Aku memejamkan mata sembari merapal doa di dalam hati semoga laki-laki itu bukan orang jahat. Membayangkan hal-hal buruk membuat kakiku gemetar, bahkan rasanya tak mampu menahan bobot tubuh.
"Najwa, kamu ngapain ngumpet di sini?" Refleks kelopak mataku terbuka lalu menoleh dengan cepat ke belakang. Lega seketika bertandang ke dada melihat raut Rania yang menatapku dengan dahi berkerut. "Astaga, kamu bikin aku takut aja!" Aku berdiri sambil menepuk tanah kering yang menempel di rok. "Kamu yang aneh, siang-siang gini ngumpet di belakang gerobak." Kepala Rania celingukkan melihat ke kiri dan kanan lalu kembali mematapku dengan mata memicing, "kejahatan apa yang sudah engkau lakukan wahai Ukhti?" Aku memasang wajah malas ketika Rania mulai bermain drama. Mungkin kebiasaannya menonton sinetron membuat otaknya terkontaminasi adegan-adegan lebay para aktor dan aktris. "Ck, mana ada. Aku anak sholeha, rajin menabung, dan tidak sombong." "Trus, ngapain jongkok di sana?" Rania masih penasaran dengan kelakuanku. "Iseng aja!" jawabku asal membuat mata Rania memelotot. "Udah, jangan kepo." Aku menarik tangan gadis itu ketika dia hendak membuka mulut, dia tidak akan berhenti bertanya. Beruntung Rania yang memergokiku, kalau lelaki bertato tadi, entah apa yang terjadi. Rumah biru, nama rumah singgah yang aku datangi adalah bekas rumah penduduk yang ditinggal lama. Aku tidak tahu bagaimana caranya donatur kami membeli bangunan tersebut kemudian merenovasi hingga layak untuk ditempati. Hangat menyelubungi dadaku melihat anak-anak sangat antusias belajar di dalam gazebo yang ada di samping rumah. Terdapat tiga spot yang kegiatan mereka berbeda-beda. Ada yang belajar membaca dan menulis, belajar membuat keterampilan dari sampah plastik, ada juga sekadar membaca sambil istrirahat. "Itu makanan dari mana?" Aku menunjuk tumpukan nasi kotak yang diletakkan di dalam rumah. "Itu kiriman Pak Bastian. Katanya, mau makan siang sekalian sama anak-anak." Aku mengangguk. Pasti yang bernama Pak Bastian orang yang sangat baik. Selama empat tahun dia mengeluarkan banyak uang untuk membiayai kegiatan kami. Aku semakin ingin bertemu dengan orang baik itu dan mengucapkan terima kasih, kalau bukan karena kebaikan hatinya tak mungkin mimpi kami menolong anak jalanan terwujud. "Eh, sebentar, ada telepon." Rania menjauh ketika ponselnya berdering. Aku mengangguk lalu memperhatikan sekitar. Di satu titik tatapanku terpancang ke sosok lelaki yang berdiri memperhatikan anak-anak yang sedang melipat bekas kemasan kopi rentengan untuk dibuat kerajinan dompet. Aku menajamkan mata, benar! Itu lelaki tadi. Apa yang dia lakukan di sini? Jangan-jangan dia ingin mencuri? Ini tidak boleh dibiarkan. Aku harus bertindak, lagipula apa yang bisa dia lakukan padaku di tempat seramai ini? Aku gegas menghampiri lelaki itu, lalu berdiri di depannya. "Ngapain kamu di sini?" Aku langsung bertanya tanpa basa-basi. Tak lupa memasang raut garang berharap lelaki segera pergi. Alih-alih takut, dia malah membuka kacamata hitam yang dikenakan hingga sorot kami beradu. Aku tertegun, iris matanya berwarna cokelat terang, tatapannya sangat tajam mengunci retinaku. "Ada masalah apa, Nona?" Suaranya terdengar berat membuatku tergagap. Tenang, Najwa, jangan takut, kalau dia macam-macam tinggal teriak.' Aku membatin. Sekilas mataku menangkap tato di tangan kirinya. Gambar kepala elang dengan mata yang sangat tajam membuatku bergidik. "Kamu jangan coba-coba buat rusuh di sini. Awas aja, aku panggil warga buat nangkap kamu." Bukannya takut, lelaki itu malah tertawa. Aneh, apa dia punya keberanian tingkat tinggi sehingga tidak takut dengan ancamanku? "Sepertinya kamu salah paham. Dari tadi aku di sini tidak aneh-aneh, tidak juga membuat keributan, kenapa tiba-tiba kamu menuduhku yang tidak-tidak?" Aku mendengkus pelan. Pintar sekali lelaki itu bersandiwara? Apa dia lupa tadi mengikutiku? Andai tadi aku tidak sigap bersembunyi entah apa yang terjadi. "Kamu amnesia,ya? Tadi kamu mengejar aku? Untuk apa? Pasti kamu mau berbuat kejahatan." Aku menunjuk tatonya, "lihat, tatomu saja mengerikan seperti itu, kamu masih mengelak?" "Jadi, kamu menuduhku orang jahat karena tato ini?'" Aku semakin kesal. Orang ini tidak ada takut-takutnya? Malah dia mendebatku. Biasanya kalau dia seberani ini pasti ada teman-temannya. "Kamu cari apa?" Dia bertanya melihat aku memperhatikan sekeliling. "Di mana teman-temanmu?" Dia melipat tangan di depan dada. "Semua orang di sini teman-temanku." Benar, kan, dia tidak sendiri. Aku mengangkat dagu agar dia tahu aku tak bisa diintimidasi. "Sebaiknya kamu ajak teman-temanmu pergi dari sini sebelum aku memanggil warga untuk menangkapmu. Kamu bisa pergi baik-baik atau ...." "Atau apa?" Lelaki itu menyela ucapanku. Berani sekali dia! "Atau aku akan laporkan kamu atas perbuatan tidak menyenangkan!' Lelaki itu malah tertawa keras membuat orang-orang menoleh ke arah kami. Aku melihat Rania dan beberapa orang teman-temanku mendekat. Bagus, bala bantuan datang. Lihat saja Tuan sok jagoan, kamu tidak akan bisa tertawa lagi. "Laporkan saja. Aku tidak takut, lagipula atas dasar apa kamu melaporkan aku? Kamu punya bukti apa?" "Kamu ....!" Laki-laki itu benar-benar membuatku kesal setengah mati. "Najwa, ada apa?" Rania melihatku dan lelaki tadi bergantian. "Aku mau usir orang ini, tapi dia tidak mau pergi. Aku tidak mau dia membuat kekacauan nanti. Lagipula apa kata donatur kita nanti kalau melihat lelaki berpenampilan urakan ini ada di sini?" Wajah Rania memucat. Dia menarik-narik lengan tunikku. "Apa sih. Ayo, suruh dia pergi." Aku masih bersikeras meminta lelaki tadi pergi. "Udah ...." Rania berbisik lirih sambil melirik lelaki tadi takut-takut. "Ada apa, sih?" Aku melihat beberapa rekanku bertingkah aneh. Ada yang pura-pura melihat ponsel, ada yang menggaruk kepala sambil tersenyum kaku, ada juga yang geleng-geleng kepala sambil mengusap wajah. Rania mendekatkan mulutnya ke daun telingaku. "Kamu yang bikin rusuh, dia bukan penjahat, tapi donatur kita." Tubuhku seketika menegang. Leher dan wajahku tiba-tiba saja kaku. Bahkan, untuk melirik lelaki di depanku saja butuh usaha keras. Aku menatap Rania dan semua teman-temanku. Mereka semua kompak menganggguk membuatku seketika ingin jadi angin. "Ja, jadi ...." Aku tak sanggup meneruskan kalimatku, rasanya lidah ikut membatu. Aku menahan napas ketika lelaki itu membuka maskernya. "Maaf, aku mengejarmu tadi ingin menyerahkan ini." Lelaki itu merogoh saku celananya lalu mengeluarkan dompet kecil berwarna merah hati. "Aku lihat kamu menjatuhkan dompet ketika keluar dari taksi, karena itu aku mengejarmu, tetapi jalanmu cepat sekali, tidak dikira kita ketemu di sini." Bisa bayangkan wajahku? Yap, nano-nano persis bunglon. Najwa, Najwa, malumu nembus ubun-ubun."Terima kasih," ucapku pelan nyaris tak terdengar sambil menerima dompet yang ditemukan Bastian. Saking malunya aku bahkan tak berani menatap lelaki tersebut."Tidak perlu sungkan, tadinya aku bermaksud menyerahkan dompet itu ke kantor polisi. Ternyata kalau jodoh tidak ke mana, kita ketemu di sini.""Hah?!" Mendengar kata jodoh, aku tersentil dan mengangkat wajah hingga mau tak mau kami kembali bersitatap."Tidak usah mikir aneh-aneh. Apa pun kalau ketemu berarti jodoh, kan?"Aku kembali menunduk melihat lelaki itu tersenyum, rasanya dia sedang menertawakan kebodohanku. Tenang Najwa, ini hanya salah paham, besok-besok pasti sudah lupa."Kalau gitu tidak ada masalah, ya." Suara Riana terdengar menyela untuk mencairkan suasana yang telanjur kaku karena ulahku. Untung saja gadis itu cepat datang, kalau tidak entah kebodohan apa lagi yang aku lakukan."Ya, aku rasa anak-anak pasti sudah lapar, suruh rehat dulu sambil kita makan siang."Riana mengangguk. Dia memberi instruksi agar teman-
Telingaku berdenging ketika mendengar teguran keras seseorang. Aku menoleh ke arah suara dan melihat Rafa sedang menatap ke arahku dengan tajam, seolah-olah aku sedang melakukan kejahatan besar. Dadaku semakin terasa sesak ketika melihat Laila berdiri di samping lelaki itu. Saat tatapan kami beradu, dia semakin mengeratkan pegangannya di lengan Rafa, seakan-akan mengatakan kalau dia sudah memiliki lelaki itu sepenuhnya."Ternyata kerudung yang kamu gunakan hanya topeng. Saat suami tidak di rumah kamu malah kelayapan bersama lelaki lain." Lagi, Rafa mencercaku dengan lidahnya yang tajam.Aku melirik Bastian yang diam memperhatikan Rafa. Raut lelaki itu kembali terlihat datar. Mukaku memerah mendengar tudingan tidak berdasar lelaki tersebut, sampai hati dia menuduhku sekeji itu."Mas, jangan marah, mungkin kita salah paham. Tidak mungkin, kan, putri ustad terkenal perilakunya sama dengan wanita murahan." Kali ini Laila yang bicara sembari mengulas senyum licik. Di mataku wanita tersebut
Cukup lama aku berdiam diri. Baik Rafa maupun Laila tidak berminat berbincang sepatah kata pun. Baguslah, sebab setiap mendengar wanita itu bicara dadaku terasa terbakar, seolah-olah api unggun sedang menyala di dalam sana. Aku melirik Rafa sekilas ketika mobil berhenti di depan bangunan bercat putih. Lelaki itu turun tanpa bicara lalu berlari-lari kecil masuk ke pekarangan rumah."Bagus, kan, rumah kami? Mas Rafa membelikannya satu tahun yang lalu."Aku memejamkan kelopak mata mendengar Laila bicara, kata-kata wanita itu berhasil menggores hatiku. Aku bisa mengira-ngira Rafa setahun ini menduakanku atau mungkin bisa lebih lama dari itu."Kau pikir aku peduli?" Lidahku tak tahan menjawab provokasi Laila."Tentu kau harus peduli, setelah mendengar aku hamil Mas Rafa langsung membeli rumah yang lebih besar. Dan kau tahu setiap hari dia selalu bertanya apa yang aku butuhkan."Kedua telapak tanganku terkepal mendengar balasan Laila. Aku tahu dia sengaja memancing emosiku. Entah apa yang a
Aku terbangun ketika merasakan sesuatu menghimpit perutku. Aku menoleh ke sebelah ketika dengkur halus terdengar di telinga. Sejenak tertegun melihat wajah Rafa dekat sekali denganku. Bahkan, napasnya hangat menerpa mukaku. Aku bisa melihat dengan jelas raut lelaki itu. Rafa memiliki fitur wajah yang nyaris sempurna. Dahinya tidak terlalu lebar, tulang hidung tinggi, dan bentuk rahang tegas semakin membuatnya terlihat tampan. Tak salah rasanya banyak wanita yang terpesona saat menatapnya. Apalagi sifat ringan tangan dan ramah, tentu menjadi nilai tambah untuknya. Aku menyingkirkan tangan Rafa yang melingkar di pinggang, entah kapan lelaki itu naik ke tempat tidur. Kupikir dia akan tidur di ruang tengah atau kamar tamu. Bahkan aku sempat mengira dia akan kembali ke rumah Laila. Perlahan dadaku menghangat menyadari Rafa merendahkan egonya dan tidur sambil memelukku. Aku menatap wajah lelaki itu lamat-lamat. Maafkan aku, Mas, sikapku sekarang karena cintaku yang terlalu besar padamu. Be
Tanganku gemetar menyimpan hasil pemeriksaaan laboratorium ke dalam tas. Seketika aku merasa kosong, benak pun tak mampu berpikir dengan baik. Hasil pemeriksaan yang tertulis di kertas tadi rahasia besar yang melemahkan seluruh sendi-sendi tubuhku. Ingatanku terlempar ke masa lalu, kurang lebih satu setengah tahun yang lalu. Kala itu Rafa membawaku berobat, bahkan setiap satu bulan sekali pasti ada obat dari dokter yang diresepkan untukku. Aku sama sekali tak curiga setiap Rafa memberiku obat terus-menerus setiap hari selama enam bulan. Saking muaknya aku diam-diam membuang obat yang dia berikan. Aku berkedip untuk menghalau linangan yang berkumpul di kelopak mata. Semua kata-kata kasar yang aku ujarkan selama beberapa hari ini kembali padaku laksana anak panah. Menyasar jantung menciptakan geletar nyeri yang bertubi-tubi. Selama ini aku merasa paling menderita, ternyata lelaki itu menyimpan dukanya sendiri."Hampir lupa. Kalau tender ini lolos aku akan membawamu jalan-jalan ke Korea
Mataku tak lepas mengawasi Riana membungkuk mengambil botol yang lepas dari pegangannya. Raut gadis itu terlihat gugup membuatku semakin yakin ada yang dia sembunyikan. "Rin, bisakah kau menjawab pertanyaanku?" Nada suaraku memohon, tatapanku lekat mengunci wajah gadis tersebut. Riana menghela napas, dia memutar-mutar botol plastik di tangan sebelum menatapku balik. "Maaf, Najwa, aku tidak tahu harus mulai dari mana." Dadaku seperti dihantam batu, kata-kata Riana seakan menjawab prasangkaku. "Kau bisa mulai dari menjawab pertanyaanku. Apa kau mengenal Laila?" Anggukan Riana membuat tubuhku terasa ringan, seolah-olah bangku yang aku duduki amblas ke dasar bumi. "Kau tahu Mas Rafa menikah dengan Laila?" Lagi gadis berhijab lebar itu mengangguk membuat darahku mendidih, nyaris meledak andai tidak beristigfar berkali-kali. Aku menyatukan kedua telapak tangan lalu meremas dengan kuat untuk menentralisir amarah yang meletup-letup di dada. Mataku memanas dan dengan cepat menggenangka
"Jalan, Pak," pintaku setelah masuk kembali ke dalam taksi, tangisku kembali pecah membuat sang sopir menatapku sekilas dari kaca spion. "Mbak baik-baik saja?" tanya sopir itu setelah aku sedikit tenang. Tatapannya masih ke depan mengawasi jalan raya. "Iya," jawabku singkat sambil menyeka pipiku yang basah. "Kita ke mana, Mbak?" "Mutar-mutar saja, Pak." Aku tak tahu harus ke mana, rasanya kepalaku terasa berat hingga tak bisa berpikir jernih. Beruntung sopir taksi itu tidak bertanya lebih jauh. Malu rasanya menangis di depan orang asing, tetapi kata-kata Ibu Rafa terus terngiang-ngiang di benakku menghadirkan setumpuk rasa kecewa yang menggores dada. Setidakberharga itu aku di matanya. Benakku menggali ingatan apakah aku pernah menyakiti beliau walau sekali saja, hingga sangat besar ketidaksukaannya padaku? "Mas, sepertinya Bunda tidak menyukaiku." "Itu perasaanmu saja." "Masak, sih, Mas? Setiap aku ke rumah Bunda dia selalu diam, seolah-olah tidak berkenan aku menyambangi
"Aku jatuh cinta padamu saat pertama kali kita bertemu." Lugas sekali kata-kata itu keluar dari mulut Bastian. Aku rasa laki-laki itu sudah tidak waras. Padahal dia tahu dengan jelas aku wanita bersuami. "Sebaiknya aku pulang." Aku bangkit dari kursi dengan cepat sehingga kursi yang aku duduki bergeser ke belakang. "Eh, tunggu, kenapa tiba-tiba? Apa kau marah karena ucapanku tadi?" Bastian menghadang sehingga gerakku tertahan. "Apa kau sadar yang kau ucapkan tadi? Aku bukan wanita lajang, berani sekali kau mengatakan ingin menikahiku." Aku merendahkan suara, tetapi tatapanku menajam ke arahnya. Enak saja bilang cinta, dia pikir aku wanita gampangan yang tak bisa menjaga marwahku? Walau pun luka yang diberi Rafa masih berdarah, tak akan membuatku mencari pelampiasan lelaki lain. Tidak, aku tak serendah itu! Alih-alih Bastian tertawa mendengar racauanku, sepasang matanya menyipit menciptakan kerutan di sudut matanya. "Hei, aku bilang kalau kamu bercerai dengannya, bukan merebutmu