Pagi itu, fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Darrel Van Bertrand dan pasukan elitnya berangkat menuju perbatasan timur.
Di depan, Darrel menunggangi kudanya, dengan jubah keluarga Van Bertrand berkibar tertiup angin. Di sisinya, seorang kesatria berwajah tenang dengan tatapan tajam, Virgo Bastarian, mengiringinya. Virgo adalah seorang Sword Master, dikenal karena kehebatannya di medan perang dan kemampuannya yang luar biasa dalam seni berpedang. Kehadirannya memberikan sedikit rasa aman bagi Darrel, meski jantungnya masih berdebar kencang. Pasukan yang ia pimpin berjumlah seratus orang—prajurit elit yang terlatih dalam pertempuran, para pejuang terbaik yang dimiliki oleh keluarga Van Bertrand. Namun, meski memiliki kekuatan besar di bawah komandonya, Darrel tak bisa menghilangkan rasa gugup yang merayap dalam hatinya. Ini adalah pertama kalinya dia memimpin pasukan ke medan perang, dan ancaman yang dihadapi bukanlah musuh biasa. Orc dikenal brutal dan kejam, apalagi dalam jumlah besar. “Tenang dirimu Tuan Darrel,” kata Virgo, seolah membaca kecemasan di wajahnya. “Pasukan ini siap untuk bertempur. Kita akan memenangkan pertempuran ini.” Darrel mengangguk pelan, meskipun di dalam dirinya ia masih merasa tidak yakin. “Aku tahu. Tapi ini lebih besar dari yang pernah aku hadapi.” Virgo menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil. “Tidak ada yang pernah benar-benar siap untuk perang, bahkan seorang veteran sekalipun. Tapi yang penting adalah tekadmu. Kekuatanmu tidak hanya datang dari pedang atau prajurit di belakangmu, tapi dari keyakinanmu sendiri.” Kata-kata Virgo sedikit meredakan kecemasan di hati Darrel, tapi bayang-bayang gerombolan orc yang menunggu di depan masih menghantuinya. Dia bisa merasakan denyut kekuatan Drakonis di dalam dirinya, berputar-putar seperti api yang tak sabar untuk dilepaskan, namun dia tetap ragu. Meskipun ingatan dan kekuatan naga itu telah membantunya dalam duel melawan Frey, memimpin pasukan dalam pertempuran nyata adalah hal yang berbeda. Dia harus berpikir lebih besar dari sekadar pertarungan pribadi. Tanggung jawab ini terlalu besar untuk gagal. Hari mulai beranjak siang ketika mereka mendekati perbatasan. Darrel bisa merasakan ketegangan di udara, bahkan di antara para prajuritnya. Tanah mulai berubah, dari hamparan hijau subur menjadi lebih kering dan kasar, tanda bahwa mereka semakin dekat dengan wilayah yang sering dihuni oleh orc. Desa-desa kecil yang mereka lewati tampak kosong, seolah-olah para penduduknya telah melarikan diri, menyadari ancaman yang mendekat. Setibanya di perbatasan, Darrel melihat bekas-bekas pertempuran. Asap masih mengepul dari beberapa rumah yang terbakar, dan tanah berlumuran darah. Para penjaga perbatasan yang tersisa tampak kelelahan, tetapi mereka tetap bersiaga. Salah satu komandan penjaga segera melapor pada Darrel. “Mereka menyerang dengan cepat dan tanpa peringatan, Tuan,” kata komandan itu, suaranya penuh rasa putus asa. “Kami mencoba bertahan, tapi jumlah mereka terlalu banyak. Kami butuh bantuan untuk menahan mereka.” Darrel mengangguk, memandang situasi dengan cepat. Dia tahu bahwa ini adalah momen kritis—salah satu kesalahan taktik, dan mereka semua bisa mati. Orc bukanlah makhluk yang mudah dihadapi, terutama dalam jumlah besar. Mereka adalah pejuang yang liar, bergerak dalam gerombolan besar dan tidak mengenal rasa takut. “Bagaimana dengan jumlah mereka sekarang?” tanya Virgo pada komandan. “Ratusan, mungkin lebih. Mereka masih bergerak di sekitar hutan di luar desa ini, menunggu untuk menyerang lagi. Kami tidak tahu kapan, tapi mereka pasti akan datang.” Darrel menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. Dia harus berpikir cepat dan membuat keputusan yang tepat. Pandangannya menyapu pasukannya yang siap tempur, dan dia tahu ini saatnya untuk menunjukkan kepemimpinannya. “Kita akan menghadapi mereka di dataran terbuka, di depan desa,” ucap Darrel akhirnya. “Jika kita bisa mengarahkan mereka ke medan terbuka, kita punya kesempatan untuk mengalahkan mereka dengan formasi yang kuat. Kita tidak bisa membiarkan mereka masuk ke desa lagi. Ini adalah pertahanan terakhir.” Virgo menatap Darrel, dan meskipun dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, ada persetujuan dalam matanya. Keputusan Darrel tepat—menghadapi orc di medan terbuka akan memberi pasukan mereka ruang untuk bermanuver, dan dengan begitu pasukan elit yang terlatih ini bisa memanfaatkan keahlian mereka secara maksimal. Para prajurit bergerak cepat, membentuk formasi di depan desa. Darrel berada di garis depan bersama Virgo, memimpin dengan pedang di tangannya. Namun, di dalam dirinya, api Drakonis mulai menyala lebih kuat, memberikan kekuatan yang hampir menakutkan. Dia merasakan bagaimana kekuatan naga itu memberikan pemahaman tentang setiap gerakan yang akan terjadi, seolah-olah dia bisa melihat masa depan singkat setiap musuh yang akan menyerang. Ketika gerombolan orc muncul dari balik pepohonan, suara derap kaki mereka terdengar seperti gemuruh badai. Jumlah mereka jauh lebih besar dari yang Darrel bayangkan. Ratusan, dengan tubuh besar dan senjata berat, orc itu mendekat dengan kecepatan mengerikan, berteriak dan mengaum seperti binatang buas yang haus darah. Darrel merasakan hatinya berdebar keras, tapi dia tak membiarkan ketakutan menguasainya. Dia memegang erat pedangnya, dan dengan napas dalam-dalam, ia merasakan warisan Drakonis mengalir kuat di seluruh tubuhnya. Kali ini, dia tidak bisa ragu. Kekuatan naga itu adalah bagian dari dirinya sekarang, dan dia harus memanfaatkannya untuk melindungi semua yang ada di belakangnya. Saat orc pertama menyerang, Darrel bergerak dengan kecepatan luar biasa. Pedangnya berkilat di bawah matahari, memotong udara dan menghantam tubuh orc dengan presisi yang mematikan. Setiap serangan yang dilancarkan Darrel lebih dari sekadar keterampilan berpedang biasa; ada keanggunan dan kekuatan yang tidak manusiawi dalam gerakannya, seolah-olah dia sendiri adalah naga yang sedang bertempur. Virgo, di sisinya, juga bertarung dengan ketenangan dan keahlian luar biasa. Pedangnya menyapu musuh dengan akurasi tajam, sementara Darrel terus memimpin pasukannya dengan kekuatan yang makin besar. Meski awalnya sempat gugup, Darrel kini benar-benar menguasai medan, memanfaatkan setiap inci tanah dan waktu untuk mengalahkan musuh-musuhnya. Pertarungan berlangsung sengit. Orc menyerang tanpa henti, namun pasukan elit Darrel bertahan dengan kokoh, mengatasi setiap gelombang serangan. Darrel bisa merasakan darah orc bercipratan di sekitar, tapi dia terus bergerak, melindungi desa di belakang mereka. Dan pada akhirnya, setelah pertempuran yang terasa seperti berjam-jam, jumlah orc mulai berkurang. Banyak dari mereka tewas di tangan Darrel dan pasukannya, dan sisanya mulai melarikan diri ke dalam hutan, meninggalkan medan pertempuran yang penuh dengan mayat. Darrel berdiri di tengah medan perang yang hening, napasnya terengah-engah. Dia menatap tubuh orc yang berserakan di tanah, pedangnya masih berlumuran darah. Namun, meski tubuhnya terasa lelah, ada sesuatu yang lain yang ia rasakan di dalam dirinya—sebuah kekuatan yang tak terduga, sebuah perasaan bahwa dia baru saja melangkah lebih dekat pada takdirnya sebagai pewaris Drakonis. Virgo menghampirinya, meletakkan tangan di bahu Darrel. “Anda bertarung dengan sangat baik, Tuan Darrel.” Darrel hanya mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia tahu, ini baru awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Kemenangan ini hanyalah permulaan. Lagi pula terkadang dia merasa seolah bukan dirinya yang tengah bertarung, dan dia tak akan menyangka hal itu. Tubuhnya seakan bergerak berdasarkan insting bertarung alami, bagaikan keahlian seorang expert yang telah melalui ribuan pertarungan. "Drakonis..." bisiknya pelan.Keesokan harinya setelah pertempuran besar melawan gerombolan orc, Darrel Van Bertrand berdiri di atas bukit kecil di dekat desa yang telah mereka pertahankan. Angin pagi menyapu wajahnya, membawa aroma asap yang samar dan tanah yang basah oleh embun. Langit cerah, seolah-olah alam semesta sendiri tengah memberikan penghormatan atas kemenangan yang diraih pasukannya. Namun, meski kemenangan telah diraih, Darrel merasakan ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di dalam dirinya—sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa ia pahami.Di tangannya, Darrel menggenggam pedang yang digunakan dalam pertempuran. Kilauan baja pedang itu terpantul dari sinar matahari pagi, namun ada sesuatu yang berbeda. Pedangnya seakan-akan berdenyut dengan kekuatan yang baru, mengeluarkan aura samar berwarna biru yang bergetar di sekelilingnya. Ini adalah sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya, dan Darrel tahu, ini bukan hal biasa.Virgo Bastarian, yang berdiri di sampingnya, memandang fenomena itu denga
Malam mulai menyelimuti langit ketika Darrel Van Bertrand duduk sendirian di dalam tenda komandonya. Pertempuran melawan gerombolan orc telah berlalu, namun pikirannya masih dipenuhi dengan kekuatan baru yang dia rasakan. Sword Aura yang ia bangkitkan selama pertempuran adalah tanda dari sesuatu yang lebih besar dan lebih dalam, sesuatu yang tampaknya mengikatnya pada takdir yang tak terelakkan. Di tengah keheningan malam, Darrel memejamkan mata, mencoba memahami lebih lanjut kekuatan yang mengalir dalam dirinya.Saat dia menarik napas dalam-dalam, tiba-tiba rasa dingin yang aneh melingkupi tubuhnya. Udara di sekitar tenda terasa berubah, dan Darrel membuka matanya dengan waspada. Dalam sekejap, cahaya biru kehijauan mulai berpendar dari tubuhnya, membentuk lingkaran yang semakin lama semakin intens. Darrel tersentak, mencoba mengendalikan kekuatan itu, namun aliran energi itu tidak bisa dihentikan. Al hasil membawa kesadaranya ke dalam ruang lingkup kegelapan."Kau akhirnya siap
Dalam kegelapan malam, langit membentang luas di atas pegunungan Tethra, diterangi hanya oleh cahaya bintang-bintang. Di bawah langit yang tenang itu, kerajaan Drakonik berjaga dalam keheningan. Di tengah pusat kerajaan, berdiri sebuah kastil megah yang dipahat dari batu hitam, tempat Raja Naga, Drakonis, memerintah dengan bijaksana. Sebagai penguasa naga terakhir, ia memiliki kekuatan besar yang tak tertandingi di dunia manusia. Drakonis telah menjaga keseimbangan antara manusia dan makhluk magis selama berabad-abad. Namun, di malam itu, ketenangan hanya menjadi ilusi tipis. Sesuatu yang gelap, berbahaya, dan tidak terlihat sedang bersembunyi di balik tembok kastil. Jenderal Arkanis, salah satu panglima perang terpercaya Raja Naga, berjalan cepat melewati koridor batu yang dingin, matanya penuh tekad dan niat busuk. Dalam diam, ia menggenggam erat sebuah permata hitam, artefak kuno yang selama ini tersembunyi dari pandangan Drakonis. Raja Naga duduk di singgasananya, tubuhnya yang
Kerajaan Morph terletak di lembah hijau yang dikelilingi oleh pegunungan megah, tempat angin dingin selalu menyapu desa-desa kecil yang tersebar di sekitarnya. Di atas bukit tertinggi berdiri Kastil Bertrand, rumah bagi salah satu keluarga bangsawan terkuat di seluruh kerajaan. Keluarga Van Bertrand telah memerintah tanah ini selama beberapa generasi dengan kekuasaan dan kehormatan. Duke Davin Van Bertrand, penguasa saat ini, dikenal sebagai seorang pemimpin tegas dan adil, dengan dua putra yang cerdas dan seorang anak ketiga yang berbeda dari mereka semua. Darrel Van Bertrand, putra ketiga Duke, sedang berdiri di tepi balkon kamarnya, menatap ke cakrawala di kejauhan. Usianya baru menginjak lima belas tahun, namun beban kehidupan bangsawan sudah mulai terasa. Angin yang menerpa wajahnya membawa bau pinus dari hutan yang membentang jauh di luar kastil. Matanya yang biru cerah memandangi lembah di bawahnya dengan perasaan campur aduk—di sanalah kebebasan terletak, di balik hutan
Langit di atas Kastil Bertrand mulai gelap ketika Darrel Van Bertrand terbenam dalam buku kuno yang baru saja ditemukannya. Di balik halaman demi halaman yang dipenuhi dengan tulisan kuno dan simbol-simbol yang memusingkan, Darrel merasa seolah-olah dirinya ditarik ke dalam kisah yang berbeda—lebih tua dan lebih besar dari sekadar catatan sejarah manusia. Kisah tentang Drakonis, Sang Raja Naga, yang telah lama dilupakan oleh dunia manusia, kini tampak lebih nyata daripada apa pun yang pernah ia pelajari. Saat Darrel terus membaca, rasa dingin yang aneh menjalar melalui tubuhnya. Tulisan-tulisan dalam buku mulai terasa bukan hanya sebagai cerita belaka, tetapi sebuah panggilan, bisikan dari masa lalu yang mencoba mencapai pikirannya. “Drakonis,” Darrel berbisik, namanya terasa asing di lidah, namun penuh makna. Di saat yang sama, seseorang bergerak di balik bayang-bayang perpustakaan. Elara, sang pelayan yang telah melayani keluarga Van Bertrand selama bertahun-tahun, perlahan mende
Perpustakaan kastil yang gelap dan penuh debu terasa semakin sunyi setelah kekuatan yang dipanggil oleh Elara mulai surut. Getaran-getaran magis yang sebelumnya menyelimuti ruangan perlahan memudar, meninggalkan Darrel sendirian di lantai batu dingin. Tubuhnya gemetar hebat, jiwanya seakan terkoyak oleh kekuatan luar biasa yang baru saja terbangun di dalam dirinya.Di sudut ruangan, Elara berdiri diam, tatapannya penuh dengan kepuasan yang tenang. Wajahnya yang biasanya lembut dan ramah kini tampak jauh lebih dingin, seolah-olah ada jarak yang tak terlihat antara dirinya dan dunia di sekelilingnya. Dia tahu tugasnya hampir selesai. Kekuatan yang telah disimpan di dalam tubuh Darrel selama bertahun-tahun telah dibangkitkan, dan sekarang, waktunya telah tiba baginya untuk kembali.“Elara…” Darrel berbisik, suaranya penuh kebingungan dan kelelahan. Ia berusaha bangkit, namun tubuhnya terasa begitu berat. “Apa yang kau lakukan padaku? Siapa kau… sebenarnya?”Elara memandangnya dengan seny
Suasana kastil Van Bertrand yang tenang terganggu oleh derap kuda yang mendekat. Darrel, yang masih tertegun dalam pikirannya sendiri, segera tersadar ketika ia mendengar suara pelayan mengumumkan kedatangan tamu yang Darrel tak duga-duga."Yang Mulia Frey Han Rollock telah tiba!" seru pelayan itu dengan nada hormat, meski Darrel tahu betul bagaimana Frey tidak pernah menghormati siapa pun kecuali dirinya sendiri.Jantung Darrel berdegup kencang mendengar nama itu. Frey Han Rollock. Nama yang selalu membawa kenangan buruk bagi Darrel, sejak masa kecil mereka. Sebagai putra ketiga dari Duke Han Rollock, Frey telah menjadi momok bagi Darrel, memanfaatkan setiap kesempatan untuk merendahkan, mengejek, dan bahkan memukulinya ketika tidak ada yang melihat.Darrel menghela napas dalam, mencoba menenangkan diri. Dalam sekejap, pikiran tentang kekuatan Drakonis yang baru bangkit di dalam dirinya mulai mengusik. Seharusnya, dengan kekuatan itu, ia tidak lagi takut pada Frey, bukan? Namun, ada
Matahari bersinar terang di atas menara kastil, menyisakan langit dengan awan putih dan langit biru. Di halaman luar Kastil Van Bertrand, Darrel berdiri tegap dengan tangan menggenggam gagang pedangnya. Di hadapannya, Frey Han Rollock sudah bersiap, wajahnya dipenuhi amarah dan kesombongan. Angin sore yang dingin menyapu tanah, mengangkat sedikit debu, seolah memulai sebuah pertarungan yang tak terhindarkan.“Ini akhir dari kesabaranmu, ya?” ejek Frey dengan tawa kecil. “Kau pikir bisa menantangku? Aku akan membuatmu menyesal sudah berani melawan.”Darrel tidak menjawab. Dia hanya menatap Frey, mencoba merasakan denyut kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya. Warisan Drakonis terasa hidup di bawah permukaan kulitnya, seperti api yang menunggu untuk dilepaskan. Namun, Darrel tahu, meskipun dia memiliki kekuatan naga dalam dirinya, dia tidak boleh bergantung sepenuhnya pada hal itu. Kekuatan sejati datang dari keseimbangan—dan untuk saat ini, dia harus fokus pada teknik dan strategi.Frey