'Tinggal bersama ayah dan ibu, bagaimana rasanya?' Aku adalah anak yang harus mendapat perawatan jiwa setelah ikut tinggal dengan bapak dan ibu. Mereka berdua adalah orang tua angkat yang nyatanya mau bersabar dengan luka yang kumiliki. Aku yang tidak perlu lagi menyembunyikan wajah Santo dari jepretan kamera, merasa takut teramat sangat saat adikku tidak ada dalam jangkauan tangan. Kalimat ayah yang menyuruhku untuk menjaga Santo, membuatku menangis sejadi-jadinya jika saat bangun Santo tidak ada di sisiku. Apa yang terjadi padaku begitu mengguncang jiwa saat aku tak lagi perlu merasa waspada. Rumah nyaman yang bapak dan ibu ciptakan untukku di kediaman mereka, bak pisau bermata dua yang mengharuskan diriku mendapat perawatan khusus untuk jiwaku. Lalu bagaimana dengan ayah dan ibu, orang tua yang membuatku harus berlari menembus hujan petir? Meski usiaku baru enam tahun saat itu, di rumah kami aku dan adikku tumbuh dengan tawa. Dengan kasih juga cinta. Sampai tragedi yang meni
"Lain kali ajak akku main juga." Dahi Ares mengernyit dalam untuk ucapan Riris yang wajahnya menunjukkan kesal berbeda. Bocah tukang makan yang kenyang sebelum kami pulang melirikku dari tempatnya duduk. Tapi, tak mengatakan apapun kecuali membuat Riris makin iri untuk waktu yang ia habiskan bersamaku. Puas makan dan bermain setelah membeli kado untuk istri kedua ayah mereka. "Mbak, besok bolos juga dong." Dan pinta Riris membuatku mengusap rambutnya. "Aku tidur di kamar mbak lagi ya?" Aku hanya mengangguk sebelum pamit pada eyang, wanita yang tersenyum sesekali, mengalihkan pandangan dari buku yang ia baca. "Selamat malam, Eyang." "Malam Runi." Aku tahu, wanita tua yang terus memandang punggungku ini pasti ingin tahu, 'apa aku akan mengiriminya pesan di tengah malam nanti?' Tapi ia lebih memilih menahan diri. Seolah percaya, gadis yang ingin ia jodohkan dengan cucu pertamanya tidak sedang melakukan hal buruk. "Kenapa tarikan nafasmu begitu dalam, Runi?" Aku bahkan tidak
"Jadi yang mana, nih? kue apa Arka yang kita samperin?" Pipi Riris merona untuk godaan bocah besar yang bersikap kalimatnya tentang Clara seolah tak berarti apapun. Dan aku yang tak ingin bertanya ataupun mencari tahu maksud dari ucapan Ares, turut menghampiri bocah lain yang mengenalkan diri. "Saya Arka, Mbak Runi. Salam kenal." Aku yang belum mengenalkan diri menjabat tangan Arka. Bocah tampan yang mampu membuat Riris mau tinggal lebih lama dalam pesta yang tak ingin ia hadiri. Meski pada akhirnya tak bisa mengobrol lama karena Arka sedang berkerja. Menghampiri siapapun dengan nampan berisi minuman dalam gelas yang isinya berkurang atau bertambah dengan gelas kosong yang airnya sudah pindah ke perut seseorang. "Saya izin dulu, Mbak.'" "Ya," jawabku pada Arka, bocah yang lesung pipinya seolah menoleh padaku yang akhirnya menyingkir, karena Ares dan Riris dihampiri beberapa kenalan mereka. Dipaksa tinggal untuk bercerita banyak hal, termasuk kanapa mereka bolos sekolah kemarin
"Bagian keuangan terus menolak dengan alasan sama, Runi, tidak perduli proposal macam apa yang kami berikan hah...!" Hembusan nafas kesal yang begitu dalam mbak Miska perdengarkan pada telingaku, yang bisa melihat wajah-wajah saudara bapak meski yang nampak di hadapanku adalah langit gelap. Sepasang kakak beradik yang selalu bisa menemukan salah pada diri orang lain, tapi, membenarkan sikap anak-anak mereka yang membuat adikku pergi karena, ... 'rasanya sesuatu dalam hatiku tersulut.' Emosi buruk yang membuatku ingin merutuk. Tapi, tidak ada kalimat sampah yang keluar dari hati maupun kepalaku yang tangannya mengerat kuat pada pegangan gelas. Aku yang mendengar suara putus asa mbak Miska, bisa membayangkan wajah-wajah lelah rekan satu divisiku yang pasti terus-menerus menerima telepon dari orang-orang seperti pak Noko. Sementara orang-orang yang bisa meringankan pekerjaan teman satu timku hanya dengan satu tanda tangan, justru memberi kesulitan. "Itu takkan terjadi, Mbak." "Mak
"Jangan dekat-dekat jendela." "Ayo, masuk saja ke bagian dalam." "Aduh, bajuku basah sekali ini." "Kuharap Lukman tidak akan memberi kita rasa bosan di bawah hujan petir ini." Dan suara yang datang dari segala penjuru makin ramai saat aku bisa menguasai diri. "Mbak memang tidak takut petir, Ka, hanya tidak suka." Ucapku pada Arka yang terus menatapi, "dan orang itu masih menunggumu, lho." Aku mengambil gelas dari nampan Arka, mengangkatnya dengan senyum untuk pria yang mengubah wajah kesal karena tak lagi sabar menunggu. "Pergilah." Ucapku mengusap lengan Arka yang mengangguk lalu berjalan cepat, menghampiri pria yang langsung meneguk dua gelas minuman dari nampan yang Arka bawa. Nampaknya, gemuruh petir dan derasnya hujan membuat pria itu kehausan. "Kenapa jadi musik seperti ini?" "Lihat siapa yang ada di sana." "Oh, ha ha ha." "Aku sudah berharap kenakalan apa lagi yang akan bocah nakal itu lakukan sejak ia dan kakak-kakaknya datang." "Tapi, apa kau lihat siapa yang data
Om Lukman yang nampak tersinggung menatapku tajam. "Anda benar, Om Lukman, saya bukan siapa-siapa." Ucapku, "tapi, setidaknya malam ini saya adalah orang yang dipercaya oleh wanita yang merawat anak-anak Om untuk menjaga Ares dan Riris." Aku bisa melihat mata lelaki yang kuajak bicara berkilat, "awalnya saya tidak paham kenapa eyang berkata seperti itu, tapi melihat Om dan Tante saat ini, rasanya saya jadi paham kenapa eyang berkata seperti itu pada saya." "Pi!" Tante Laksmi mengguncang lengan om Lukman yang mulutnya terbuka tanpa kata. Ia memberi dukungan yang tampaknya tidak berguna karena om Lukman yang terus menatapiku tak membalas apapun. "Dan saya sungguh minta maaf untuk kenakalan Ares yang membuat Om dan Tante malu malam ini." "Mbak...." Aku menoleh pada Ares yang sorot matanya terlihat tidak rela. Menunjukkan senyumku sebelum kembali menatap sepasang suami istri yang sorot matanya berbeda. Om Lukman seolah kehilangan kata-kata. Mungkin, ia merasa bersalah untuk kalimat
Siapa yang memulai? Entahlah. Atau bermula dari mana? Aku pun tidak tahu. Yang aku tahu, nafasku seakan habis saat Mas Rendra melepas pagutannya dari bibirku. Dan sebelum otakku yang seakan berhenti berpikir, bekerja lagi. Seperti tak perduli pada hal lain, Mas Rendra memagut bibirku kembali. Pun, memasukkan lidahnya, menyusuri tiap jengkal mulutku yang tak juga mengeluarkan penolakan! Kecupan yang awalnya hanya seperti salam, berubah makin dalam dan tak lagi bisa dihentikan. Lagi dan lagi dan lagi. DAN tanganku yang mendorong dada bidang mas Rendra, seakan tak bertenaga. Apalagi dengan satu tangannya saja, mas Rendra mampu memaku kedua lenganku yang ia tempelkan di pintu. Ruang gerakku makin tak bebas karena salah satu kaki Mas Rendra memisahkan kakiku. Entah kaki kanan ataukah kaki kirinya. Aku yang juga membalas ciuman mas Rendra, tak ingin memilih. Keiro, satu-satunya lelaki yang pernah menyapa bibirku tidak pernah menyentuhku seperti ini. Aku pun, bukan gadis lugu yan
"Tidak, Eyang. Saya hanya kurang tidur." Jawabku pada akhirnya. Jawaban yang tidak sepenuhnya kebohongan karena aku memang tidak bisa tidur. Sama sekali. Meski sudah memaksa diri. Dan nyatanya, pulasan make up tidak benar-benar mampu menutupi wajahku yang masih eyang perhatikan. Sampai tangan tuanya menyentuh lenganku. "Kamu kebanyakan di depan laptopmu, Ndok," ucap eyang yang usapan lembutnya membuatku merasa bersalah. "Padahal belum lama kamu sakit, Runi." "Iya, Eyang, ada ... yang harus saya kerjakan." ucapku pada wanita yang tatapannya selalu lembut saat menatapku. "Usahakan jangan terlalu capek, Ndok, atau ibumu benar-benar akan datang ke sini dan langsung membawamu pulang." "Iya, Eyang." Jawabku yang bisa merasakan tatapan lelaki yang bergabung begitu telat untuk sarapan. "Eyang, kalo mbak Runi dibawa pulang, aku boleh ikut mbak Runi gak?" "Habiskan saja sarapanmu." Dan jawaban eyang membuat bibir Ares manyun lalu memakan kerupuk yang bunyinya renyah sementara Riris men