Setelah membayar ongkos taksi aku berlari menuju bagian informasi. Menurut si penelepon Ayah dibawa ke rumah sakit dengan mobil sehat milik masjid. Aku bertanya kepada perawat yang bertugas tentang pasien yang baru masuk karena serangan jantung. Tak butuh waktu lama aku tahu di mana Ayah berada. Langkahku terseok-seok menyusuri selasar rumah sakit sesuai arahan perawat tadi. Rongga dadaku terasa sesak seakan ada yang menahan laju napasku. Bahkan, oksigen yang kuhirup dengan rakus tak bisa melonggarkan tenggorokanku."Mbak Najwa!" Hanif melambai ke arahku. Wajah pemuda tanggung itu pucat-pasi, aku bisa melihat matanya berkaca-kaca. Aku gegas menghampiri Hanif yang hampir dua tahun terakhir selalu ikut menemani Ayah ke berbagai tempat untuk mengisi acara pengajian."Nif, gimana Ayah?" Aku bisa mendengar suaraku bergetar ketika bertanya. Berbagai asumsi buruk berbondong-bondong menerobos tempurung kepalaku."Belum tahu, Mbak. Wak haji sedang diperiksa dokter." Hanif menunjuk ke ruangan
"Aku dan Bastian akan menikah."Kata-kata Najwa berhasil membuatku terdiam. Tidak mungkin mantan istriku itu secepat ini mendapatkan penggantiku, kecuali keduanya sudah berhubungan jauh sebelum kami bercerai. Jangan-jangan Najwa memang berselingkuh saat kami masih terikat pernikahan? Aku menatap keduanya bergantian dengan sorot tajam."Kamu pasti bohong, kan? Kamu mengatakan ini agar aku menyerah, kan?" Terdengar sangat percaya percaya diri ucapanku. Persetan perubahan di raut lelaki yang namanya Bastian itu."Mas, sebaiknya kamu pulang ke anak dan istrimu. Jangan sampai Laila menuduhku memelet kamu, karena kamu selalu ke sini. Aku ingin hidup tenang."Datar sekali nada suara Najwa, seolah-olah hubungan kami selama enam tahun ini tak berarti lagi. Semua gara-gara Laila! Awas saja wanita itu nanti, akan aku beri pelajaran agar tidak ikut campur urusanku. Aku tahu setelah talak tiga yang aku ucapkan malam itu, tidak mungkin aku dan Najwa kembali bersama, kecuali dia menjanda lagi untuk
Atmosfir di teras terasa canggung bagiku. Rafa sudah pulang sekitar satu jam yang lalu, tetapi kata-katanya masih terngiang-ngiang di benakku. Sampai hati lelaki itu mengumbar kekuranganku membuatku semakin yakin mengenyahkannya dari hidupku pilihan terbaik. Tidak seharusnya pasangan yang sudah menjadi mantan saling membuka aib, seolah-olah lupa hubungan selama ini. Bagiku masa lalu tidak akan pernah menjadi masa depan. Pun semua kekurangan Rafa biar menjadi milikku saja. Namun, prinsip lelaki itu bertentangan denganku. Mungkin dengan menyebar aibku dia bisa mengendalikan hidupku. "Jadi, berapa bulan lagi iddah dari pengadilan?"Aku menatap Bastian untuk memastikan memang dia yang bertanya. "Satu atau dua bulan?"Aku berdeham untuk melonggarkan kerongkongan yang terasa tercekat. "Satu bulan lagi, tapi kau tak perlu anggap serius ucapanku tadi. Aku berkata seperti itu agar Rafa berhenti mengejarku.""Kau harus berhati-hati terhadapnya. Aku yakin dia tidak akan berhenti mengganggumu.
"Silvi, apa-apaan kamu!" Bastian melepas paksa tangan si wanita yang melingkari lengannya. Tatapan kami kemudian beradu, dia seakan tahu ada tanya yang menggelayuti benakku. "Nif, kamu sudah punya SIM?"Melihat Hanif mengangguk, Bastian merogoh saku celana lalu menyerahkan kunci mobil ke pemuda tersebut."Kamu antar Mbakmu dan Riana pulang. Ada yang harus Mas selesaikan."Hanif menerima ragu-ragu kunci mobil Bastian. Dia melirik ke arahku sekilas lalu mengangguk. "Tapi, Mas mau ke mana?"Pertanyaan Hanif mewakili rasa ingin tahuku. Aku ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Kalau wanita bernama Silvi itu mengaku istri Bastian berarti aku adalah orang ketiga di pernikahan mereka? Ah, semesta seakan tak pernah puas mengejek kemalanganku. Rumah tanggaku hancur karena kehadiran Laila, justru kini aku berada di posisi wanita tersebut."Najwa ....""Ayo pulang." Aku menyela ucapan Riana. Gadis itu menatapku dengan sorot prihatin. Aku mendahului berjalan menjauh dari Bastian tanpa sepat
"Katakan, ada apa sebenarnya?" Aku kembali bertanya sembari menatap Riana dan Bastian bergantian. Aku gigih menuntut jawaban dari mereka, tetapi sepertinya tak ada yang berniat membuka suara. Gusar dengan sikap keduanya aku merampas ponsel yang dipegang Riana sejak tadi. Gadis itu selalu bicara tentang sosial media. Aku penasaran sosial media siapa yang dimaksud olehnya."Naj, sebaiknya kamu jangan lihat." Riana berusaha mempertahankan ponselnya, tetapi aku lebih keras. Aku tahu salah membuka ponsel milik orang lain tanpa izin. Namun, hanya ini satunya cara agar aku tahu apa yang keduanya bicarakan tadi.Beruntung ponsel Riana tidak disandi. Begitu menyentuh layar benda tadi terpampang postingan yang mendapatkan reaksi luar biasa dari penduduk dunia maya. Like dan komentar menembus ribuan. Tulisan macam apa yang membuat animo netizen sedemikian besar? Aku lebih tertarik membaca komentar terlebih dahulu. Mataku melotot membaca tajamnya ketikan para netizen. Banyak dari mereka menghuj
"Kamu tidak apa-apa?" Riana menyentuh bahuku mengembalikan kesadaranku kalau gadis itu masih duduk di sebelah.Aku mengangguk. "Maaf, kemarin aku tak peduli padamu dan Hanif. Maaf merepotkanmu," ucapku lirih. Setelah pulang dari hotel aku sibuk menata hati yang patah dengan mengurung diri di kamar.Riana tersenyum. "Tidak apa-apa, kayak sama siapa aja. Aku tahu kamu sedang tidak baik-baik saja, karena itu aku ijin sama Ibu nemanin kamu di sini barangkali kamu butuh sesuatu."Aku terharu, Tuhan membiarkan orang-orang jahat menghancurkan hatiku, tetapi mengirim teman-teman yang baik, selalu ada saat aku membutuhkan. "Makasih, kamu teman yang sangat baik.""Iya, dong." Tawa Riana menular padaku. Keceriaan gadis itu perlahan mampu menghalau kabut yang bergelayut di kepalaku. "Tapi aku ijinnya cuma semalam, kamu tidak apa-apa aku tinggal, kan?""Iya, aku baik-baik aja. Ini aja aku sudah makasih banget. Salam untuk Ibu, ya."Riana mengangguk. Dia berjalan ke kamar tamu yang terletak di sebe
"Kamu ... kamu memu-kulku demi membela wanita ini?" Aku menunjuk Najwa dengan semua kebencian yang ada padaku. Teganya Rafa mempermalukanku. Lihat saja, sekarang wanita itu tersenyum penuh kemenangan. Pasti dia besar kepala karena dibela suamiku."Berhenti membuat masalah, ayo pulang!" Alih-alih meminta maaf, Rafa malah menarik tanganku dengan keras untuk meninggalkan rumah Najwa. Tak ada lagi sikap lemah-lembut yang dulu dia perlihatkan di awal-awal menikah. Setelah bercerai dengan Najwa dia seakan membenciku. Bahkan, tak mau menggendong anak kami. Aku yakin wanita bu-suk itu sudah mengguna-guna suamiku. Bisa jadi, kan, dia tidak rela Rafa lebih memilihku? Lagipula untuk apa memelihara wanita mandul, sama saja menyiram tanaman yang tumbuh di gurun pasir. Aku semakin yakin ketika beberapa minggu yang lalu curhat di salah satu grup facebook. Banyak yang berkomentar besar kemungkinan Rafa memang dipelet. Bahkan, ada yang memberi alamat dukun yang bisa mematahkan pelet itu. Aku sudah m
Aku pergi setelah berhasil menenangkan Najwa. Aku tidak mengira setelah bertahun-tahun Silvi muncul di hadapanku dan menghadirkan ragu di hati wanita yang baru saja aku nikahi. Bertahun yang lalu aku menjatuhkan talak padanya setelah memergokinya berselingkuh dengan sahabat baiku. Aku memang tak pernah mengurus perceraikan kami ke pengadilan agama, karena aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Aku tidak mengira ketidakpedulianku itu menjadi bumerang untuk hubunganku dengan Najwa.Entah bagaimana dan dari mana Silvi mengetahui sosial media Najwa. Aku bahkan baru tahu kalau wanita itu aktif di Facebook. Rianalah yang pertama kali melabrakku dan mengatakan kalau aku sumber masalah yang membuat Najwa dihujat ribuan orang di sosial media. Jangankan Riana, aku saja sebagai laki-laki geleng-geleng kepala membaca ketikan para netizen yang kebanyakan perempuan. Sepertinya pelakor selalu menjadi isu sensitif bagi kaum hawa tersebut."Sory, lama nunggu, ya."Aku mengangkat pandangan dari po