Dinda berpikir, kalau dunianya benar-benar baik-baik saja, semua yang di susun akan berakhir sesuai dengan rencana. Hingga dia lupa, kalau ada Tuhan yang mengatur skenario hidupnya. Hingga pada akhirnya, Dinda harus menerima sebuah fakta pahit, kalau Arkan--calon suaminya justru berkhianat dengan seseorang yang tidak pernah Dinda duga sebelumnya. Ya, Arkan ternyata berkhianat dengan Nadin--salah satu karyawan yang bekerja di perusahaan Dinda. Bak ditikam panah dari depan dan belakang. Dinda amat sangat terkejut, dunianya hancur berkeping-keping, begitupun dengan harapan yang telah mimpikan selama ini. Namun, Dinda yang tak ingin bila kedua pengkhianatan itu bahagia di atas penderitaannya, langsung menyusun sebuah rencana cantik, agar keduanya bisa mendapatkan balasan yang setimpal. Arkan sendiri tak sungguh-sungguh dalam mencintai Dinda. Pria itu hanya menginginkan harta kekayaan yang keluarga Dinda milikki, karena pada saat bersama Dinda saja, Arkan tak hanya menjalin hubungan dengan satu wanita saja. Begitupun dengan Nadin. Wanita itu tahu, bila Arkan adalah calon suami dari bosnya. Tetapi, dengan sangat keras kepalanya, Nadin tak mengindahkan hal tersebut dan tetap menjalin hubungan secara diam-diam dengan Arkan. Lantas, apa yang akan Dinda dan keluarganya lakukan untuk membalas semua perbuatan Arkan dan Nadin? Akan 'kah semua yang telah Dinda susun kali ini, berjalan dengan lancar atau justru sebaliknya? Atau justru, di sini Arkan dan Nadin yang akan berhasil dalam memb*d*hi Dinda dan keluarganya, hingga berhasil menguasai hartanya?
View More[Tinggal selangkah lagi menuju kesuksesan,] tulis seseorang dengan nama akun Putri Pratama.
Dinda mengernyitkan dahi, ketika akun tersebut kembali muncul di berandanya. Dia tidak ingat, kapan pertama kali menkonfirmasi pertemanan dengan akun tersebut.
Karena rasa penasaran yang menggebu-gebu, Dinda pun membuka profil orang tersebut.
"Berpacaran dengan Nadin putri," gumam Dinda seraya mengernyitkan dahi, kala membaca profil lain yang tertulis di aku tersebut.
Merasa tidak terlalu penting, Dinda pun segera menekan tombol kembali dan menyimpan gawai di meja kerja.
"Dari pada memperhatikan hal yang tidak penting, lebih baik aku bekerja saja," pikir Dinda.
***
"Nadin, main ponsel saja. Ingat waktu, kamu harus bekerja!"
Dinda menegur seorang karyawannya yang ketahuan bermain ponsel ketika bekerja. Wanita bernama Nadin putri itu hanya menunduk dalam sembari menyimpan kembali gawainya.
Merasa akan teringat suatu hal, Dinda yang sudah melangkah, kembali berhenti secara spontan. Dia melirik ke arah Nadin yang tengah berkutat dengan komputer.
"Nadin, jangan sampai performa kerja kamu turun, hanya gara-gara kamu berpacaran. Kamu tahu, 'kan kalau saya tidak suka hal itu?"
"I-iya, saya tahu, Bu."
Nadin yang merasa di perhatikan oleh bosnya itu, hanya mampu menunduk, tidak berani berbuat banyak.
"Ini semua berlaku untuk kalian, tidak hanya Nadin seorang!" Dinda memperingatkan semua karyawannya, baik itu wanita maupun pria.
"Baik, Bu."
Di saat Dinda hendak kembali melangkah, tiba-tiba saja pintu terbuka, menampilkan seorang pria yang memakai jaket hitam yang di padukan dengan kaos putih dan celana yang senada.
Pria itu terlihat cukup tampan dengan tubuhnya yang sangat kekar, belum lagi rahangnya tampak kokoh dengan hidung mancung dan mata yang begitu tajam.
"Sayang, tumben datang ke sini, ada apa?"
Mata pria yang Dinda panggil sayang itu terlihat menelisik seisi ruangan.
"A-ah, aku kangen sama kamu, Sayang."
Dinda tersipu malu, di gandengnya tangan pria itu di hadapan para karyawannya yang masih sibuk bekerja.
"Sayang, dua bulan lagi kita nikah, loh!"
Pria yang tidak lain adalah Arkan--calon suami Dinda, langsung menarik tangan wanita yang akan dia nikahi keluar dari tempat kerja para karyawan.
Arkan malas, kalau Dinda begitu gencar memamerkan kemesraannya di depan orang banyak.
"Aku tahu, Sayang. Kamu sudah menyiapkan segala halnya, 'kan?"
Dinda mengangguk dengan begitu antusias, dia tidak bisa menyembunyikan senyumnya di hadapan Arkan.
"Udah, Sayang. Hampir beres!"
"Sayang, boleh transfer sepuluh juta, gak?"
Dinda mengernyitkan dahi, dia merasa kebingungan dengan Arkan yang tiba-tiba meminta uang.
"Lah, untuk apa, Sayang? Bukannya kemarin aku baru transfer sama kamu."
Arkan terlihat kebingungan, dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, matanya pun ikut bergerak dengan cepat.
Karena merasa di perhatikan oleh Dinda, Arkan pun kembali bersikap seolah biasa saja.
"Ya, itu untuk kebutuhan sovenir, Sayang. 'Kan, Mas, gak mau kamu urusin banyak hal, takut kamu kecapean."
"Ya, udah, nanti aku TF, ya, Sayang."
"Iya, Sayangku. Makin cinta, deh!"
***
Karena merasa tidak memiliki rasa curiga sedikitpun, Dinda mentransferkan uang yang Arkan minta padanya dengan suka rela.
Meskipun belum meminta ijin pada Papanya, tetapi Dinda yakin, kalau orang tuanya itu akan mengijinkannya.
Namun, saat Dinda hendak pergi ke taman belakang untuk mengabari Arkan kalau uangnya sudah dia transfer. Tiba-tiba saja pergerakan Dinda terhenti, kala dia melihat dua orang yang amat dia kenal tengah mengobrol di belakang.
"Mas, sampai kapan kamu nyakitin aku?"
"Mas?" batin Dinda.
Deg!
Deg!
"Sabar, Nadin. Mas, akan segera mengakhiri semuanya. Kamu harus sabar dulu."
Dinda yang tengah bersembunyi di balik pohon, mencengkeram sebuah dahan dengan cukup kuat, melampiaskan rasa sakit yang tiba-tiba menghantam ulu hatinya.
Tidak ada yang bisa Dinda lakukan, selain termangu di tempat, menatap pemandangan yang membuat mata Dinda langsung menghangat, kala teringat dengan itu dunia yang begitu dia dambakan hampir saja selesai.
Ya, tinggal satu langkah lagi bagi Dinda untuk bisa bersanding dengan pujaan hatinya.
Namun, di sisi lain Dinda bersyukur, karena Tuhan telah memperlihatkan sisi buruk Arkan sebelum resmi menjadi suaminya.
"Lihat saja, Arkan. Aku akan melakukan pembalasan yang setimpal untukmu dan Nadin. Lalu, sekarang aku paham dengan apa yang terjadi di sini," gumam Dinda seraya menyeringai.
"Ada apa Fauzi dan ... siapa mereka?" tanya wanita paruh baya yang memakai tudung kepala dari anyaman bambu.Fauzi menghela napas panjang, dia bergegas turun dari teras, menghampiri kedua orang tuanya yang masih mematung di tempat dengan raut wajah kebingungan."Lebih baik kita ngobrol di dalam saja. Soalnya ini masalah yang cukup serius," balas Fauzi sambil menoleh ke belakang, menatap Dinda dan Dzikri sekilas.Sontak saja, kedua orang tua Fauzi saling pandang dengan cukup lama. Keduanya seakan-akan berbicara melalui lirikan mata. Fauzi yang sadar akan hal itu, kembali berbalik, melangkah ke hadapan Dinda dan Dzikri yang tengah bungkam."Mas, Mbak, ayo masuk! Biar kita bicarakan semuanya di dalam," ajak Fauzi dengan ramah kepada Dinda dan Dzikri."Baik, terima kasih. Ayo, Dinda kita masuk!""Ayo!"Baru ketika Dinda bangkit dari duduk, kedua orang tua Fauzi datang menghampirinya dan Dzikri."Iya, kalian boleh masuk dulu. Kami akan bersih-bersih sebentar," pesan Ibunya Fauzi."Baik, B
Sepanjang perjalanan menuju rumah kerabat mendiang kedua orang tua angkat Nadin, pikiran Dzikri dan Dinda terus saja berkecamuk.Dalam benak masing-masing, terus terbesit berbagai ribu pertanyaan mengenai alasan kenapa Nadin bisa sampai tega membunuh orang tua angkatnya.Entah hanya itu tuduhan semata atau memang benar begitu adanya. Tetapi, Dinda masih saja tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Tiba-tiba saja, dalam benak Dinda terlintas sekilas bayangan tentang Nadin yang pertama kali dia temui. Di mana wanita itu terlihat begitu polos dan baik, tampang seperti pembunuh maupun wanita perusak hubungan orang, benar-benar nyaris tak terlihat.Bagi Dinda, Nadin terlihat seperti wanita pada umumnya saja. Tidak ada sedikitpun rasa curiga dalam hatinya terhadap Nadin."Lagi ngelamunin apaan?" tanya Dzikri sembari menyenggol lengan Dinda.Sontak, Dinda menoleh, kemudian menggeleng pelan."Tidak, aku lagi memikirkan tentang Nadin saja. Aku--""Ini rumahnya," potong si wanita paruh baya
"Jadi, ini tempatnya?" tanya Dinda pada pria yang duduk di sampingnya, yaitu yang tidak lain adalah Dzikri.Kebetulan sekali, hari ini Dinda dan Dzikri memilih untuk tidak masuk kantor. Keduanya sepakat untuk datang ke desa tempat di mana dulu Nadin tinggal.Selain perjalannya yang cukup memakan waktu, belum lagi kondisi jalanan serta hal lainnya yang membuat Dinda dan Dzikri sampai di desa tersebut di luar perkiraan keduanya. Beberapa kali Dzikri menghela napas, kala netranya menatap jalanan yang hanya berlapiskan batu serta tanah merah. Tidak bisa dia bayangkan, bagaimana kondisi jalan ini ketika diterpa hujan."Sepertinya memang betul. Tetapi, apa kamu merasa tidak aneh?" tanya Dzikri sambil menoleh ke arah Dinda. Kebetulan dia tengah menepikan mobil di pinggir jalan, berisitirahat sejenak."Maksudmu?" Dinda malah balik bertanya sambil menatap layar gawainya.Wanita itu sedikit kesal, karena jaringan internet susah sekali dia dapatkan ketika masuk ke desa ini. Malahan sedari tadi
"Mas, ada apa? Coba ceritakan secara jelas!" pinta Ella pada Tomo.Tomo yang tampak begitu kebingungan dan putus asa, terus menjambak rambutnya dengan kasar seraya terus berjalan mondar-mandir, dia tidak terlalu menghiraukan permintaan istrinya.Ella yang sadar, kalau Tomo tengah amat kebingungan, gegas menghampiri Tomo, mengenggam tangan suaminya itu dengan kasar."Mas, sudah diam dulu! Sekarang ceritakan padaku, sebenarnya ada apa?! Aku tidak akan pernah tahu, kalau kamu terus bersikap seperti ini."Ella yang terlanjur kesal dengan suaminya, tidak ragu berteriak di depan wajah Tomo hingga pria itu terpaku di tempat.Sesekali Tomo menghela napas panjang, dia bergegas melangkah menuju kursi kayu yang ada di depan rumahnya dan segera mendaratkan bobot tubuh di atasnya."Ella, kamu tahu, Burhan, 'kan?""Tentu saja, memangnya siapa yang tidak tahu dengan Burhan, dia 'kan sosok orang kaya yang--""Stop!" Tiba-tiba saja Tomo berteriak, memotong ucapan Ella dengan cepat, hingga wanita itu t
Arkan tampak gelagapan, kedua bola matanya bergerak dengan cepat, terlihat pula jika jari tangannya saling bertautan, meremas satu sama lain.Kentara sekali, kalau Arkan begitu gugup dengan pertanyaan Dinda. Malahan sesekali dia menelan ludah, berusaha menenangkan dirinya sendiri."Be-benarkah seperti itu, Sayang? Ah, gila sekali! Padahal dia mengatakan padaku sudah mengajak beberapa karyawan yang lain," dalih Arkan di depan Dinda. Malahan Arkan sampai menyilangkan tangan di dada sembari memasang wajah kesalnya. Melihat akting Arkan yang cukup baik, Dinda langsung tersenyum tipis. Dalam hati, dia tidak ragu memberikan Arkan dua jempol sekaligus."Tentu saja, jadi kamu tidak tahu soal itu?"Arkan menggeleng cepat, berusaha berakting sebaik mungkin di depan Dinda. "Tidak, Sayang. Dia benar-benar pendusta, aku benci manusia seperti itu," ucap Arkan dengan penuh penekanan di tiap kalimat.Mendengar hal tersebut, rasanya perut Dinda langsung bergejolak. Ingin rasanya dia memuntahkan sei
Dinda mengangguk pelan, dia meletakkan beberapa makanan yang sempat dia bawa dari rumah, termasuk buah-buahan dan makanan sehat untuk Arkan.Meskipun Dinda telah di sakiti oleh Arkan, tetapi dia masih sedikit memiliki rasa peri kemanusiaan pada orang tersebut. Dalam pikiran Dinda, dia tidak akan berhenti berbuat baik pada orang lain, meskipun orang tersebut justru berbuat jahat padanya. Karena biar Tuhan saja yang membalas semuanya. "Baik, Ma." Dinda duduk tepat di samping Ella."Dinda, bagaimana dengan persiapan pernikahannya?" tanya Ella dengan begitu antusias sembari mengenggam tangan calon menantunya.Dinda yang sebenarnya cukup malas, ketika membahas tentang pernikahannya dengan Arkan, hanya bisa menjawab dengan asal-asalan saja. Terpenting bagi Dinda adalah, apa yang dia berikan pada Ibunya Arkan cukup masuk akal. Biarkan saja wanita itu tahu semuanya nanti."Ya, begitu saja, Ma. Lagipula pernikahan kami masih lama. Jadi, hanya baru beberapa persen saja."Ella menghela napas
Setelah mendapatkan telepon dari Ella--yang tak lain adalah Ibunya Arkan. Sore harinya, Dinda pun bersiap-siap untuk pergi ke rumah kekasihnya itu. Awalnya Anjani melarang Dinda untuk pergi ke rumah Arkan. Tetapi, June mempertegas Ibunya kembali agar tidak usah melarang Dinda, itu semua demi kelancaran rencana yang telah mereka susun. Bisa-bisa keluarga Arkan akan curiga, kalau misalnya keluarga Dinda sudah mengetahui semua tentang kebusukan yang Arkan sembunyikan selama ini. "Ibu, tidak akan ikut denganku?" tanya Dinda pada Ibunya yang tengah duduk di tepi ranjang. Anjani pun memalingkan wajah ke arah jendela, kentara sekali kalau dia sedang kesal dengan anak bungsunya itu. "Ya, sudah, kalau Ibu tidak mau ikut, biar aku pergi sendiri saja. Lagipula aku juga takut, kalau Ibu ikut nanti, bisa-bisa Ibu kehilangan kendali," sambung Dinda seraya melenggang dari hadapan Ibunya. Anjani pun tidak menghiraukan ucapan Dinda, dia baru menoleh ketika melihat Dinda sudah berjalan keluar kama
Keesokan paginya, Dinda datang ke rumah June seorang diri. Sesampainya di sana, salah satu asisten rumah tangga memberitahunya, kalau sedari kemarin June tidak pulang ke rumah. Maka dari itu, Dinda lebih memilih untuk masuk dan menunggu di ruang tamu. Hingga selang satu jam kemudian, terdengar suara deru kendaraan dari luar rumah. Dinda sempat bangkit, mengintip melalui celah-celah jendela dan tidak lama kemudian, dia kembali duduk saat tahu jika mobil yang datang tersebut adalah milik Abangnya. "Dinda, sedang apa kamu di sini?" tanya June secara spontan, kala dia melihat Dinda tengah duduk di sofa ruang tamu rumahnya. Dinda bangkit dari duduk, berjalan ke arah June, menatap Kakak kandungnya itu dengan tajam. "Lah, memangnya salah aku berkunjung ke sini?" "Tentu saja tidak, Nak!" Sontak, Dinda langsung menoleh ke sumber suara, kedua manik matanya melebar, kala melihat sang Ibu berjalan ke arahnya. "I-Ibu," ucap Dinda dengan terbata-bata. Dia masih tidak bergerak dari posisi aw
"Jadi, kekasih kamu di rawat di rumah sakit ini?" tanya Dinda saat keduanya sudah sampai di rumah sakit.Nadin yang sedari tadi tidak bisa tenang, hanya bisa mengangguk pelan tanpa berani mendongak. Dia tidak menyangka, kalau Dinda akan ikut dengannya.Malahan beberapa kali Nadin menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri, di mana sedari tadi jantungnya terus berdetak dengan tidak karuan, belum lagi keringat dingin terasa membasahi tubuhnya."Nadin, mau ke mana? Memangnya kamu sudah tahu di mana tempat pacarmu di rawat?" tanya Dinda tepat di depan meja informasi. "Sa-saya sudah tahu, Bu!" balas Nadin sambil menoleh selama beberapa detik, kemudian kembali melanjutkan langkahnya.Melihat hal tersebut, Dinda hanya tersenyum tipis kemudian kembali mengikuti langkah Nadin."Memangnya di mana pacarmu di rawat? Saya rasa kamu terus saja berjalan sedari tadi, seperti tanpa tujuan," sindir Dinda pada Nadin yang raut wajahnya tampak begitu tegang.Sengaja Dinda terus memperma
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments