. Kamu hanya harus terus berjuang, bersabar, dan berdoa. Karena apa yang menjadi takdir Tuhan, hanya bisa diubah dengan doa. Aku tak pernah bersujud syukur selama ini sebelumnya. Setelah kecemasan selama empat jam terhapus sudah oleh kabar bahagia. Operasi berhasil dan kini tinggal menunggu keduanya sadarkan diri. Dari balik kaca ruang observasi, aku melihat keduanya terbaring berdampingan. Air mataku menetes dengan deras, menciptakan kabut yang mengaburkan pemandangan.Sungguh, kasih sayang seorang saudara kandung seharusnya tak perlu diragukan. Diaz yang bengal, yang selama ini kerap membuat masalah dan selalu menguras emosi Bang Zaid, telah berkali-kali membuktikan bahwa cintanya tanpa pamrih."Aku tak suka melihatmu menangis Key. Cintamu pada Bang Zaid itu sungguh indah. Rasanya, bagai aku yang menjadi dia. Seperti aku yang merasakan dicintai olehmu. Maka, apa saja akan k
PERNIKAHAN KEDUA 57"Diaz!"Diaz menghentikan langkah. Dia berbalik dan mendapati Abangnya berusaha duduk dengan tegak. Jika biasanya Bang Zaid selalu menjadi penguatku, hari ini akulah yang menjadi penopangnya. Kurengkuh kedua bahunya, hingga dia bisa duduk dengan tegak."Abang sedang mencari donor. Abang tidak menerima donor darimu."Mata Diaz melebar. Dia kembali menghampiri ranjang dan menatap Abangnya lekat-lekat."Apa maksud Abang?""Kamu masih muda. Belum menikah dan jalan hidupmu masih panjang. Kamu tak boleh mengorbankan dirimu untuk Abang.""Jadi Abang merasa sudah tua? Dan kenapa memangnya kalau aku belum menikah? Mau sampai kapan menunggu donor yang belum tentu langsung cocok? Lalu bagaimana dengan Key dan keponakanku? Tidak, Bang. Aku pulang untuk Abang. Jangan mencegahku atau aku akan pergi dan tak akan kembali lagi."Tanpa menunggu jawaban Sang Abang, Diaz berjalan dengan langkah lebar. Bang Zaid menghela napas, meminta tanganku untuk digenggam. Aku menarik kursi dan du
PERNIKAHAN KEDUA 56Air mata yang meluncur tanpa kendali ini mengaburkan penglihatanku. Rasa perih bagai diremas-remas menguasai hati. Bang Zaid sengaja menyembunyikan penyakitnya dariku karena dia tak mau melihatku sedih. Dia menyimpannya sendiri. Sudah sejak kapan Bang Zaid sakit? Ya Allah, istri macam apa aku ini? Yang tak tahu bahwa suamiku sakit separah itu. Ya, aku tahu bahwa penyakitnya serius. Karena kini, Bang Zaid berjalan memasuki klinik hemodialisa.Adakah yang terlewat di mataku? Selain wajahnya yang sesekali pucat dan lemas, juga kebiasaannya pergi ke luar kota dua minggu sekali, tak ada yang aneh. Ya Allah, bukankah penyakit itu sakit sekali rasanya? Bagaimana dia bisa menahan semua itu dan bersikap biasa saja di depanku?Kuhapus air mata, meski rasanya sulit sekali untuk berhenti. Perlahan, aku mengikuti langkahnya yang tenang dan penuh percaya diri. Dia tak pernah kehilangan wibawanya meski dalam keadaan sakit. Langkahnya tetap setenang biasa. Dia tak tahu, bahwa aku
PERNIKAHAN KEDUA 55Lagu itu meresap ke dalam jiwa, mengobrak-abrik perasaanku hingga ke relung hati terdalam. Betapa banyak kematian memisahkanku dengan orang-orang yang kucintai. Apalagi ketika aku tahu bahwa yang menyanyikan lagu itu bukan Diaz, tapi Bang Zaid. Tentu saja, apa yang kupikirkan? Diaz jauh di London sana. Dia tak mungkin bisa muncul tiba-tiba.Sambil memeluk tanganku sendiri, meredam rasa gelisah, aku meneruskan langkah hingga ke balkon yang menghadap taman belakang. Pantas saja Bang Zaid tak mendengarku pulang. Di kursi malas yang biasa diduduki Diaz, dia duduk sambil memeluk gitar kesayangan adiknya itu. Aku tak menduga kalau dia juga pintar bermusik dan suaranya indah.Dari belakang, siluet dirinya duduk di situ saja sudah membuatku bergetar. Kenapa Bang Zaid harus menyanyikan lagu sepedih ini? Kemana dia pergi selama ini? Benarkah masalah kerjaan? Dan mengapa? Semakin hari, tubuhnya semakin kurus saja?Air mataku menetes bahkan sebelum aku sempat menyentuh bahuny
PERNIKAHAN KEDUA 54Aku memasukkan tiga stel baju Bang Zaid ke dalam travel bag, beberapa pakaian dalam, handuk dan peralatan mandinya. Sambil cemberut, ku masukkan juga charger ponselnya ke dalam kantong kecil di samping tas berwarna hitam itu."Hey, jangan cemberut. Abang hanya pergi dua hari saja."Aku mendongak."Kenapa akhir-akhir ini Abang sering sekali pergi ke luar kota? Aku kesepian, anakmu di dalam sini, selalu saja rewel kalau Abang nggak di rumah."Bang Zaid tertawa kecil, meraih tanganku dan melingkarkan nya di lehernya sendiri sementara dia memeluk pinggangku. Kami saling bertatapan dan aku tak bisa tak terpesona melihat ketampanan wajahnya."Hemm… yang rewel, anakku ataukah Ibunya?"Aku ikut tertawa, malu karena tebakannya yang jitu. Kami memang baru saja mendapat kabar gembira, kehamilan yang telah kami rencanakan sejak aku lulus kuliah tiga bulan lalu langsung dikabulkan oleh Allah. Usia kandunganku kini sepuluh minggu dan aku bersyukur tidak mengalami emesis berlebiha