Langit di atas Kastil Bertrand mulai gelap ketika Darrel Van Bertrand terbenam dalam buku kuno yang baru saja ditemukannya. Di balik halaman demi halaman yang dipenuhi dengan tulisan kuno dan simbol-simbol yang memusingkan, Darrel merasa seolah-olah dirinya ditarik ke dalam kisah yang berbeda—lebih tua dan lebih besar dari sekadar catatan sejarah manusia. Kisah tentang Drakonis, Sang Raja Naga, yang telah lama dilupakan oleh dunia manusia, kini tampak lebih nyata daripada apa pun yang pernah ia pelajari.
Saat Darrel terus membaca, rasa dingin yang aneh menjalar melalui tubuhnya. Tulisan-tulisan dalam buku mulai terasa bukan hanya sebagai cerita belaka, tetapi sebuah panggilan, bisikan dari masa lalu yang mencoba mencapai pikirannya. “Drakonis,” Darrel berbisik, namanya terasa asing di lidah, namun penuh makna. Di saat yang sama, seseorang bergerak di balik bayang-bayang perpustakaan. Elara, sang pelayan yang telah melayani keluarga Van Bertrand selama bertahun-tahun, perlahan mendekat. Namun, Elara bukan hanya sekadar pelayan. Di balik penampilannya yang tenang dan baik, tersimpan sebuah rahasia yang tidak diketahui siapa pun di kastil ini—dia adalah manifestasi kehendak Drakonis yang telah bersembunyi selama berabad-abad, menunggu waktu yang tepat untuk membangkitkan kembali warisan sang Raja Naga melalui sosok Darrel. Elara berdiri di ambang pintu perpustakaan, memperhatikan Darrel dengan mata yang penuh perhitungan. Dari balik jubah panjangnya yang berwarna abu-abu, ia mengulurkan tangan, menyentuh udara seolah-olah memanggil kekuatan yang tak terlihat. “Waktunya tiba,” bisik Elara pelan. Tiba-tiba, Darrel merasa ada sesuatu yang menariknya. Matanya yang masih menelusuri tulisan di buku itu tiba-tiba berhenti pada sebuah simbol yang terasa menggetarkan—sebuah naga yang melingkar di sekitar matahari. Seiring dengan itu, rasa pusing yang mendalam melanda pikirannya. Darrel jatuh dari kursi, kepalanya berdenyut dengan hebat. "Argh!" Darrel memegangi kepalanya, seolah-olah ada sesuatu yang mencoba menerobos masuk ke dalam kesadarannya. Gambaran-gambaran aneh melintas di benaknya: sayap raksasa membentang di atas pegunungan, kobaran api yang menghanguskan langit, dan mata besar berwarna kuning keemasan yang menatapnya dengan kebijaksanaan purba. “Elara!” Darrel berteriak dengan suara tercekik, meskipun ia tidak tahu mengapa nama itu tiba-tiba muncul di pikirannya. Seakan dipanggil, Elara melangkah maju dari kegelapan. Wajahnya tetap tenang, namun matanya yang dalam berkilat dengan cahaya yang tidak wajar. "Tenanglah, Tuan Darrel," katanya lembut, meski nadanya penuh dengan kekuatan yang tidak bisa ditentang. "Ini saatnya kau mengetahui kebenaran tentang dirimu sendiri." Darrel berusaha berdiri, namun tubuhnya terasa lemah. Elara mendekat, dan dengan satu gerakan tangannya, ruangan mulai bergetar. Buku-buku di rak-rak bergemeretak seolah menanggapi kehadiran kekuatan yang telah lama tertidur. “Apa… yang terjadi padaku?” Darrel terengah-engah, merasakan rasa panas yang aneh merayap di seluruh tubuhnya. “Ini bukan sekadar buku biasa, Darrel. Kau bukan sekadar anak ketiga dari Duke Van Bertrand. Ada sesuatu yang lebih dalam dirimu, sesuatu yang telah menunggu selama berabad-abad untuk bangkit. Kau adalah penerus dari warisan kuno,” kata Elara, suaranya rendah dan penuh dengan makna. “Kau adalah jiwa yang dipilih oleh Drakonis.” Kata-kata itu membuat Darrel terdiam. Drakonis? Raja Naga yang dia baca di buku kuno itu? Bagaimana mungkin ada hubungannya dengan makhluk yang sudah lama hilang dari dunia ini? “Anda tidak memahaminya, Tuan Darrel,” lanjut Elara, melangkah mendekat. “Ketika Drakonis jatuh, kekuatannya tidak sepenuhnya lenyap. Sebagian dari jiwanya, esensi kekuatannya, bersembunyi dalam darah manusia. Dan darah itu, telah mengalir dalam keluargamu selama berabad-abad. Kau adalah kunci kebangkitan kekuatan itu. Kau adalah titisan dari Sang Raja Naga.” Darrel menggelengkan kepala, berusaha melawan rasa pusing dan ketakutan yang menyelimuti dirinya. "Aku hanya...," katanya, suaranya bergetar. "Aku tidak bisa menjadi apa yang kau katakan. Itu hanya legenda." Elara tersenyum tipis, dan dengan gerakan tangannya yang halus, ia merapal mantra yang tidak bisa didengar oleh telinga manusia biasa. Cahaya merah tua bersinar dari matanya, dan seketika itu juga, Darrel merasakan kekuatan asing menyeruak ke dalam pikirannya. Ingatan-ingatan yang bukan miliknya mulai terkuak—memori pertempuran besar, suara ribuan naga yang mengaum di langit, dan di pusat semuanya, Drakonis, Sang Raja Naga, berdiri sebagai penguasa segala makhluk. Kehadiran Drakonis memenuhi seluruh kesadarannya, seperti ombak besar yang menghantam pantai yang damai. Dalam benaknya, Darrel melihat bayangan naga raksasa, api yang membakar, dan kematian yang tak terhitung jumlahnya. Dia merasakan kemarahan yang membara, dendam yang telah lama terpendam, dan tekad yang tak bisa dihancurkan. Ini adalah ingatan Drakonis—ingatan yang kini mulai menyatu dengan jiwanya. "Kau adalah reinkarnasi dari Drakonis," kata Elara, nadanya lebih serius dan tajam. "Dan saatnya kau memahami takdirmu. Dunia ini membutuhkanmu, Darrel. Kekacauan telah menyebar, dan hanya dengan kebangkitanmu, keseimbangan dapat dipulihkan. Tapi kau juga memiliki musuh, mereka yang menghancurkan Drakonis di masa lalu akan mencoba menghancurkanmu juga.” Darrel berlutut, terengah-engah, mencoba meredakan gejolak dalam dirinya. Namun, semakin ia mencoba melawan, semakin kuat kehadiran Drakonis menguasai dirinya. “Aku… aku tidak menginginkan ini,” Darrel berbisik, suaranya dipenuhi kebingungan. “Aku tidak tahu harus berbuat apa.” Elara menunduk, menatap Darrel dengan pandangan yang lebih lembut namun tegas. “Kau tidak perlu mengerti semuanya sekarang. Yang harus kau lakukan adalah menerima siapa dirimu. Semakin cepat kau menerima kenyataan ini, semakin kuat kau akan menjadi. Kekuatan Drakonis adalah milikmu, Darrel, dan melalui dirimu, Sang Raja Naga akan bangkit kembali.” Darrel terdiam, jiwanya bergolak antara ketakutan dan rasa tanggung jawab yang baru. Dunia yang dia kenal mulai runtuh di hadapannya, dan di tempatnya, terbuka jalan yang penuh bahaya dan tak terduga. Namun, jauh di dalam hatinya, dia mulai merasakan sesuatu yang baru—sebuah kekuatan yang perlahan mulai tumbuh. Sebuah suara yang bukan miliknya, tetapi sekarang menjadi bagian dari dirinya, berbisik lembut di benaknya: "Bangkitlah. Kau adalah aku, dan aku adalah kau."Perpustakaan kastil yang gelap dan penuh debu terasa semakin sunyi setelah kekuatan yang dipanggil oleh Elara mulai surut. Getaran-getaran magis yang sebelumnya menyelimuti ruangan perlahan memudar, meninggalkan Darrel sendirian di lantai batu dingin. Tubuhnya gemetar hebat, jiwanya seakan terkoyak oleh kekuatan luar biasa yang baru saja terbangun di dalam dirinya.Di sudut ruangan, Elara berdiri diam, tatapannya penuh dengan kepuasan yang tenang. Wajahnya yang biasanya lembut dan ramah kini tampak jauh lebih dingin, seolah-olah ada jarak yang tak terlihat antara dirinya dan dunia di sekelilingnya. Dia tahu tugasnya hampir selesai. Kekuatan yang telah disimpan di dalam tubuh Darrel selama bertahun-tahun telah dibangkitkan, dan sekarang, waktunya telah tiba baginya untuk kembali.“Elara…” Darrel berbisik, suaranya penuh kebingungan dan kelelahan. Ia berusaha bangkit, namun tubuhnya terasa begitu berat. “Apa yang kau lakukan padaku? Siapa kau… sebenarnya?”Elara memandangnya dengan seny
Suasana kastil Van Bertrand yang tenang terganggu oleh derap kuda yang mendekat. Darrel, yang masih tertegun dalam pikirannya sendiri, segera tersadar ketika ia mendengar suara pelayan mengumumkan kedatangan tamu yang Darrel tak duga-duga."Yang Mulia Frey Han Rollock telah tiba!" seru pelayan itu dengan nada hormat, meski Darrel tahu betul bagaimana Frey tidak pernah menghormati siapa pun kecuali dirinya sendiri.Jantung Darrel berdegup kencang mendengar nama itu. Frey Han Rollock. Nama yang selalu membawa kenangan buruk bagi Darrel, sejak masa kecil mereka. Sebagai putra ketiga dari Duke Han Rollock, Frey telah menjadi momok bagi Darrel, memanfaatkan setiap kesempatan untuk merendahkan, mengejek, dan bahkan memukulinya ketika tidak ada yang melihat.Darrel menghela napas dalam, mencoba menenangkan diri. Dalam sekejap, pikiran tentang kekuatan Drakonis yang baru bangkit di dalam dirinya mulai mengusik. Seharusnya, dengan kekuatan itu, ia tidak lagi takut pada Frey, bukan? Namun, ada
Matahari bersinar terang di atas menara kastil, menyisakan langit dengan awan putih dan langit biru. Di halaman luar Kastil Van Bertrand, Darrel berdiri tegap dengan tangan menggenggam gagang pedangnya. Di hadapannya, Frey Han Rollock sudah bersiap, wajahnya dipenuhi amarah dan kesombongan. Angin sore yang dingin menyapu tanah, mengangkat sedikit debu, seolah memulai sebuah pertarungan yang tak terhindarkan.“Ini akhir dari kesabaranmu, ya?” ejek Frey dengan tawa kecil. “Kau pikir bisa menantangku? Aku akan membuatmu menyesal sudah berani melawan.”Darrel tidak menjawab. Dia hanya menatap Frey, mencoba merasakan denyut kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya. Warisan Drakonis terasa hidup di bawah permukaan kulitnya, seperti api yang menunggu untuk dilepaskan. Namun, Darrel tahu, meskipun dia memiliki kekuatan naga dalam dirinya, dia tidak boleh bergantung sepenuhnya pada hal itu. Kekuatan sejati datang dari keseimbangan—dan untuk saat ini, dia harus fokus pada teknik dan strategi.Frey
Malam sudah larut ketika Darrel dipanggil ke ruang kerja ayahnya, Duke Davin Van Bertrand. Kastil yang biasanya dipenuhi aktivitas, kini sunyi. Hanya suara langkah-langkah sepatu Darrel yang terdengar menggema di sepanjang lorong istana, memantul di dinding tebal yang dingin. Di dadanya, Darrel merasakan kecemasan bercampur dengan sesuatu yang baru—sebuah rasa bangga akan kemampuannya dalam mengalahkan Frey. Namun, di balik itu semua, dia tahu ayahnya pasti sudah mendengar tentang duel tersebut, dan hal itu membuatnya sedikit khawatir.Pintu kayu besar yang menuju ke ruang kerja sang Duke terbuka dengan derit pelan. Darrel melangkah masuk, menemukan ayahnya duduk di belakang meja besar yang dipenuhi dokumen, lilin-lilin menerangi wajah tegas Duke Davin yang sudah berumur. Mata birunya yang dingin menatap lurus ke arah Darrel, penuh dengan kebijaksanaan dan kekuatan.“Darrel,” suara Duke Davin terdengar rendah namun penuh wibawa. “Kau tahu mengapa aku memanggilmu, bukan?”Darrel menun
Pagi itu, fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Darrel Van Bertrand dan pasukan elitnya berangkat menuju perbatasan timur. Di depan, Darrel menunggangi kudanya, dengan jubah keluarga Van Bertrand berkibar tertiup angin. Di sisinya, seorang kesatria berwajah tenang dengan tatapan tajam, Virgo Bastarian, mengiringinya. Virgo adalah seorang Sword Master, dikenal karena kehebatannya di medan perang dan kemampuannya yang luar biasa dalam seni berpedang. Kehadirannya memberikan sedikit rasa aman bagi Darrel, meski jantungnya masih berdebar kencang.Pasukan yang ia pimpin berjumlah seratus orang—prajurit elit yang terlatih dalam pertempuran, para pejuang terbaik yang dimiliki oleh keluarga Van Bertrand. Namun, meski memiliki kekuatan besar di bawah komandonya, Darrel tak bisa menghilangkan rasa gugup yang merayap dalam hatinya.Ini adalah pertama kalinya dia memimpin pasukan ke medan perang, dan ancaman yang dihadapi bukanlah musuh biasa. Orc dikenal brutal dan kejam, apalagi dalam jum
Keesokan harinya setelah pertempuran besar melawan gerombolan orc, Darrel Van Bertrand berdiri di atas bukit kecil di dekat desa yang telah mereka pertahankan. Angin pagi menyapu wajahnya, membawa aroma asap yang samar dan tanah yang basah oleh embun. Langit cerah, seolah-olah alam semesta sendiri tengah memberikan penghormatan atas kemenangan yang diraih pasukannya. Namun, meski kemenangan telah diraih, Darrel merasakan ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di dalam dirinya—sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa ia pahami.Di tangannya, Darrel menggenggam pedang yang digunakan dalam pertempuran. Kilauan baja pedang itu terpantul dari sinar matahari pagi, namun ada sesuatu yang berbeda. Pedangnya seakan-akan berdenyut dengan kekuatan yang baru, mengeluarkan aura samar berwarna biru yang bergetar di sekelilingnya. Ini adalah sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya, dan Darrel tahu, ini bukan hal biasa.Virgo Bastarian, yang berdiri di sampingnya, memandang fenomena itu denga
Malam mulai menyelimuti langit ketika Darrel Van Bertrand duduk sendirian di dalam tenda komandonya. Pertempuran melawan gerombolan orc telah berlalu, namun pikirannya masih dipenuhi dengan kekuatan baru yang dia rasakan. Sword Aura yang ia bangkitkan selama pertempuran adalah tanda dari sesuatu yang lebih besar dan lebih dalam, sesuatu yang tampaknya mengikatnya pada takdir yang tak terelakkan. Di tengah keheningan malam, Darrel memejamkan mata, mencoba memahami lebih lanjut kekuatan yang mengalir dalam dirinya.Saat dia menarik napas dalam-dalam, tiba-tiba rasa dingin yang aneh melingkupi tubuhnya. Udara di sekitar tenda terasa berubah, dan Darrel membuka matanya dengan waspada. Dalam sekejap, cahaya biru kehijauan mulai berpendar dari tubuhnya, membentuk lingkaran yang semakin lama semakin intens. Darrel tersentak, mencoba mengendalikan kekuatan itu, namun aliran energi itu tidak bisa dihentikan. Al hasil membawa kesadaranya ke dalam ruang lingkup kegelapan."Kau akhirnya siap
Dalam kegelapan malam, langit membentang luas di atas pegunungan Tethra, diterangi hanya oleh cahaya bintang-bintang. Di bawah langit yang tenang itu, kerajaan Drakonik berjaga dalam keheningan. Di tengah pusat kerajaan, berdiri sebuah kastil megah yang dipahat dari batu hitam, tempat Raja Naga, Drakonis, memerintah dengan bijaksana. Sebagai penguasa naga terakhir, ia memiliki kekuatan besar yang tak tertandingi di dunia manusia. Drakonis telah menjaga keseimbangan antara manusia dan makhluk magis selama berabad-abad. Namun, di malam itu, ketenangan hanya menjadi ilusi tipis. Sesuatu yang gelap, berbahaya, dan tidak terlihat sedang bersembunyi di balik tembok kastil. Jenderal Arkanis, salah satu panglima perang terpercaya Raja Naga, berjalan cepat melewati koridor batu yang dingin, matanya penuh tekad dan niat busuk. Dalam diam, ia menggenggam erat sebuah permata hitam, artefak kuno yang selama ini tersembunyi dari pandangan Drakonis. Raja Naga duduk di singgasananya, tubuhnya yang