"Ada apa Fauzi dan ... siapa mereka?" tanya wanita paruh baya yang memakai tudung kepala dari anyaman bambu.Fauzi menghela napas panjang, dia bergegas turun dari teras, menghampiri kedua orang tuanya yang masih mematung di tempat dengan raut wajah kebingungan."Lebih baik kita ngobrol di dalam saja. Soalnya ini masalah yang cukup serius," balas Fauzi sambil menoleh ke belakang, menatap Dinda dan Dzikri sekilas.Sontak saja, kedua orang tua Fauzi saling pandang dengan cukup lama. Keduanya seakan-akan berbicara melalui lirikan mata. Fauzi yang sadar akan hal itu, kembali berbalik, melangkah ke hadapan Dinda dan Dzikri yang tengah bungkam."Mas, Mbak, ayo masuk! Biar kita bicarakan semuanya di dalam," ajak Fauzi dengan ramah kepada Dinda dan Dzikri."Baik, terima kasih. Ayo, Dinda kita masuk!""Ayo!"Baru ketika Dinda bangkit dari duduk, kedua orang tua Fauzi datang menghampirinya dan Dzikri."Iya, kalian boleh masuk dulu. Kami akan bersih-bersih sebentar," pesan Ibunya Fauzi."Baik, B
[Tinggal selangkah lagi menuju kesuksesan,] tulis seseorang dengan nama akun Putri Pratama.Dinda mengernyitkan dahi, ketika akun tersebut kembali muncul di berandanya. Dia tidak ingat, kapan pertama kali menkonfirmasi pertemanan dengan akun tersebut.Karena rasa penasaran yang menggebu-gebu, Dinda pun membuka profil orang tersebut."Berpacaran dengan Nadin putri," gumam Dinda seraya mengernyitkan dahi, kala membaca profil lain yang tertulis di aku tersebut.Merasa tidak terlalu penting, Dinda pun segera menekan tombol kembali dan menyimpan gawai di meja kerja."Dari pada memperhatikan hal yang tidak penting, lebih baik aku bekerja saja," pikir Dinda.***"Nadin, main ponsel saja. Ingat waktu, kamu harus bekerja!"Dinda menegur seorang karyawannya yang ketahuan bermain ponsel ketika bekerja. Wanita bernama
***[Terima kasih, Sayang untuk uangnya, sudah Mas terima.]Dinda menyeringai, kala menatap layar ponselnya yang tiba-tiba menampilkan sebuah pesan dari Arkan.Tanpa membalas pesan tersebut, Dinda kembali memasukan benda pipih itu ke saku blazer, kedua manik matanya langsung berfokus pada salah seorang pekerja yang tidak lain adalah Nadin.Dalam benaknya, Dinda terus bertanya-tanya mengenai sejak kapan Arkan dan Nadin mengkhianati dirinya."Nadin, kemari kamu!" ketua Dinda, memuat sang empunya nama sedikit terperanjat.Nadin yang Dinda kenal sedikit polos, baik dan cukup kompeten, ternyata adalah ular yang diam-diam menusuknya dari belakang."Ada apa, ya, Bu?""Cepat masuk ke ruangan saya!"Para pekerja lainnya sedikit berbisik satu sama lain, mereka merasa ada ya
"Bu-Bu Anjani!" ujar Nadin seraya bangkit dari duduk, dia sedikit terbata-bata. Matanya bergerak dengan cukup cepat, bibirnya pun ikut pucat pasi layaknya mayat.Bibir Nadin terlihat bergerak secara tidak teratur, tepat di bawah meja sana, kedua tangannya saling meremas satu sama lain."Ma-maafkan, saya, Bu. I-itu semua tidak seperti yang Ibu dengar, sa-saya benar-benar minta maaf." Nadin menunduk, wanita berambut pirang itu mengigit bibir bawahnya kuat-kuat.Kedatangan Anjani yang tidak lain adalah mantan pemilik perusahaan tempat Nadin bekerja, berhasil membuat semua orang melongo, termasuk Nadin sendiri.Semua orang merasa, kalau Nadin akan berada dalam masalah besar, karena secara tidak sengaja telah melontarkan kata-kata kasar pada wanita yang di kenal sebagai anak dari pemilik perusahaan tersukses tahun ini.Secara bersamaan, Dinda yang mendengar adanya suara keributan di l
"Eyang Putri!"Dinda berteriak kala melihat seorang wanita paruh baya yang tengah duduk di kursi roda seraya menikmati sebuah apel.Mega--yang tak lain adalah nama asli dari Eyang Putri, menoleh ke sumber suara, seulas senyuman terpancar dari bibirnya, ketika melihat cucu perempuan satu-satunya itu datang."Ya ampun, cucu Eyang datang, tapi gak kasih kabar dulu," ujar Mega seraya merangkul Dinda dengan penuh cinta."Maafin, Dinda, Eyang. Soalnya Dinda sama Ibu dadakan ke sininya, jadi gak sempet kabarin, Eyang."Mega menggeleng, dia mengusap rambut hitam legam milik cucunya itu dengan penuh kasih sayang."Tidak apa-apa, Sayang. Eyang, hanya sedih, karena gak bisa nyiapin makanan kesukaan kamu."Pandangan Mega pun tidak lepas memperhatikan ke arah tangan Dinda."Lihatlah, kamu sangat kurus, Dinda. Apa kamu
Malam harinya, sepulang dari kediaman Bramantyo, Arkan yang mengendarai motor matic yang diberikan oleh Dinda sebagai kado ulang tahunnya yang ke-28.Melaju dengan kecepatan penuh, Arkan membelah jalanan yang cukup ramai, bermaksud menemui Nadin yang tidak bisa di hubungi sedari siang.Sesampai di depan kosan Nadin, Arkan memarkirkan motornya secara sembarangan, kemudian dia langsung mengenakan topi dan bergegas melangkah menuju kamar Nadin yang berada paling pojok.Sesekali Arkan memperhatikan sekitar, takut ada orang yang memergoki aksinya. Apalagi Arkan tahu, kalau kosan ini banyak di huni oleh karyawan yang bekerja di kantor Dinda.Tok ... tok ....Tidak lama kemudian, pintu terbuka, Arkan terperangah ketika melihat penampilan Nadin tampak jauh berbeda dari biasanya, di mana rambut acak-acakan dan matanya tampak begitu sayu."Ada apa?" tanya Nadin tanpa b
Keesokan harinya, Dinda kembali datang ke kantor dengan seperti biasanya. Hanya saja, kali ini dia jauh lebih memperhatikan seseorang yang tidak pernah dia sangka-sangka adalah duri dalam hubungan cintanya dengan Arkan.Wanita berparas cantik yang terlihat lemah lembut itu, ternyata adalah seorang ibl*s yang menyamar sebagai manusia.B*d*hnya Dinda yang menerima Nadin bekerja tanpa merasa curiga sedikitpun pada wanita tersebut."Bu Dinda!" sahut seseorang yang membuat Dinda langsung tersadar dari lamunannya."Ada apa, Kinara?"Wanita bernama Kinara yang tidak lain adalah karyawan Dinda itu, terlihat mengigit bibir bawahnya kuat-kuat, seperti ragu ketika hendak mengatakan sesuatu."A-anu, Bu, sa-saya ...," ujar Kinara dengan sedikit terbata-bata.Namun, Dinda yang tengah memicingkan mata, seketika sadar, kalau ada sesuatu
Setelah mendapat persetujuan dari Kinara, Dinda kembali mempersilahkan karyawannya itu untuk kembali bekerja.Dinda tidak ingin, jika karyawannya yang lain akan merasa curiga, kalau dia dan Kinara mengobrol dengan cukup lama.Sepeninggalnya Kinara, Dinda pun segera meraih gagang telepon kantor, jari tangannya menekan beberapa buah nomor yang hendak dia hubungi."Iya, Bu, ada keperluan apa?" sahut seseorang dari balik telepon."Dzikri, tolong datang ke ruangan saya secepatnya. Kalau semuanya sudah selesai, bawa apa yang saya minta kemarin.""Baik, Bu!"Tidak lama kemudian, sambungan telepon terputus. Dinda kembali meletakkan gagang telepon pada tempatnya.Apa yang sudah Dinda katakan, kalau dia dan Dzikri akan bersikap profesional ketika berada di kantor, berbanding terbalik ketika berada di luar.***