Malam harinya, sepulang dari kediaman Bramantyo, Arkan yang mengendarai motor matic yang diberikan oleh Dinda sebagai kado ulang tahunnya yang ke-28.
Melaju dengan kecepatan penuh, Arkan membelah jalanan yang cukup ramai, bermaksud menemui Nadin yang tidak bisa di hubungi sedari siang.
Sesampai di depan kosan Nadin, Arkan memarkirkan motornya secara sembarangan, kemudian dia langsung mengenakan topi dan bergegas melangkah menuju kamar Nadin yang berada paling pojok.
Sesekali Arkan memperhatikan sekitar, takut ada orang yang memergoki aksinya. Apalagi Arkan tahu, kalau kosan ini banyak di huni oleh karyawan yang bekerja di kantor Dinda.
Tok ... tok ....
Tidak lama kemudian, pintu terbuka, Arkan terperangah ketika melihat penampilan Nadin tampak jauh berbeda dari biasanya, di mana rambut acak-acakan dan matanya tampak begitu sayu.
"Ada apa?" tanya Nadin tanpa basa-basi.
Tanpa meminta persetujuan Nadin, Arkan langsung menerobos masuk ke kamar kosan Nadin dan menguncinya.
"Apa yang kamu lakukan? Bagaimana kalau pemilik kosan ini tahu dan berakhir dengan aku di usir seperti tempo lalu, Arkan?!"
Nadin membeliak, dadanya naik turun. Detik berikutnya, dia langsung berjalan menuju pembaringan dan menjatuhkan badannya sendiri.
Arkan yang merasa bingung dengan sikap Nadin, segera menghampiri wanita berpenampilan acak-acakan tersebut dan duduk tepat di sebelahnya.
"Nadin, sebenarnya ada apa? Kenapa kamu tidak menjawab telepon maupun pesan dariku?"
"Kenapa kamu bertanya padaku?! Tanyakan saja pada calon istrimu ini, Arkan!" jawab Nadin dengan penuh penekanan diakhir kalimat.
Merasa ada yang tidak beres dengan Nadin. Arkan, pun segera meraih tangan Nadin, mengenggamnya dengan cukup erat.
Malahan sesekali Arkan mendaratkan kecupan, tepat di punggung tangan Nadin yang terasa sedikit dingin.
"Sayang, memangnya apa yang Dinda lakukan padamu?"
Bukannya langsung menjawab, Nadin malah memalingkan wajahnya ke sisi lain seraya mengigit bibir bawah.
"Pokoknya dia begitu menyebalkan, Mas! Aku tidak tahan lagi, aku ingin keluar dari pekerjaanku yang sekarang."
"Jangan, Nadin!"
Nadin menoleh, dia menatap Arkan dengan tajam.
"Tetapi, kenapa, Mas?"
"Ya, jangan saja! Kamu tahu, 'kan, mencari pekerjaan di zaman sekarang itu tidak mudah."
Nadin terpejam, dia kembali mengigit bibir bawahnya kuat-kuat. Di tariknya satu tangannya yang berada dalam genggaman Arkan.
"Mas, tapi kamu bisa menjamin hidupku. Bukannya kamu selalu bilang, kalau Dinda suka memberikan uang kepadamu dengan jumlah yang tidak sedikit?"
Arkan menghela napas panjang, di tatapnya Nadin dengan tajam, hingga membuat wanita itu menelan ludah.
Sejujurnya, Nadin merasa takut tiap kali Arkan bersikap seperti itu padanya. Nadin, merasa kalau Arkan berubah secara drastis.
Terbukti dari Nadin yang langsung menunduk dalam seraya meremas tangannya dengan kasar.
"Berapa kali harus aku katakan, Nadin. Kalau semua uang itu akan aku gunakan untuk kita menikah nanti, untuk kita bisa pergi ke luar kota!" bentak Arkan tanpa ragu, hingga membuat Nadin tersentak.
Mata wanita yang memakai piyama berwarna biru laut itu sedikit memanas, dia masih tidak berani mendongak sedikitnya. Belum lagi, dadanya tiba-tiba sesak, ketika mendapatkan perlakuan kasar dari Arkan.
Nadin mencengkeram piyamanya dengan kasar seraya menggertakkan gigi. Jujur saja, hati Nadin begitu sakit, ketika tahu kalau Arkan malah memperlakukan Dinda dengan sebaliknya.
"Maafkan, aku," lirih Nadin di sela-sela rasa sakit yang mendera hatinya.
Namun, Arkan yang baru sadar, kalau dia bersikap berlebihan pada Nadin, kembali meraih tangan kekasihnya.
"Tidak, Nadin. Harusnya aku yang meminta maaf, karena telah berlaku kasar padamu."
Nadin menggeleng lemah, satu tangannya sengaja dia gunakan untuk mengusap ujung matanya yang sedikit berair.
"Tidak apa-apa, bukannya aku layak mendapatkan ini semua, Mas?"
"Maksudmu?" tanya Arkan sembari sedikit menundukkan kepala, berusaha menatap Nadin.
Akan tetapi, wanita itu langsung memalingkan wajah ke arah lain, tidak ingin bertatapan dengan Arkan.
"Aku hanya wanita selingkuhanmu, Mas. Jadi, aku berhak mendapatkannya, 'kan?"
"Kenapa kamu--"
Brak!
Nadin dan Arkan langsung terperanjat dari tempat masing-masing, mereka saling pandangan selama beberapa saat, sebelum akhirnya Arkan bangkit dari duduknya berniat keluar kamar.
Akan tetapi, Nadin malah menggeleng, mencegah Arkan untuk keluar. Arkan dengan keras kepalanya tidak menghiraukan perintah Nadin dan tetap pergi keluar.
Namun, sebelum itu, Arkan sudah lebih dulu menggunakannya topi dan masker. Dengan harapan tidak ada seorangpun yang tahu.
"Ada apa ribut-ribut?" tanya Arkan sembari menunduk, menatap kaki seorang wanita yang berdiri di hadapannya.
"Maaf, barusan saya tidak sengaja menendang kursi yang ada di depan kamar ini," jelas wanita itu tanpa rasa gugup sedikitpun.
Arkan mengangguk, tetapi beberapa detik kemudian, pandangan jatuh pada gawai yang di pegang wanita tersebut, serta sebuah bangku plastik yang berada tidak jauh darinya, di mana kursi itu sudah tergelak dengan posisi menyamping.
"Baik, tidak apa-apa."
"Terima kasih banyak dan maaf telah menganggu."
Arkan kembali bergegas masuk ke kamar Nadin, tetapi gerakannya terhenti oleh ucapan wanita yang bahkan tidak Arkan ketahui rupanya.
"Tetapi, kalau boleh saya ingatkan, jam malam di kosan ini untuk orang asing hanya sampai pukul sepuluh malam, sementara ini sudah hampir jam dua belas malam," sambung wanita asing tersebut.
"Terima kasih sudah mengingatkan. Saya akan pergi."
Karena takut Nadin terancam di keluarkan dari kosan, maka Arkan pun bergegas pergi.
Sepeninggalnya Arkan, wanita yang masih berdiri di depan kamar Nadin itu tersenyum sinis, kala ia menatap layar gawainya yang menampilkan sebuah rekaman suara.
***
Keesokan harinya, Dinda kembali datang ke kantor dengan seperti biasanya. Hanya saja, kali ini dia jauh lebih memperhatikan seseorang yang tidak pernah dia sangka-sangka adalah duri dalam hubungan cintanya dengan Arkan.Wanita berparas cantik yang terlihat lemah lembut itu, ternyata adalah seorang ibl*s yang menyamar sebagai manusia.B*d*hnya Dinda yang menerima Nadin bekerja tanpa merasa curiga sedikitpun pada wanita tersebut."Bu Dinda!" sahut seseorang yang membuat Dinda langsung tersadar dari lamunannya."Ada apa, Kinara?"Wanita bernama Kinara yang tidak lain adalah karyawan Dinda itu, terlihat mengigit bibir bawahnya kuat-kuat, seperti ragu ketika hendak mengatakan sesuatu."A-anu, Bu, sa-saya ...," ujar Kinara dengan sedikit terbata-bata.Namun, Dinda yang tengah memicingkan mata, seketika sadar, kalau ada sesuatu
Setelah mendapat persetujuan dari Kinara, Dinda kembali mempersilahkan karyawannya itu untuk kembali bekerja.Dinda tidak ingin, jika karyawannya yang lain akan merasa curiga, kalau dia dan Kinara mengobrol dengan cukup lama.Sepeninggalnya Kinara, Dinda pun segera meraih gagang telepon kantor, jari tangannya menekan beberapa buah nomor yang hendak dia hubungi."Iya, Bu, ada keperluan apa?" sahut seseorang dari balik telepon."Dzikri, tolong datang ke ruangan saya secepatnya. Kalau semuanya sudah selesai, bawa apa yang saya minta kemarin.""Baik, Bu!"Tidak lama kemudian, sambungan telepon terputus. Dinda kembali meletakkan gagang telepon pada tempatnya.Apa yang sudah Dinda katakan, kalau dia dan Dzikri akan bersikap profesional ketika berada di kantor, berbanding terbalik ketika berada di luar.***
"Ha-halo, ada apa, Bang?" tanya Dinda dengan sedikit terbata-bata, sesekali dia menggigit bibir, menunggu jawaban dari June."Kamu ada di mana?"Sontak, Dinda membeliak, secara spontan dia langsung menyandarkan tubuhnya pada meja kerja."Tentu saja aku ada di kantor, memangnya kenapa?""Aku akan ke sana sekarang!""Apa?!" teriak Dinda dengan cukup keras, hingga membuat Dzikri terlonjak. Dalam hati, Dzikri terus berucap syukur, karena dia tidak memiliki riwayat sakit jantung maupun darah tinggi. Kalau hal itu sampai terjadi, bisa-bisa riwayatnya benar-benar tamat gara-gara Dinda yang tidak bisa mengontrol diri."Lah, bukannya Abang ada lagi di luar kota, lantas kenapa tiba-tiba ingin bertemu denganku?" tanya Dinda yang dipenuhi oleh beribu kebingungan.Mendengar hal tersebut, Dzikri yang tengah meminum sebotol air mineral, hampir saja tersendak. Untung saja, Dinda tidak menyadari hal itu, kalau saja Dinda alias macan betina--panggilan akrab yang selalu Dzikri lontarkan pada wanita i
"Jadi, apa yang mau Abang bicarakan?"Dinda langsung membuka percakapan, ketika dirinya dan June sudah berada di sebuah kafe yang sangat sepi.Sesekali Dinda mengedarkan pandangan ke sekeliling, berharap ada tamu yang masuk ke kafe, sehingga suasana yang terasa diantara dirinya dan June tidak terlalu mencekam.Namun, seketika saja kedua bola mata Dinda membulat, kala dia melihat ada tulisan tutup yang terpampang di pintu masuk."Bang, kafenya lagi tutup, kenapa kita masuk ke sini. Ayo, kita cari kafe yang lain!"Di saat Dinda berdiri, hendak melangkahkan kaki, tiba-tiba saja June menarik tangan Dinda, hingga adiknya itu kembali terduduk di kursi."Sengaja gue sewa kafe ini, biar bisa ngobrol empat mata sama lu."Deg!Dinda menelan ludah, keringat dingin terasa membanjiri tubuhnya. Sesekali dia menggigit bibir, kala merasakan sorot tajam June mengarah langsung padanya."Memangnya apa yang mau Abang bicarakan?"June menghela napas panjang, kemudian merogoh sesuatu dari saku jaketnya. "
Waktu yang berjalan terasa jauh lebih singkat dari biasanya, hawa di sekitar ruangan terasa begitu menyesakkan dada. Sesekali Dinda mengetukkan jari telunjuknya pada meja kafe, berusaha mengusir jenuh dan ketegangan yang terus menghantui diri. Tidak ada obrolan yang terjadi diantara ketiganya, semua orang terdiam membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing.Namun, tanpa Dinda sadari, bahwa sedari tadi June sesekali melirik ke arahnya dengan tajam."Sebentar lagi Eyang datang, kamu harus bersiap menjelaskan semuanya, Dinda," ucap June memecah keheningan.Dinda menghela napas panjang, kembali mengangguk pelan."Iya, Bang.""Tidak usah panik, aku yakin kalau Pak Bramantyo tidak akan memarahimu." Dzikri berusaha menenangkan Dinda. Dia tahu kalau gadis itu tengah dilanda rasa ketakutan."Iya, aku tahu, Dzikri.""Kamu tahu, tetapi wajahmu sama sekali tidak memperlihatkan hal tersebut," celetuk Dzikri membuat Dinda langsung menoleh, menatapnya tajam."Diam!" geram Dinda seraya menggertakka
Sementara itu, tidak jauh dari kafe, Dzikri berlari mengejar June yang langkahnya begitu lebar, menghampiri mobil SUV hitam miliknya yang berada di tempat parkir.Ketika June hendak masuk ke mobil, Dzikri langsung menghalangi pergerakan June, hingga pria itu langsung melayangkan sorot mata tajam pada Dzikri."Jangan halangi jalan gue, Zik!""June, jangan main hakim sendiri! Bisa-bisa lu pecahin kepala orang. Gue tahu, lu lagi emosi, tapi gak gini juga, June."Dzikri berusaha mencegah June untuk pergi, tetapi pria itu malah berdecak, kemudian menoleh ke arah Dzikri seraya tersenyum sinis."Kenapa, hah?!" Tiba-tiba June mendorong tubuh Dzikri, hingga mundur beberapa langkah. "Dari awal lu selalu halangi gue, Zik. Kenapa? Apa jangan-jangan lu ada di pihak, Arkan?" tuduh June dengan tatapan setajam elang."Jangan lawak, June. Sejak kapan gue ada di pihak dia. Lu jangan nuduh gue sembarang."Meskipun begitu, June yang sudah dikuasai oleh emosi, tidak menghiraukan ucapan Dzikri dan langsung
Kebetulan sekali, di tempat yang berbeda, tepatnya di sebuah restoran. Secara terang-terangan Arkan bertemu dengan wanita selingkuhan di depan umum.Sebenarnya ini bukan kali pertama, bagi Nadin dan Arkan bertemu setelah mereka menjalin hubungan terlarang, hanya saja Nadin selalu khawatir, kalau aksi mereka berdua akan dipergoki oleh seseorang yang mereka kenal."Sayang, kenapa kamu malah ngajak aku ketemu di restoran dekat kantor, sih! Kamu cari mati banget," gerutu Nadin dengan bibir yang sedikit mengkerut.Nadin merasa kesal sekaligus marah, karena telah di jadikan selingkuhan oleh Arkan, sehingga tidak bisa bebas bertemu dan bermanja-manja pada pria idamannya tersebut secara bebas.Padahal kalau menurut Nadin, jika Arkan memilih untuk berpisah dengan Dinda, tidak ada yang perlu pria itu takutkan, karena dia juga bukan pria yang terlahir dari keluarga miskin ."Terus kamu mau kita bertemu di mana? Di kosan atau hotel gitu?" tanya Arkan dengan sewot, membuat bibir Nadin semakin meng
Nadin masih tampak gelagapan, mulutnya terbuka sedikit demi sedikit, seperti hendak mengatakan sesuatu.Akan tetapi, bak pahlawan berkuda putih di siang bolong. Arkan langsung menyelamatkan sang selingkuhan tepat di depan Dinda."Mungkin Nadin tidak bertemu dengan dia, makanya gak sempat diajak pergi gitu."Mendengar hal tersebut, Kinara hanya mengangkat sebelah alisnya seraya mengedikkan bahu."Ya, itu memang benar, kalau Nadin dan aku tidak berpapasan. Lalu, bagaimana denganmu, Nia?"Kinara balik bertanya pada Nia yang berdiri tepat di sampingnya. Di mana wanita itu pun turut mengedikkan bahu."Kami sempat berpapasan, tetapi Nadin tidak mengucapkan sepatah katapun."Nia dan Kinara masih asik menjatuhkan Nadin tepat di hadapan Dinda, membuat Nadin dan Arkan begitu kalang-kabut. Hingga mereka semua tidak sadar, kalau sedari tadi satu sudut bibir Dinda tersungging.Dalam hati, Dinda terus bertepuk tangan, memberikan semangat pada Nia dan Kinara untuk terus memojokkan Nadin dan Arkan. D
"Ada apa Fauzi dan ... siapa mereka?" tanya wanita paruh baya yang memakai tudung kepala dari anyaman bambu.Fauzi menghela napas panjang, dia bergegas turun dari teras, menghampiri kedua orang tuanya yang masih mematung di tempat dengan raut wajah kebingungan."Lebih baik kita ngobrol di dalam saja. Soalnya ini masalah yang cukup serius," balas Fauzi sambil menoleh ke belakang, menatap Dinda dan Dzikri sekilas.Sontak saja, kedua orang tua Fauzi saling pandang dengan cukup lama. Keduanya seakan-akan berbicara melalui lirikan mata. Fauzi yang sadar akan hal itu, kembali berbalik, melangkah ke hadapan Dinda dan Dzikri yang tengah bungkam."Mas, Mbak, ayo masuk! Biar kita bicarakan semuanya di dalam," ajak Fauzi dengan ramah kepada Dinda dan Dzikri."Baik, terima kasih. Ayo, Dinda kita masuk!""Ayo!"Baru ketika Dinda bangkit dari duduk, kedua orang tua Fauzi datang menghampirinya dan Dzikri."Iya, kalian boleh masuk dulu. Kami akan bersih-bersih sebentar," pesan Ibunya Fauzi."Baik, B
Sepanjang perjalanan menuju rumah kerabat mendiang kedua orang tua angkat Nadin, pikiran Dzikri dan Dinda terus saja berkecamuk.Dalam benak masing-masing, terus terbesit berbagai ribu pertanyaan mengenai alasan kenapa Nadin bisa sampai tega membunuh orang tua angkatnya.Entah hanya itu tuduhan semata atau memang benar begitu adanya. Tetapi, Dinda masih saja tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Tiba-tiba saja, dalam benak Dinda terlintas sekilas bayangan tentang Nadin yang pertama kali dia temui. Di mana wanita itu terlihat begitu polos dan baik, tampang seperti pembunuh maupun wanita perusak hubungan orang, benar-benar nyaris tak terlihat.Bagi Dinda, Nadin terlihat seperti wanita pada umumnya saja. Tidak ada sedikitpun rasa curiga dalam hatinya terhadap Nadin."Lagi ngelamunin apaan?" tanya Dzikri sembari menyenggol lengan Dinda.Sontak, Dinda menoleh, kemudian menggeleng pelan."Tidak, aku lagi memikirkan tentang Nadin saja. Aku--""Ini rumahnya," potong si wanita paruh baya
"Jadi, ini tempatnya?" tanya Dinda pada pria yang duduk di sampingnya, yaitu yang tidak lain adalah Dzikri.Kebetulan sekali, hari ini Dinda dan Dzikri memilih untuk tidak masuk kantor. Keduanya sepakat untuk datang ke desa tempat di mana dulu Nadin tinggal.Selain perjalannya yang cukup memakan waktu, belum lagi kondisi jalanan serta hal lainnya yang membuat Dinda dan Dzikri sampai di desa tersebut di luar perkiraan keduanya. Beberapa kali Dzikri menghela napas, kala netranya menatap jalanan yang hanya berlapiskan batu serta tanah merah. Tidak bisa dia bayangkan, bagaimana kondisi jalan ini ketika diterpa hujan."Sepertinya memang betul. Tetapi, apa kamu merasa tidak aneh?" tanya Dzikri sambil menoleh ke arah Dinda. Kebetulan dia tengah menepikan mobil di pinggir jalan, berisitirahat sejenak."Maksudmu?" Dinda malah balik bertanya sambil menatap layar gawainya.Wanita itu sedikit kesal, karena jaringan internet susah sekali dia dapatkan ketika masuk ke desa ini. Malahan sedari tadi
"Mas, ada apa? Coba ceritakan secara jelas!" pinta Ella pada Tomo.Tomo yang tampak begitu kebingungan dan putus asa, terus menjambak rambutnya dengan kasar seraya terus berjalan mondar-mandir, dia tidak terlalu menghiraukan permintaan istrinya.Ella yang sadar, kalau Tomo tengah amat kebingungan, gegas menghampiri Tomo, mengenggam tangan suaminya itu dengan kasar."Mas, sudah diam dulu! Sekarang ceritakan padaku, sebenarnya ada apa?! Aku tidak akan pernah tahu, kalau kamu terus bersikap seperti ini."Ella yang terlanjur kesal dengan suaminya, tidak ragu berteriak di depan wajah Tomo hingga pria itu terpaku di tempat.Sesekali Tomo menghela napas panjang, dia bergegas melangkah menuju kursi kayu yang ada di depan rumahnya dan segera mendaratkan bobot tubuh di atasnya."Ella, kamu tahu, Burhan, 'kan?""Tentu saja, memangnya siapa yang tidak tahu dengan Burhan, dia 'kan sosok orang kaya yang--""Stop!" Tiba-tiba saja Tomo berteriak, memotong ucapan Ella dengan cepat, hingga wanita itu t
Arkan tampak gelagapan, kedua bola matanya bergerak dengan cepat, terlihat pula jika jari tangannya saling bertautan, meremas satu sama lain.Kentara sekali, kalau Arkan begitu gugup dengan pertanyaan Dinda. Malahan sesekali dia menelan ludah, berusaha menenangkan dirinya sendiri."Be-benarkah seperti itu, Sayang? Ah, gila sekali! Padahal dia mengatakan padaku sudah mengajak beberapa karyawan yang lain," dalih Arkan di depan Dinda. Malahan Arkan sampai menyilangkan tangan di dada sembari memasang wajah kesalnya. Melihat akting Arkan yang cukup baik, Dinda langsung tersenyum tipis. Dalam hati, dia tidak ragu memberikan Arkan dua jempol sekaligus."Tentu saja, jadi kamu tidak tahu soal itu?"Arkan menggeleng cepat, berusaha berakting sebaik mungkin di depan Dinda. "Tidak, Sayang. Dia benar-benar pendusta, aku benci manusia seperti itu," ucap Arkan dengan penuh penekanan di tiap kalimat.Mendengar hal tersebut, rasanya perut Dinda langsung bergejolak. Ingin rasanya dia memuntahkan sei
Dinda mengangguk pelan, dia meletakkan beberapa makanan yang sempat dia bawa dari rumah, termasuk buah-buahan dan makanan sehat untuk Arkan.Meskipun Dinda telah di sakiti oleh Arkan, tetapi dia masih sedikit memiliki rasa peri kemanusiaan pada orang tersebut. Dalam pikiran Dinda, dia tidak akan berhenti berbuat baik pada orang lain, meskipun orang tersebut justru berbuat jahat padanya. Karena biar Tuhan saja yang membalas semuanya. "Baik, Ma." Dinda duduk tepat di samping Ella."Dinda, bagaimana dengan persiapan pernikahannya?" tanya Ella dengan begitu antusias sembari mengenggam tangan calon menantunya.Dinda yang sebenarnya cukup malas, ketika membahas tentang pernikahannya dengan Arkan, hanya bisa menjawab dengan asal-asalan saja. Terpenting bagi Dinda adalah, apa yang dia berikan pada Ibunya Arkan cukup masuk akal. Biarkan saja wanita itu tahu semuanya nanti."Ya, begitu saja, Ma. Lagipula pernikahan kami masih lama. Jadi, hanya baru beberapa persen saja."Ella menghela napas
Setelah mendapatkan telepon dari Ella--yang tak lain adalah Ibunya Arkan. Sore harinya, Dinda pun bersiap-siap untuk pergi ke rumah kekasihnya itu. Awalnya Anjani melarang Dinda untuk pergi ke rumah Arkan. Tetapi, June mempertegas Ibunya kembali agar tidak usah melarang Dinda, itu semua demi kelancaran rencana yang telah mereka susun. Bisa-bisa keluarga Arkan akan curiga, kalau misalnya keluarga Dinda sudah mengetahui semua tentang kebusukan yang Arkan sembunyikan selama ini. "Ibu, tidak akan ikut denganku?" tanya Dinda pada Ibunya yang tengah duduk di tepi ranjang. Anjani pun memalingkan wajah ke arah jendela, kentara sekali kalau dia sedang kesal dengan anak bungsunya itu. "Ya, sudah, kalau Ibu tidak mau ikut, biar aku pergi sendiri saja. Lagipula aku juga takut, kalau Ibu ikut nanti, bisa-bisa Ibu kehilangan kendali," sambung Dinda seraya melenggang dari hadapan Ibunya. Anjani pun tidak menghiraukan ucapan Dinda, dia baru menoleh ketika melihat Dinda sudah berjalan keluar kama
Keesokan paginya, Dinda datang ke rumah June seorang diri. Sesampainya di sana, salah satu asisten rumah tangga memberitahunya, kalau sedari kemarin June tidak pulang ke rumah. Maka dari itu, Dinda lebih memilih untuk masuk dan menunggu di ruang tamu. Hingga selang satu jam kemudian, terdengar suara deru kendaraan dari luar rumah. Dinda sempat bangkit, mengintip melalui celah-celah jendela dan tidak lama kemudian, dia kembali duduk saat tahu jika mobil yang datang tersebut adalah milik Abangnya. "Dinda, sedang apa kamu di sini?" tanya June secara spontan, kala dia melihat Dinda tengah duduk di sofa ruang tamu rumahnya. Dinda bangkit dari duduk, berjalan ke arah June, menatap Kakak kandungnya itu dengan tajam. "Lah, memangnya salah aku berkunjung ke sini?" "Tentu saja tidak, Nak!" Sontak, Dinda langsung menoleh ke sumber suara, kedua manik matanya melebar, kala melihat sang Ibu berjalan ke arahnya. "I-Ibu," ucap Dinda dengan terbata-bata. Dia masih tidak bergerak dari posisi aw
"Jadi, kekasih kamu di rawat di rumah sakit ini?" tanya Dinda saat keduanya sudah sampai di rumah sakit.Nadin yang sedari tadi tidak bisa tenang, hanya bisa mengangguk pelan tanpa berani mendongak. Dia tidak menyangka, kalau Dinda akan ikut dengannya.Malahan beberapa kali Nadin menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri, di mana sedari tadi jantungnya terus berdetak dengan tidak karuan, belum lagi keringat dingin terasa membasahi tubuhnya."Nadin, mau ke mana? Memangnya kamu sudah tahu di mana tempat pacarmu di rawat?" tanya Dinda tepat di depan meja informasi. "Sa-saya sudah tahu, Bu!" balas Nadin sambil menoleh selama beberapa detik, kemudian kembali melanjutkan langkahnya.Melihat hal tersebut, Dinda hanya tersenyum tipis kemudian kembali mengikuti langkah Nadin."Memangnya di mana pacarmu di rawat? Saya rasa kamu terus saja berjalan sedari tadi, seperti tanpa tujuan," sindir Dinda pada Nadin yang raut wajahnya tampak begitu tegang.Sengaja Dinda terus memperma