Tak ada hujan atau badai, suami Najwa mengatakan telah menikah lagi. Rafa, sang suami beralasan tak mau terjebak zina karena selalu bertemu dengan Laila. Dunia Najwa runtuh seketika. Ingin rasanya menyerah, tetapi dia ingat janji kepada sang ayah yang memintanya menikah satu kali seumur hidup. Namun, adil yang dijanjikan Rafa hanya di bibir saja, karena lelaki itu lebih sering bersama Laila dengan alasan wanita itu sedang mengandung buah hati mereka. Sanggupkah Najwa bertahan atau memilih berpisah dari sang suami?
View MoreNajwa semakin mengeratkan kepalan kedua telapak tangannya yang gemetar. Seolah-olah dengan cara seperti itu dia bisa mendapatkan kekuatan mendengar pengakuan Rafa, lelaki yang telah menikahinya enam tahun yang lalu. Pernikahan yang diharapkan wanita itu sekali seumur hidup. Tidak ada yang salah dengan pernikahan mereka. Rafa seorang lulusan pondok pesantren terkenal sangat paham syariat agama. Lelaki berkulit putih bersih dengan tulang hidung tinggi itu memperlakukannya sangat baik selama mereka menikah. Kata-kata manis selalu keluar dari bibir si lelaki, membuatnya yakin tak ada yang bisa membuat sang suami berpaling.
Namun, keyakinan Najwa kini luluh lantak. Di perayaan pernikahan mereka yang ke enam, Rafa memberi hadiah yang membuatnya tak bisa berkata-kata. Sesuatu menghantam dadanya begitu keras hingga ingin memaki lelaki di hadapan. Hendak bertanya apa salahnya sehingga Rafa tega menduakan tanpa bertanya terlebih dahulu. Ingin rasanya melemparkan hidangan yang dia masak sepenuh hati untuk merayakan hari bahagia mereka, meski keadaannya belum terlalu sehat setelah didera penyakit tifus beberapa bulan yang lalu. Akan tetapi, ajaran-ajaran baik yang selalu ditanamkan ibunya dulu membuat Najwa menekan dalam-dalam kemarahannya. Meski sorot mata wanita itu mengandung ribuan kubik magma, dia masih berusaha menahan nada suara tidak memaki sang suami. "Kenapa, Mas? Apa yang salah dengan pernikahan kita?" Pertanyaan itu keluar dari bibir Najwa yang bergetar. Matanya nanar menatap sang suami Pandangan Rafa berubah sendu saat melihat raut terluka sang istri, menghadirkan rasa bersalah di dadanya. Namun, keadaan tidak bisa dikembalikan seperti sedia kala. "Maaf, tidak ada yang salah dalam pernikahan kita. Kamu istri yang sangat baik." Wajah Rafa memelas karena memang seperti itu kenyataannya. "Lalu kenapa?" Najwa mulai terisak. Sesak di dada memanaskan kelopak mata, memaksa air mata berderai membasahi wajahnya. "Kami selalu bertemu. Aku sudah berusaha menghindar, tetapi selalu ada situasi yang membuat kami selalu bersama." "Apa?" Tawa getir terdengar dari bibir Najwa. Tatapan matanya menunjukkan ketidakpercayaan kepada Rafa. "Kamu enggak fakir ilmu, Mas. Kamu sangat paham agama, bahkan setiap ucapanmu selalu menyelipkan nasehat untuk orang lain. Kamu tahu batasan bergaul antara laki-laki dan wanita, tapi kenapa kamu tak bisa menjaga hati dan pandangan?" "Karena itu aku menikahi Laila." Rafa mulai frustasi mendengar rentetan kalimat yang diujarkan Najwa. "Aku tak mau berdosa berzina mata dengannya." "Tanpa bicara padaku? Tanpa meminta pertimbangan apakah aku siap dimadu?" Mata Najwa semakin menajam, seolah-olah hendak melobangi dada rafa. "Seorang laki-laki boleh menikah lagi tanpa ijin istri pertamanya," tukas Rafa cepat. Dia tidak ingin disudutkan dengan tatapan menuduh dari manik mata Najwa. "Kejam kamu, Mas!" seru Najwa keras. Pertahanan wanita itu runtuh mendengar kalimat tak berperasaan dari bibir Rafa. Dia tidak mengira, lelaki yang selalu berlaku lembut kini tega menancapkan belati ke dadanya. "Memang tidak ada kewajiban meminta ijin dari istri pertama, tapi setidaknya dengan membicarakannya kamu masih menganggap aku istrimu. Aku bukan batu yang diam saja saat kamu sakiti, Mas. Tidak ada wanita di dunia ini rela dimadu tanpa alasan yang jelas." "Aku tahu, tapi kalau kamu ikhlas maka surga balasannya." Rafa mencoba meraih tangan Najwa, tetapi wanita itu menepis pelan. "Masih banyak cara untuk mendapatkan surga. Jangan gunakan ilmumu padaku, karena aku juga sangat paham. Kamu zalim, sampai kapan pun aku tidak ikhlas!" Najwa beranjak meninggalkan meja makan yang masih menyajikan hidangan makan malam yang belum tersentuh. Bahkan, kue tart yang dibuat sepenuh hati olehnya dibiarkan jatuh di lantai. Rafa menyugar rambut dengan raut kesal. Dia tak mengira semua menjadi serumit ini. Tadinya dia pikir Najwa akan menerima pernikahan keduanya, karena wanita itu juga sangat paham agama sepertinya. Najwa putri seorang pemuka agama yang sangat disegani di kota mereka. Pernikahan mereka atas dasar perjodohan, tetapi bukan berarti dia tidak mencintai wanita itu. Najwa bak bunga baru mekar yang menguarkan arumi surgawi. Wajahnya cantik membuat mata tak ingin beralih menatap ke arah lain. Suaranya begitu merdu kala membaca kitab suci membuat dada Rafa bergetar. Sangat mudah jatuh cinta kepada wanita itu. Saat Najwa menerima perjodohan mereka, dia seperti mendapat durian runtuh. Dia merasa sangat bangga , sebab dari sekian banyak laki-laki, Ustad Amir, Ayah Najwa, memilihnya menjadi menantu. Ijab-kabul yang keluar dari mulutnya sebagai penanda mereka siap mengayuh bahtera ke laut lepas sekaligus hari patah hati bagi para pengagum Najwa. Tadinya Rafa yakin tidak akan pernah menemukan wanita seperti Najwa. Namun, bertahun-tahun kemudian sosok lain hadir mengusik hatinya. Wanita itu bernama Laila. Seorang janda tanpa anak yang memiliki toko pakaian muslim yang juga rekanan usahanya yang bergerak sebagai biro perjalanan haji dan umroh. Setiap mata mereka beradu pandang ada geletar yang merayapi sendi-sendi hati Rafa, menghadirkan rasa yang sama saat pertama kali melihat Najwa. Dia sudah berusaha menghindar, tetapi mereka selalu bertemu di setiap kesempatan. Benih-benih rasa mulai bertunas di dada Rafa. Tempurung kepalanya disesaki bayangan Laila. Ada rasa rindu bila tak bertemu. Dia tahu rasa itu tak boleh ada, tetapi dia tak mampu menghalau keinginan memiliki wanita itu. Dia seperti remaja sedang kasmaran, selalu gelisah memikirkan sosok juwita yang mengalihkan hatinya dari Najwa. Oleh karena itu, dia lebih sering mendatangi toko Laila dengan alasan untuk mengurus perlengkapan haji dari kliennya. Meski hanya melihat sebentar sudah mampu mengobati rindu di dadanya. Tak ingin terus-terusan berzina hati, Rafa nekad menyampaikan niatnya. Gayung pun bersambut, Laila menerima lamarannya dan tidak keberatan menerima ajakan menikah siri. Dia mereguk manis rumah tangga bersama istri keduanya, lupa Najwa yang masih terbaring di rumah sakit. Namun, tak selamanya rahasia bisa ditutup dengan sempurna. Satu pesan mesra yang tak sengaja dibaca sang istri membuatnya harus mengakui pernikahan keduanya yang baru beberapa bulan. Rafa mencoba menghampiri Najwa sekali lagi. Dia yakin cepat atau lambat wanita itu akan menerima Laila sebagai madu. Najwa hanya kaget, itu yang ditanamkan Rafa di otaknya. Tidak mungkin wanita berilmu seperti Najwa memintanya menceraikan istri keduanya. Dia hanya perlu bersabar dan berusaha mengambil hati sang istri agar merestui pernikahan tersebut. Tangan Rafa yang hendak mengetuk pintu tertahan di udara saat sayup-sayup mendengar tangis tertahan dari dalam kamar. Dia sadar luka yang ditorehkan sangat dalam ke dada sang istri, tetapi dia juga yakin Najwa wanita kuat dan bijaksana. Wanita itu hanya butuh sendiri untuk meluahkan semua amarahnya. Rafa memilih memberi sang istri ruang untuk berpikir. Setelah wanita itu tenang dia akan kembali membujuk. Rafa menjauh dari pintu kamar menuju ruang tamu saat ponselnya berdering. Nama Laila tampil sebagai pemanggil. "Assalamualaikum, sayang," sapa Rafa pelan. "Waalaikumussalam, Mas. Maaf, bisa ke sini? Aku tidak enak badan. Dari siang mual-mual terus." Rafa melirik ke arah kamar utama. Pintu bercat cokelat tua itu masih tertutup. "Iya, tunggu, ya, Mas akan datang." Rafa memutus pembicaraan setelah si wanita membalas salamnya. Lelaki itu meraih kunci mobil, lalu bergegas meninggalkan rumah. Saat ini Laila lebih membutuhkannya.Aku memperhatikan dokter memeriksa Athar dengan perasaan tak menentu. Cemas, takut, dan marah campur aduk di dadaku. Aku tak melihat luka di tubuh bocah lelaki itu, tetapi yang aku takutkan pengalaman dicu-lik akan mengendap di benaknya dan menjadi trauma berkepanjangan. Sampai saat ini aku bahkan belum memaafkan kelalaianku menjaga Athar. Padahal sebelumnya aku sangat berhati-hati, mungkin inilah yang dinamakan sedang tidak beruntung? "Bagaimana anak saya, dok?" Aku langsung bertanya ketika dokter tadi selesai memeriksa Athar. "Dia mengalami dehidrasi, sepertinya dia tidak mendapat asupan makanan dan minuman lebih dari delapan belas jam." Da-daku seperti digodam besi mendengar penjelasan dokter. Jangankan delapan belas jam, Athar makan teratur tiga kali sehari, bahkan mulutnya tidak berhenti ngemil tiap jam. Membayangkan dia harus menahan lapar dan haus selama itu membuat amarahku kembali berkobar. Aku berjanji Risa harus membayar perbuatannya dengan tinggal di hotel prodeo selam
"Tante, aku lapal!" Aku berteriak dengan kesal lalu menatap Athar tajam. "Berisik! Bisa diam gak? Lama-lama aku sum-pal mulutmu pakai batu!" Aku menunjukkan batu apung sebesar tinju orang dewasa kepada Athar. Suara rengekannya membuat kepalaku terasa pecah. Apalagi dia selalu memanggil Uminya. Najwa, wanita itu berhasil membuatku malu di media sosial. Aku terpaksa menonaktifkan akun tok-tokku agar tidak diserang lagi oleh netizen. Niatku mencari simpati malah dimentalkan Najwa. Seseakun yang aku yakin dia dalang di belakang layar membuat postingan tandingan sehingga semua tuduhan yang aku arahkan padanya luruh sendiri. Aku tidak mengira dia merekam percakapan kami. Benar-benar wanita licik. Akibat dari postingannya itu aku harus kehilangan follower sampai ribuan. Padahal aku sudah mendapat beberapa endorsan yang belum sempat kuposting. Rencana mendapatkan u-ang dari akun tok-tok gagal total, ditambah lagi sindiran teman-teman di dunia nyata yang juga berteman denganku di sosial med
Tangisku tak kunjung berhenti, dadaku pun terasa semakin mengkerut membayangkan nasib Athar. Harusnya aku tak membiarkan dia pergi sendiri, harusnya aku yang membeli makanan untuknya. Kata-kata pengandaian terus bermain di kepalaku menikamkan rasa bersalah ke dalam dada. Ya, Tuhan ... di mana putraku? Siapa yang telah membawanya?"Sayang, apa yang terjadi?" Mendengar suara Bastian aku mengangkat kepala, ada setitik rasa lega hadir melihat lelaki itu tergopoh-gopoh menghampiriku."Mas, Athar ...." Aku tak sanggup meneruskan kata-kataku, sesak di rongga dada belumlah tuntas memantik tangisku kembali pecah."Annisa, ada apa? Di mana Athar?" "Gak tahu, Pak. Tadi kata yang punya warung makan Athar udah balik ke toko, tapi dia juga gak bisa memastikan Athar sudah masuk atau belum." Annisa menceritakan kronologi kejadian dari awal sampai akhir.Aku bisa merasakan usapan di punggung serta helaan napas berat dari mulut Bastian. Aku tahu ini kelalaianku, tak seharusnya membiarkan Athar pergi
"Sayang, ponselmu dari tadi bunyi. Kayaknya notifikasi dari tiktok." "Oh, ya?" Aku melirik ponsel yang kuletakkan di atas bufet kecil di sudut ruang makan. Aku tersenyum, pasti akun bodong yang aku buat sudah ramai dengan komentar-komentar julid khas netizen plus enam dua, apalagi topiknya tentang pelakor. Biasa, kan, kalau ada bau-bau wanita pengganggu pasti akan dikerubungi seperti semut menemukan gula. "Ada apa? Kok, senyum-senyum gitu?" Bastian yang sedang menyuap bubur ayam melirikku dengan tatapan penasaran. Aku menarik kursi dari meja makan lalu duduk di sebelahnya. "Kamu ingin tahu atau ingin tahu banget?" Aku balik bertanya sambil bertopang dagu dan menatap Bastian dengan sorot menggoda. "Ck, kalau seperti ini pasti seru. Memangnya ada apa?" Bastian mengelap mulutnya. Dia memang penyuka bubur ayam, sebentar saja makanan itu sudah tandas. "Begini." Aku menghadapkan wajah dan tubuh ke arah Bastian, suatu kebiasaan bila ingin bicara sesuatu yang serius. "Kemarin aku pecat
"Pak Bastian di mana?" Risa celingak-celinguk mencari keberadaan Bastian. Wajahnya memucat, tetapi dia sangat pandai mengendalikan diri sehingga tidak terlihat panik. "Untuk apa kau bertanya di mana suamiku?" "Sa, saya ...." Aku bersedekap dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi menunggu apa jawaban Risa. "Tadi Pak Bastian nyuruh saya masuk. Saya pikir ...." "Kamu pikir itulah kesempatan untuk merayu suami saya, begitu?" Bukannya takut, Risa malah menantang mataku. "Syukurlah kalau Ibuk sudah tahu. Jadi, saya tidak perlu menyembunyikan lagi perasaan saya." Aku berdecak dan geleng-geleng kepala mendengar pengakuan lugas Risa. Tak ada ketakutan di rautnya berkata seperti tadi. Sungguh kepercayaan diri yang tidak berada di tempatnya. "Lalu setelah saya tahu apa yang kamu harapkan?" "Saya harap Ibuk bersedia menerima saya sebagai madu. Tenang saja, walau saya lebih muda, tetapi saya tidak akan menguasai Mas Bastian." Mas? Aku tertawa dalam hati mendengar Risa sangat percay
"Kita tunggu Umi, ya. Belum lapar, kan?"Aku tersenyum melihat Athar menggeleng, tetapi tangannya sibuk memasukkan keripik kentang ke dalam mulut. Pipi gembulnya bergoyang membuatku tak tahan ingin mencubitnya."Katanya tunggu Umi, kok, ngemil?" Lagi terdengar protes Bastian. Dia sesekali melirik Athar yang tenang duduk di atas kursi, sementara tangan lelaki itu sibuk mengaduk sesuatu di dalam wajan."Kelipik Umi enak, Bi. Athal suka, Umi pintel masak." Dia menjawab dan mengacungkan jempol ke Bastian untuk memvalidasi ucapannya."Cuma Umi? Masakan Abi juga enak lho." Athar lagi-lagi menggeleng. "Lebih enak masakan Umi."Aku tertawa kecil mendengar balasan Athar, dia memang belum bisa melapalkan huruf R dengan baik. "Wah, makasih, sayang. Umi pinter karena masak Abi yang ngajarin." Aku menghampiri keduanya dan ikut menyela obrolan mereka, lalu memeluk pinggang Bastian yang tersenyum ke arahku.Bastian tersenyum. "Pagi, sayang." Satu kecupan ringan dibubuhkan di dahiku. Gimana tidurny
Aku mengecup pipi gembul Athar dengan pelan agar tidurnya tidak terusik. Senyumku mengembang melihat dia sudah tumbuh besar. Tak terasa lima tahun berlalu sejak membawa bayi merah itu ke rumah, kini dia tumbuh menjadi bocah periang dan menggemaskan. Athar sangat pintar, di usia yang belum cukup enam tahun dia sudah lancar membaca. Dia juga hapal beberapa surat pendek, karena sejak usia satu tahun aku mengajarkannya membaca ayat-ayat suci tersebut dalam setiap kesempatan. Sebelum tidur, saat bangun, dan di sela-sela bermain. Tidak ada yang mengira kalau dia putra angkatku dan Bastian, sebab wajahnya semakin lama menyalin parasku. Entah mitos atau kenyataan, orang-orang bilang walaupun tidak memiliki hubungan darah, tetapi bila lama hidup bersama paras pun akan menyerupai dengan siapa dia tinggal. Aku tidak mempermasalahkan benar atau tidak, yang penting Athar tumbuh sehat tidak kurang satu apa pun."Athar sudah tidur?" Pertanyaan Bastian menyambutku ketika keluar dari kamar Athar.Aku
'Terima kasih diriku telah berhasil bertahan hingga detik ini. Maafkan aku yang telah banyak menyusahkanmu. Untuk ke depan ayo kita saling mencintai, karena aku hanya punya kamu begitu pula sebaliknya. Aku tersenyum membaca barisan kata-kata yang lewat di beranda Instagramku. Kalimat yang mampu membuat mataku terasa hangat. Entah kebetulan atau sedang menyentilku agar tidak terus-menerus larut bersama kesedihan, konten-konten yang serupa sering FYP di akunku. Seperti sedang menasehati hidup ada pasang-surutnya. Tidak semua yang diinginkan baik menurut Tuhan, adakalanya kita dipaksa menerima kenyataan yang jauh berbeda dari ekspetasi. Meski tak suka, sebagai manusia kita bisa apa kalau Sang Mahakuasa tidak ridho dengan keinginan kita. Aku menghela napas dalam lalu melabuhkan pandangan ke pohon mangga yang daunnya bergoyang diembus angin. Satu tahun sudah sejak kehilangan calon bayi, aku mulai membuka diri. Awalnya sulit, karena aku telanjur melambung dengan anganku sendiri. Rencana-r
Daya di tubuhku seakan tersedot keluar melihat Najwa jatuh terduduk ke atas paving block di pekarangan rumah kami. Aku hendak mengejarnya, tetapi satu orang penjahat berusaha memukuliku hingga aku harus melumpuhkan terlebih dulu. Beruntung tetangga dan beberapa orang pemuda yang dihubungi oleh satpam perumahan sudah berkumpul membuat kelima penjahat itu berhasil dibekuk dengan mudah. Aku menghampiri Najwa dengan langkah lebar lalu berjongkok di sampingnya. "Kamu tidak apa-apa?" Cemas mencengkeram dadaku ketika melihatnya meringis kesakitan sambil memegang perut. "Sakit, Mas, perutku." Najwa merintih, bola mataku seakan hendak melompat dari tempatnya melihat darah mengalir di sela kakinya. "Mas, darah, anakku ...." Tangis Najwa pecah, rautnya berubah pucat pasi, dia terlihat sangat kesakitan. Aku mengangkat tubuh Najwa sambil berteriak agar seseorang membuka pintu mobil untukku. Jantungku seolah-olah hendak pecah ketika rasa takut semakin menjadi-jadi menyusupkan pikiran buruk tent
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments