Najwa masih berbaring di atas tempat tidur. Tangis wanita itu telah usai sejak tadi, tetapi perih karena perbuatan Rafa masih menggelayuti hati. Sayatan luka yang ditoreh laki-laki itu begitu dalam. Tidakkah Rafa memikirkan perasaannya? Tak bisakah sedikit menghargai dirinya? Sakit pengkhianatan lelaki itu terekam jelas di benak Najwa dan akan meninggalkan trauma berkepanjangan. Bukannya meminta maaf dan berusaha membujuk badai yang sedang mengamuk di dadanya, Rafa malah pergi. Baginya, sudah jelas di mana laki-laki tersebut meletakkan hati.
"Aku tak mau berzina, karena itu aku menikahinya." Alasan yang diujarkan Rafa laksana belati yang menikam dada Najwa. Kalau lelaki itu menundukkan pandangan tak mungkin ada hasrat kepada wanita lain. Ingatan wanita bermata sayu itu terlempar ke masa lalu. Ketika mereka masih baik-baik saja. Nyaris tidak ada pertengkaran, bila terjadi perselisihan selalu dia yang mengalah meski tak bersalah. Dia selalu berusaha memahami Rafa meski sang suami tak pernah melakukan hal yang sama. Bukan terlalu mencintai, tetapi dia ingin berbakti sebagai istri yang baik sebab setelah menikah surga seorang istri ada pada suaminya. Najwa tertawa pahit menyadari kebodohannya menanamkan kepercayaan begitu besar kepada Rafa. Tanpa dia sadari laki-laki yang dianggap baik, kini mendua di belakangnya, yang lebih menyakitkan pengkhianatan itu terjadi ketika dia terbaring di rumah sakit. Saat dia mati-matian menahan sakit sang suami justru tengah mereguk madu dengan wanita lain. Seandainya tak ada iman di dadanya, mungkin Najwa telah kehilangan kewarasannya. Andai saja dia tidak membuka pesan yang baru masuk ke ponsel Rafa, mungkin bangkai itu tidak akan pernah tercium. Inilah jawaban doa-doanya setiap malam. Pengakuan keluar begitu saja dari mulut Rafa tanpa beban. Perlahan-lahan Najwa bangkit setelah berusaha mengumpulkan kekuatannya. Dia berjalan menuju jendela kamarnya yang masih terbuka. Mata wanita itu terpejam merasakan sapuan lembut angin malam di wajah, seolah-olah ingin menenangkan hati yang masih merengek pilu. Najwa menengadah menatap langit malam yang dipenuhi cahaya bintang membuat dia merasa tidak sendiri. Benda langit bercahaya itu seakan tahu kalau hatinya sedang terluka parah. Hari ini akan menjadi awal yang suram untuk hidupnya. Najwa tahu dia tak akan bisa menerima pernikahan kedua Rafa. Dia butuh sang ayah membantunya melewati ujian pernikahan. * Matahari sudah keluar dari peraduannya. Cahayanya belum terlalu terik karena awan kelabu selalu menutupi. Di pekarangan rumah Najwa terparkir mobil sedan hitam yang dikendarai Amir, Ayah Najwa. Laki-laki berusia lima puluh lima tahun itu duduk di atas kursi di ruang tamu di sebelah putrinya yang masih terisak menceritakan perbuatan suaminya. Sebagai ayah Amir sangat memahami perasaan putrinya, tetapi dia tidak bisa menyalahkan Rafa membabi-buta sebelum mendengar pengakuan sang menantu. "Aku mau cerai saja, Ayah. Aku tidak kuat dimadu." Isakan Najwa semakin keras saja. Matanya seolah-olah tak lelah menderaikan cairan beningnya semalaman, meski begitu dadanya masih terasa nyeri. Lelaki yang rambutnya sudah disela uban menghela napas panjang. Dia tidak mengira menantunya berpoligami secara diam-diam. Sebagai ulama dia sangat tahu hal itu diperbolehkan, tetapi agama juga sudah memberi tuntuanan dengan cara yang baik. "Nak, perceraian dibolehkan, tetapi itu perkara yang sangat dibenci oleh Tuhan." Amir menasehati putrinya. "Aku mengerti Ayah, tapi sampai kapan? Selama beberapa bulan ini Rafa mengabaikanku. Aku pikir dia lelah bekerja." Najwa mengangkat pandangannya, manik mata wanita itu tak lagi seindah dulu, redup laksana bulan mati. "Aku tak pernah memprotes saat dia pergi pagi pulang larut malam. Aku masih berhusnuzhon padanya, ternyata ...." Najwa tak sanggup meneruskan kalimatnya. Sejak semalam Rafa belum pulang. Dia bertanya-tanya, apakah pernikahan mereka tak ada artinya lagi? Setelah mengakui mendua Rafa seakan tak perlu sungkan padanya atau keluarganya. Amir mengusap kepala Najwa yang tertutup hijap dengan dada terasa penuh. Sebagai ayah dia ikut sakit melihat air mata putrinya yang sejak dulu tak pernah dia biarkan bersedih. Apalagi sejak sang istri tiada, hanya Najwa miliknya yang berharga. Dia tak hanya bisa memberi nasehat penguat agar putrinya bisa meluaskan sabar dan belajar ikhlas. "Ayah tahu ini sulit, tetapi Ayah yakin kamu bisa melewati masalah ini. Kamu putri Ayah yang kuat." Najwa tidak berkata apa-apa lagi, sebab usapan sang ayah mampu meredam semua energi negatif yang kini berputar-putar di kepalanya. Najwa mengusap air mata ketika mendengar deru mobil Rafa di pekarangan rumah. Dia tidak ingin laki-laki itu melihat betapa berantakannya dia. Tampaknya lelaki itu masih memiliki rasa segan kepada ayahnya sehingga segera datang ketika ditelepon. "Ayah." Rafa menghampiri Ayah Najwa, dia melirik sang istri sekilas. Ada iba bergelayut di dadanya melihat paras Najwa yang pucat. Amir menatap menantunya lekat. "Ayah tidak perlu berbasa-basi lagi. Apa benar kau telah menikah lagi?" Rafa mengangguk. Dia duduk di depan lelaki tersebut dan menundukkan kepalanya. Dia tidak berani menatap Ayah Najwa, bagaimana pun laki-laki itu mertua yang sangat dia hormati. "Apa kau sudah lupa dengan janjimu dulu ketika menikahi Najwa?' Rafa lagi-lagi menggeleng. "Aku tidak lupa Ayah, tapi aku tidak berdaya. Perasaan ini datang begitu saja." Najwa tersenyum getir mendengar kata tidak berdaya yang keluar dari bibir Rafa. Dia enggan menatap lelaki itu, rasanya seluruh yang ada pada Rafa laksana racun yang membunuhnya perlahan. "Apa kesalahan Najwa hingga kau menikah diam-diam?" Lagi Amir bertanya. Rafa mengangkat pandanganya. "Aku minta maaf sudah mengecewakan Ayah. Aku mencintai Najwa, tapi sampai saat ini kami belum memiliki anak. Setiap laki-laki tentu mendambakan keturunan." "Apa putriku tidak bisa memberikan?" "Bukan tidak bisa, Ayah. Fisik Najwa sangat lemah ditambah dia baru saja sembuh dari sakit, sementara aku sudah terlalu ingin memiliki anak. Itulah alasan paling mendasar kenapa aku menikah lagi." Najwa menatap Rafa dengan sorot tidak percaya. Tega sekali laki-laki itu menyudutkannya. Padahal selama dua tahun ini justru Rafa yang meminta menunda momongan. Akan tetapi, di depan ayahnya sampai hati membalikkan fakta. Dia ingin bicara, tetapi lebih dulu sang suami kembali angkat suara. "Bukankah agama kita tidak melarang poligami, kan, Ayah?' Amir diam. Dia tahu sang menantu sedang mencoba menekannya. Laki-laki berwajah teduh itu tersenyum. "Memang tidak dilarang. Tidak ijin dari istri pun juga tak masalah, hanya saja akan lebih baik dibicarakan baik-baik dengan istrimu. Tidak semua wanita kuat berbagi hati apalagi suami." Meski tersenyum dan menjawab pertanyaan Rafa dengan lembut, Najwa bisa merasakan getaran dalam suara ayahnya. Lidahnya seketika kelu, kata-kata yang hendak diutarakan tertelan kembali. Dada Najwa terasa sangat sakit melihat luka di manik mata sang ayah. Wajar, orang tua mana yang tega melihat anaknya di sakiti, tetapi dia tidak berdaya sebab Rafa menjadikan pengetahuan Ayahnya tentang agama sebagai serangan balik. Najwa menahan air mata ketika tatapannya dengan sang ayah beradu. "Nak, Ayah rasa semua sudah jelas. Semua terserah padamu. Kau tentu tahu apa yang terbaik untukmu. Kau seorang yang pintar. Tenangkan dirimu, pikirkan semua dengan kepala dingin. Ayah yakin kau tahu apa yang terbaik untukmu."Najwa masih berdiri di pintu meski mobil yang dikendarai ayahnya tidak terlihat lagi. Rasa bersalah menikam dadanya melihat langkah pelan si lelaki. Harusnya di usia senja dia tidak memberi beban pikiran untuk sang ayah, tetapi hanya lelaki itu yang dia punya. Najwa tidak mampu menghadapi masalah rumah tangganya sendirian. Dia butuh sandaran dan nasehat agar bisa menentukan sikap."Seharusnya kamu tidak melibatkan Ayah." Najwa memejamkan kelopak mata mendengar teguran Rafa. Meski pelan, tetapi mampu membuat amarahnya kembali tersulut. Dia berbalik dan melihat lelaki itu berdiri tak jauh di belakangnya."Dia Ayahku, kalau bukan padanya, ke siapa lagi aku harus mengadu?" Sorot mata Najwa yang selalu teduh kini berubah tajam dan sinis."Ck, kita bukan anak kecil lagi. Lagipula rumah tangga kita bukan setahun dua tahun, tak perlu melibatkan orang tua."Najwa terperangah mendengar jawaban Rafa. Ke mana ilmu agama yang dipelajari lelaki itu? Hanya untuk membenarkan perbuatannya dia melupak
Aku refleks menatap Rafa dengan sorot bertanya. Apa maksud lelaki itu membawa istri keduanya ke rumah kami? Belum cukupkah luka yang dia tebar di hatiku? Apakah dia ingin memamerkan wanita yang sedang tersenyum manis ke arahku? Semua pertanyaan itu memberondong kepalaku membuat rongga dada terasa sesak."Najwa, maaf, aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin kalian saling mengenal." Rafa menjawab tanpa aku bertanya, baguslah dia peka dengan perubahan rautku."Iya, mbak, Mas Rafa bilang kita harus akur sebagai istrinya. Jadi, kedatangan aku ke sini ingin memperkenalkan diri sekaligus ingin bertemu dengan Mbak langsung. Selama ini Mas Rafa banyak cerita tentang Mbak."Wanita bernama Laila itu juga angkat bicara. Harus aku akui parasnya sangat cantik, kulitnya putih bersih, ditunjang penampilannya yang sangat modis tanpa harus mengenakan pakaian terbuka. Aku tahu selera Mas Rafa tidak kaleng-kaleng. Apa aku rendah diri disandingkan dengan wanita itu? Tidak! Aku adalah aku dengan segal
Aku berjalan mondar-mandir di dalam rumah sambil menggenggam ponsel. Sejak pertengkaran dengan Rafa, aku tak bisa lagi tidur dengan nyenyak, pikiran kalut, gelisah mendera dada, bahkan selera makan ikut menghilang. Sudah tiga hari Rafa tidak pulang, laki-laki itu benar-benar membuktikan ucapannya, sampai seutas kabar pun tak dikirimkan padaku. Tega sekali dia menyiksa batinku. Andai jantung ini bisa berteriak mungkin dia akan mengeluhkan rasa sakit yang tak terperi. Andai mata bisa berontak mungkin akan mengeluh lelah terus-menerus menderaikan air mata. Namun, aku bisa apa? Hanya menangis dan menangis. Memang aku selemah itu, walaupun bibir mengatakan membenci Rafa, tetapi hati tetap mendambanya. Bukan menjadi budak cinta, statusku sebagai istri yang membuatku harus mempertahankan hakku. Aku tak mudah menyukai seseorang. Sejak dulu selalu menjaga jarak dari pergaulan, sehingga tak pernah mengenal kata pacaran. Didikan Ayah juga sangat berpengaruh padaku, sehingga setelah menikah deng
Aku memejamkan mata sembari merapal doa di dalam hati semoga laki-laki itu bukan orang jahat. Membayangkan hal-hal buruk membuat kakiku gemetar, bahkan rasanya tak mampu menahan bobot tubuh."Najwa, kamu ngapain ngumpet di sini?"Refleks kelopak mataku terbuka lalu menoleh dengan cepat ke belakang. Lega seketika bertandang ke dada melihat raut Rania yang menatapku dengan dahi berkerut."Astaga, kamu bikin aku takut aja!" Aku berdiri sambil menepuk tanah kering yang menempel di rok."Kamu yang aneh, siang-siang gini ngumpet di belakang gerobak." Kepala Rania celingukkan melihat ke kiri dan kanan lalu kembali mematapku dengan mata memicing, "kejahatan apa yang sudah engkau lakukan wahai Ukhti?"Aku memasang wajah malas ketika Rania mulai bermain drama. Mungkin kebiasaannya menonton sinetron membuat otaknya terkontaminasi adegan-adegan lebay para aktor dan aktris."Ck, mana ada. Aku anak sholeha, rajin menabung, dan tidak sombong." "Trus, ngapain jongkok di sana?" Rania masih penasaran
"Terima kasih," ucapku pelan nyaris tak terdengar sambil menerima dompet yang ditemukan Bastian. Saking malunya aku bahkan tak berani menatap lelaki tersebut."Tidak perlu sungkan, tadinya aku bermaksud menyerahkan dompet itu ke kantor polisi. Ternyata kalau jodoh tidak ke mana, kita ketemu di sini.""Hah?!" Mendengar kata jodoh, aku tersentil dan mengangkat wajah hingga mau tak mau kami kembali bersitatap."Tidak usah mikir aneh-aneh. Apa pun kalau ketemu berarti jodoh, kan?"Aku kembali menunduk melihat lelaki itu tersenyum, rasanya dia sedang menertawakan kebodohanku. Tenang Najwa, ini hanya salah paham, besok-besok pasti sudah lupa."Kalau gitu tidak ada masalah, ya." Suara Riana terdengar menyela untuk mencairkan suasana yang telanjur kaku karena ulahku. Untung saja gadis itu cepat datang, kalau tidak entah kebodohan apa lagi yang aku lakukan."Ya, aku rasa anak-anak pasti sudah lapar, suruh rehat dulu sambil kita makan siang."Riana mengangguk. Dia memberi instruksi agar teman-
Telingaku berdenging ketika mendengar teguran keras seseorang. Aku menoleh ke arah suara dan melihat Rafa sedang menatap ke arahku dengan tajam, seolah-olah aku sedang melakukan kejahatan besar. Dadaku semakin terasa sesak ketika melihat Laila berdiri di samping lelaki itu. Saat tatapan kami beradu, dia semakin mengeratkan pegangannya di lengan Rafa, seakan-akan mengatakan kalau dia sudah memiliki lelaki itu sepenuhnya."Ternyata kerudung yang kamu gunakan hanya topeng. Saat suami tidak di rumah kamu malah kelayapan bersama lelaki lain." Lagi, Rafa mencercaku dengan lidahnya yang tajam.Aku melirik Bastian yang diam memperhatikan Rafa. Raut lelaki itu kembali terlihat datar. Mukaku memerah mendengar tudingan tidak berdasar lelaki tersebut, sampai hati dia menuduhku sekeji itu."Mas, jangan marah, mungkin kita salah paham. Tidak mungkin, kan, putri ustad terkenal perilakunya sama dengan wanita murahan." Kali ini Laila yang bicara sembari mengulas senyum licik. Di mataku wanita tersebut
Cukup lama aku berdiam diri. Baik Rafa maupun Laila tidak berminat berbincang sepatah kata pun. Baguslah, sebab setiap mendengar wanita itu bicara dadaku terasa terbakar, seolah-olah api unggun sedang menyala di dalam sana. Aku melirik Rafa sekilas ketika mobil berhenti di depan bangunan bercat putih. Lelaki itu turun tanpa bicara lalu berlari-lari kecil masuk ke pekarangan rumah."Bagus, kan, rumah kami? Mas Rafa membelikannya satu tahun yang lalu."Aku memejamkan kelopak mata mendengar Laila bicara, kata-kata wanita itu berhasil menggores hatiku. Aku bisa mengira-ngira Rafa setahun ini menduakanku atau mungkin bisa lebih lama dari itu."Kau pikir aku peduli?" Lidahku tak tahan menjawab provokasi Laila."Tentu kau harus peduli, setelah mendengar aku hamil Mas Rafa langsung membeli rumah yang lebih besar. Dan kau tahu setiap hari dia selalu bertanya apa yang aku butuhkan."Kedua telapak tanganku terkepal mendengar balasan Laila. Aku tahu dia sengaja memancing emosiku. Entah apa yang a
Aku terbangun ketika merasakan sesuatu menghimpit perutku. Aku menoleh ke sebelah ketika dengkur halus terdengar di telinga. Sejenak tertegun melihat wajah Rafa dekat sekali denganku. Bahkan, napasnya hangat menerpa mukaku. Aku bisa melihat dengan jelas raut lelaki itu. Rafa memiliki fitur wajah yang nyaris sempurna. Dahinya tidak terlalu lebar, tulang hidung tinggi, dan bentuk rahang tegas semakin membuatnya terlihat tampan. Tak salah rasanya banyak wanita yang terpesona saat menatapnya. Apalagi sifat ringan tangan dan ramah, tentu menjadi nilai tambah untuknya. Aku menyingkirkan tangan Rafa yang melingkar di pinggang, entah kapan lelaki itu naik ke tempat tidur. Kupikir dia akan tidur di ruang tengah atau kamar tamu. Bahkan aku sempat mengira dia akan kembali ke rumah Laila. Perlahan dadaku menghangat menyadari Rafa merendahkan egonya dan tidur sambil memelukku. Aku menatap wajah lelaki itu lamat-lamat. Maafkan aku, Mas, sikapku sekarang karena cintaku yang terlalu besar padamu. Be
Aku memperhatikan dokter memeriksa Athar dengan perasaan tak menentu. Cemas, takut, dan marah campur aduk di dadaku. Aku tak melihat luka di tubuh bocah lelaki itu, tetapi yang aku takutkan pengalaman dicu-lik akan mengendap di benaknya dan menjadi trauma berkepanjangan. Sampai saat ini aku bahkan belum memaafkan kelalaianku menjaga Athar. Padahal sebelumnya aku sangat berhati-hati, mungkin inilah yang dinamakan sedang tidak beruntung? "Bagaimana anak saya, dok?" Aku langsung bertanya ketika dokter tadi selesai memeriksa Athar. "Dia mengalami dehidrasi, sepertinya dia tidak mendapat asupan makanan dan minuman lebih dari delapan belas jam." Da-daku seperti digodam besi mendengar penjelasan dokter. Jangankan delapan belas jam, Athar makan teratur tiga kali sehari, bahkan mulutnya tidak berhenti ngemil tiap jam. Membayangkan dia harus menahan lapar dan haus selama itu membuat amarahku kembali berkobar. Aku berjanji Risa harus membayar perbuatannya dengan tinggal di hotel prodeo selam
"Tante, aku lapal!" Aku berteriak dengan kesal lalu menatap Athar tajam. "Berisik! Bisa diam gak? Lama-lama aku sum-pal mulutmu pakai batu!" Aku menunjukkan batu apung sebesar tinju orang dewasa kepada Athar. Suara rengekannya membuat kepalaku terasa pecah. Apalagi dia selalu memanggil Uminya. Najwa, wanita itu berhasil membuatku malu di media sosial. Aku terpaksa menonaktifkan akun tok-tokku agar tidak diserang lagi oleh netizen. Niatku mencari simpati malah dimentalkan Najwa. Seseakun yang aku yakin dia dalang di belakang layar membuat postingan tandingan sehingga semua tuduhan yang aku arahkan padanya luruh sendiri. Aku tidak mengira dia merekam percakapan kami. Benar-benar wanita licik. Akibat dari postingannya itu aku harus kehilangan follower sampai ribuan. Padahal aku sudah mendapat beberapa endorsan yang belum sempat kuposting. Rencana mendapatkan u-ang dari akun tok-tok gagal total, ditambah lagi sindiran teman-teman di dunia nyata yang juga berteman denganku di sosial med
Tangisku tak kunjung berhenti, dadaku pun terasa semakin mengkerut membayangkan nasib Athar. Harusnya aku tak membiarkan dia pergi sendiri, harusnya aku yang membeli makanan untuknya. Kata-kata pengandaian terus bermain di kepalaku menikamkan rasa bersalah ke dalam dada. Ya, Tuhan ... di mana putraku? Siapa yang telah membawanya?"Sayang, apa yang terjadi?" Mendengar suara Bastian aku mengangkat kepala, ada setitik rasa lega hadir melihat lelaki itu tergopoh-gopoh menghampiriku."Mas, Athar ...." Aku tak sanggup meneruskan kata-kataku, sesak di rongga dada belumlah tuntas memantik tangisku kembali pecah."Annisa, ada apa? Di mana Athar?" "Gak tahu, Pak. Tadi kata yang punya warung makan Athar udah balik ke toko, tapi dia juga gak bisa memastikan Athar sudah masuk atau belum." Annisa menceritakan kronologi kejadian dari awal sampai akhir.Aku bisa merasakan usapan di punggung serta helaan napas berat dari mulut Bastian. Aku tahu ini kelalaianku, tak seharusnya membiarkan Athar pergi
"Sayang, ponselmu dari tadi bunyi. Kayaknya notifikasi dari tiktok." "Oh, ya?" Aku melirik ponsel yang kuletakkan di atas bufet kecil di sudut ruang makan. Aku tersenyum, pasti akun bodong yang aku buat sudah ramai dengan komentar-komentar julid khas netizen plus enam dua, apalagi topiknya tentang pelakor. Biasa, kan, kalau ada bau-bau wanita pengganggu pasti akan dikerubungi seperti semut menemukan gula. "Ada apa? Kok, senyum-senyum gitu?" Bastian yang sedang menyuap bubur ayam melirikku dengan tatapan penasaran. Aku menarik kursi dari meja makan lalu duduk di sebelahnya. "Kamu ingin tahu atau ingin tahu banget?" Aku balik bertanya sambil bertopang dagu dan menatap Bastian dengan sorot menggoda. "Ck, kalau seperti ini pasti seru. Memangnya ada apa?" Bastian mengelap mulutnya. Dia memang penyuka bubur ayam, sebentar saja makanan itu sudah tandas. "Begini." Aku menghadapkan wajah dan tubuh ke arah Bastian, suatu kebiasaan bila ingin bicara sesuatu yang serius. "Kemarin aku pecat
"Pak Bastian di mana?" Risa celingak-celinguk mencari keberadaan Bastian. Wajahnya memucat, tetapi dia sangat pandai mengendalikan diri sehingga tidak terlihat panik. "Untuk apa kau bertanya di mana suamiku?" "Sa, saya ...." Aku bersedekap dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi menunggu apa jawaban Risa. "Tadi Pak Bastian nyuruh saya masuk. Saya pikir ...." "Kamu pikir itulah kesempatan untuk merayu suami saya, begitu?" Bukannya takut, Risa malah menantang mataku. "Syukurlah kalau Ibuk sudah tahu. Jadi, saya tidak perlu menyembunyikan lagi perasaan saya." Aku berdecak dan geleng-geleng kepala mendengar pengakuan lugas Risa. Tak ada ketakutan di rautnya berkata seperti tadi. Sungguh kepercayaan diri yang tidak berada di tempatnya. "Lalu setelah saya tahu apa yang kamu harapkan?" "Saya harap Ibuk bersedia menerima saya sebagai madu. Tenang saja, walau saya lebih muda, tetapi saya tidak akan menguasai Mas Bastian." Mas? Aku tertawa dalam hati mendengar Risa sangat percay
"Kita tunggu Umi, ya. Belum lapar, kan?"Aku tersenyum melihat Athar menggeleng, tetapi tangannya sibuk memasukkan keripik kentang ke dalam mulut. Pipi gembulnya bergoyang membuatku tak tahan ingin mencubitnya."Katanya tunggu Umi, kok, ngemil?" Lagi terdengar protes Bastian. Dia sesekali melirik Athar yang tenang duduk di atas kursi, sementara tangan lelaki itu sibuk mengaduk sesuatu di dalam wajan."Kelipik Umi enak, Bi. Athal suka, Umi pintel masak." Dia menjawab dan mengacungkan jempol ke Bastian untuk memvalidasi ucapannya."Cuma Umi? Masakan Abi juga enak lho." Athar lagi-lagi menggeleng. "Lebih enak masakan Umi."Aku tertawa kecil mendengar balasan Athar, dia memang belum bisa melapalkan huruf R dengan baik. "Wah, makasih, sayang. Umi pinter karena masak Abi yang ngajarin." Aku menghampiri keduanya dan ikut menyela obrolan mereka, lalu memeluk pinggang Bastian yang tersenyum ke arahku.Bastian tersenyum. "Pagi, sayang." Satu kecupan ringan dibubuhkan di dahiku. Gimana tidurny
Aku mengecup pipi gembul Athar dengan pelan agar tidurnya tidak terusik. Senyumku mengembang melihat dia sudah tumbuh besar. Tak terasa lima tahun berlalu sejak membawa bayi merah itu ke rumah, kini dia tumbuh menjadi bocah periang dan menggemaskan. Athar sangat pintar, di usia yang belum cukup enam tahun dia sudah lancar membaca. Dia juga hapal beberapa surat pendek, karena sejak usia satu tahun aku mengajarkannya membaca ayat-ayat suci tersebut dalam setiap kesempatan. Sebelum tidur, saat bangun, dan di sela-sela bermain. Tidak ada yang mengira kalau dia putra angkatku dan Bastian, sebab wajahnya semakin lama menyalin parasku. Entah mitos atau kenyataan, orang-orang bilang walaupun tidak memiliki hubungan darah, tetapi bila lama hidup bersama paras pun akan menyerupai dengan siapa dia tinggal. Aku tidak mempermasalahkan benar atau tidak, yang penting Athar tumbuh sehat tidak kurang satu apa pun."Athar sudah tidur?" Pertanyaan Bastian menyambutku ketika keluar dari kamar Athar.Aku
'Terima kasih diriku telah berhasil bertahan hingga detik ini. Maafkan aku yang telah banyak menyusahkanmu. Untuk ke depan ayo kita saling mencintai, karena aku hanya punya kamu begitu pula sebaliknya. Aku tersenyum membaca barisan kata-kata yang lewat di beranda Instagramku. Kalimat yang mampu membuat mataku terasa hangat. Entah kebetulan atau sedang menyentilku agar tidak terus-menerus larut bersama kesedihan, konten-konten yang serupa sering FYP di akunku. Seperti sedang menasehati hidup ada pasang-surutnya. Tidak semua yang diinginkan baik menurut Tuhan, adakalanya kita dipaksa menerima kenyataan yang jauh berbeda dari ekspetasi. Meski tak suka, sebagai manusia kita bisa apa kalau Sang Mahakuasa tidak ridho dengan keinginan kita. Aku menghela napas dalam lalu melabuhkan pandangan ke pohon mangga yang daunnya bergoyang diembus angin. Satu tahun sudah sejak kehilangan calon bayi, aku mulai membuka diri. Awalnya sulit, karena aku telanjur melambung dengan anganku sendiri. Rencana-r
Daya di tubuhku seakan tersedot keluar melihat Najwa jatuh terduduk ke atas paving block di pekarangan rumah kami. Aku hendak mengejarnya, tetapi satu orang penjahat berusaha memukuliku hingga aku harus melumpuhkan terlebih dulu. Beruntung tetangga dan beberapa orang pemuda yang dihubungi oleh satpam perumahan sudah berkumpul membuat kelima penjahat itu berhasil dibekuk dengan mudah. Aku menghampiri Najwa dengan langkah lebar lalu berjongkok di sampingnya. "Kamu tidak apa-apa?" Cemas mencengkeram dadaku ketika melihatnya meringis kesakitan sambil memegang perut. "Sakit, Mas, perutku." Najwa merintih, bola mataku seakan hendak melompat dari tempatnya melihat darah mengalir di sela kakinya. "Mas, darah, anakku ...." Tangis Najwa pecah, rautnya berubah pucat pasi, dia terlihat sangat kesakitan. Aku mengangkat tubuh Najwa sambil berteriak agar seseorang membuka pintu mobil untukku. Jantungku seolah-olah hendak pecah ketika rasa takut semakin menjadi-jadi menyusupkan pikiran buruk tent