Home / Romansa / Lima Pengawal / Rasa Yang Terpendam

Share

Rasa Yang Terpendam

"Lakukan sesuai rencana, aku mau dia memberikan proyek itu pada kita. Jika dia menolak, paksa dia, kalian tau apa yang harus kalian lakukan," ucap seseorang pada anak buahnya.

Anak buahnya hanya menundukkan kepal, kemudian segera berlalu.

"Antonio, kau memang bukan lawan yang mudah," gumam pria muda itu, sembari menggoyang-goyangkan gelas yang berisi minuman, kemudian meneguk habis isinya.

"Aku mengira, balas dendamku akan berakhir, setelah membunuhmu. Aku juga tidak mengira, jika para bajingan itu begitu pintar. Mereka juga sangat patuh dan setia pada perintahmu, bahkan setelah kau tidak ada." 

Pemuda itu menatap lurus ke arah photo seseorang, yang menggantung di dinding dengan bingkai berukuran besar. Masih kesal dengan kegagalan anak buahnya tempo hari. Tapi, dia tidak putus asa, ia akan kembali membuat rencana untuk menggulingkan kekuasaan, yang saat ini dipimpin Fabio dan keempat saudaranya. Ia ingin sekali menguasai dan menjadi pemimpin dari semua bisnis gelap, yang pernah di pegang mendiang Ayahnya. Namun, berhasil di gulingkan oleh Antonio. Ayahnya pun kalap, karena tidak bisa menerima kekalahan, dan akhirnya bunuh diri.

Seluruh keluarganya melimpahkan kesalahan itu pada sosok Antonio, yang saat itu telah menjadi pimpinan komplotan dunia hitam. Semua bisnis mereka lancar, di bawah kepemimpinan Antonio, dengan memiliki lima tangan kanan. Antonio mampu menjadi sosok yang paling disegani dan di takuti. 

"Aku akan melakukan apapun, untuk merebut jerih payah papaku yang telah kau rampas," lanjutnya. Kemudian membanting gelas yang ada di tangannya. Ia pun segera meninggalkan ruangan. 

****

Sementara di tempat lain, Antonio baru saja menerima telepon dari Andien, yang merengek memintanya untuk segera kembali. Andien, ingin Fabio lah yang menjemputnya saat kelulusannya nanti. Andien juga meminta padanya, agar Fabio lah yang menjemputnya pulang. Fabio sempat menolak, bukan Andien namanya, jika ia tidak bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia tahu, jika Fabio tidak akan pernah menolak keinginannya. 

"Apa yang harus aku lakukan," batin Fabio.

"Satu sisi, aku ingin menghindarinya, untuk kebaikannya. Namun, disisi lain, hatiku tidak tega melihatnya bersedih. Mengapa harus ada rasa ini? Aku telah berusaha mencoba menjauh dan membuang rasa ini. Tapi, entah mengapa, semakin aku ingin melakukannya. Aku malah semakin tersiksa olehnya," Fabio menegak minuman langsung dari botolnya.

Ia memejamkan matanya, sembari memikirkan cara untuk mengelak dari semuanya. Semua kenyataan, yang menyatakan jika Fabio menyukai Andien. Namun, Fabio enggan menunjukkan sikapnya terhadap satu-satunya gadis yang selama ini dekat dengannya. Fabio juga tidak berani mengungkakan perasaannya pada Andien, dikarenakan dirinya tidak mau terjadi kesalah pahaman diantara mereka berlima. Fabio takut, jika salah satu dari keempat saudaranya juga menyimpan perasaan terhadap Andien.

Fabio juga takut, jika seandainya, Andien juga telah memiliki seseorang yang ia cintai. Ia begitu pengecut untuk perasaannya sendiri, ia bisa dan berani menantang bahkan melawan siapa saja. Tapi, jika ini menyangkut dirinya dan Andien, ia jadi begitu ragu bahkan takut. Ia lebih memilih memendam semuanya, daripada meluahkannya.

Disisi lain dibagian belahan dunia, Andien juga sedang larut dalam lamuannya. 

"Apa yang haus aku lakukan? Mengapa bayang-bayang wajahnya, selalu saja mengangguku," gumam Andien.

"Kamu melamun?" terdengar sebuah suara cempreng dari arah belakang Andien. Itu Clara, sahabat baik Andien, orang satu-satunya yang tahu perasaan Andien terhadap Fabio.

"Mau apa?" tanya Andien.

"Ini juga kamarku, jadi aku juga punya hak untuk berada disini," sahut Clara sembari melengos masuk. Andien menggerutu kesal dengan ulah sahabatnya.

"Eh, Dien, gimana kabar pangeranku?" tanya Clara.

"Pangeranmu? Siapa?" sahut Andien bingung.

"Fabio lah," seru Clara lantang.

"Apa! Fabio, kamu suka sama dia?" tanya Andien.

Clara hanya mengangguk mengiyakan, terpancar rona gembira di wajahnya, saat ia menyebut nama pemuda itu. Namun, ada rasa kesal jauh dari dalam hati Andien. Walau bagaimanapun, Andien juga menyimpan perasaan untuk Fabio. Tapi, melihat sikanya yang cuek dan tidak peduli. Membuat Andien hanya bisa menyimpan seuanya rapat.

"Andien, kamu kenapa?" tanya Clara bingung.

"Tidak apa-apa," sahut Andien cepat, kemudian berjalan keluar meninggalkan Clara di kamar.

Andien menuju ruang Binsis, tempat biasanya para siswa menghubungi keluarganya. Ia mencoba menghubungi Sa, tapi tidak ada jawaban dari Sam. Andien menghela nafas kesalnya, ia pun memutuskan kembali ke kamarnya.

****

Sam, baru saja tiba di apartemennya. Ia tampak membawa seorang wanita cantik juga sexy. Saat wanita itu ingin menjalankan tugasnya, tiba-tiba Sam memintanya berhenti. Wanita itu tampak menatap pria di hadapannya dengan penuh tanda tanya.

"Tunggu, aku ingin menghubungi seseorang," ucap Sam sembari menjauh dari teman wanitanya. Sam, terlihat serius berbicara dengan seseorang melalui teleponnya. Sesekali ekspresinya terlihat santai. Namun, seketika berubah menjadi serius, bahkan menyeramkan. Setelah selesai, Sam kembali mendekati wanita itu.

"Ambil ini," ucap Sam, memberikan selembar cek pada wanita itu.

"Tapi, kita belum melakukan apapun," sahutnya.

"Aku berubah pikiran dan aku sudah tidak lagi berminat padamu," lanjut Sam.

"Tapi, Sam, aku ..." wanita itu terdiam, saat Sam menganggkat tangannya. Rahangnya mengeras, menandakan ia sedang berusaha menahan amarahnya. Wanita itu hanya isa menerima cek itu dan pergi meninggalkannya.

Sam, menghempaskan dirinya di sofa, sambi mengutak atik ponselnya. Ia mengirim pesan pada Fabio, untuk menanyakan kabarnya dan masalah disana. Setelah berbincang panjang lebar, Sam pun mengakhiri obrolannya, kemudian menutup teleponnya. Ia pun melihat beberapa panggilan dari asrama Andien. Sam tahu, pasti Andien yang menghubunginya.

"Ulah apa lagi yang kau perbuat kali ini, Sweety," gumam Sam, sembari tersenyum.

****

"Tuan, ini laporan yang anda minta," ucap salah salah satu anak buah Fabio. Fabio meraih map berwarna biru, kemudian membaca dengan seksama setiap lembarnya. Setelah selesai membacanya, ia mengembalikan map tersebut pada anak buahnya.

"Terus awasi mereka, terutama tuan mudanya. Aku mau tau tentang dia setiap detailnya, ekecil apapun," titah Fabio.

"Baik Tuan," laki-laiki itu pun undur diri dari hadapan Fabio dan kembali menjalankan tugas yang dipinta bossnya.

"Aku tidak akan membiarkan kalian hidup dengan tenang, setelah apa yang kalian lakukan pada keluargaku," batin Fabio. Ia menatap pigura kecil di atas meja kerjanya. Photo mendiang ayah angkatnya, bersama putri dan kelima anak angkatnya. Fabio menatap lirih phoo itu. Ia kembai bertekad akan menuntut balas, setiap perbuatan yang mereka lakukan.

Pandangan mata Fabio beralih ke Andien, semburat senyum melengkung di bibirnya. Betapa ia sangat mendambakan sosok Andien, gadis yang ia cintai sejak kecil. Kini telah tumbuh dewasa, rasa di hati Fabio semakin besar pada Andien. Namun, dirinya enggan menunjukkan perasaannya pada gadis itu.

"Apa rasamu padaku, masih sama seperti saat kita masih kecil, Sweety?" gumam Fabio.

bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status