Dorongan kekuatan Drakonis yang membara membuat tubuh Darrel memanas, nyaris seperti akan terbakar dari dalam. Darrel tahu bahwa kekuatan itu bisa menelannya kapan saja, tapi dia tidak punya pilihan. Setiap langkahnya di medan perang menjadi lebih berat, tetapi ketakutannya tenggelam di balik keberanian yang dibawa oleh darah naga dalam dirinya.Di depan matanya, undead orc terus membanjiri pasukan Duke. Mereka tak henti-henti, seperti gelombang kegelapan yang siap menelan apa pun yang menghalangi jalan mereka. Darrel merasakan nyala energi di tubuhnya terus meningkat, hampir tak terkendali. Pedangnya kini berkilat merah, diselimuti oleh kekuatan Drakonis yang memancar dari setiap serangan."Jangan biarkan mereka mendekat!" teriak Darrel, suaranya menggema di antara prajurit yang mulai mundur, kewalahan oleh serangan tanpa henti. Meski takut, para prajurit mendengar seruannya dan berusaha bertahan, mengacungkan senjata mereka dengan gemetar.Di tengah kekacauan itu, Virgo, salah satu
Segera setelah pasukan Duke Van Bertrand menyapu sisa orc, kemenangan akhirnya menjadi milik mereka. Orc yang tersisa, yang berusaha melarikan diri, diburu tanpa ampun hingga ke tempat persembunyian mereka di dalam hutan hitam berkabut. Hutan itu, penuh dengan bayangan misterius, menyembunyikan kengerian dan kekuatan gelap yang lebih besar. Namun, meski semua orc telah dimusnahkan, ancaman yang lebih besar masih membayangi.Di suatu tempat di balik kegelapan hutan itu, tersembunyi sosok misterius. Wajahnya tersembunyi oleh tudung jubah hitamnya, matanya berkilat dingin saat ia menyaksikan kekalahan pasukan orc. Sosok ini bukanlah orc, melainkan seorang manusia. Dialah yang menjadi dalang di balik serangan brutal ini. Namun, tidak seorang pun, termasuk Duke Van Bertrand dan pasukannya, menyadari keberadaannya. Dia tetap dalam bayang-bayang, tidak tersentuh oleh kemenangan manusia."Ini baru awal," bisiknya pelan, dengan suara yang hampir tak terdengar. Tatapannya penuh tekad, meskipun
Kemampuan Darrel untuk berkomunikasi dengan Drakonis dalam jiwanya kini telah sepenuhnya terbuka. Setiap kali dia memejamkan mata dan berkonsentrasi, dia bisa merasakan kehadiran arwah naga yang bersemayam dalam dirinya. Tidak seperti sebelumnya, saat dia hanya bisa berkomunikasi dengan entitas Drakonis itu sesaat, sekarang Darrel bisa berbicara dengan bebas kapan saja. Arwah atau jiwa Drakonis bukan lagi sekadar kekuatan asing yang membara dalam dirinya; entitas itu kini menjadi lebih nyata, lebih dekat, dan seolah-olah berfungsi sebagai mentor bagi Darrel."Sudah waktunya, Darrel," suara dalam yang berat dan kuat itu bergema dalam pikirannya suatu malam saat dia beristirahat setelah latihan. "Kau siap untuk menerima ajaran yang lebih dalam. Kekuatan Drakonis tidak hanya tentang kekuatan kasar. Ini adalah keseimbangan, kehormatan, dan kontrol. Kau akan belajar, dan aku akan membimbingmu."Darrel membuka matanya perlahan, merasakan percakapan ini lebih nyata dari sebelumnya. Kekuata
Darrel melanjutkan latihannya dengan penuh dedikasi, terbenam dalam dunia baru yang diciptakan oleh ajaran Drakonis. Dia merasakan kekuatan dan keterampilan yang berkembang dalam dirinya. Tak lama setelah itu Darrel mendapatkan panggilan dari Duke Davin dan memintanya untuk datang ke aula istana. Perubahan tak terduga datang saat seorang utusan dari Akademi Kekaisaran Ravencroft tiba di kastil mereka, membawa undangan yang sedikit mengejutkan Darrel.Duke Davin Van Bertrand, dengan tatapan serius, menerima utusan itu di ruang istana. Darrel berdiri di samping ayahnya, merasakan ketegangan di udara. Utusan itu menjelaskan kedatangannya bahwa Akademi Kekaisaran membuka pendaftaran untuk siswa baru dari kalangan bangsawan, dan Keluarga Van Bertrand diundang untuk mengirimkan perwakilan mereka.Saat Duke Davin menerima utusan tersebut, dia tahu bahwa keputusan besar harus segera diambil. Ravencroft bukan hanya sekadar akademi, tetapi juga tempat di mana para pemimpin, kesatria ataupun
"Darrel Van Bertrand," Dorian menyapa dengan nada datar. "Aku berharap ayahmu yang akan datang sendiri, mengingat pentingnya masalah ini."Darrel mengangguk, berusaha tetap sopan meskipun merasakan ketegangan di dalam ruangan. "Ayahku sedang memiliki urusan penting di kota Morph, jadi dia mengirimku sebagai perwakilan untuk menyelidiki apa yang terjadi di sini," jawab Darrel.Dorian terdiam sejenak, matanya memperhatikan Darrel dengan cermat. Dalam hatinya, Dorian kesal karena rencananya untuk bekerja sama dengan sosok misterius—di balik bayangan, tak berjalan sesuai harapan. Dia berharap bisa mengundang Duke Davin sendiri, tetapi kehadiran Darrel malah menjadi penghalang baru. Namun, Dorian berusaha menyembunyikan perasaan itu dengan senyuman tipis."Apa yang sebenarnya terjadi di sini, Tuan Viscount?" tanya Darrel, langsung pada inti permasalahan. "Aku mendengar bahwa banyak penduduk kota yang mati secara misterius. Apa yang menyebabkannya?"Dorian menarik napas panjang, berpura-pu
Malam hari berikutnya, Darrel dan Virgo memulai penyelidikan mereka secara diam-diam. Mengikuti jejak tipis Dark Magic yang hanya bisa dirasakan Darrel dengan teknik Eye of the Dragon, mereka menyusuri lorong-lorong kota Greycastle yang sepi. Semakin dekat mereka ke pinggiran kota, semakin terasa kuatnya energi gelap yang menyelimuti tempat itu. Akhirnya, mereka tiba di sebuah rumah bordil yang tampak tak mencolok dari luar."Dari sini," bisik Darrel. "Jejak Dark Magic mengarah ke dalam."Dengan penyamaran yang rapi, Darrel dan Virgo menyelinap masuk ke rumah bordil tersebut. Suasana di dalamnya penuh dengan tawa dan gemerlap malam, para pengunjung tidak menyadari bahwa di balik kegelapan malam, dua ksatria sedang mencari kebenaran. Mereka dengan hati-hati menuju ke salah satu kamar di lantai bawah. Dari balik tirai di salah satu sudut ruangan, Darrel merasakan energi kuat yang berasal dari ruang bawah tanah yang tersembunyi."Ini dia," bisik Darrel, membuka tirai tersebut dan menem
Namun, masalah yang lebih besar segera datang. Monster bertanduk itu mengaum, mengeluarkan semburan lava dari mulutnya yang panas membara. Darrel dan Virgo terpaksa berlindung, berusaha menghindari gelombang panas yang bisa melelehkan kulit mereka dalam sekejap.“Kita tak bisa terus seperti ini!” seru Darrel, matanya menatap lurus ke arah monster raksasa itu. Darrel tahu bahwa jika mereka tidak menghentikan monster ini, seluruh kota Greycastle akan jatuh dalam kehancuran.Di tengah-tengah kepanikan, Darrel merasakan kekuatan Drakonis yang membara dalam dirinya, seperti api yang siap meledak kapan saja. Namun dia ragu untuk melepaskannya, mengingat apa yang terjadi pada dirinya sebelumnya. Tapi saat monster bertanduk itu mendekat, dengan guncangan setiap langkahnya yang merobek tanah, Darrel tahu dia tak punya pilihan lain.Dengan hati-hati, Darrel mulai mengerahkan kekuatan Drakonis yang ada dalam dirinya. Energi merah menyala mulai membungkus tubuhnya, membuatnya tampak seperti api y
Setelah pertempuran sengit melawan penyihir hitam dan monster lava, para kesatria ataupun prajurit berkumpul kembali di markas sementara mereka di Greycastle. Tetapi, meskipun mereka telah menghentikan usaha penyihir hitam dalam ritual pemanggilan yang mengancam kota, masalah belum sepenuhnya terpecahkan.Virgo dan Evan tampak mengobrol satu sama lain, mendiskusikan masalah yang belum terselesaikan sepenuhnya, mereka akhirnya mendapatkan sedikit petunjuk terkait kematian misterius para penduduk Greycastle yang sudah terjadi beberapa minggu lalu, dan bukti tertuju pada Dark Magic.Virgo duduk sambil menyeka keringat di dahinya, wajahnya penuh kelelahan namun masih bersemangat. "Kita tidak punya cukup informasi. Semua penyihir hitam itu sudah mati, tak ada satu pun yang bisa kita tangkap untuk diinterogasi."Evan Morion mengangguk pelan, pandangannya tegas saat ia merenungi apa yang baru saja terjadi. "Kalau saja kita bisa menangkap satu dari mereka hidup-hidup, mungkin kita bisa menge
Bab 93 – Tekanan Tiga JenderalKapak besar Jendral iblis Mordor mengayun dengan kekuatan yang menggetarkan bumi. Udara di sekitarnya berdesing tajam, menyiratkan kekuatan destruktif yang dapat menghancurkan gunung dalam sekali tebasan. Namun, Darrel dengan refleks luar biasa menghindar, tubuhnya bergerak cepat meninggalkan bayangan hitam.Mata keemasan Darrel bersinar tajam, memindai tiga jenderal iblis yang mengepungnya. Mordor berdiri dengan kapak raksasanya, sosok merah darah itu adalah simbol kekuatan mentah. Di sisi lain, Isengard yang lebih ramping namun menyeramkan dengan dua pedang melengkung di tangannya, menebarkan aura haus darah. Terakhir adalah Kroel, tubuhnya dilapisi armor hitam pekat yang membuatnya tampak seperti benteng hidup, dengan tombak panjang berujung runcing yang sesekali menyala dengan energi gelap."Kau manusia keras kepala!" raung Mordor, taring tajamnya tampak saat ia membuka mulutnya lebar. "Menghindar terus? Apa itu cara para kalian manusia bertarung?
Medan perang semakin kacau setelah kemunculan Demon Lord Luciferos. Kabut hitam pekat yang menyelimuti wilayah Redthorn kini meluas, menyebar perlahan ke seluruh penjuru medan tempur, menyebarkan aroma busuk yang membuat siapa pun merasa mual.Di tengah suasana mencekam itu, barisan pasukan iblis terus muncul dari dalam hutan. Mereka berbaris dengan rapi, dipimpin oleh para jenderal iblis yang memiliki tampilan ganas dan mengintimidasi. Salah satu jenderal, sosok tinggi besar dengan kulit merah pekat dan pedang raksasa di punggungnya, tertawa keras."Haha! Lihat wajah ketakutan mereka! Pasukan elf sudah kehilangan nyali!" teriaknya, suaranya menggema di antara gemuruh langkah pasukan.Para prajurit elf semakin tertekan. Banyak di antara mereka yang jatuh berlutut, kehilangan semangat bertempur. Beberapa bahkan mulai menangis, membayangkan kematian yang tak terelakkan.Namun, dari kejauhan, terdengar suara terompet perang. Derap langkah ribuan pasukan bergema, menggetarkan tanah. Dari
Di medan perang yang porak-poranda, kekuatan luar biasa terpancar dari tubuh Darrel yang kini bertransformasi menjadi sesuatu yang hampir tak bisa dikenali. Sisik-sisik hitam keemasan membalut tubuhnya, membentuk armor kokoh yang memancarkan aura mengancam. Kedua tangannya berubah menjadi cakar tajam, seperti lengan seekor naga, sementara matanya bersinar keemasan, memancarkan tatapan dingin yang menusuk jiwa siapa pun yang melihatnya.Barrak tertegun, masih memegangi luka di perutnya yang tidak kunjung sembuh. Darah hitam pekat mengalir deras, namun luka itu bukan yang membuatnya gentar. Kekuatan yang terpancar dari Darrel memunculkan kenangan yang sudah lama terkubur dalam benaknya—bayangan sosok raksasa bermata emas, dengan suara yang menggema seperti guntur di atas langit yang kosong."Iblis. Beraninya makhluk menjijikkan seperti kalian menginjakkan kaki di duniaku."Suara berat nan agung itu terngiang kembali di kepala Barrak, membuat tubuhnya bergetar. Ia memandang Darrel den
Medan perang adalah neraka. Jeritan prajurit dan raungan iblis terus menggema, sementara darah mengalir seperti sungai di atas tanah, menghiasi tanah tandus itu, sementara tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan, menjadi saksi bisu betapa brutalnya pertarungan yang berlangsung.Di tengah kekacauan, Jenderal Leonor berdiri dengan pedang yang meneteskan darah. Napasnya memburu, tapi matanya tetap memancarkan determinasi. Armor peraknya berkilauan, memantulkan sinar matahari yang memudar di balik awan gelap. Ia baru saja berhasil menumbangkan golem iblis raksasa dengan bantuan para penyihir elf dan Darrel. Namun, senyum kepuasan tak sempat menghiasi wajahnya."Sial! Mereka tidak kenal lelah!" seru Leonor seraya menebaskan pedangnya ke arah iblis yang mendekat. "Seolah mereka tak peduli dengan nyawa mereka sendiri!"Seorang penyihir elf, Mariel, mengangguk dengan wajah pucat. "Pasukan iblis ini seperti dipacu oleh sesuatu yang lebih besar, Jenderal. Ada kekuatan yang tidak biasa mempenga
"Sial! Bedebah itu berhasil kabur," gerutu Delphira dengan napas terengah-engah, memandangi sosok berjubah hitam yang berlari menghilang ke kedalaman hutan lebat.Angin malam menyapu wajahnya yang sedikit di aliri keringat. Matanya menyipit, mencoba menembus gelapnya hutan, memastikan lawannya benar-benar pergi. Tubuhnya terasa agak letih, tenaga dalamnya terkuras setelah bertarung melawan sosok misterius itu. Ia menoleh ke arah luka kecil di lengannya, darah masih menetes perlahan."Kalau dia benar-benar bertarung sampai mati, aku mungkin harus siap kehilangan satu lemgan atau luka besar," gumamnya seraya mengusap keringat di dahinya. Meski berhasil memaksa lawannya mundur, ia tahu bahwa pertempuran tadi hampir berakhir buruk baginya.Delphira menarik napas panjang, mengatur dirinya sebelum melangkah mundur menuju tepi jurang. Dengan gerakan lincah, ia melompat ke udara. Seketika seekor elang raksasa dengan bulu keemasan menyambarnya, membawa tubuhnya melesat tinggi ke langit....S
Medan perang itu bergetar hebat saat golem raksasa hendak mengangkat tangannya yang besar dan dipenuhi bebatuan keras, mencoba menghantam barisan prajurit elf yang ketakutan. Sebuah dentuman keras terdengar, seakan seluruh tanah itu akan terbelah. Namun, saat tangan golem yang besar hendak mendaratkan pukulan, tiba-tiba tangan itu terpotong menjadi dua bagian."Sssrreeettttt!"Sebuah suara tajam terdengar, dan gumpalan batu besar yang mengelilingi lengan golem terjatuh berantakan ke tanah, menciptakan percikan batu yang menyebar di sekitar medan perang.Para prajurit elf dan penyihir yang sebelumnya tampak terkejut dan takut, kini terdiam, kebingungan dan tak percaya. "Apa yang terjadi? Tangan golem itu... terputus?!" teriak salah satu prajurit dengan nada penuh keheranan.Di tengah kebingungannya, mereka melihat seorang pemuda muncul entah dari mana, melompat tinggi di udara, langsung menerjang golem itu dengan keberanian yang luar biasa. Pedangnya yang terhunus bersinar dingin, mem
Hamparan tanah tandus di hutan Redthorn kini berubah menjadi medan perang yang mencekam. Tanah retak, langit kelabu, dan udara berat oleh aroma busuk iblis yang bercampur dengan debu. Kabut hitam pekat mengambang, seolah menjadi tirai yang menutupi kekacauan di tempat itu.Di kejauhan, pasukan Kerajaan Moondale yang baru tiba melangkah dengan megah. Pancaran cahaya perak dari armor mereka memantulkan sinar matahari yang samar, menciptakan kilauan di tengah kegelapan. Bendera kerajaan berkibar di tengah angin, simbol dari sebuah pohon raksasa yang persis mencerminkan Tree Of Wisdom, mengingatkan setiap prajurit pada tekad dan harapan untuk bangkit meskipun menghadapi kehancuran.Seorang prajurit elf muda, wajahnya penuh luka dan darah, mendekati Jenderal Leonor. "Jenderal, pasukan utama telah tiba," katanya dengan nada lega, tetapi suaranya gemetar oleh kelelahan.Jenderal Leonor, pria paruh baya dengan wajah tegas dan sorot mata tajam, memandangnya sekilas. "Bagaimana situasi di si
Butiran kerikil dan debu beterbangan dari ledakan itu, menciptakan kepulan asap pekat di atas tanah yang porak-prannda."Ugh..." Vindel terhuyung keluar dari asap, tubuhnya penuh luka dan darah mengalir deras dari bahu kirinya. Ledakan tadi memang tidak langsung membunuhnya, tetapi cukup untuk membuatnya kehilangan banyak tenaga."Oh? Keras kepala sekali kau, Nak," sosok berjubah hitam berkata dengan senyum mengejek. Matanya yang bersinar dingin menyipit, menunjukkan penghinaan yang mendalam.Vindel, meskipun terluka parah, tetap berusaha tegak. Tangannya gemetar ketika ia meraih busurnya lagi. Namun, ia tahu serangan berikutnya tidak akan memberinya kesempatan untuk bertahan. Pikiran Vindel berpacu, mencoba mencari jalan keluar.‘Aku belum boleh mati di sini,’ pikirnya. Vindel mengingat kembali tugasnya untuk menyampaikan permintaan bala bantuan ke suku pedalaman Great Forest belum selesai. Jika ia gagal, Kerajaan Moondale akan kehilangan sekutunya dalam perang melawan ras iblis.Sos
Bab 85: Bayang-Bayang di Ujung JurangDi sisi lain Negeri Elf, Vindel terus memacu rusa seukuran kuda yang ditungganginya melewati hutan yang semakin gelap. Bayang-bayang pepohonan raksasa diiringi suara lolongan serigala mengiringi setiap langkahnya. Vindel menghela napas panjang, satu tangannya menggenggam busur, sementara tangan lainnya bersiap dengan anak panah yang membidik ke arah serigala hitam."Binatang sihir ini seperti tidak ada habisnya!" gerutunya sambil memutar tubuh, memanah kawanan serigala hitam yang mengejarnya.Anak panahnya melesat, menancap di tubuh beberapa serigala. Tubuh mereka meledak menjadi debu hitam, tetapi kawanan di belakangnya tampak tidak gentar sedikit pun."Brengsek, jumlah mereka lebih banyak dari yang kuduga!" Vindel berdecak kesal. Wajahnya yang biasanya santai kini semakin serius, matanya memantulkan tekad kuat untuk bertahan hidup.Ia mengerahkan ennerginya pada anak panah yang mulai berkilau, melesat dengan kecepatan luar biasa hingga menimbu