Keesokan harinya, Dinda kembali datang ke kantor dengan seperti biasanya. Hanya saja, kali ini dia jauh lebih memperhatikan seseorang yang tidak pernah dia sangka-sangka adalah duri dalam hubungan cintanya dengan Arkan.
Wanita berparas cantik yang terlihat lemah lembut itu, ternyata adalah seorang ibl*s yang menyamar sebagai manusia.
B*d*hnya Dinda yang menerima Nadin bekerja tanpa merasa curiga sedikitpun pada wanita tersebut.
"Bu Dinda!" sahut seseorang yang membuat Dinda langsung tersadar dari lamunannya.
"Ada apa, Kinara?"
Wanita bernama Kinara yang tidak lain adalah karyawan Dinda itu, terlihat mengigit bibir bawahnya kuat-kuat, seperti ragu ketika hendak mengatakan sesuatu.
"A-anu, Bu, sa-saya ...," ujar Kinara dengan sedikit terbata-bata.
Namun, Dinda yang tengah memicingkan mata, seketika sadar, kalau ada sesuatu yang tidak beres dengan Kinara. Di tambah lagi, sesekali Kinara menoleh ke arah Nadin yang tengah membereskan mejanya.
"Ayo, masuk ke ruangan saya!" ajak Dinda pada Kinara yang langsung di setujui olehnya.
"Baik, Bu. Tetapi, tunggu sebentar saya akan ambil berkasnya dulu!"
Kinara berusaha berdalih di hadapan karyawan lain, termasuk Nadin. Agar wanita itu tidak curiga dengan maksud dan tujuannya.
"Baik, Kinara."
Dinda pun bergegas masuk lebih dulu, tetapi sebelum itu, dia sempat melirik ke arah Nadin yang secara diam-diam bermain ponsel.
Dinda berdehem, dia menyilangkan kedua tangannya di dada seraya sesekali memperhatikan pegawainya yang lain.
Sejauh ini, Dinda mulai menyadari, kalau Nadin mulai memperlihatkan sikap aslinya, di mana wanita itu lebih sering bermain ponsel akhir-akhir ini.
***
"Kinara, saya tahu kalau kamu mau berbicara dengan saya mengenai hal yang cukup serius."
Deg!
Kinara terperanjat, dia melongo begitu saja, tidak percaya dengan apa yang Dinda katakan.
Tidak pernah Kinara sangka, kalau Dinda bisa membaca isi hatinya dengan cukup tepat. Kinara akui, kalau bosnya itu sangat pintar.
"Maaf sebelumnya, Bu. Kalau saya cukup lancang," ucap Kinara seraya menunduk. Kali ini dia tengah duduk di hadapan Dinda, membuat jantungnya terpacu lebih cepat dari biasanya.
Bukan apa-apa, hanya saja Kinara takut, kalau bosnya itu tidak akan mempercayai dirinya dan menganggap Kinara hendak mengadu domba atau bahkan menjelek-jelekkan seseorang.
Saking takutnya, Kinara sampai tidak bisa tidur semalaman, sehingga lingkaran hitam tercetak dengan jelas di bawah matanya. Belum lagi, Kinara terus menimang-nimang, antara akan memberitahukan semuanya pada Dinda atau justru akan memendamnya seorang diri saja.
"Tidak apa-apa, Kinara. Katakan saja!" titah Dinda berubah meredam ketakutan yang tengah menghantui Kinara.
Karena Dinda tahu, kalau wanita itu sepertinya tengah dirundung rasa takut yang amat besar.
Kinara mengangguk, dia sempat menghela napasnya panjang dan segera merogoh gawai dari saku blazernya.
Tangan Kinara mengotak-atik sesuatu sesuatu di dalamnya, sebelum akhirnya dia menyerahkan gawai miliknya ke hadapan Dinda.
"Coba Ibu putar sendiri rekamannya, mungkin setelah itu Ibu akan mengerti dengan semuanya."
"Baik, saya akan dengarkan rekaman suara ini."
Tanpa ragu, Dinda langsung menghidupkan rekaman suara yang Kinara berikan. Kedua tangan wanita berpakaian modis itu terlihat mengepal di atas meja.
Dinda terpejam, dia memijat pelipisnya secara perlahan, ketika rekaman suara tersebut memperdengarkan obrolan antara Arkan dan seseorang yang tidak asing baginya, siapa lagi kalau bukan Nadin.
Sementara itu, Kinara yang melihat hal tersebut, hanya bisa menunduk sembari mengigit bibir bawahnya kuat-kuat, keringat pun terasa membanjiri tubuhnya, padahal di ruangan Dinda terpasang sebuah alat pendingin.
"Kinara, dari mana kamu dapat rekaman tersebut?" tanya Dinda dengan penuh penekanan.
Kinara yang merasa amat ketakutan, tidak bisa berkutik sedikitpun, selain menjelaskannya semuanya pada Dinda.
"Kemarin malam, saya tidak sengaja melihat motor yang Ibu berikan pada Pak Arkan berhenti di depan kosan saya. Awalnya saya sedikit ragu, tetapi setelah saya melihat plat nomornya, saya jadi yakin, kalau itu motor milik Pak Arkan."
"Lalu?" desak Dinda pada Kinara.
"Saya memperhatikannya dari kejauhan dan saya lihat, kalau orang yang saya yakini Pak Arkan itu masuk ke kamar Nadin dan--"
"Kamu merekam percakapan keduanya?"
Dinda memotong ucapan Kinara, membuat wanita yang masih menunduk dalam seraya meremas tangan dengan kasar itu mengangguk pelan.
"Lalu, apa maksudmu menunjukannya pada saya?"
Deg!
Dada Kinara semakin terpacu dengan cepat, keringat sebesar biji jagung terasa membanjiri seluruh tubuhnya.
Bibir Kinara bergetar hebat, begitupun dengan seluruh tubuhnya yang seperti sudah mati rasa.
"I-itu, sa-saya--"
"Terima kasih, Kinara."
Deg!
Kali ini, jantung Kinara seperti berhenti berdetak, wanita itu langsung mendongak, menatap Dinda dengan tatapan penuh kebingungan.
"Ma-maksud, Ibu Dinda?"
Dinda tersenyum, dia bangkit dari kursi kerjanya, kemudian menarik Kinara untuk ikut dengannya menuju sebuah sofa.
Bibir Dinda tidak henti-hentinya tersungging ke atas, membuat Kinara semakin bertanya-tanya. Apa bosnya itu sangat marah atau justru sebalik.
"Terima kasih, karena kamu sudah memberikan saya bukti yang amat sangat berharga. Saya tidak tahu, kalau kamu akan melakukan hal sebesar ini."
Kinara mengigit bibirnya, ekspresi kebingungan tergambar jelas di wajahnya.
"Saya masih kurang paham, Bu," lirih Kinara.
"Saya sudah tahu, kalau Arkan dan Nadin memiliki hubungan khusus."
Kedua bola mata Kinara melebar, bibirnya terlihat bergerak bergetar hebat.
"Jadi, Ibu Dinda sudah tahu semuanya?"
Dinda mengangguk, dia meraih tangan Kinara, mengenggamnya dengan cukup erat.
"Kinara, kamu mau 'kan membantu saya?" pinta Dinda pada Kinara dengan penuh harap.
"Ibu, butuh bantuan apa?"
"Bisa tolong kamu awasi Nadin dan beri tahu saya, kalau misalnya Arkan datang ke kosan Nadin lagi, kamu mau, 'kan?"
Setelah mendapat persetujuan dari Kinara, Dinda kembali mempersilahkan karyawannya itu untuk kembali bekerja.Dinda tidak ingin, jika karyawannya yang lain akan merasa curiga, kalau dia dan Kinara mengobrol dengan cukup lama.Sepeninggalnya Kinara, Dinda pun segera meraih gagang telepon kantor, jari tangannya menekan beberapa buah nomor yang hendak dia hubungi."Iya, Bu, ada keperluan apa?" sahut seseorang dari balik telepon."Dzikri, tolong datang ke ruangan saya secepatnya. Kalau semuanya sudah selesai, bawa apa yang saya minta kemarin.""Baik, Bu!"Tidak lama kemudian, sambungan telepon terputus. Dinda kembali meletakkan gagang telepon pada tempatnya.Apa yang sudah Dinda katakan, kalau dia dan Dzikri akan bersikap profesional ketika berada di kantor, berbanding terbalik ketika berada di luar.***
"Ha-halo, ada apa, Bang?" tanya Dinda dengan sedikit terbata-bata, sesekali dia menggigit bibir, menunggu jawaban dari June."Kamu ada di mana?"Sontak, Dinda membeliak, secara spontan dia langsung menyandarkan tubuhnya pada meja kerja."Tentu saja aku ada di kantor, memangnya kenapa?""Aku akan ke sana sekarang!""Apa?!" teriak Dinda dengan cukup keras, hingga membuat Dzikri terlonjak. Dalam hati, Dzikri terus berucap syukur, karena dia tidak memiliki riwayat sakit jantung maupun darah tinggi. Kalau hal itu sampai terjadi, bisa-bisa riwayatnya benar-benar tamat gara-gara Dinda yang tidak bisa mengontrol diri."Lah, bukannya Abang ada lagi di luar kota, lantas kenapa tiba-tiba ingin bertemu denganku?" tanya Dinda yang dipenuhi oleh beribu kebingungan.Mendengar hal tersebut, Dzikri yang tengah meminum sebotol air mineral, hampir saja tersendak. Untung saja, Dinda tidak menyadari hal itu, kalau saja Dinda alias macan betina--panggilan akrab yang selalu Dzikri lontarkan pada wanita i
"Jadi, apa yang mau Abang bicarakan?"Dinda langsung membuka percakapan, ketika dirinya dan June sudah berada di sebuah kafe yang sangat sepi.Sesekali Dinda mengedarkan pandangan ke sekeliling, berharap ada tamu yang masuk ke kafe, sehingga suasana yang terasa diantara dirinya dan June tidak terlalu mencekam.Namun, seketika saja kedua bola mata Dinda membulat, kala dia melihat ada tulisan tutup yang terpampang di pintu masuk."Bang, kafenya lagi tutup, kenapa kita masuk ke sini. Ayo, kita cari kafe yang lain!"Di saat Dinda berdiri, hendak melangkahkan kaki, tiba-tiba saja June menarik tangan Dinda, hingga adiknya itu kembali terduduk di kursi."Sengaja gue sewa kafe ini, biar bisa ngobrol empat mata sama lu."Deg!Dinda menelan ludah, keringat dingin terasa membanjiri tubuhnya. Sesekali dia menggigit bibir, kala merasakan sorot tajam June mengarah langsung padanya."Memangnya apa yang mau Abang bicarakan?"June menghela napas panjang, kemudian merogoh sesuatu dari saku jaketnya. "
Waktu yang berjalan terasa jauh lebih singkat dari biasanya, hawa di sekitar ruangan terasa begitu menyesakkan dada. Sesekali Dinda mengetukkan jari telunjuknya pada meja kafe, berusaha mengusir jenuh dan ketegangan yang terus menghantui diri. Tidak ada obrolan yang terjadi diantara ketiganya, semua orang terdiam membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing.Namun, tanpa Dinda sadari, bahwa sedari tadi June sesekali melirik ke arahnya dengan tajam."Sebentar lagi Eyang datang, kamu harus bersiap menjelaskan semuanya, Dinda," ucap June memecah keheningan.Dinda menghela napas panjang, kembali mengangguk pelan."Iya, Bang.""Tidak usah panik, aku yakin kalau Pak Bramantyo tidak akan memarahimu." Dzikri berusaha menenangkan Dinda. Dia tahu kalau gadis itu tengah dilanda rasa ketakutan."Iya, aku tahu, Dzikri.""Kamu tahu, tetapi wajahmu sama sekali tidak memperlihatkan hal tersebut," celetuk Dzikri membuat Dinda langsung menoleh, menatapnya tajam."Diam!" geram Dinda seraya menggertakka
Sementara itu, tidak jauh dari kafe, Dzikri berlari mengejar June yang langkahnya begitu lebar, menghampiri mobil SUV hitam miliknya yang berada di tempat parkir.Ketika June hendak masuk ke mobil, Dzikri langsung menghalangi pergerakan June, hingga pria itu langsung melayangkan sorot mata tajam pada Dzikri."Jangan halangi jalan gue, Zik!""June, jangan main hakim sendiri! Bisa-bisa lu pecahin kepala orang. Gue tahu, lu lagi emosi, tapi gak gini juga, June."Dzikri berusaha mencegah June untuk pergi, tetapi pria itu malah berdecak, kemudian menoleh ke arah Dzikri seraya tersenyum sinis."Kenapa, hah?!" Tiba-tiba June mendorong tubuh Dzikri, hingga mundur beberapa langkah. "Dari awal lu selalu halangi gue, Zik. Kenapa? Apa jangan-jangan lu ada di pihak, Arkan?" tuduh June dengan tatapan setajam elang."Jangan lawak, June. Sejak kapan gue ada di pihak dia. Lu jangan nuduh gue sembarang."Meskipun begitu, June yang sudah dikuasai oleh emosi, tidak menghiraukan ucapan Dzikri dan langsung
Kebetulan sekali, di tempat yang berbeda, tepatnya di sebuah restoran. Secara terang-terangan Arkan bertemu dengan wanita selingkuhan di depan umum.Sebenarnya ini bukan kali pertama, bagi Nadin dan Arkan bertemu setelah mereka menjalin hubungan terlarang, hanya saja Nadin selalu khawatir, kalau aksi mereka berdua akan dipergoki oleh seseorang yang mereka kenal."Sayang, kenapa kamu malah ngajak aku ketemu di restoran dekat kantor, sih! Kamu cari mati banget," gerutu Nadin dengan bibir yang sedikit mengkerut.Nadin merasa kesal sekaligus marah, karena telah di jadikan selingkuhan oleh Arkan, sehingga tidak bisa bebas bertemu dan bermanja-manja pada pria idamannya tersebut secara bebas.Padahal kalau menurut Nadin, jika Arkan memilih untuk berpisah dengan Dinda, tidak ada yang perlu pria itu takutkan, karena dia juga bukan pria yang terlahir dari keluarga miskin ."Terus kamu mau kita bertemu di mana? Di kosan atau hotel gitu?" tanya Arkan dengan sewot, membuat bibir Nadin semakin meng
Nadin masih tampak gelagapan, mulutnya terbuka sedikit demi sedikit, seperti hendak mengatakan sesuatu.Akan tetapi, bak pahlawan berkuda putih di siang bolong. Arkan langsung menyelamatkan sang selingkuhan tepat di depan Dinda."Mungkin Nadin tidak bertemu dengan dia, makanya gak sempat diajak pergi gitu."Mendengar hal tersebut, Kinara hanya mengangkat sebelah alisnya seraya mengedikkan bahu."Ya, itu memang benar, kalau Nadin dan aku tidak berpapasan. Lalu, bagaimana denganmu, Nia?"Kinara balik bertanya pada Nia yang berdiri tepat di sampingnya. Di mana wanita itu pun turut mengedikkan bahu."Kami sempat berpapasan, tetapi Nadin tidak mengucapkan sepatah katapun."Nia dan Kinara masih asik menjatuhkan Nadin tepat di hadapan Dinda, membuat Nadin dan Arkan begitu kalang-kabut. Hingga mereka semua tidak sadar, kalau sedari tadi satu sudut bibir Dinda tersungging.Dalam hati, Dinda terus bertepuk tangan, memberikan semangat pada Nia dan Kinara untuk terus memojokkan Nadin dan Arkan. D
Waktu istirahat sudah berakhir, semua karyawan kembali bekerja dengan seperti biasanya. Nia dan Kinara pun sudah pamit pada Dinda untuk kembali ke kantor, hingga di restoran hanya tinggal Dinda dan Arkan saja."Sayang, kayaknya uang yang kemarin kurang, deh," ucap Arkan secara tiba-tiba, membuat Dinda bergegas menoleh ke arahnya dengan satu alis terangkat. "Emm, kalau boleh aku bisa gak minta uang tambahan lagi."Dinda menghela napas panjang, ketika mendengar permintaan Arkan yang Dinda pun tahu sekarang, kalau uangnya tersebut di gunakan bukan untuk persiapan pernikahan.Melainkan untuk membiayai selingkuhan Arkan yang tidak lain adalah Nadin dan untuk kali ini, Dinda tidak akan tertipu olehnya lagi."Memangnya buat apa lagi, Sayang?" tanya Dinda seraya menatap Arkan dengan intens."Ya, untuk biaya pernikahan!" dalih Arkan. Anehnya lagi, pria itu malah memalingkan wajah, seolah-olah takut saling beradu pandang dengan Dinda.Mungkin Arkan takut, kalau kebohongan akan terbongkar melal