Mataku tak lepas mengawasi Riana membungkuk mengambil botol yang lepas dari pegangannya. Raut gadis itu terlihat gugup membuatku semakin yakin ada yang dia sembunyikan. "Rin, bisakah kau menjawab pertanyaanku?" Nada suaraku memohon, tatapanku lekat mengunci wajah gadis tersebut. Riana menghela napas, dia memutar-mutar botol plastik di tangan sebelum menatapku balik. "Maaf, Najwa, aku tidak tahu harus mulai dari mana." Dadaku seperti dihantam batu, kata-kata Riana seakan menjawab prasangkaku. "Kau bisa mulai dari menjawab pertanyaanku. Apa kau mengenal Laila?" Anggukan Riana membuat tubuhku terasa ringan, seolah-olah bangku yang aku duduki amblas ke dasar bumi. "Kau tahu Mas Rafa menikah dengan Laila?" Lagi gadis berhijab lebar itu mengangguk membuat darahku mendidih, nyaris meledak andai tidak beristigfar berkali-kali. Aku menyatukan kedua telapak tangan lalu meremas dengan kuat untuk menentralisir amarah yang meletup-letup di dada. Mataku memanas dan dengan cepat menggenangka
"Jalan, Pak," pintaku setelah masuk kembali ke dalam taksi, tangisku kembali pecah membuat sang sopir menatapku sekilas dari kaca spion. "Mbak baik-baik saja?" tanya sopir itu setelah aku sedikit tenang. Tatapannya masih ke depan mengawasi jalan raya. "Iya," jawabku singkat sambil menyeka pipiku yang basah. "Kita ke mana, Mbak?" "Mutar-mutar saja, Pak." Aku tak tahu harus ke mana, rasanya kepalaku terasa berat hingga tak bisa berpikir jernih. Beruntung sopir taksi itu tidak bertanya lebih jauh. Malu rasanya menangis di depan orang asing, tetapi kata-kata Ibu Rafa terus terngiang-ngiang di benakku menghadirkan setumpuk rasa kecewa yang menggores dada. Setidakberharga itu aku di matanya. Benakku menggali ingatan apakah aku pernah menyakiti beliau walau sekali saja, hingga sangat besar ketidaksukaannya padaku? "Mas, sepertinya Bunda tidak menyukaiku." "Itu perasaanmu saja." "Masak, sih, Mas? Setiap aku ke rumah Bunda dia selalu diam, seolah-olah tidak berkenan aku menyambangi
"Aku jatuh cinta padamu saat pertama kali kita bertemu." Lugas sekali kata-kata itu keluar dari mulut Bastian. Aku rasa laki-laki itu sudah tidak waras. Padahal dia tahu dengan jelas aku wanita bersuami. "Sebaiknya aku pulang." Aku bangkit dari kursi dengan cepat sehingga kursi yang aku duduki bergeser ke belakang. "Eh, tunggu, kenapa tiba-tiba? Apa kau marah karena ucapanku tadi?" Bastian menghadang sehingga gerakku tertahan. "Apa kau sadar yang kau ucapkan tadi? Aku bukan wanita lajang, berani sekali kau mengatakan ingin menikahiku." Aku merendahkan suara, tetapi tatapanku menajam ke arahnya. Enak saja bilang cinta, dia pikir aku wanita gampangan yang tak bisa menjaga marwahku? Walau pun luka yang diberi Rafa masih berdarah, tak akan membuatku mencari pelampiasan lelaki lain. Tidak, aku tak serendah itu! Alih-alih Bastian tertawa mendengar racauanku, sepasang matanya menyipit menciptakan kerutan di sudut matanya. "Hei, aku bilang kalau kamu bercerai dengannya, bukan merebutmu
"Ayah, maaf, tapi aku benar-benar kecewa. Selama ini aku menerima kekurangan Najwa tanpa pernah mengeluh. Bahkan, aku menutupi fakta kalau dia mandul agar tak rendah diri. Namun, apa balasannya padaku?"Aku menatap nanar ke arah Rafa, belum cukup luka yang dia gores kini di depan Ayah dan Bastian membuka aibku. Terbuat dari apa hati lelaki itu?"Sudah cukup kau merendahkan putriku?" Suara Ayah bergetar, aku bisa melihat hati lelaki itu sama hancurnya denganku. "Aku yang membesarkannya dengan tanganku, melihatnya tumbuh dan berkembang. Aku sangat tahu putriku tak akan berbuat hal sekeji itu. Dan kau sebagai suami harusnya mengenal seperti apa istrimu. Tanya hatimu, apa mungkin dia melakukan perbuatan hina yang kau tuduhkan?"Aku mendekat ke Ayah. Membiarkan tangisku pecah di balik punggungnya. Baru tadi pagi menata hati, menerima kekuaranganku. Baru tadi pagi aku belajar ikhlas harus berbagi suami, tetapi kini lelaki itu menghancurkan semuanya. Di mana cinta untukku dia letakkan?"Maaf
Aku tidak mengira permintaan itu keluar dari bibir Bastian. Apa yang dicari lelaki itu dariku? Bukankah dia mendengar kalau aku wanita yang tidak sempurna. Mana mungkin ada lelaki yang tidak menginginkan buah hati. Mungkin awalnya bisa menerima, tetapi waktu yang bergulir bisa merubah pikiran seseorang. Seperti Rafa, aku tak mengira lelaki yang awalnya sangat mencintaiku berubah menjadi monster, menyakitiku tanpa merasa bersalah."Bagaimana, kamu setuju?" Pertanyaan Bastian menarik kembali kesadaran kalau lelaki itu masih duduk di hapadanku."Aku belum resmi bercerai. Lagipula tak ada niat sama sekali untuk menikah lagi." Aku menjawab pelan, nyeri perlahan merayapi sekujur tubuh. Bagiku pernikahan cukup sekali seumur hidup, tapi malang tak bisa ditolak, untung tak bisa diraih. Pernikahanku kandas menyisakan trauma mendalam."Pikirkanlah lagi. Kau mungkin tak percaya kalau aku menyukaimu sejak pertama bertemu, tapi bukan itu saja alasanku mengajakmu menikah."Dahiku berkerut mendengar
Ayah tak main-main dengan ucapannya, sebab esoknya aku melihat berkas salinan berita acara dari pengadilan agama di atas meja. Demi putrinya Ayah menjelma dari lelaki lemah-lembut menjadi sangat tegas. Tentu saja, apalagi yang bisa diharapkan dari biduk rumah tangga yang pondasinya telah hancur. Aku membaca sekilas jadwal sidang pertama akan dilangsungkan satu bulan lagi. Aku menghela napas menghalau kenangan bersama Rafa yang mencoba mengusik benak. Aku tak mau lagi mengingat masa lalu, semua telah aku tinggalkan di belakang meski harus tertatih menambal setiap luka di dada."Kau jangan takut, Ayah akan menemanimu di sidang perceraianmu nanti."Aku mengangguk pelan sambil meletakkan berita acara ke dalam map kembali. "Aku minta maaf mengecewakan Ayah, tapi Najwa sudah berusaha sebaik mungkin, tidak dikira Rafa tak bisa menahan lidahnya."Ayah tersenyum, aku tahu dia mati-matian menahan nyeri di dada, karena rumah tangga putri satu-satunya kandas di depan matanya sendiri."Ayah yang m
Setelah membayar ongkos taksi aku berlari menuju bagian informasi. Menurut si penelepon Ayah dibawa ke rumah sakit dengan mobil sehat milik masjid. Aku bertanya kepada perawat yang bertugas tentang pasien yang baru masuk karena serangan jantung. Tak butuh waktu lama aku tahu di mana Ayah berada. Langkahku terseok-seok menyusuri selasar rumah sakit sesuai arahan perawat tadi. Rongga dadaku terasa sesak seakan ada yang menahan laju napasku. Bahkan, oksigen yang kuhirup dengan rakus tak bisa melonggarkan tenggorokanku."Mbak Najwa!" Hanif melambai ke arahku. Wajah pemuda tanggung itu pucat-pasi, aku bisa melihat matanya berkaca-kaca. Aku gegas menghampiri Hanif yang hampir dua tahun terakhir selalu ikut menemani Ayah ke berbagai tempat untuk mengisi acara pengajian."Nif, gimana Ayah?" Aku bisa mendengar suaraku bergetar ketika bertanya. Berbagai asumsi buruk berbondong-bondong menerobos tempurung kepalaku."Belum tahu, Mbak. Wak haji sedang diperiksa dokter." Hanif menunjuk ke ruangan
"Aku dan Bastian akan menikah."Kata-kata Najwa berhasil membuatku terdiam. Tidak mungkin mantan istriku itu secepat ini mendapatkan penggantiku, kecuali keduanya sudah berhubungan jauh sebelum kami bercerai. Jangan-jangan Najwa memang berselingkuh saat kami masih terikat pernikahan? Aku menatap keduanya bergantian dengan sorot tajam."Kamu pasti bohong, kan? Kamu mengatakan ini agar aku menyerah, kan?" Terdengar sangat percaya percaya diri ucapanku. Persetan perubahan di raut lelaki yang namanya Bastian itu."Mas, sebaiknya kamu pulang ke anak dan istrimu. Jangan sampai Laila menuduhku memelet kamu, karena kamu selalu ke sini. Aku ingin hidup tenang."Datar sekali nada suara Najwa, seolah-olah hubungan kami selama enam tahun ini tak berarti lagi. Semua gara-gara Laila! Awas saja wanita itu nanti, akan aku beri pelajaran agar tidak ikut campur urusanku. Aku tahu setelah talak tiga yang aku ucapkan malam itu, tidak mungkin aku dan Najwa kembali bersama, kecuali dia menjanda lagi untuk