Share

51. SAMBUTAN ASA

Penulis: Sisi suram
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-20 07:56:41

Ruang tamu jadi sunyi untuk beberapa saat karena ucapan Ares.

Tidak ada suara yang membantah atau teguran, meski pandangan sepasang suami istri yang potret kebersamaanya tidak tersimpan dalam figura-figura yang dipamerkan rasanya berubah.

Sementara Ares yang berdiri tegak, menatap jalinan tangan sepasang suami istri yang ... 'entahlah, aku hanya orang asing yang baru mengenal keduanya beberapa menit.'

Tidak mungkin aku bisa menggambarkan siapa mereka atau bagaimana perangai keduanya. Hanya saja, akan buta sekali diriku jika tidak bisa menilai sebaik apa hubungan orang-orang di sampingku.

"Tante saat itu sakit, Res."

Dan ucapan Tante Laksmi yang senyumnya menghilang, membuat Ares menaikkan ujung bibir kanannya tinggi. Dengusan pelan bahkan terdengar sampai Ares meraih amplop yang ia pandangi lekat.

Tidak perduli pada wajah Tante Laksmi yang senyum permanenya terhapus, apalagi ingin menanggapi.

"3 tahun?" Ucap Ares dengan suara penuh nada tak percaya.

"Gak salah tulis, Pi?" Ares
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • MENJADI ORANG KEDUA   52. SEPERTI APA ORANG TUA?

    "Beneran kamu gak ikut?" "Yah, gak seru dong." "Kamu mau kemana emang?" "Ini malam kita bisa keluyuran sampe puas tanpa berpikir harus bangun pagi buat kerja." "Runi...." Pamitku dapat banyak respon dari teman-teman kantor yang ingin jalan. Menghabiskan malam Minggu sekedar mencari suasana baru atau semacamnya. "Lho, Runi gak ikut kita?" "Gak, palingan dia ada kencan." "Sama?" "Yang waktu itu palingan." "Yang mana?" "Yang- Brak! Aku yang menutup pintu setelah menata posisi duduk di belakang kemudi, tak ingin mendengar kelanjutan dari kalimat yang memang tidak ingin kutanggapi. Dan, mataku melirik ponsel saat satu pesan masuk. Ping: done, Nona Runi. Semua sudah saya kirimkan ke e-mail anda. (M.K) Send: terimakasih. Hanya itu kalimat yang kukirim pada nomer yang memang chatnya kutunggu. Tapi, aku yang hendak meraih laptop mengurungkan niat. Memundurkan laju mobil yang terus ditatapi beberapa pasang mata. Orang-orang yang membalas lambaianku setelah menurunkan jendela.

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-20
  • MENJADI ORANG KEDUA   53. KELUARGA ITU

    'Tinggal bersama ayah dan ibu, bagaimana rasanya?' Aku adalah anak yang harus mendapat perawatan jiwa setelah ikut tinggal dengan bapak dan ibu. Mereka berdua adalah orang tua angkat yang nyatanya mau bersabar dengan luka yang kumiliki. Aku yang tidak perlu lagi menyembunyikan wajah Santo dari jepretan kamera, merasa takut teramat sangat saat adikku tidak ada dalam jangkauan tangan. Kalimat ayah yang menyuruhku untuk menjaga Santo, membuatku menangis sejadi-jadinya jika saat bangun Santo tidak ada di sisiku. Apa yang terjadi padaku begitu mengguncang jiwa saat aku tak lagi perlu merasa waspada. Rumah nyaman yang bapak dan ibu ciptakan untukku di kediaman mereka, bak pisau bermata dua yang mengharuskan diriku mendapat perawatan khusus untuk jiwaku. Lalu bagaimana dengan ayah dan ibu, orang tua yang membuatku harus berlari menembus hujan petir? Meski usiaku baru enam tahun saat itu, di rumah kami aku dan adikku tumbuh dengan tawa. Dengan kasih juga cinta. Sampai tragedi yang meni

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-20
  • MENJADI ORANG KEDUA   54. TAK DISAMBUT

    "Lain kali ajak akku main juga." Dahi Ares mengernyit dalam untuk ucapan Riris yang wajahnya menunjukkan kesal berbeda. Bocah tukang makan yang kenyang sebelum kami pulang melirikku dari tempatnya duduk. Tapi, tak mengatakan apapun kecuali membuat Riris makin iri untuk waktu yang ia habiskan bersamaku. Puas makan dan bermain setelah membeli kado untuk istri kedua ayah mereka. "Mbak, besok bolos juga dong." Dan pinta Riris membuatku mengusap rambutnya. "Aku tidur di kamar mbak lagi ya?" Aku hanya mengangguk sebelum pamit pada eyang, wanita yang tersenyum sesekali, mengalihkan pandangan dari buku yang ia baca. "Selamat malam, Eyang." "Malam Runi." Aku tahu, wanita tua yang terus memandang punggungku ini pasti ingin tahu, 'apa aku akan mengiriminya pesan di tengah malam nanti?' Tapi ia lebih memilih menahan diri. Seolah percaya, gadis yang ingin ia jodohkan dengan cucu pertamanya tidak sedang melakukan hal buruk. "Kenapa tarikan nafasmu begitu dalam, Runi?" Aku bahkan tidak

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-20
  • MENJADI ORANG KEDUA   55. GARA-GARA AKU

    "Jadi yang mana, nih? kue apa Arka yang kita samperin?" Pipi Riris merona untuk godaan bocah besar yang bersikap kalimatnya tentang Clara seolah tak berarti apapun. Dan aku yang tak ingin bertanya ataupun mencari tahu maksud dari ucapan Ares, turut menghampiri bocah lain yang mengenalkan diri. "Saya Arka, Mbak Runi. Salam kenal." Aku yang belum mengenalkan diri menjabat tangan Arka. Bocah tampan yang mampu membuat Riris mau tinggal lebih lama dalam pesta yang tak ingin ia hadiri. Meski pada akhirnya tak bisa mengobrol lama karena Arka sedang berkerja. Menghampiri siapapun dengan nampan berisi minuman dalam gelas yang isinya berkurang atau bertambah dengan gelas kosong yang airnya sudah pindah ke perut seseorang. "Saya izin dulu, Mbak.'" "Ya," jawabku pada Arka, bocah yang lesung pipinya seolah menoleh padaku yang akhirnya menyingkir, karena Ares dan Riris dihampiri beberapa kenalan mereka. Dipaksa tinggal untuk bercerita banyak hal, termasuk kanapa mereka bolos sekolah kemarin

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-20
  • MENJADI ORANG KEDUA   56. KELUARGA BAPAK

    "Bagian keuangan terus menolak dengan alasan sama, Runi, tidak perduli proposal macam apa yang kami berikan hah...!" Hembusan nafas kesal yang begitu dalam mbak Miska perdengarkan pada telingaku, yang bisa melihat wajah-wajah saudara bapak meski yang nampak di hadapanku adalah langit gelap. Sepasang kakak beradik yang selalu bisa menemukan salah pada diri orang lain, tapi, membenarkan sikap anak-anak mereka yang membuat adikku pergi karena, ... 'rasanya sesuatu dalam hatiku tersulut.' Emosi buruk yang membuatku ingin merutuk. Tapi, tidak ada kalimat sampah yang keluar dari hati maupun kepalaku yang tangannya mengerat kuat pada pegangan gelas. Aku yang mendengar suara putus asa mbak Miska, bisa membayangkan wajah-wajah lelah rekan satu divisiku yang pasti terus-menerus menerima telepon dari orang-orang seperti pak Noko. Sementara orang-orang yang bisa meringankan pekerjaan teman satu timku hanya dengan satu tanda tangan, justru memberi kesulitan. "Itu takkan terjadi, Mbak." "Mak

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-20
  • MENJADI ORANG KEDUA   57. MEREKA MARAH

    "Jangan dekat-dekat jendela." "Ayo, masuk saja ke bagian dalam." "Aduh, bajuku basah sekali ini." "Kuharap Lukman tidak akan memberi kita rasa bosan di bawah hujan petir ini." Dan suara yang datang dari segala penjuru makin ramai saat aku bisa menguasai diri. "Mbak memang tidak takut petir, Ka, hanya tidak suka." Ucapku pada Arka yang terus menatapi, "dan orang itu masih menunggumu, lho." Aku mengambil gelas dari nampan Arka, mengangkatnya dengan senyum untuk pria yang mengubah wajah kesal karena tak lagi sabar menunggu. "Pergilah." Ucapku mengusap lengan Arka yang mengangguk lalu berjalan cepat, menghampiri pria yang langsung meneguk dua gelas minuman dari nampan yang Arka bawa. Nampaknya, gemuruh petir dan derasnya hujan membuat pria itu kehausan. "Kenapa jadi musik seperti ini?" "Lihat siapa yang ada di sana." "Oh, ha ha ha." "Aku sudah berharap kenakalan apa lagi yang akan bocah nakal itu lakukan sejak ia dan kakak-kakaknya datang." "Tapi, apa kau lihat siapa yang data

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-20
  • MENJADI ORANG KEDUA   58. MALAM GILA

    Om Lukman yang nampak tersinggung menatapku tajam. "Anda benar, Om Lukman, saya bukan siapa-siapa." Ucapku, "tapi, setidaknya malam ini saya adalah orang yang dipercaya oleh wanita yang merawat anak-anak Om untuk menjaga Ares dan Riris." Aku bisa melihat mata lelaki yang kuajak bicara berkilat, "awalnya saya tidak paham kenapa eyang berkata seperti itu, tapi melihat Om dan Tante saat ini, rasanya saya jadi paham kenapa eyang berkata seperti itu pada saya." "Pi!" Tante Laksmi mengguncang lengan om Lukman yang mulutnya terbuka tanpa kata. Ia memberi dukungan yang tampaknya tidak berguna karena om Lukman yang terus menatapiku tak membalas apapun. "Dan saya sungguh minta maaf untuk kenakalan Ares yang membuat Om dan Tante malu malam ini." "Mbak...." Aku menoleh pada Ares yang sorot matanya terlihat tidak rela. Menunjukkan senyumku sebelum kembali menatap sepasang suami istri yang sorot matanya berbeda. Om Lukman seolah kehilangan kata-kata. Mungkin, ia merasa bersalah untuk kalimat

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-20
  • MENJADI ORANG KEDUA   59. (18+) BARA DALAM HUJAN

    Siapa yang memulai? Entahlah. Atau bermula dari mana? Aku pun tidak tahu. Yang aku tahu, nafasku seakan habis saat Mas Rendra melepas pagutannya dari bibirku. Dan sebelum otakku yang seakan berhenti berpikir, bekerja lagi. Seperti tak perduli pada hal lain, Mas Rendra memagut bibirku kembali. Pun, memasukkan lidahnya, menyusuri tiap jengkal mulutku yang tak juga mengeluarkan penolakan! Kecupan yang awalnya hanya seperti salam, berubah makin dalam dan tak lagi bisa dihentikan. Lagi dan lagi dan lagi. DAN tanganku yang mendorong dada bidang mas Rendra, seakan tak bertenaga. Apalagi dengan satu tangannya saja, mas Rendra mampu memaku kedua lenganku yang ia tempelkan di pintu. Ruang gerakku makin tak bebas karena salah satu kaki Mas Rendra memisahkan kakiku. Entah kaki kanan ataukah kaki kirinya. Aku yang juga membalas ciuman mas Rendra, tak ingin memilih. Keiro, satu-satunya lelaki yang pernah menyapa bibirku tidak pernah menyentuhku seperti ini. Aku pun, bukan gadis lugu yan

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-21

Bab terbaru

  • MENJADI ORANG KEDUA   211. POSESIFNYA

    Disebut apa hubunganku dan Keiro?Entahlah.Aku tidak begitu memikirkan hal itu.Dan kurasa, lelaki yang matanya lurus menatap manik mataku pun berpikir hal sama.Apa Keiro memberi warna pada hari-hariku?Mungkin tidak ataukah iya, entahlah.Karena keberadaan Keiro tidak mempengaruhi bagaimana aku menjalani kehidupan monotonku setelah adikku memilih untuk meninggalkan rumah.Keiro hanya membuatku terbiasa dengan kehadirannya.Dan aku yang masih berdiri di tempatku, memperhatikan Keiro menatapi potret-potret dalam figura yang memang sengaja dipamerkan pada mata siapa saja.Sesekali bibir Keiro tersenyum dan mengangguk. Entah apa yang dipikirkan otak pintarnya itu.Sampai ia yang akhirnya sadar sudah tidak sendirian, berpaling dari potret-potret yang lekat ia pandangi lalu berdiri tegak.Senyum yang kuhafal tercetak setelah ia diam beberapa saat. Sementara suara langkahnya memecah kesunyian yang tercipta.Tanpa kata, Keiro yang menghampiriku langsung memeluk.Rasanya, jika aku tidak sed

  • MENJADI ORANG KEDUA   210. TAMU TAK DIUNDANG

    Ucapanku membuat mas Rendra yang mulutnya terbuka menelan kalimat apapun yang ingin ia ucapkan. Mimpinya pasti sangat tidak menyenangkan tapi, "aku tidak akan pergi kemanapun."Ulangku pada lelaki gagah yang tidak menyukai mimpinya.Aku ingin mati, menyerah pada hidup. Itu adalah kebenaran.Tapi, keinginan yang sudah terlintas dalam diri itu urung kulakukan.Dan rasanya, aku jadi sangat menyesal saat melihat sorot mas Rendra yang begitu terpengaruh dengan mimpi yang ia miliki.Melihatnya, rasanya aku di sadarkan kembali pada siapa diriku.Aku adalah anak yang orang tuanya memilih kematian.Ayah dan ibu yang sudah terkubur, tidak melihat bagaimana aku dan adikku menjalani hidup.Sementara aku dan adikku yang keduanya tinggalkan, harus menjalani kehidupan karena waktu kami terus dan harus berjalan.Santo bisa tertawa pada dunianya karena ia masih terlalu kecil untuk paham pada perubahan dalam hidup kami yang harus berpindah-pindah tempat tinggal. Pun, mampu tertawa karena bagi Santo yan

  • MENJADI ORANG KEDUA   209. JANGAN PERGI

    "Saya sama bapak-bapak itu urusan sayalah, Mbak Runi." Mbak Imah yang menghapus mata basahnya berucap, "saya belanja dulu ya, Mbak, biar dapat yang segar-segar.""Ya, Mbak Im," balasku pada wanita yang keluar dari pintu samping yang belum lama ia masuki.Meninggalkanku yang membuka kulkas lalu mengeluarkan bahan-bahan yang kubutuhkan sebagai pelengkap nasi yang akan kugoreng.Telur, sosis, pokcay, dan aku mengembalikan wortel yang sudah kupegang ke dalam kulkas saat mengingat mas Rendra yang kurasa masih tidur.Aroma bawang putih yang harum langsung memenuhi dapur pun saat bawang merah dan potongan cabe kumasukkan ke dalam wajan berisi minyak dan bawang putih yang sudah menguning.Dua telur kumasukkan lalu ku aduk rata dan setelah bentuknya pas tak terlalu lembek lagi, aku memasukkan sosis kemudian pokcay yang jadi menyusut saat terkena panas wajan.Tidak butuh waktu lama, nasi yang sudah mbak Imah siapkan, kumasukkan bersama sejumput garam dan penyedap rasa yang terbuat dari bubuk ja

  • MENJADI ORANG KEDUA   208. ORANG YANG KUGAJI

    RASA.Pernahkah kamu bertanya seperti apa ia berupa? Seperti apa itu berwarna? Ataukah bagaimana bentuknya?Jika rasa memiki rupa, seperti apa wajah bahagianya?Wajah sedihnya?wajah kecewanya?Wajah senyumnya?Wajah takutnya?Wajah marahnya?Wajah malunya?Wajah senyumnya?Wajah ibanya?Wajah ingin tahunya?Wajah kekanakannya?Jika rasa memiki warna, apa ia akan seperti warna-warna yang kita kenal?Dan jika rasa berbentuk, seperti apa bentuknya?Apa ia memiliki ujung yang tumpul atau malah lancip penuh peringatan?Ataukah ia memliki garis lurus atau berkelok? ataukah putus-putus dengan jarak dan jeda?Jika rasa tidak hanya terasa namun memiliki bentuk yang nyata, akankah rasa membuat kita berkata, "oh, sudah kuduga" atau bahkan "bentuk macam apa ini!?"Jika dicerna lebih, mungkin lebih baik rasa tetap jadi rasa saja.Ia tak perlu berbentuk.Tidak perlu berwarna.Tidak perlu pula memiliki rupa.Karena rasa adalah sesuatu yang kita miliki, baik untuk kita selami sendiri atau ada tubu

  • MENJADI ORANG KEDUA   207. TERASA RINGAN

    "Terima kasih."Pedagang martabak yang menerima uang dariku tersenyum lebar. Pun, menatap kemana aku melangkah. Mungkin ia ingin tahu, kenapa wanita yang sedang hamil besar jalan sendirian tanpa seorangpun menemani. Lewat tengah malam lagi."Siapa, Met?""Orang komplek kayaknya.""Oh, tapi kok sendirian?""Mana kutahu, Sri. Yang penting uangnya gak berubah jadi daun saja."Kalimat yang mampu menyusup pada telinga, tak kuhiraukan. Meski tanganku yang membawa dua bungkus martabak mengeratkan pegangan.Langit di penghujung musim hujan terlihat cerah malam ini. bahkan rembulan yang bulat sempurna menambah keelokan bintang yang kelipnya menemani tiap langkah.Jalanan komplek sepi, meski sesekali ada saja kendaraan melewatiku yang langkahnya terasa lebih ringan."Apa kalian suka?" Ucapku yang berhenti sejenak karena kakiku protes meski perut yang kusentuh menunjukan kehidupan."Lain kali... lain kali kita jalan juga sama papa, ya?"Kalimat yang terucap itu bahkan terdengar kaku. pun terasa

  • MENJADI ORANG KEDUA   206. INGIN MATI

    Aku tahu, adikku yang terus tidur tidak mungkin memaafkanku yang ingin menyerah pada hidup. Hal yang sudah dilakukan orang tua kami dulu."Tidak mungkin Santo mau bertemu denganku sekalipun tuhan mengizinkan, kan Mas?"Mataku yang sembab kembali merasa perih, meski bibirku tersenyum saat kurasakan dua bayiku bergerak lincah, seolah menjawab ucapanku yang sedang bertanya pada ayah mereka.Gerakan keduanya menimbulkan sensasi yang kuhafal dan benar-benar kurasakan.Dan dua bocah yang tampak aktif dalam perutku ini tak ingin berhenti bergerak selama beberapa lama. Seolah mau menemaniku yang menatap ayah mereka sebelum mengusap perutku lagi."Ayo kita ketemu om Santo, banyak yang ingin mama katakan padanya."****Zreeg.Aku menutup pintu geser di belakangku sepelan saat aku membuka.Tidak ingin mengganggu apalagi membangunkan tiga tubuh yang tertidur lelap mendekap malam.Sesekali dengkuran terdengar dari satu-satunya pria yang tidur di samping ibu yang tangannya memeluk Bapak.Sementa

  • MENJADI ORANG KEDUA   205. MEMBAWA ADIKKU PULANG

    "Runi, ayo bawa Santo pulang."Kalimat mas Rendra membuat pupil mataku membesar, seketika lurus menatap lelaki yang kalimatnya sama persis dengan ucapan ibu, wanita yang sudah menyerah pada adikku.Tetapi, Mas Rendra melanjutkan ucapannya sebelum aku sempat mengatakan apapun!"Kamu tahu, Runi. Tinggal di rumah pasti terasa lebih nyaman untuk Santo."Dan mulutku hanya terbuka dengan penolakan yang tertahan dalam tenggorokan. Mencerna ucapan mas Rendra yang kalimatnya tidak meninggalkan celah keraguan."Tinggal di dalam kamarnya sendiri, dikelilingi benda-benda yang disukainya, pun mendengar suara dari orang-orang yang dikenal Santo--" ucap pria yang tampak sudah memikirkan semua dengan matang itu lalu tersenyum dan mengecup bibirku yang benar-benar menelan protesku, "--membawa Santo pulang ke tempat yang ia kenali, tidakkah itu terdengar lebih baik?"Mataku bahkan tidak berkedip, seolah diriku tidak ingin melewatkan kata per kata yang mas Rendra perdengarkan hanya untuk diriku detik in

  • MENJADI ORANG KEDUA   204. MARAH

    "Runi, ayo kita pulang."Gedung dengan cat usang yang makin jauh tertinggal itu meninggalkan rasa pahit di dalam mulutku yang masih rapat menutup mulut.Tidak bersuara apa lagi menjawab ajakan mas rendra yang tatapannya kuraskan namun aku abaikan.Bahkan saat tanganku yang mas Rendra genggam ia kecup, aku masih tidak menoleh. Hanya menatap keluar.Dan lelaki yang tahu aku tidak akan merespon, menyalakan mesin kendaraan lalu melajukan kendaraanya menjauh dari gedung yang menjadi penjara bagi orang-orang yang mas Rendra kenal.Clara yang beberapa Minggu lagi melahirkan, Dedo yang terus mengatakan permintaan sama, Calista yang terlihat tidak perduli untuk segala hal, juga pak Bram yang butuh pertolongan.Sementara jalanan ramai yang klaksonnya dibunyikan dari banyaknya kendaran, tidak mampu mengusik diriku yang terus menatap keluar. Tidak sekalipun menoleh pada lelaki yang pandangannya terasa meski ia harus fokus pada jalan.Mas rendra yang tahu aku tidak ingin bicara, juga tidak mengata

  • MENJADI ORANG KEDUA   203. AKU LELAH

    Aku yang sudah dikuasai emosi, tidak memiliki keinginan untuk berhenti. Tongkat di tangan terus kuayunkan pada tubuh babak belur pak Bram yang terkulai di atas beton!'Apa yang sedang kulakukan?'Rasanya, sebaris kalimat itu muncul tapi tenggelam dalam emosi yang tak bisa kukendalikan.Sementara pak Bram yang tidak mampu memberi perlawanan ataupun menolak, memohon padaku yang bisa melihat Santo, adikku yang tubuhnya panas dan lemah, dipukuli hanya karena ia tidak ingin menjauh dariku yang kehilangan sadar!Di dalam kepala dan mataku, rasanya aku bisa melihat bagaimana tubuh lemahnya yang memilih tinggal di rumah dari pada kembali ke rumah perawatan, disentuh dengan cara yang kasar.Dan, dentuman keras tongkat yang kuayunkan mengalahkan lenguhan pak Bram yang pasti tidak menyangka, jika kejujurannya benar-benar meleburkan batas ketenanganku yang rasanya tidak lagi memiliki sisa!Tanganku serasa mati rasa. Telapak tanganku yang erat menggenggam tongkat serasa terbakar.Tapi, aku terus

DMCA.com Protection Status