Share

Bab 8-Menuju Perbatasan Timur

Pagi itu, fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Darrel Van Bertrand dan pasukan elitnya berangkat menuju perbatasan timur.

Di depan, Darrel menunggangi kudanya, dengan jubah keluarga Van Bertrand berkibar tertiup angin.

Di sisinya, seorang kesatria berwajah tenang dengan tatapan tajam, Virgo Bastarian, mengiringinya. Virgo adalah seorang Sword Master, dikenal karena kehebatannya di medan perang dan kemampuannya yang luar biasa dalam seni berpedang. Kehadirannya memberikan sedikit rasa aman bagi Darrel, meski jantungnya masih berdebar kencang.

Pasukan yang ia pimpin berjumlah seratus orang—prajurit elit yang terlatih dalam pertempuran, para pejuang terbaik yang dimiliki oleh keluarga Van Bertrand. Namun, meski memiliki kekuatan besar di bawah komandonya, Darrel tak bisa menghilangkan rasa gugup yang merayap dalam hatinya.

Ini adalah pertama kalinya dia memimpin pasukan ke medan perang, dan ancaman yang dihadapi bukanlah musuh biasa. Orc dikenal brutal dan kejam, apalagi dalam jumlah besar.

“Tenang dirimu Tuan Darrel,” kata Virgo, seolah membaca kecemasan di wajahnya. “Pasukan ini siap untuk bertempur. Kita akan memenangkan pertempuran ini.”

Darrel mengangguk pelan, meskipun di dalam dirinya ia masih merasa tidak yakin. “Aku tahu. Tapi ini lebih besar dari yang pernah aku hadapi.”

Virgo menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil. “Tidak ada yang pernah benar-benar siap untuk perang, bahkan seorang veteran sekalipun. Tapi yang penting adalah tekadmu. Kekuatanmu tidak hanya datang dari pedang atau prajurit di belakangmu, tapi dari keyakinanmu sendiri.”

Kata-kata Virgo sedikit meredakan kecemasan di hati Darrel, tapi bayang-bayang gerombolan orc yang menunggu di depan masih menghantuinya.

Dia bisa merasakan denyut kekuatan Drakonis di dalam dirinya, berputar-putar seperti api yang tak sabar untuk dilepaskan, namun dia tetap ragu. Meskipun ingatan dan kekuatan naga itu telah membantunya dalam duel melawan Frey, memimpin pasukan dalam pertempuran nyata adalah hal yang berbeda. Dia harus berpikir lebih besar dari sekadar pertarungan pribadi. Tanggung jawab ini terlalu besar untuk gagal.

Hari mulai beranjak siang ketika mereka mendekati perbatasan. Darrel bisa merasakan ketegangan di udara, bahkan di antara para prajuritnya. Tanah mulai berubah, dari hamparan hijau subur menjadi lebih kering dan kasar, tanda bahwa mereka semakin dekat dengan wilayah yang sering dihuni oleh orc. Desa-desa kecil yang mereka lewati tampak kosong, seolah-olah para penduduknya telah melarikan diri, menyadari ancaman yang mendekat.

Setibanya di perbatasan, Darrel melihat bekas-bekas pertempuran. Asap masih mengepul dari beberapa rumah yang terbakar, dan tanah berlumuran darah. Para penjaga perbatasan yang tersisa tampak kelelahan, tetapi mereka tetap bersiaga. Salah satu komandan penjaga segera melapor pada Darrel.

“Mereka menyerang dengan cepat dan tanpa peringatan, Tuan,” kata komandan itu, suaranya penuh rasa putus asa. “Kami mencoba bertahan, tapi jumlah mereka terlalu banyak. Kami butuh bantuan untuk menahan mereka.”

Darrel mengangguk, memandang situasi dengan cepat. Dia tahu bahwa ini adalah momen kritis—salah satu kesalahan taktik, dan mereka semua bisa mati. Orc bukanlah makhluk yang mudah dihadapi, terutama dalam jumlah besar. Mereka adalah pejuang yang liar, bergerak dalam gerombolan besar dan tidak mengenal rasa takut.

“Bagaimana dengan jumlah mereka sekarang?” tanya Virgo pada komandan.

“Ratusan, mungkin lebih. Mereka masih bergerak di sekitar hutan di luar desa ini, menunggu untuk menyerang lagi. Kami tidak tahu kapan, tapi mereka pasti akan datang.”

Darrel menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. Dia harus berpikir cepat dan membuat keputusan yang tepat. Pandangannya menyapu pasukannya yang siap tempur, dan dia tahu ini saatnya untuk menunjukkan kepemimpinannya.

“Kita akan menghadapi mereka di dataran terbuka, di depan desa,” ucap Darrel akhirnya. “Jika kita bisa mengarahkan mereka ke medan terbuka, kita punya kesempatan untuk mengalahkan mereka dengan formasi yang kuat. Kita tidak bisa membiarkan mereka masuk ke desa lagi. Ini adalah pertahanan terakhir.”

Virgo menatap Darrel, dan meskipun dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, ada persetujuan dalam matanya. Keputusan Darrel tepat—menghadapi orc di medan terbuka akan memberi pasukan mereka ruang untuk bermanuver, dan dengan begitu pasukan elit yang terlatih ini bisa memanfaatkan keahlian mereka secara maksimal.

Para prajurit bergerak cepat, membentuk formasi di depan desa. Darrel berada di garis depan bersama Virgo, memimpin dengan pedang di tangannya. Namun, di dalam dirinya, api Drakonis mulai menyala lebih kuat, memberikan kekuatan yang hampir menakutkan.

Dia merasakan bagaimana kekuatan naga itu memberikan pemahaman tentang setiap gerakan yang akan terjadi, seolah-olah dia bisa melihat masa depan singkat setiap musuh yang akan menyerang.

Ketika gerombolan orc muncul dari balik pepohonan, suara derap kaki mereka terdengar seperti gemuruh badai. Jumlah mereka jauh lebih besar dari yang Darrel bayangkan. Ratusan, dengan tubuh besar dan senjata berat, orc itu mendekat dengan kecepatan mengerikan, berteriak dan mengaum seperti binatang buas yang haus darah.

Darrel merasakan hatinya berdebar keras, tapi dia tak membiarkan ketakutan menguasainya. Dia memegang erat pedangnya, dan dengan napas dalam-dalam, ia merasakan warisan Drakonis mengalir kuat di seluruh tubuhnya. Kali ini, dia tidak bisa ragu. Kekuatan naga itu adalah bagian dari dirinya sekarang, dan dia harus memanfaatkannya untuk melindungi semua yang ada di belakangnya.

Saat orc pertama menyerang, Darrel bergerak dengan kecepatan luar biasa. Pedangnya berkilat di bawah matahari, memotong udara dan menghantam tubuh orc dengan presisi yang mematikan.

Setiap serangan yang dilancarkan Darrel lebih dari sekadar keterampilan berpedang biasa; ada keanggunan dan kekuatan yang tidak manusiawi dalam gerakannya, seolah-olah dia sendiri adalah naga yang sedang bertempur.

Virgo, di sisinya, juga bertarung dengan ketenangan dan keahlian luar biasa. Pedangnya menyapu musuh dengan akurasi tajam, sementara Darrel terus memimpin pasukannya dengan kekuatan yang makin besar. Meski awalnya sempat gugup, Darrel kini benar-benar menguasai medan, memanfaatkan setiap inci tanah dan waktu untuk mengalahkan musuh-musuhnya.

Pertarungan berlangsung sengit. Orc menyerang tanpa henti, namun pasukan elit Darrel bertahan dengan kokoh, mengatasi setiap gelombang serangan. Darrel bisa merasakan darah orc bercipratan di sekitar, tapi dia terus bergerak, melindungi desa di belakang mereka.

Dan pada akhirnya, setelah pertempuran yang terasa seperti berjam-jam, jumlah orc mulai berkurang. Banyak dari mereka tewas di tangan Darrel dan pasukannya, dan sisanya mulai melarikan diri ke dalam hutan, meninggalkan medan pertempuran yang penuh dengan mayat.

Darrel berdiri di tengah medan perang yang hening, napasnya terengah-engah. Dia menatap tubuh orc yang berserakan di tanah, pedangnya masih berlumuran darah. Namun, meski tubuhnya terasa lelah, ada sesuatu yang lain yang ia rasakan di dalam dirinya—sebuah kekuatan yang tak terduga, sebuah perasaan bahwa dia baru saja melangkah lebih dekat pada takdirnya sebagai pewaris Drakonis.

Virgo menghampirinya, meletakkan tangan di bahu Darrel. “Anda bertarung dengan sangat baik, Tuan Darrel.”

Darrel hanya mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia tahu, ini baru awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Kemenangan ini hanyalah permulaan.

Lagi pula terkadang dia merasa seolah bukan dirinya yang tengah bertarung, dan dia tak akan menyangka hal itu. Tubuhnya seakan bergerak berdasarkan insting bertarung alami, bagaikan keahlian seorang expert yang telah melalui ribuan pertarungan.

"Drakonis..." bisiknya pelan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status