Aku berjalan mondar-mandir di dalam rumah sambil menggenggam ponsel. Sejak pertengkaran dengan Rafa, aku tak bisa lagi tidur dengan nyenyak, pikiran kalut, gelisah mendera dada, bahkan selera makan ikut menghilang. Sudah tiga hari Rafa tidak pulang, laki-laki itu benar-benar membuktikan ucapannya, sampai seutas kabar pun tak dikirimkan padaku. Tega sekali dia menyiksa batinku. Andai jantung ini bisa berteriak mungkin dia akan mengeluhkan rasa sakit yang tak terperi. Andai mata bisa berontak mungkin akan mengeluh lelah terus-menerus menderaikan air mata. Namun, aku bisa apa? Hanya menangis dan menangis. Memang aku selemah itu, walaupun bibir mengatakan membenci Rafa, tetapi hati tetap mendambanya. Bukan menjadi budak cinta, statusku sebagai istri yang membuatku harus mempertahankan hakku.
Aku tak mudah menyukai seseorang. Sejak dulu selalu menjaga jarak dari pergaulan, sehingga tak pernah mengenal kata pacaran. Didikan Ayah juga sangat berpengaruh padaku, sehingga setelah menikah dengan Rafa, detik itu juga kusematkan niat mencintainya seumur hidup, mengabdi sebagai istri dengan setulus jiwa. Tak mudah membujuk hati menyukai seseorang yang baru ditemui di saat akad nikah telah diikrarkan. Butuh ikhlas dan tabah menerima perbedaan yang muncul ketika bersama. Namun, semua bisa kulalui, hari demi hari tunas-tunas cinta itu semakin rimbun, tetapi, lelaki itu tega membakar semua rasaku untuknya. Notifikasi pesan membuyarkan lamunanku. Satu nomor yang tidak ada dalam daftar kontakku mengirim foto. Dadaku retak seribu ketika dua potret yang dikirimkan selesai terunduh. Bagaimana tidak, di slide pertama tampak Rafa sedang tidur tanpa atasan, sementara bagian pinggang ke bawah tertutup selimut. Harusnya aku tak perlu melihat foto kedua, tetapi rasa penasaran membuat jariku menyentuh gambar tersebut. Mataku seketika berembun, bagaimana tidak, di foto kedua tampak lelaki itu sedang tersenyum memilih pakaian bayi. "Kamu lihat kan, Mbak, suami kita lebih bahagia bersamaku. Tenang saja, kamu tidak perlu cemas, aku akan merawatnya dengan baik. Jadi, kalau dia tak pulang tak masalah kan?" Aku bisa menebak siapa yang mengirim kedua foto itu. Apa Laila bermaksud memprovokasiku? Apakah dia ingin mengatakan kalau aku gagal sebagai istri? Pesan kedua kembali datang. "Mas Rafa bilang baru kali ini dia benar-benar bahagia. Mbak tahu artinya, kan? Jangan salahkan kalau dia lebih mencintaku. Oh, ya, Mas Rafa juga bilang aku lebih bisa memu4skannya." Aku merem4s ponsel dengan rahang mengatup. Darahku mendidih, seolah-olah ada magma yang siap meledak di dalam dada. Jariku bergerak hendak membalas pesan menjijikkan dari Laila, tetapi satu pesan masuk dari Ayah membuatku urung mengetik. "Nak, seharian ini Ayah kepikiran kamu terus. Jangan terlalu larut dengan keadaan. Keluarlah, pergilah bersama teman-temanmu." Aku menghela napas membaca pesan dari Ayah. Lelaki itu selalu tahu kalau putrinya tidak baik-baik saja. Hampir saja aku terbawa arus permainan Laila. Dia sengaja memancing amarahku, membuat pikiranku semakin kacau. Tidak, aku tak akan membalas cara licik wanita itu. Aku memilih meletakkan ponsel ke atas meja bertepatan dengan azan Zuhur. Biarlah Laila merasa menang karena telah berhasil menguasai Rafa, aku tak akan pernah membiarkan wanita itu merusak hatiku dengan hasutannya. Tidak, dia tak pantas mendapatkan perhatianku. * Jangan pernah menceritakan masalah kepada manusia, bukannya jalan keluar yang didapat melainkan cemoohan. Satu-satunya tempat curhat paling baik hanyalah kepada Tuhan. Mau sesulit dan sesakit apa pun. Mau menangis ugal-ugalan pun Tuhan pasti akan menunjukkan jalan keluar. Aku percaya nasehat yang kerap diujarkan Ayah. Buktinya, setiap selesai bersujud hatiku merasa tenang, seakan-akan semua beban di dada terangkat. Biarlah suamiku tak lagi mencintaiku, asal Tuhan tak pernah meninggalkanku. Aku baru saja meletakkan sajadah di atas tempat tidur ketika ponselku berdering. Senyumku terbit melihat nama Rania tampil di layar. "Tumben kamu nelpon?" Aku bertanya setelah mengucap salam. "Kamu yang tumben tidak datang ke kelas. Anak-anak nanyain kamu." Aku memejamkan mata. Masalah beruntun membuatku lupa mengunjungi anak-anak jalanan di rumah singgah. Aku dan beberapa teman memang mengelola beberapa rumah singgah. Di sana kami mengajarkan baca dan tulis untuk anak-anak putus sekolah. Kami bahkan bekerjasama dengan pihak terkait agar anak-anak tersebut bisa mendapat ijazah melalui ujian paket A,B, dan C sehingga mereka punya kesempatan melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. "Maaf, dua hari ini aku kurang enak badan. Semoga besok bisa datang." "Sekarang gimana? Udah enakan?" Suara Rania terdengar cemas. Gadis itu memang sangat dekat denganku. Kami bersahabat sejak mondok di sebuah pesantren di Jawa Timur. "Lumayan," jawabku singkat sambil melabuhkan pandangan ke luar jendela melihat langit yang cerah. "Kalau gitu bisa dong, datang ke rumah biru? Hari ini donatur rumah singgah kita mau berkunjung. Masa ketuanya tidak ada." Aku bisa membayangkan bagaimana raut Riana sekarang. Gadis itu pasti sedang memanyunkan bibirnya. Aku menghela napas, rasanya ide bagus datang ke rumah singgah sekarang. Diam di rumah tidak akan membuat pikiran dan hatiku lebih baik. Mungkin bertemu dengan teman-teman dan bercengkerama dengan anak-anak beban hatiku lebih ringan. Setelah bersiap-siap, aku mengirimkan pesan ke ponsel Rafa mengabarkan pergi ke rumah singgah. Serumit apa pun masalah kami dia tetap suamiku, sudah kewajibanku meminta izin ke mana pun pergi. Melihat pesanku centang satu, aku menyimpan ponsel ke dalam tas selempang setelah memastikan posisi taksi pesananku. Mungkin Rafa sedang sibuk dengan Laila. Tak masalah, yang penting aku sudah mengabarinya. Tepat setelah mengunci pintu, taksi berwarna biru berhenti di depan rumah * Aku berhenti di depan gang kecil. Memang, salah satu rumah singgah binaanku berada di dekat perumahan warga. Untuk ke sana hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki atau sepeda motor. Aku berjalan tergesa-gesa karena tadi Riana mengabarkan donatur kami hampir sampai. Sungkan rasanya kalau beliau yang menungguku. Entah mengapa aku merasa diikuti seseorang. Benar saja, ketika menoleh ke belakang seorang laki-laki berbadan tegap berjalan cepat ke arahku. Aku bergidik melihat tato di tangannya. Apalagi wajahnya tidak terlalu jelas karena lelaki tersebut mengenakan topi dan kacamata. Ditambah masker yang dikenakan membuatku ketakutan. Aku terpaksa memacu langkah secepat yang aku bisa, tetapi lelaki itu masih mengejar. Di benakku berseliweran berita-berita kriminal kepada wanita membuat keringat dingin membasahi tubuhku. Beruntung di depan ada belokan. Aku gegas bersembunyi di belakang gerobak penjual mie ayam yang tidak berjualan. Baru saja menghela napas lega, bahuku ditepuk seseorang membuatku tubuhku seketika membatu. Ya, Tuhan, tolong aku ....Aku memejamkan mata sembari merapal doa di dalam hati semoga laki-laki itu bukan orang jahat. Membayangkan hal-hal buruk membuat kakiku gemetar, bahkan rasanya tak mampu menahan bobot tubuh."Najwa, kamu ngapain ngumpet di sini?"Refleks kelopak mataku terbuka lalu menoleh dengan cepat ke belakang. Lega seketika bertandang ke dada melihat raut Rania yang menatapku dengan dahi berkerut."Astaga, kamu bikin aku takut aja!" Aku berdiri sambil menepuk tanah kering yang menempel di rok."Kamu yang aneh, siang-siang gini ngumpet di belakang gerobak." Kepala Rania celingukkan melihat ke kiri dan kanan lalu kembali mematapku dengan mata memicing, "kejahatan apa yang sudah engkau lakukan wahai Ukhti?"Aku memasang wajah malas ketika Rania mulai bermain drama. Mungkin kebiasaannya menonton sinetron membuat otaknya terkontaminasi adegan-adegan lebay para aktor dan aktris."Ck, mana ada. Aku anak sholeha, rajin menabung, dan tidak sombong." "Trus, ngapain jongkok di sana?" Rania masih penasaran
"Terima kasih," ucapku pelan nyaris tak terdengar sambil menerima dompet yang ditemukan Bastian. Saking malunya aku bahkan tak berani menatap lelaki tersebut."Tidak perlu sungkan, tadinya aku bermaksud menyerahkan dompet itu ke kantor polisi. Ternyata kalau jodoh tidak ke mana, kita ketemu di sini.""Hah?!" Mendengar kata jodoh, aku tersentil dan mengangkat wajah hingga mau tak mau kami kembali bersitatap."Tidak usah mikir aneh-aneh. Apa pun kalau ketemu berarti jodoh, kan?"Aku kembali menunduk melihat lelaki itu tersenyum, rasanya dia sedang menertawakan kebodohanku. Tenang Najwa, ini hanya salah paham, besok-besok pasti sudah lupa."Kalau gitu tidak ada masalah, ya." Suara Riana terdengar menyela untuk mencairkan suasana yang telanjur kaku karena ulahku. Untung saja gadis itu cepat datang, kalau tidak entah kebodohan apa lagi yang aku lakukan."Ya, aku rasa anak-anak pasti sudah lapar, suruh rehat dulu sambil kita makan siang."Riana mengangguk. Dia memberi instruksi agar teman-
Telingaku berdenging ketika mendengar teguran keras seseorang. Aku menoleh ke arah suara dan melihat Rafa sedang menatap ke arahku dengan tajam, seolah-olah aku sedang melakukan kejahatan besar. Dadaku semakin terasa sesak ketika melihat Laila berdiri di samping lelaki itu. Saat tatapan kami beradu, dia semakin mengeratkan pegangannya di lengan Rafa, seakan-akan mengatakan kalau dia sudah memiliki lelaki itu sepenuhnya."Ternyata kerudung yang kamu gunakan hanya topeng. Saat suami tidak di rumah kamu malah kelayapan bersama lelaki lain." Lagi, Rafa mencercaku dengan lidahnya yang tajam.Aku melirik Bastian yang diam memperhatikan Rafa. Raut lelaki itu kembali terlihat datar. Mukaku memerah mendengar tudingan tidak berdasar lelaki tersebut, sampai hati dia menuduhku sekeji itu."Mas, jangan marah, mungkin kita salah paham. Tidak mungkin, kan, putri ustad terkenal perilakunya sama dengan wanita murahan." Kali ini Laila yang bicara sembari mengulas senyum licik. Di mataku wanita tersebut
Cukup lama aku berdiam diri. Baik Rafa maupun Laila tidak berminat berbincang sepatah kata pun. Baguslah, sebab setiap mendengar wanita itu bicara dadaku terasa terbakar, seolah-olah api unggun sedang menyala di dalam sana. Aku melirik Rafa sekilas ketika mobil berhenti di depan bangunan bercat putih. Lelaki itu turun tanpa bicara lalu berlari-lari kecil masuk ke pekarangan rumah."Bagus, kan, rumah kami? Mas Rafa membelikannya satu tahun yang lalu."Aku memejamkan kelopak mata mendengar Laila bicara, kata-kata wanita itu berhasil menggores hatiku. Aku bisa mengira-ngira Rafa setahun ini menduakanku atau mungkin bisa lebih lama dari itu."Kau pikir aku peduli?" Lidahku tak tahan menjawab provokasi Laila."Tentu kau harus peduli, setelah mendengar aku hamil Mas Rafa langsung membeli rumah yang lebih besar. Dan kau tahu setiap hari dia selalu bertanya apa yang aku butuhkan."Kedua telapak tanganku terkepal mendengar balasan Laila. Aku tahu dia sengaja memancing emosiku. Entah apa yang a
Aku terbangun ketika merasakan sesuatu menghimpit perutku. Aku menoleh ke sebelah ketika dengkur halus terdengar di telinga. Sejenak tertegun melihat wajah Rafa dekat sekali denganku. Bahkan, napasnya hangat menerpa mukaku. Aku bisa melihat dengan jelas raut lelaki itu. Rafa memiliki fitur wajah yang nyaris sempurna. Dahinya tidak terlalu lebar, tulang hidung tinggi, dan bentuk rahang tegas semakin membuatnya terlihat tampan. Tak salah rasanya banyak wanita yang terpesona saat menatapnya. Apalagi sifat ringan tangan dan ramah, tentu menjadi nilai tambah untuknya. Aku menyingkirkan tangan Rafa yang melingkar di pinggang, entah kapan lelaki itu naik ke tempat tidur. Kupikir dia akan tidur di ruang tengah atau kamar tamu. Bahkan aku sempat mengira dia akan kembali ke rumah Laila. Perlahan dadaku menghangat menyadari Rafa merendahkan egonya dan tidur sambil memelukku. Aku menatap wajah lelaki itu lamat-lamat. Maafkan aku, Mas, sikapku sekarang karena cintaku yang terlalu besar padamu. Be
Tanganku gemetar menyimpan hasil pemeriksaaan laboratorium ke dalam tas. Seketika aku merasa kosong, benak pun tak mampu berpikir dengan baik. Hasil pemeriksaan yang tertulis di kertas tadi rahasia besar yang melemahkan seluruh sendi-sendi tubuhku. Ingatanku terlempar ke masa lalu, kurang lebih satu setengah tahun yang lalu. Kala itu Rafa membawaku berobat, bahkan setiap satu bulan sekali pasti ada obat dari dokter yang diresepkan untukku. Aku sama sekali tak curiga setiap Rafa memberiku obat terus-menerus setiap hari selama enam bulan. Saking muaknya aku diam-diam membuang obat yang dia berikan. Aku berkedip untuk menghalau linangan yang berkumpul di kelopak mata. Semua kata-kata kasar yang aku ujarkan selama beberapa hari ini kembali padaku laksana anak panah. Menyasar jantung menciptakan geletar nyeri yang bertubi-tubi. Selama ini aku merasa paling menderita, ternyata lelaki itu menyimpan dukanya sendiri."Hampir lupa. Kalau tender ini lolos aku akan membawamu jalan-jalan ke Korea
Mataku tak lepas mengawasi Riana membungkuk mengambil botol yang lepas dari pegangannya. Raut gadis itu terlihat gugup membuatku semakin yakin ada yang dia sembunyikan. "Rin, bisakah kau menjawab pertanyaanku?" Nada suaraku memohon, tatapanku lekat mengunci wajah gadis tersebut. Riana menghela napas, dia memutar-mutar botol plastik di tangan sebelum menatapku balik. "Maaf, Najwa, aku tidak tahu harus mulai dari mana." Dadaku seperti dihantam batu, kata-kata Riana seakan menjawab prasangkaku. "Kau bisa mulai dari menjawab pertanyaanku. Apa kau mengenal Laila?" Anggukan Riana membuat tubuhku terasa ringan, seolah-olah bangku yang aku duduki amblas ke dasar bumi. "Kau tahu Mas Rafa menikah dengan Laila?" Lagi gadis berhijab lebar itu mengangguk membuat darahku mendidih, nyaris meledak andai tidak beristigfar berkali-kali. Aku menyatukan kedua telapak tangan lalu meremas dengan kuat untuk menentralisir amarah yang meletup-letup di dada. Mataku memanas dan dengan cepat menggenangka
"Jalan, Pak," pintaku setelah masuk kembali ke dalam taksi, tangisku kembali pecah membuat sang sopir menatapku sekilas dari kaca spion. "Mbak baik-baik saja?" tanya sopir itu setelah aku sedikit tenang. Tatapannya masih ke depan mengawasi jalan raya. "Iya," jawabku singkat sambil menyeka pipiku yang basah. "Kita ke mana, Mbak?" "Mutar-mutar saja, Pak." Aku tak tahu harus ke mana, rasanya kepalaku terasa berat hingga tak bisa berpikir jernih. Beruntung sopir taksi itu tidak bertanya lebih jauh. Malu rasanya menangis di depan orang asing, tetapi kata-kata Ibu Rafa terus terngiang-ngiang di benakku menghadirkan setumpuk rasa kecewa yang menggores dada. Setidakberharga itu aku di matanya. Benakku menggali ingatan apakah aku pernah menyakiti beliau walau sekali saja, hingga sangat besar ketidaksukaannya padaku? "Mas, sepertinya Bunda tidak menyukaiku." "Itu perasaanmu saja." "Masak, sih, Mas? Setiap aku ke rumah Bunda dia selalu diam, seolah-olah tidak berkenan aku menyambangi
Aku memperhatikan dokter memeriksa Athar dengan perasaan tak menentu. Cemas, takut, dan marah campur aduk di dadaku. Aku tak melihat luka di tubuh bocah lelaki itu, tetapi yang aku takutkan pengalaman dicu-lik akan mengendap di benaknya dan menjadi trauma berkepanjangan. Sampai saat ini aku bahkan belum memaafkan kelalaianku menjaga Athar. Padahal sebelumnya aku sangat berhati-hati, mungkin inilah yang dinamakan sedang tidak beruntung? "Bagaimana anak saya, dok?" Aku langsung bertanya ketika dokter tadi selesai memeriksa Athar. "Dia mengalami dehidrasi, sepertinya dia tidak mendapat asupan makanan dan minuman lebih dari delapan belas jam." Da-daku seperti digodam besi mendengar penjelasan dokter. Jangankan delapan belas jam, Athar makan teratur tiga kali sehari, bahkan mulutnya tidak berhenti ngemil tiap jam. Membayangkan dia harus menahan lapar dan haus selama itu membuat amarahku kembali berkobar. Aku berjanji Risa harus membayar perbuatannya dengan tinggal di hotel prodeo selam
"Tante, aku lapal!" Aku berteriak dengan kesal lalu menatap Athar tajam. "Berisik! Bisa diam gak? Lama-lama aku sum-pal mulutmu pakai batu!" Aku menunjukkan batu apung sebesar tinju orang dewasa kepada Athar. Suara rengekannya membuat kepalaku terasa pecah. Apalagi dia selalu memanggil Uminya. Najwa, wanita itu berhasil membuatku malu di media sosial. Aku terpaksa menonaktifkan akun tok-tokku agar tidak diserang lagi oleh netizen. Niatku mencari simpati malah dimentalkan Najwa. Seseakun yang aku yakin dia dalang di belakang layar membuat postingan tandingan sehingga semua tuduhan yang aku arahkan padanya luruh sendiri. Aku tidak mengira dia merekam percakapan kami. Benar-benar wanita licik. Akibat dari postingannya itu aku harus kehilangan follower sampai ribuan. Padahal aku sudah mendapat beberapa endorsan yang belum sempat kuposting. Rencana mendapatkan u-ang dari akun tok-tok gagal total, ditambah lagi sindiran teman-teman di dunia nyata yang juga berteman denganku di sosial med
Tangisku tak kunjung berhenti, dadaku pun terasa semakin mengkerut membayangkan nasib Athar. Harusnya aku tak membiarkan dia pergi sendiri, harusnya aku yang membeli makanan untuknya. Kata-kata pengandaian terus bermain di kepalaku menikamkan rasa bersalah ke dalam dada. Ya, Tuhan ... di mana putraku? Siapa yang telah membawanya?"Sayang, apa yang terjadi?" Mendengar suara Bastian aku mengangkat kepala, ada setitik rasa lega hadir melihat lelaki itu tergopoh-gopoh menghampiriku."Mas, Athar ...." Aku tak sanggup meneruskan kata-kataku, sesak di rongga dada belumlah tuntas memantik tangisku kembali pecah."Annisa, ada apa? Di mana Athar?" "Gak tahu, Pak. Tadi kata yang punya warung makan Athar udah balik ke toko, tapi dia juga gak bisa memastikan Athar sudah masuk atau belum." Annisa menceritakan kronologi kejadian dari awal sampai akhir.Aku bisa merasakan usapan di punggung serta helaan napas berat dari mulut Bastian. Aku tahu ini kelalaianku, tak seharusnya membiarkan Athar pergi
"Sayang, ponselmu dari tadi bunyi. Kayaknya notifikasi dari tiktok." "Oh, ya?" Aku melirik ponsel yang kuletakkan di atas bufet kecil di sudut ruang makan. Aku tersenyum, pasti akun bodong yang aku buat sudah ramai dengan komentar-komentar julid khas netizen plus enam dua, apalagi topiknya tentang pelakor. Biasa, kan, kalau ada bau-bau wanita pengganggu pasti akan dikerubungi seperti semut menemukan gula. "Ada apa? Kok, senyum-senyum gitu?" Bastian yang sedang menyuap bubur ayam melirikku dengan tatapan penasaran. Aku menarik kursi dari meja makan lalu duduk di sebelahnya. "Kamu ingin tahu atau ingin tahu banget?" Aku balik bertanya sambil bertopang dagu dan menatap Bastian dengan sorot menggoda. "Ck, kalau seperti ini pasti seru. Memangnya ada apa?" Bastian mengelap mulutnya. Dia memang penyuka bubur ayam, sebentar saja makanan itu sudah tandas. "Begini." Aku menghadapkan wajah dan tubuh ke arah Bastian, suatu kebiasaan bila ingin bicara sesuatu yang serius. "Kemarin aku pecat
"Pak Bastian di mana?" Risa celingak-celinguk mencari keberadaan Bastian. Wajahnya memucat, tetapi dia sangat pandai mengendalikan diri sehingga tidak terlihat panik. "Untuk apa kau bertanya di mana suamiku?" "Sa, saya ...." Aku bersedekap dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi menunggu apa jawaban Risa. "Tadi Pak Bastian nyuruh saya masuk. Saya pikir ...." "Kamu pikir itulah kesempatan untuk merayu suami saya, begitu?" Bukannya takut, Risa malah menantang mataku. "Syukurlah kalau Ibuk sudah tahu. Jadi, saya tidak perlu menyembunyikan lagi perasaan saya." Aku berdecak dan geleng-geleng kepala mendengar pengakuan lugas Risa. Tak ada ketakutan di rautnya berkata seperti tadi. Sungguh kepercayaan diri yang tidak berada di tempatnya. "Lalu setelah saya tahu apa yang kamu harapkan?" "Saya harap Ibuk bersedia menerima saya sebagai madu. Tenang saja, walau saya lebih muda, tetapi saya tidak akan menguasai Mas Bastian." Mas? Aku tertawa dalam hati mendengar Risa sangat percay
"Kita tunggu Umi, ya. Belum lapar, kan?"Aku tersenyum melihat Athar menggeleng, tetapi tangannya sibuk memasukkan keripik kentang ke dalam mulut. Pipi gembulnya bergoyang membuatku tak tahan ingin mencubitnya."Katanya tunggu Umi, kok, ngemil?" Lagi terdengar protes Bastian. Dia sesekali melirik Athar yang tenang duduk di atas kursi, sementara tangan lelaki itu sibuk mengaduk sesuatu di dalam wajan."Kelipik Umi enak, Bi. Athal suka, Umi pintel masak." Dia menjawab dan mengacungkan jempol ke Bastian untuk memvalidasi ucapannya."Cuma Umi? Masakan Abi juga enak lho." Athar lagi-lagi menggeleng. "Lebih enak masakan Umi."Aku tertawa kecil mendengar balasan Athar, dia memang belum bisa melapalkan huruf R dengan baik. "Wah, makasih, sayang. Umi pinter karena masak Abi yang ngajarin." Aku menghampiri keduanya dan ikut menyela obrolan mereka, lalu memeluk pinggang Bastian yang tersenyum ke arahku.Bastian tersenyum. "Pagi, sayang." Satu kecupan ringan dibubuhkan di dahiku. Gimana tidurny
Aku mengecup pipi gembul Athar dengan pelan agar tidurnya tidak terusik. Senyumku mengembang melihat dia sudah tumbuh besar. Tak terasa lima tahun berlalu sejak membawa bayi merah itu ke rumah, kini dia tumbuh menjadi bocah periang dan menggemaskan. Athar sangat pintar, di usia yang belum cukup enam tahun dia sudah lancar membaca. Dia juga hapal beberapa surat pendek, karena sejak usia satu tahun aku mengajarkannya membaca ayat-ayat suci tersebut dalam setiap kesempatan. Sebelum tidur, saat bangun, dan di sela-sela bermain. Tidak ada yang mengira kalau dia putra angkatku dan Bastian, sebab wajahnya semakin lama menyalin parasku. Entah mitos atau kenyataan, orang-orang bilang walaupun tidak memiliki hubungan darah, tetapi bila lama hidup bersama paras pun akan menyerupai dengan siapa dia tinggal. Aku tidak mempermasalahkan benar atau tidak, yang penting Athar tumbuh sehat tidak kurang satu apa pun."Athar sudah tidur?" Pertanyaan Bastian menyambutku ketika keluar dari kamar Athar.Aku
'Terima kasih diriku telah berhasil bertahan hingga detik ini. Maafkan aku yang telah banyak menyusahkanmu. Untuk ke depan ayo kita saling mencintai, karena aku hanya punya kamu begitu pula sebaliknya. Aku tersenyum membaca barisan kata-kata yang lewat di beranda Instagramku. Kalimat yang mampu membuat mataku terasa hangat. Entah kebetulan atau sedang menyentilku agar tidak terus-menerus larut bersama kesedihan, konten-konten yang serupa sering FYP di akunku. Seperti sedang menasehati hidup ada pasang-surutnya. Tidak semua yang diinginkan baik menurut Tuhan, adakalanya kita dipaksa menerima kenyataan yang jauh berbeda dari ekspetasi. Meski tak suka, sebagai manusia kita bisa apa kalau Sang Mahakuasa tidak ridho dengan keinginan kita. Aku menghela napas dalam lalu melabuhkan pandangan ke pohon mangga yang daunnya bergoyang diembus angin. Satu tahun sudah sejak kehilangan calon bayi, aku mulai membuka diri. Awalnya sulit, karena aku telanjur melambung dengan anganku sendiri. Rencana-r
Daya di tubuhku seakan tersedot keluar melihat Najwa jatuh terduduk ke atas paving block di pekarangan rumah kami. Aku hendak mengejarnya, tetapi satu orang penjahat berusaha memukuliku hingga aku harus melumpuhkan terlebih dulu. Beruntung tetangga dan beberapa orang pemuda yang dihubungi oleh satpam perumahan sudah berkumpul membuat kelima penjahat itu berhasil dibekuk dengan mudah. Aku menghampiri Najwa dengan langkah lebar lalu berjongkok di sampingnya. "Kamu tidak apa-apa?" Cemas mencengkeram dadaku ketika melihatnya meringis kesakitan sambil memegang perut. "Sakit, Mas, perutku." Najwa merintih, bola mataku seakan hendak melompat dari tempatnya melihat darah mengalir di sela kakinya. "Mas, darah, anakku ...." Tangis Najwa pecah, rautnya berubah pucat pasi, dia terlihat sangat kesakitan. Aku mengangkat tubuh Najwa sambil berteriak agar seseorang membuka pintu mobil untukku. Jantungku seolah-olah hendak pecah ketika rasa takut semakin menjadi-jadi menyusupkan pikiran buruk tent