"Beneran kamu gak ikut?" "Yah, gak seru dong." "Kamu mau kemana emang?" "Ini malam kita bisa keluyuran sampe puas tanpa berpikir harus bangun pagi buat kerja." "Runi...." Pamitku dapat banyak respon dari teman-teman kantor yang ingin jalan. Menghabiskan malam Minggu sekedar mencari suasana baru atau semacamnya. "Lho, Runi gak ikut kita?" "Gak, palingan dia ada kencan." "Sama?" "Yang waktu itu palingan." "Yang mana?" "Yang- Brak! Aku yang menutup pintu setelah menata posisi duduk di belakang kemudi, tak ingin mendengar kelanjutan dari kalimat yang memang tidak ingin kutanggapi. Dan, mataku melirik ponsel saat satu pesan masuk. Ping: done, Nona Runi. Semua sudah saya kirimkan ke e-mail anda. (M.K) Send: terimakasih. Hanya itu kalimat yang kukirim pada nomer yang memang chatnya kutunggu. Tapi, aku yang hendak meraih laptop mengurungkan niat. Memundurkan laju mobil yang terus ditatapi beberapa pasang mata. Orang-orang yang membalas lambaianku setelah menurunkan jendela.
'Tinggal bersama ayah dan ibu, bagaimana rasanya?' Aku adalah anak yang harus mendapat perawatan jiwa setelah ikut tinggal dengan bapak dan ibu. Mereka berdua adalah orang tua angkat yang nyatanya mau bersabar dengan luka yang kumiliki. Aku yang tidak perlu lagi menyembunyikan wajah Santo dari jepretan kamera, merasa takut teramat sangat saat adikku tidak ada dalam jangkauan tangan. Kalimat ayah yang menyuruhku untuk menjaga Santo, membuatku menangis sejadi-jadinya jika saat bangun Santo tidak ada di sisiku. Apa yang terjadi padaku begitu mengguncang jiwa saat aku tak lagi perlu merasa waspada. Rumah nyaman yang bapak dan ibu ciptakan untukku di kediaman mereka, bak pisau bermata dua yang mengharuskan diriku mendapat perawatan khusus untuk jiwaku. Lalu bagaimana dengan ayah dan ibu, orang tua yang membuatku harus berlari menembus hujan petir? Meski usiaku baru enam tahun saat itu, di rumah kami aku dan adikku tumbuh dengan tawa. Dengan kasih juga cinta. Sampai tragedi yang meni
"Lain kali ajak akku main juga." Dahi Ares mengernyit dalam untuk ucapan Riris yang wajahnya menunjukkan kesal berbeda. Bocah tukang makan yang kenyang sebelum kami pulang melirikku dari tempatnya duduk. Tapi, tak mengatakan apapun kecuali membuat Riris makin iri untuk waktu yang ia habiskan bersamaku. Puas makan dan bermain setelah membeli kado untuk istri kedua ayah mereka. "Mbak, besok bolos juga dong." Dan pinta Riris membuatku mengusap rambutnya. "Aku tidur di kamar mbak lagi ya?" Aku hanya mengangguk sebelum pamit pada eyang, wanita yang tersenyum sesekali, mengalihkan pandangan dari buku yang ia baca. "Selamat malam, Eyang." "Malam Runi." Aku tahu, wanita tua yang terus memandang punggungku ini pasti ingin tahu, 'apa aku akan mengiriminya pesan di tengah malam nanti?' Tapi ia lebih memilih menahan diri. Seolah percaya, gadis yang ingin ia jodohkan dengan cucu pertamanya tidak sedang melakukan hal buruk. "Kenapa tarikan nafasmu begitu dalam, Runi?" Aku bahkan tidak
"Jadi yang mana, nih? kue apa Arka yang kita samperin?" Pipi Riris merona untuk godaan bocah besar yang bersikap kalimatnya tentang Clara seolah tak berarti apapun. Dan aku yang tak ingin bertanya ataupun mencari tahu maksud dari ucapan Ares, turut menghampiri bocah lain yang mengenalkan diri. "Saya Arka, Mbak Runi. Salam kenal." Aku yang belum mengenalkan diri menjabat tangan Arka. Bocah tampan yang mampu membuat Riris mau tinggal lebih lama dalam pesta yang tak ingin ia hadiri. Meski pada akhirnya tak bisa mengobrol lama karena Arka sedang berkerja. Menghampiri siapapun dengan nampan berisi minuman dalam gelas yang isinya berkurang atau bertambah dengan gelas kosong yang airnya sudah pindah ke perut seseorang. "Saya izin dulu, Mbak.'" "Ya," jawabku pada Arka, bocah yang lesung pipinya seolah menoleh padaku yang akhirnya menyingkir, karena Ares dan Riris dihampiri beberapa kenalan mereka. Dipaksa tinggal untuk bercerita banyak hal, termasuk kanapa mereka bolos sekolah kemarin
"Bagian keuangan terus menolak dengan alasan sama, Runi, tidak perduli proposal macam apa yang kami berikan hah...!" Hembusan nafas kesal yang begitu dalam mbak Miska perdengarkan pada telingaku, yang bisa melihat wajah-wajah saudara bapak meski yang nampak di hadapanku adalah langit gelap. Sepasang kakak beradik yang selalu bisa menemukan salah pada diri orang lain, tapi, membenarkan sikap anak-anak mereka yang membuat adikku pergi karena, ... 'rasanya sesuatu dalam hatiku tersulut.' Emosi buruk yang membuatku ingin merutuk. Tapi, tidak ada kalimat sampah yang keluar dari hati maupun kepalaku yang tangannya mengerat kuat pada pegangan gelas. Aku yang mendengar suara putus asa mbak Miska, bisa membayangkan wajah-wajah lelah rekan satu divisiku yang pasti terus-menerus menerima telepon dari orang-orang seperti pak Noko. Sementara orang-orang yang bisa meringankan pekerjaan teman satu timku hanya dengan satu tanda tangan, justru memberi kesulitan. "Itu takkan terjadi, Mbak." "Mak
"Jangan dekat-dekat jendela." "Ayo, masuk saja ke bagian dalam." "Aduh, bajuku basah sekali ini." "Kuharap Lukman tidak akan memberi kita rasa bosan di bawah hujan petir ini." Dan suara yang datang dari segala penjuru makin ramai saat aku bisa menguasai diri. "Mbak memang tidak takut petir, Ka, hanya tidak suka." Ucapku pada Arka yang terus menatapi, "dan orang itu masih menunggumu, lho." Aku mengambil gelas dari nampan Arka, mengangkatnya dengan senyum untuk pria yang mengubah wajah kesal karena tak lagi sabar menunggu. "Pergilah." Ucapku mengusap lengan Arka yang mengangguk lalu berjalan cepat, menghampiri pria yang langsung meneguk dua gelas minuman dari nampan yang Arka bawa. Nampaknya, gemuruh petir dan derasnya hujan membuat pria itu kehausan. "Kenapa jadi musik seperti ini?" "Lihat siapa yang ada di sana." "Oh, ha ha ha." "Aku sudah berharap kenakalan apa lagi yang akan bocah nakal itu lakukan sejak ia dan kakak-kakaknya datang." "Tapi, apa kau lihat siapa yang data
Om Lukman yang nampak tersinggung menatapku tajam. "Anda benar, Om Lukman, saya bukan siapa-siapa." Ucapku, "tapi, setidaknya malam ini saya adalah orang yang dipercaya oleh wanita yang merawat anak-anak Om untuk menjaga Ares dan Riris." Aku bisa melihat mata lelaki yang kuajak bicara berkilat, "awalnya saya tidak paham kenapa eyang berkata seperti itu, tapi melihat Om dan Tante saat ini, rasanya saya jadi paham kenapa eyang berkata seperti itu pada saya." "Pi!" Tante Laksmi mengguncang lengan om Lukman yang mulutnya terbuka tanpa kata. Ia memberi dukungan yang tampaknya tidak berguna karena om Lukman yang terus menatapiku tak membalas apapun. "Dan saya sungguh minta maaf untuk kenakalan Ares yang membuat Om dan Tante malu malam ini." "Mbak...." Aku menoleh pada Ares yang sorot matanya terlihat tidak rela. Menunjukkan senyumku sebelum kembali menatap sepasang suami istri yang sorot matanya berbeda. Om Lukman seolah kehilangan kata-kata. Mungkin, ia merasa bersalah untuk kalimat
Siapa yang memulai? Entahlah. Atau bermula dari mana? Aku pun tidak tahu. Yang aku tahu, nafasku seakan habis saat Mas Rendra melepas pagutannya dari bibirku. Dan sebelum otakku yang seakan berhenti berpikir, bekerja lagi. Seperti tak perduli pada hal lain, Mas Rendra memagut bibirku kembali. Pun, memasukkan lidahnya, menyusuri tiap jengkal mulutku yang tak juga mengeluarkan penolakan! Kecupan yang awalnya hanya seperti salam, berubah makin dalam dan tak lagi bisa dihentikan. Lagi dan lagi dan lagi. DAN tanganku yang mendorong dada bidang mas Rendra, seakan tak bertenaga. Apalagi dengan satu tangannya saja, mas Rendra mampu memaku kedua lenganku yang ia tempelkan di pintu. Ruang gerakku makin tak bebas karena salah satu kaki Mas Rendra memisahkan kakiku. Entah kaki kanan ataukah kaki kirinya. Aku yang juga membalas ciuman mas Rendra, tak ingin memilih. Keiro, satu-satunya lelaki yang pernah menyapa bibirku tidak pernah menyentuhku seperti ini. Aku pun, bukan gadis lugu yan
Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d
****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua
Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya
'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah
"Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,
'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke
"MENGURUSNYA!?"Suara keras bapak yang entah tahu darimana niatanku dan mas Rendra pada Aji, terdengar menggema dalam ruangan luas yang ubinnya memantulkan cahaya lampu.Ia memandangku dan Mas Rendra bergantian, sementara Ibu yang duduk di sampingnya meminta bapak untuk tenang"Sabar Pak, sabar." Pinta ibu yang mengusap lengan bapak."Tidak, Bu." Tapi, bapak yang sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar. "Aku tidak akan pernah setuju."Begitu tegas pengucapan bapak kali ini. Seluruh pembawaannya benar-benar menolak apa yang akan aku dan mas Rendra lakukan. Dan sorot matanya yang kembali menatap kami tidak menyimpan ruang untuk sekedar diskusi."Kau tentu tidak lupa pada apa yang telah keluarganya lakukan pada adikmu, bukan? Pada kita semua." Dan ucapan bapak membuat ibu terdiam. Tidak lagi memintanya bersabar.Aku yang tangannya mas Rendra genggam bahkan bisa melihat luka dalam mata ibu. Wanita yang melupakan anak laki-lakinya setelah Yuli yang datang meminta pertanggung jawaban me
"Besok siang atau sore mungkin kami baru bisa ke rumah, Pak.""Baik, Mbak Runi, besok saya ngomong sama si Iyah buat nyiapin baju-bajunya Aji.""Terimakasih, Pak Naim.""Sama-sama, Mbak, bisa kangen ini saya sama Aji," ucap pria yang tawanya terdengar dari sambungan telpon."Nanti kita bicarakan itu juga, Pak, saya mungkin butuh tenaga tambahan di rumah juga mbak Iyah kalau mau ikut.""Saya mau, Mbak." Tanpa berpikir pak Naim langsung menjawab, "nanti saya coba omongkan juga sama si Iyah, pas telepon tadi sore dia masih nangis karena dipisahkan dari Aji." Ucapan pak Naim membuat mas Rendra menoleh padaku, "iya, Pak Naim, terimakasih dan selamat istirahat.""Selamat istirahat juga, Mbak Runi."Setelah ponsel yang sambungannya terputus aku letakkan di sofa, kusenderkan kepala pada dada mas Rendra, menatap kamar berisi bocah nakal yang sudah berpindah posisi. "Aku sampai lupa membawa ponselku."Mas Rendra yang menunduk menatapku, tatapannya sedikit berubah.Cerita pak Naim tentang oran
"Kamu nemenin mbak Runi ya."Aji yang erat memeluk leher mas Rendra hanya menurut saat mas Rendra yang membuka pintu belakang, menurunkannya dari gendongan."Masuklah," mas Rendra mengusap lenganku yang juga menurut, masuk lalu duduk di samping bocah nakal yang menatap rumah yang keributannya teredam saat mas Rendra menutup pintu."Kemarilah," ucapku pada bocah nakal yang mengalihkan pandangan dari rumah tempat ia dan pak Alif menjalani hari.Empat tahun, bocah berumur sepuluh tahun ini sudah tinggal di rumah yang entah keributannya akan berakhir kapan. Tapi aku yakin, Aji lebih mengingat rumah ini daripada rumah tempat ia dan Yuli tinggal."Tidak apa."Hanya itu kalimatku pada Aji yang mendongak, memelukku erat sampai pandangannya menoleh pada mas Rendra yang menyamankan duduk di belakang kemudi, "malam ini kita nginep di hotel dulu." Mata Aji yang sembab terpejam sesaat untuk usapan mas Rendra pada kepalanya, "kasian mbak Runi kalau kita langsung pulang. Iya kan?"Senyum yang mas Re