[Tinggal selangkah lagi menuju kesuksesan,] tulis seseorang dengan nama akun Putri Pratama.
Dinda mengernyitkan dahi, ketika akun tersebut kembali muncul di berandanya. Dia tidak ingat, kapan pertama kali menkonfirmasi pertemanan dengan akun tersebut.
Karena rasa penasaran yang menggebu-gebu, Dinda pun membuka profil orang tersebut.
"Berpacaran dengan Nadin putri," gumam Dinda seraya mengernyitkan dahi, kala membaca profil lain yang tertulis di aku tersebut.
Merasa tidak terlalu penting, Dinda pun segera menekan tombol kembali dan menyimpan gawai di meja kerja.
"Dari pada memperhatikan hal yang tidak penting, lebih baik aku bekerja saja," pikir Dinda.
***
"Nadin, main ponsel saja. Ingat waktu, kamu harus bekerja!"
Dinda menegur seorang karyawannya yang ketahuan bermain ponsel ketika bekerja. Wanita bernama Nadin putri itu hanya menunduk dalam sembari menyimpan kembali gawainya.
Merasa akan teringat suatu hal, Dinda yang sudah melangkah, kembali berhenti secara spontan. Dia melirik ke arah Nadin yang tengah berkutat dengan komputer.
"Nadin, jangan sampai performa kerja kamu turun, hanya gara-gara kamu berpacaran. Kamu tahu, 'kan kalau saya tidak suka hal itu?"
"I-iya, saya tahu, Bu."
Nadin yang merasa di perhatikan oleh bosnya itu, hanya mampu menunduk, tidak berani berbuat banyak.
"Ini semua berlaku untuk kalian, tidak hanya Nadin seorang!" Dinda memperingatkan semua karyawannya, baik itu wanita maupun pria.
"Baik, Bu."
Di saat Dinda hendak kembali melangkah, tiba-tiba saja pintu terbuka, menampilkan seorang pria yang memakai jaket hitam yang di padukan dengan kaos putih dan celana yang senada.
Pria itu terlihat cukup tampan dengan tubuhnya yang sangat kekar, belum lagi rahangnya tampak kokoh dengan hidung mancung dan mata yang begitu tajam.
"Sayang, tumben datang ke sini, ada apa?"
Mata pria yang Dinda panggil sayang itu terlihat menelisik seisi ruangan.
"A-ah, aku kangen sama kamu, Sayang."
Dinda tersipu malu, di gandengnya tangan pria itu di hadapan para karyawannya yang masih sibuk bekerja.
"Sayang, dua bulan lagi kita nikah, loh!"
Pria yang tidak lain adalah Arkan--calon suami Dinda, langsung menarik tangan wanita yang akan dia nikahi keluar dari tempat kerja para karyawan.
Arkan malas, kalau Dinda begitu gencar memamerkan kemesraannya di depan orang banyak.
"Aku tahu, Sayang. Kamu sudah menyiapkan segala halnya, 'kan?"
Dinda mengangguk dengan begitu antusias, dia tidak bisa menyembunyikan senyumnya di hadapan Arkan.
"Udah, Sayang. Hampir beres!"
"Sayang, boleh transfer sepuluh juta, gak?"
Dinda mengernyitkan dahi, dia merasa kebingungan dengan Arkan yang tiba-tiba meminta uang.
"Lah, untuk apa, Sayang? Bukannya kemarin aku baru transfer sama kamu."
Arkan terlihat kebingungan, dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, matanya pun ikut bergerak dengan cepat.
Karena merasa di perhatikan oleh Dinda, Arkan pun kembali bersikap seolah biasa saja.
"Ya, itu untuk kebutuhan sovenir, Sayang. 'Kan, Mas, gak mau kamu urusin banyak hal, takut kamu kecapean."
"Ya, udah, nanti aku TF, ya, Sayang."
"Iya, Sayangku. Makin cinta, deh!"
***
Karena merasa tidak memiliki rasa curiga sedikitpun, Dinda mentransferkan uang yang Arkan minta padanya dengan suka rela.
Meskipun belum meminta ijin pada Papanya, tetapi Dinda yakin, kalau orang tuanya itu akan mengijinkannya.
Namun, saat Dinda hendak pergi ke taman belakang untuk mengabari Arkan kalau uangnya sudah dia transfer. Tiba-tiba saja pergerakan Dinda terhenti, kala dia melihat dua orang yang amat dia kenal tengah mengobrol di belakang.
"Mas, sampai kapan kamu nyakitin aku?"
"Mas?" batin Dinda.
Deg!
Deg!
"Sabar, Nadin. Mas, akan segera mengakhiri semuanya. Kamu harus sabar dulu."
Dinda yang tengah bersembunyi di balik pohon, mencengkeram sebuah dahan dengan cukup kuat, melampiaskan rasa sakit yang tiba-tiba menghantam ulu hatinya.
Tidak ada yang bisa Dinda lakukan, selain termangu di tempat, menatap pemandangan yang membuat mata Dinda langsung menghangat, kala teringat dengan itu dunia yang begitu dia dambakan hampir saja selesai.
Ya, tinggal satu langkah lagi bagi Dinda untuk bisa bersanding dengan pujaan hatinya.
Namun, di sisi lain Dinda bersyukur, karena Tuhan telah memperlihatkan sisi buruk Arkan sebelum resmi menjadi suaminya.
"Lihat saja, Arkan. Aku akan melakukan pembalasan yang setimpal untukmu dan Nadin. Lalu, sekarang aku paham dengan apa yang terjadi di sini," gumam Dinda seraya menyeringai.
***[Terima kasih, Sayang untuk uangnya, sudah Mas terima.]Dinda menyeringai, kala menatap layar ponselnya yang tiba-tiba menampilkan sebuah pesan dari Arkan.Tanpa membalas pesan tersebut, Dinda kembali memasukan benda pipih itu ke saku blazer, kedua manik matanya langsung berfokus pada salah seorang pekerja yang tidak lain adalah Nadin.Dalam benaknya, Dinda terus bertanya-tanya mengenai sejak kapan Arkan dan Nadin mengkhianati dirinya."Nadin, kemari kamu!" ketua Dinda, memuat sang empunya nama sedikit terperanjat.Nadin yang Dinda kenal sedikit polos, baik dan cukup kompeten, ternyata adalah ular yang diam-diam menusuknya dari belakang."Ada apa, ya, Bu?""Cepat masuk ke ruangan saya!"Para pekerja lainnya sedikit berbisik satu sama lain, mereka merasa ada ya
"Bu-Bu Anjani!" ujar Nadin seraya bangkit dari duduk, dia sedikit terbata-bata. Matanya bergerak dengan cukup cepat, bibirnya pun ikut pucat pasi layaknya mayat.Bibir Nadin terlihat bergerak secara tidak teratur, tepat di bawah meja sana, kedua tangannya saling meremas satu sama lain."Ma-maafkan, saya, Bu. I-itu semua tidak seperti yang Ibu dengar, sa-saya benar-benar minta maaf." Nadin menunduk, wanita berambut pirang itu mengigit bibir bawahnya kuat-kuat.Kedatangan Anjani yang tidak lain adalah mantan pemilik perusahaan tempat Nadin bekerja, berhasil membuat semua orang melongo, termasuk Nadin sendiri.Semua orang merasa, kalau Nadin akan berada dalam masalah besar, karena secara tidak sengaja telah melontarkan kata-kata kasar pada wanita yang di kenal sebagai anak dari pemilik perusahaan tersukses tahun ini.Secara bersamaan, Dinda yang mendengar adanya suara keributan di l
"Eyang Putri!"Dinda berteriak kala melihat seorang wanita paruh baya yang tengah duduk di kursi roda seraya menikmati sebuah apel.Mega--yang tak lain adalah nama asli dari Eyang Putri, menoleh ke sumber suara, seulas senyuman terpancar dari bibirnya, ketika melihat cucu perempuan satu-satunya itu datang."Ya ampun, cucu Eyang datang, tapi gak kasih kabar dulu," ujar Mega seraya merangkul Dinda dengan penuh cinta."Maafin, Dinda, Eyang. Soalnya Dinda sama Ibu dadakan ke sininya, jadi gak sempet kabarin, Eyang."Mega menggeleng, dia mengusap rambut hitam legam milik cucunya itu dengan penuh kasih sayang."Tidak apa-apa, Sayang. Eyang, hanya sedih, karena gak bisa nyiapin makanan kesukaan kamu."Pandangan Mega pun tidak lepas memperhatikan ke arah tangan Dinda."Lihatlah, kamu sangat kurus, Dinda. Apa kamu
Malam harinya, sepulang dari kediaman Bramantyo, Arkan yang mengendarai motor matic yang diberikan oleh Dinda sebagai kado ulang tahunnya yang ke-28.Melaju dengan kecepatan penuh, Arkan membelah jalanan yang cukup ramai, bermaksud menemui Nadin yang tidak bisa di hubungi sedari siang.Sesampai di depan kosan Nadin, Arkan memarkirkan motornya secara sembarangan, kemudian dia langsung mengenakan topi dan bergegas melangkah menuju kamar Nadin yang berada paling pojok.Sesekali Arkan memperhatikan sekitar, takut ada orang yang memergoki aksinya. Apalagi Arkan tahu, kalau kosan ini banyak di huni oleh karyawan yang bekerja di kantor Dinda.Tok ... tok ....Tidak lama kemudian, pintu terbuka, Arkan terperangah ketika melihat penampilan Nadin tampak jauh berbeda dari biasanya, di mana rambut acak-acakan dan matanya tampak begitu sayu."Ada apa?" tanya Nadin tanpa b
Keesokan harinya, Dinda kembali datang ke kantor dengan seperti biasanya. Hanya saja, kali ini dia jauh lebih memperhatikan seseorang yang tidak pernah dia sangka-sangka adalah duri dalam hubungan cintanya dengan Arkan.Wanita berparas cantik yang terlihat lemah lembut itu, ternyata adalah seorang ibl*s yang menyamar sebagai manusia.B*d*hnya Dinda yang menerima Nadin bekerja tanpa merasa curiga sedikitpun pada wanita tersebut."Bu Dinda!" sahut seseorang yang membuat Dinda langsung tersadar dari lamunannya."Ada apa, Kinara?"Wanita bernama Kinara yang tidak lain adalah karyawan Dinda itu, terlihat mengigit bibir bawahnya kuat-kuat, seperti ragu ketika hendak mengatakan sesuatu."A-anu, Bu, sa-saya ...," ujar Kinara dengan sedikit terbata-bata.Namun, Dinda yang tengah memicingkan mata, seketika sadar, kalau ada sesuatu
Setelah mendapat persetujuan dari Kinara, Dinda kembali mempersilahkan karyawannya itu untuk kembali bekerja.Dinda tidak ingin, jika karyawannya yang lain akan merasa curiga, kalau dia dan Kinara mengobrol dengan cukup lama.Sepeninggalnya Kinara, Dinda pun segera meraih gagang telepon kantor, jari tangannya menekan beberapa buah nomor yang hendak dia hubungi."Iya, Bu, ada keperluan apa?" sahut seseorang dari balik telepon."Dzikri, tolong datang ke ruangan saya secepatnya. Kalau semuanya sudah selesai, bawa apa yang saya minta kemarin.""Baik, Bu!"Tidak lama kemudian, sambungan telepon terputus. Dinda kembali meletakkan gagang telepon pada tempatnya.Apa yang sudah Dinda katakan, kalau dia dan Dzikri akan bersikap profesional ketika berada di kantor, berbanding terbalik ketika berada di luar.***
"Ha-halo, ada apa, Bang?" tanya Dinda dengan sedikit terbata-bata, sesekali dia menggigit bibir, menunggu jawaban dari June."Kamu ada di mana?"Sontak, Dinda membeliak, secara spontan dia langsung menyandarkan tubuhnya pada meja kerja."Tentu saja aku ada di kantor, memangnya kenapa?""Aku akan ke sana sekarang!""Apa?!" teriak Dinda dengan cukup keras, hingga membuat Dzikri terlonjak. Dalam hati, Dzikri terus berucap syukur, karena dia tidak memiliki riwayat sakit jantung maupun darah tinggi. Kalau hal itu sampai terjadi, bisa-bisa riwayatnya benar-benar tamat gara-gara Dinda yang tidak bisa mengontrol diri."Lah, bukannya Abang ada lagi di luar kota, lantas kenapa tiba-tiba ingin bertemu denganku?" tanya Dinda yang dipenuhi oleh beribu kebingungan.Mendengar hal tersebut, Dzikri yang tengah meminum sebotol air mineral, hampir saja tersendak. Untung saja, Dinda tidak menyadari hal itu, kalau saja Dinda alias macan betina--panggilan akrab yang selalu Dzikri lontarkan pada wanita i
"Jadi, apa yang mau Abang bicarakan?"Dinda langsung membuka percakapan, ketika dirinya dan June sudah berada di sebuah kafe yang sangat sepi.Sesekali Dinda mengedarkan pandangan ke sekeliling, berharap ada tamu yang masuk ke kafe, sehingga suasana yang terasa diantara dirinya dan June tidak terlalu mencekam.Namun, seketika saja kedua bola mata Dinda membulat, kala dia melihat ada tulisan tutup yang terpampang di pintu masuk."Bang, kafenya lagi tutup, kenapa kita masuk ke sini. Ayo, kita cari kafe yang lain!"Di saat Dinda berdiri, hendak melangkahkan kaki, tiba-tiba saja June menarik tangan Dinda, hingga adiknya itu kembali terduduk di kursi."Sengaja gue sewa kafe ini, biar bisa ngobrol empat mata sama lu."Deg!Dinda menelan ludah, keringat dingin terasa membanjiri tubuhnya. Sesekali dia menggigit bibir, kala merasakan sorot tajam June mengarah langsung padanya."Memangnya apa yang mau Abang bicarakan?"June menghela napas panjang, kemudian merogoh sesuatu dari saku jaketnya. "