Atmosfir di teras terasa canggung bagiku. Rafa sudah pulang sekitar satu jam yang lalu, tetapi kata-katanya masih terngiang-ngiang di benakku. Sampai hati lelaki itu mengumbar kekuranganku membuatku semakin yakin mengenyahkannya dari hidupku pilihan terbaik. Tidak seharusnya pasangan yang sudah menjadi mantan saling membuka aib, seolah-olah lupa hubungan selama ini. Bagiku masa lalu tidak akan pernah menjadi masa depan. Pun semua kekurangan Rafa biar menjadi milikku saja. Namun, prinsip lelaki itu bertentangan denganku. Mungkin dengan menyebar aibku dia bisa mengendalikan hidupku. "Jadi, berapa bulan lagi iddah dari pengadilan?"Aku menatap Bastian untuk memastikan memang dia yang bertanya. "Satu atau dua bulan?"Aku berdeham untuk melonggarkan kerongkongan yang terasa tercekat. "Satu bulan lagi, tapi kau tak perlu anggap serius ucapanku tadi. Aku berkata seperti itu agar Rafa berhenti mengejarku.""Kau harus berhati-hati terhadapnya. Aku yakin dia tidak akan berhenti mengganggumu.
"Silvi, apa-apaan kamu!" Bastian melepas paksa tangan si wanita yang melingkari lengannya. Tatapan kami kemudian beradu, dia seakan tahu ada tanya yang menggelayuti benakku. "Nif, kamu sudah punya SIM?"Melihat Hanif mengangguk, Bastian merogoh saku celana lalu menyerahkan kunci mobil ke pemuda tersebut."Kamu antar Mbakmu dan Riana pulang. Ada yang harus Mas selesaikan."Hanif menerima ragu-ragu kunci mobil Bastian. Dia melirik ke arahku sekilas lalu mengangguk. "Tapi, Mas mau ke mana?"Pertanyaan Hanif mewakili rasa ingin tahuku. Aku ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Kalau wanita bernama Silvi itu mengaku istri Bastian berarti aku adalah orang ketiga di pernikahan mereka? Ah, semesta seakan tak pernah puas mengejek kemalanganku. Rumah tanggaku hancur karena kehadiran Laila, justru kini aku berada di posisi wanita tersebut."Najwa ....""Ayo pulang." Aku menyela ucapan Riana. Gadis itu menatapku dengan sorot prihatin. Aku mendahului berjalan menjauh dari Bastian tanpa sepat
"Katakan, ada apa sebenarnya?" Aku kembali bertanya sembari menatap Riana dan Bastian bergantian. Aku gigih menuntut jawaban dari mereka, tetapi sepertinya tak ada yang berniat membuka suara. Gusar dengan sikap keduanya aku merampas ponsel yang dipegang Riana sejak tadi. Gadis itu selalu bicara tentang sosial media. Aku penasaran sosial media siapa yang dimaksud olehnya."Naj, sebaiknya kamu jangan lihat." Riana berusaha mempertahankan ponselnya, tetapi aku lebih keras. Aku tahu salah membuka ponsel milik orang lain tanpa izin. Namun, hanya ini satunya cara agar aku tahu apa yang keduanya bicarakan tadi.Beruntung ponsel Riana tidak disandi. Begitu menyentuh layar benda tadi terpampang postingan yang mendapatkan reaksi luar biasa dari penduduk dunia maya. Like dan komentar menembus ribuan. Tulisan macam apa yang membuat animo netizen sedemikian besar? Aku lebih tertarik membaca komentar terlebih dahulu. Mataku melotot membaca tajamnya ketikan para netizen. Banyak dari mereka menghuj
"Kamu tidak apa-apa?" Riana menyentuh bahuku mengembalikan kesadaranku kalau gadis itu masih duduk di sebelah.Aku mengangguk. "Maaf, kemarin aku tak peduli padamu dan Hanif. Maaf merepotkanmu," ucapku lirih. Setelah pulang dari hotel aku sibuk menata hati yang patah dengan mengurung diri di kamar.Riana tersenyum. "Tidak apa-apa, kayak sama siapa aja. Aku tahu kamu sedang tidak baik-baik saja, karena itu aku ijin sama Ibu nemanin kamu di sini barangkali kamu butuh sesuatu."Aku terharu, Tuhan membiarkan orang-orang jahat menghancurkan hatiku, tetapi mengirim teman-teman yang baik, selalu ada saat aku membutuhkan. "Makasih, kamu teman yang sangat baik.""Iya, dong." Tawa Riana menular padaku. Keceriaan gadis itu perlahan mampu menghalau kabut yang bergelayut di kepalaku. "Tapi aku ijinnya cuma semalam, kamu tidak apa-apa aku tinggal, kan?""Iya, aku baik-baik aja. Ini aja aku sudah makasih banget. Salam untuk Ibu, ya."Riana mengangguk. Dia berjalan ke kamar tamu yang terletak di sebe
"Kamu ... kamu memu-kulku demi membela wanita ini?" Aku menunjuk Najwa dengan semua kebencian yang ada padaku. Teganya Rafa mempermalukanku. Lihat saja, sekarang wanita itu tersenyum penuh kemenangan. Pasti dia besar kepala karena dibela suamiku."Berhenti membuat masalah, ayo pulang!" Alih-alih meminta maaf, Rafa malah menarik tanganku dengan keras untuk meninggalkan rumah Najwa. Tak ada lagi sikap lemah-lembut yang dulu dia perlihatkan di awal-awal menikah. Setelah bercerai dengan Najwa dia seakan membenciku. Bahkan, tak mau menggendong anak kami. Aku yakin wanita bu-suk itu sudah mengguna-guna suamiku. Bisa jadi, kan, dia tidak rela Rafa lebih memilihku? Lagipula untuk apa memelihara wanita mandul, sama saja menyiram tanaman yang tumbuh di gurun pasir. Aku semakin yakin ketika beberapa minggu yang lalu curhat di salah satu grup facebook. Banyak yang berkomentar besar kemungkinan Rafa memang dipelet. Bahkan, ada yang memberi alamat dukun yang bisa mematahkan pelet itu. Aku sudah m
Aku pergi setelah berhasil menenangkan Najwa. Aku tidak mengira setelah bertahun-tahun Silvi muncul di hadapanku dan menghadirkan ragu di hati wanita yang baru saja aku nikahi. Bertahun yang lalu aku menjatuhkan talak padanya setelah memergokinya berselingkuh dengan sahabat baiku. Aku memang tak pernah mengurus perceraikan kami ke pengadilan agama, karena aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Aku tidak mengira ketidakpedulianku itu menjadi bumerang untuk hubunganku dengan Najwa.Entah bagaimana dan dari mana Silvi mengetahui sosial media Najwa. Aku bahkan baru tahu kalau wanita itu aktif di Facebook. Rianalah yang pertama kali melabrakku dan mengatakan kalau aku sumber masalah yang membuat Najwa dihujat ribuan orang di sosial media. Jangankan Riana, aku saja sebagai laki-laki geleng-geleng kepala membaca ketikan para netizen yang kebanyakan perempuan. Sepertinya pelakor selalu menjadi isu sensitif bagi kaum hawa tersebut."Sory, lama nunggu, ya."Aku mengangkat pandangan dari po
"Najwa, aku boleh panggil kamu, sayang?"Astaga, apa tadi? Kenapa tiba-tiba Bastian bertanya seperti itu? Aku menekan dada yang berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Membayangkan raut lelaki itu saat bertanya memanaskan pipiku.'Mbak, airnya udah mendidih." Suara Hanif menarik kembali kesadaranku. Air yang aku masak sudah meletup-letup. Najwa, Najwa, bisa-bisanya melamun saat memasak."Mbak, Mas Bastian nanya kopinya udah mateng belum?""Iya, ini Mbak lagi bikin." Aku menuang air mendidih tadi ke dalam gelas yang sudah berisi campuran kopi dan gula. Aku tak tahu rasa kopi seperti apa yang disuka Bastian, saat bertanya dia menjawab apa pun yang aku buat pasti enak. Apa yang merasuki lelaki itu? Aku melihat sisi Bastian yang pintar membuatku kebat-kebit. Sepertinya aku harus menalikan hati kuat-kuat agar tak terlalu cepat jatuh ke dalam pesonanya. "Kamu antar ke Mas Bastian, ya." Aku meletakkan kopi di atas piring kecil lalu meminta Hanif membawa ke ruang tengah di mana Bastia
Saat bangun aku tidak mendapati Bastian di sampingku. Aku tersenyum melihat selimut yang dia gunakan tadi malam terlipat rapi di atas bantal. Semalam mataku tak mau terpejam, hampir tujuh bulan tidur sendiri sekarang aku harus bersama seseorang yang sama sekali tidak kukenal siapa dia. Yang aku tahu dia mempunyai beberapa usaha rumah makan, percetakan, dan peternakan sapi. Yang aku dengar dari teman-teman, Bastian seorang pekerja keras, usaha rumah makan yang dirintis berawal dari menjual nasi bungkus berkeliling. Keuntungan yang didapat ditabung sedikit demi sedikit hingga mampu menyewa sebuah lapak. Setelah itu rezekinya meroket hingga sekarang.Selesai membersihkan diri lalu salat, aku keluar kamar bermaksud menyiapkan sarapan sembari mencari keberadaan lelaki itu. Mataku memicing melihat sosok Bastian sedang memasak di dapur.Seperti menyadari keberadaanku, Bastian menoleh. "Pagi, sayang, nyenyak tidurnya semalam?" Aku berdeham, ada yang menggelitik dada mendengar Bastian memangg
Aku memperhatikan dokter memeriksa Athar dengan perasaan tak menentu. Cemas, takut, dan marah campur aduk di dadaku. Aku tak melihat luka di tubuh bocah lelaki itu, tetapi yang aku takutkan pengalaman dicu-lik akan mengendap di benaknya dan menjadi trauma berkepanjangan. Sampai saat ini aku bahkan belum memaafkan kelalaianku menjaga Athar. Padahal sebelumnya aku sangat berhati-hati, mungkin inilah yang dinamakan sedang tidak beruntung? "Bagaimana anak saya, dok?" Aku langsung bertanya ketika dokter tadi selesai memeriksa Athar. "Dia mengalami dehidrasi, sepertinya dia tidak mendapat asupan makanan dan minuman lebih dari delapan belas jam." Da-daku seperti digodam besi mendengar penjelasan dokter. Jangankan delapan belas jam, Athar makan teratur tiga kali sehari, bahkan mulutnya tidak berhenti ngemil tiap jam. Membayangkan dia harus menahan lapar dan haus selama itu membuat amarahku kembali berkobar. Aku berjanji Risa harus membayar perbuatannya dengan tinggal di hotel prodeo selam
"Tante, aku lapal!" Aku berteriak dengan kesal lalu menatap Athar tajam. "Berisik! Bisa diam gak? Lama-lama aku sum-pal mulutmu pakai batu!" Aku menunjukkan batu apung sebesar tinju orang dewasa kepada Athar. Suara rengekannya membuat kepalaku terasa pecah. Apalagi dia selalu memanggil Uminya. Najwa, wanita itu berhasil membuatku malu di media sosial. Aku terpaksa menonaktifkan akun tok-tokku agar tidak diserang lagi oleh netizen. Niatku mencari simpati malah dimentalkan Najwa. Seseakun yang aku yakin dia dalang di belakang layar membuat postingan tandingan sehingga semua tuduhan yang aku arahkan padanya luruh sendiri. Aku tidak mengira dia merekam percakapan kami. Benar-benar wanita licik. Akibat dari postingannya itu aku harus kehilangan follower sampai ribuan. Padahal aku sudah mendapat beberapa endorsan yang belum sempat kuposting. Rencana mendapatkan u-ang dari akun tok-tok gagal total, ditambah lagi sindiran teman-teman di dunia nyata yang juga berteman denganku di sosial med
Tangisku tak kunjung berhenti, dadaku pun terasa semakin mengkerut membayangkan nasib Athar. Harusnya aku tak membiarkan dia pergi sendiri, harusnya aku yang membeli makanan untuknya. Kata-kata pengandaian terus bermain di kepalaku menikamkan rasa bersalah ke dalam dada. Ya, Tuhan ... di mana putraku? Siapa yang telah membawanya?"Sayang, apa yang terjadi?" Mendengar suara Bastian aku mengangkat kepala, ada setitik rasa lega hadir melihat lelaki itu tergopoh-gopoh menghampiriku."Mas, Athar ...." Aku tak sanggup meneruskan kata-kataku, sesak di rongga dada belumlah tuntas memantik tangisku kembali pecah."Annisa, ada apa? Di mana Athar?" "Gak tahu, Pak. Tadi kata yang punya warung makan Athar udah balik ke toko, tapi dia juga gak bisa memastikan Athar sudah masuk atau belum." Annisa menceritakan kronologi kejadian dari awal sampai akhir.Aku bisa merasakan usapan di punggung serta helaan napas berat dari mulut Bastian. Aku tahu ini kelalaianku, tak seharusnya membiarkan Athar pergi
"Sayang, ponselmu dari tadi bunyi. Kayaknya notifikasi dari tiktok." "Oh, ya?" Aku melirik ponsel yang kuletakkan di atas bufet kecil di sudut ruang makan. Aku tersenyum, pasti akun bodong yang aku buat sudah ramai dengan komentar-komentar julid khas netizen plus enam dua, apalagi topiknya tentang pelakor. Biasa, kan, kalau ada bau-bau wanita pengganggu pasti akan dikerubungi seperti semut menemukan gula. "Ada apa? Kok, senyum-senyum gitu?" Bastian yang sedang menyuap bubur ayam melirikku dengan tatapan penasaran. Aku menarik kursi dari meja makan lalu duduk di sebelahnya. "Kamu ingin tahu atau ingin tahu banget?" Aku balik bertanya sambil bertopang dagu dan menatap Bastian dengan sorot menggoda. "Ck, kalau seperti ini pasti seru. Memangnya ada apa?" Bastian mengelap mulutnya. Dia memang penyuka bubur ayam, sebentar saja makanan itu sudah tandas. "Begini." Aku menghadapkan wajah dan tubuh ke arah Bastian, suatu kebiasaan bila ingin bicara sesuatu yang serius. "Kemarin aku pecat
"Pak Bastian di mana?" Risa celingak-celinguk mencari keberadaan Bastian. Wajahnya memucat, tetapi dia sangat pandai mengendalikan diri sehingga tidak terlihat panik. "Untuk apa kau bertanya di mana suamiku?" "Sa, saya ...." Aku bersedekap dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi menunggu apa jawaban Risa. "Tadi Pak Bastian nyuruh saya masuk. Saya pikir ...." "Kamu pikir itulah kesempatan untuk merayu suami saya, begitu?" Bukannya takut, Risa malah menantang mataku. "Syukurlah kalau Ibuk sudah tahu. Jadi, saya tidak perlu menyembunyikan lagi perasaan saya." Aku berdecak dan geleng-geleng kepala mendengar pengakuan lugas Risa. Tak ada ketakutan di rautnya berkata seperti tadi. Sungguh kepercayaan diri yang tidak berada di tempatnya. "Lalu setelah saya tahu apa yang kamu harapkan?" "Saya harap Ibuk bersedia menerima saya sebagai madu. Tenang saja, walau saya lebih muda, tetapi saya tidak akan menguasai Mas Bastian." Mas? Aku tertawa dalam hati mendengar Risa sangat percay
"Kita tunggu Umi, ya. Belum lapar, kan?"Aku tersenyum melihat Athar menggeleng, tetapi tangannya sibuk memasukkan keripik kentang ke dalam mulut. Pipi gembulnya bergoyang membuatku tak tahan ingin mencubitnya."Katanya tunggu Umi, kok, ngemil?" Lagi terdengar protes Bastian. Dia sesekali melirik Athar yang tenang duduk di atas kursi, sementara tangan lelaki itu sibuk mengaduk sesuatu di dalam wajan."Kelipik Umi enak, Bi. Athal suka, Umi pintel masak." Dia menjawab dan mengacungkan jempol ke Bastian untuk memvalidasi ucapannya."Cuma Umi? Masakan Abi juga enak lho." Athar lagi-lagi menggeleng. "Lebih enak masakan Umi."Aku tertawa kecil mendengar balasan Athar, dia memang belum bisa melapalkan huruf R dengan baik. "Wah, makasih, sayang. Umi pinter karena masak Abi yang ngajarin." Aku menghampiri keduanya dan ikut menyela obrolan mereka, lalu memeluk pinggang Bastian yang tersenyum ke arahku.Bastian tersenyum. "Pagi, sayang." Satu kecupan ringan dibubuhkan di dahiku. Gimana tidurny
Aku mengecup pipi gembul Athar dengan pelan agar tidurnya tidak terusik. Senyumku mengembang melihat dia sudah tumbuh besar. Tak terasa lima tahun berlalu sejak membawa bayi merah itu ke rumah, kini dia tumbuh menjadi bocah periang dan menggemaskan. Athar sangat pintar, di usia yang belum cukup enam tahun dia sudah lancar membaca. Dia juga hapal beberapa surat pendek, karena sejak usia satu tahun aku mengajarkannya membaca ayat-ayat suci tersebut dalam setiap kesempatan. Sebelum tidur, saat bangun, dan di sela-sela bermain. Tidak ada yang mengira kalau dia putra angkatku dan Bastian, sebab wajahnya semakin lama menyalin parasku. Entah mitos atau kenyataan, orang-orang bilang walaupun tidak memiliki hubungan darah, tetapi bila lama hidup bersama paras pun akan menyerupai dengan siapa dia tinggal. Aku tidak mempermasalahkan benar atau tidak, yang penting Athar tumbuh sehat tidak kurang satu apa pun."Athar sudah tidur?" Pertanyaan Bastian menyambutku ketika keluar dari kamar Athar.Aku
'Terima kasih diriku telah berhasil bertahan hingga detik ini. Maafkan aku yang telah banyak menyusahkanmu. Untuk ke depan ayo kita saling mencintai, karena aku hanya punya kamu begitu pula sebaliknya. Aku tersenyum membaca barisan kata-kata yang lewat di beranda Instagramku. Kalimat yang mampu membuat mataku terasa hangat. Entah kebetulan atau sedang menyentilku agar tidak terus-menerus larut bersama kesedihan, konten-konten yang serupa sering FYP di akunku. Seperti sedang menasehati hidup ada pasang-surutnya. Tidak semua yang diinginkan baik menurut Tuhan, adakalanya kita dipaksa menerima kenyataan yang jauh berbeda dari ekspetasi. Meski tak suka, sebagai manusia kita bisa apa kalau Sang Mahakuasa tidak ridho dengan keinginan kita. Aku menghela napas dalam lalu melabuhkan pandangan ke pohon mangga yang daunnya bergoyang diembus angin. Satu tahun sudah sejak kehilangan calon bayi, aku mulai membuka diri. Awalnya sulit, karena aku telanjur melambung dengan anganku sendiri. Rencana-r
Daya di tubuhku seakan tersedot keluar melihat Najwa jatuh terduduk ke atas paving block di pekarangan rumah kami. Aku hendak mengejarnya, tetapi satu orang penjahat berusaha memukuliku hingga aku harus melumpuhkan terlebih dulu. Beruntung tetangga dan beberapa orang pemuda yang dihubungi oleh satpam perumahan sudah berkumpul membuat kelima penjahat itu berhasil dibekuk dengan mudah. Aku menghampiri Najwa dengan langkah lebar lalu berjongkok di sampingnya. "Kamu tidak apa-apa?" Cemas mencengkeram dadaku ketika melihatnya meringis kesakitan sambil memegang perut. "Sakit, Mas, perutku." Najwa merintih, bola mataku seakan hendak melompat dari tempatnya melihat darah mengalir di sela kakinya. "Mas, darah, anakku ...." Tangis Najwa pecah, rautnya berubah pucat pasi, dia terlihat sangat kesakitan. Aku mengangkat tubuh Najwa sambil berteriak agar seseorang membuka pintu mobil untukku. Jantungku seolah-olah hendak pecah ketika rasa takut semakin menjadi-jadi menyusupkan pikiran buruk tent