Darrel melanjutkan latihannya dengan penuh dedikasi, terbenam dalam dunia baru yang diciptakan oleh ajaran Drakonis. Dia merasakan kekuatan dan keterampilan yang berkembang dalam dirinya. Tak lama setelah itu Darrel mendapatkan panggilan dari Duke Davin dan memintanya untuk datang ke aula istana. Perubahan tak terduga datang saat seorang utusan dari Akademi Kekaisaran Ravencroft tiba di kastil mereka, membawa undangan yang sedikit mengejutkan Darrel.Duke Davin Van Bertrand, dengan tatapan serius, menerima utusan itu di ruang istana. Darrel berdiri di samping ayahnya, merasakan ketegangan di udara. Utusan itu menjelaskan kedatangannya bahwa Akademi Kekaisaran membuka pendaftaran untuk siswa baru dari kalangan bangsawan, dan Keluarga Van Bertrand diundang untuk mengirimkan perwakilan mereka.Saat Duke Davin menerima utusan tersebut, dia tahu bahwa keputusan besar harus segera diambil. Ravencroft bukan hanya sekadar akademi, tetapi juga tempat di mana para pemimpin, kesatria ataupun
"Darrel Van Bertrand," Dorian menyapa dengan nada datar. "Aku berharap ayahmu yang akan datang sendiri, mengingat pentingnya masalah ini."Darrel mengangguk, berusaha tetap sopan meskipun merasakan ketegangan di dalam ruangan. "Ayahku sedang memiliki urusan penting di kota Morph, jadi dia mengirimku sebagai perwakilan untuk menyelidiki apa yang terjadi di sini," jawab Darrel.Dorian terdiam sejenak, matanya memperhatikan Darrel dengan cermat. Dalam hatinya, Dorian kesal karena rencananya untuk bekerja sama dengan sosok misterius—di balik bayangan, tak berjalan sesuai harapan. Dia berharap bisa mengundang Duke Davin sendiri, tetapi kehadiran Darrel malah menjadi penghalang baru. Namun, Dorian berusaha menyembunyikan perasaan itu dengan senyuman tipis."Apa yang sebenarnya terjadi di sini, Tuan Viscount?" tanya Darrel, langsung pada inti permasalahan. "Aku mendengar bahwa banyak penduduk kota yang mati secara misterius. Apa yang menyebabkannya?"Dorian menarik napas panjang, berpura-pu
Malam hari berikutnya, Darrel dan Virgo memulai penyelidikan mereka secara diam-diam. Mengikuti jejak tipis Dark Magic yang hanya bisa dirasakan Darrel dengan teknik Eye of the Dragon, mereka menyusuri lorong-lorong kota Greycastle yang sepi. Semakin dekat mereka ke pinggiran kota, semakin terasa kuatnya energi gelap yang menyelimuti tempat itu. Akhirnya, mereka tiba di sebuah rumah bordil yang tampak tak mencolok dari luar."Dari sini," bisik Darrel. "Jejak Dark Magic mengarah ke dalam."Dengan penyamaran yang rapi, Darrel dan Virgo menyelinap masuk ke rumah bordil tersebut. Suasana di dalamnya penuh dengan tawa dan gemerlap malam, para pengunjung tidak menyadari bahwa di balik kegelapan malam, dua ksatria sedang mencari kebenaran. Mereka dengan hati-hati menuju ke salah satu kamar di lantai bawah. Dari balik tirai di salah satu sudut ruangan, Darrel merasakan energi kuat yang berasal dari ruang bawah tanah yang tersembunyi."Ini dia," bisik Darrel, membuka tirai tersebut dan menem
Namun, masalah yang lebih besar segera datang. Monster bertanduk itu mengaum, mengeluarkan semburan lava dari mulutnya yang panas membara. Darrel dan Virgo terpaksa berlindung, berusaha menghindari gelombang panas yang bisa melelehkan kulit mereka dalam sekejap.“Kita tak bisa terus seperti ini!” seru Darrel, matanya menatap lurus ke arah monster raksasa itu. Darrel tahu bahwa jika mereka tidak menghentikan monster ini, seluruh kota Greycastle akan jatuh dalam kehancuran.Di tengah-tengah kepanikan, Darrel merasakan kekuatan Drakonis yang membara dalam dirinya, seperti api yang siap meledak kapan saja. Namun dia ragu untuk melepaskannya, mengingat apa yang terjadi pada dirinya sebelumnya. Tapi saat monster bertanduk itu mendekat, dengan guncangan setiap langkahnya yang merobek tanah, Darrel tahu dia tak punya pilihan lain.Dengan hati-hati, Darrel mulai mengerahkan kekuatan Drakonis yang ada dalam dirinya. Energi merah menyala mulai membungkus tubuhnya, membuatnya tampak seperti api y
Setelah pertempuran sengit melawan penyihir hitam dan monster lava, para kesatria ataupun prajurit berkumpul kembali di markas sementara mereka di Greycastle. Tetapi, meskipun mereka telah menghentikan usaha penyihir hitam dalam ritual pemanggilan yang mengancam kota, masalah belum sepenuhnya terpecahkan.Virgo dan Evan tampak mengobrol satu sama lain, mendiskusikan masalah yang belum terselesaikan sepenuhnya, mereka akhirnya mendapatkan sedikit petunjuk terkait kematian misterius para penduduk Greycastle yang sudah terjadi beberapa minggu lalu, dan bukti tertuju pada Dark Magic.Virgo duduk sambil menyeka keringat di dahinya, wajahnya penuh kelelahan namun masih bersemangat. "Kita tidak punya cukup informasi. Semua penyihir hitam itu sudah mati, tak ada satu pun yang bisa kita tangkap untuk diinterogasi."Evan Morion mengangguk pelan, pandangannya tegas saat ia merenungi apa yang baru saja terjadi. "Kalau saja kita bisa menangkap satu dari mereka hidup-hidup, mungkin kita bisa menge
Di tempat yang jauh dari kota Greycastle, tersembunyi di antara puncak-puncak gunung berbatu yang menjulang, berdiri sebuah kastil megah namun mencekam. Kastil itu terbungkus dalam kabut gelap dan penuh dengan aura hitam yang memancar dari setiap sudutnya. Energi hitam yang bengis mengalir seperti arus, seolah-olah kehidupan di tempat itu tidak lagi mengikuti hukum alam biasa. Langit di atasnya dipenuhi awan kelam, sementara tanah di sekitarnya tampak mati dan tandus.Di dalam kastil tersebut, di sebuah aula besar dengan langit-langit tinggi yang dikelilingi oleh pilar-pilar raksasa, seorang sosok siluet hitam duduk di atas singgasana. Sosok itu tampak angkuh, duduk dengan tangan terlipat di dada, mengenakan mahkota hitam yang memancarkan kekuatan kelam. Seperti seorang raja kegelapan, ia menguasai setiap jengkal ruang di sekitarnya dengan kehadirannya yang mengerikan. Wajahnya tersembunyi dalam bayangan, tetapi mata merahnya berkilat tajam, memperhatikan sosok lain yang berlutut
Beberapa hari kemudian, Darrel Van Bertrand akhirnya terbangun dari tidurnya yang panjang. Namun, kesadarannya belum sepenuhnya kembali. Kepalanya terasa berat, dan pandangannya kabur saat mencoba fokus pada sekelilingnya. Tubuhnya terasa kaku, dan seiring dengan semakin jelasnya kesadarannya, Darrel menyadari bahwa dia tidak sedang berada di kamar istananya di Kastil Geryfon.Dia mencoba bergerak, namun seketika tersadar bahwa tubuhnya terikat. Kedua tangannya dipaksa bersatu di belakang punggungnya dengan tali yang kuat. Kakinya juga diikat erat ke kursi kayu tempat ia duduk. Ruangan yang gelap dan dingin di sekitarnya berbau lembab, seperti ruang bawah tanah yang lama tak terpakai."Di mana aku?" gumam Darrel dengan suara serak. Kepalanya masih berdenyut, membuatnya sulit berpikir jernih.Saat itulah, suara tawa pelan namun penuh kebencian bergema di ruangan itu. Darrel mencoba melihat ke arah sumber suara, dan meski ruangan itu remang-remang, dia dapat melihat dua sosok yang berd
Di ruang bawah tanah yang pengap dan lembap, Darrel Van Bertrand berdiri tegap, kekuatan Drakonis yang membara memancar dari tubuhnya. Aura merah pekat berputar-putar di sekelilingnya, seolah-olah energi naga purba telah bangkit dalam dirinya. Tubuhnya terasa ringan, dan kekuatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya mengalir di setiap inci ototnya. Sisik merah keemasan yang samar muncul di sekitar pergelangan tangannya, mempertegas transformasi kekuatannya menjadi sesuatu yang lebih besar dan lebih mengerikan, menyerupai lengan naga.Dorian Greyfon, yang biasanya penuh dengan rasa percaya diri dan keangkuhan, kini mundur perlahan dengan mata yang membelalak. Wajahnya yang pucat semakin memucat saat dia menyaksikan perubahan yang terjadi pada Darrel. Gelombang intimidasi yang memancar dari aura merah itu terasa begitu menekan hingga membuatnya sulit bernapas."Apa... apa itu sebenarnya?" gumam Dorian, suaranya terdengar serak dan dipenuhi rasa takut.Di sebelahnya, sosok bertudung
Malam yang terasa panjang penuh darah dan kehancuran akhirnya berakhir. Pertarungan besar antara cahaya dan kegelapan mencapai puncaknya dengan kemenangan mutlak Darrel dan pasukan dari pihaknya. Ketika fajar pertama mulai menyingsing di ufuk timur, sinarnya menerangi medan perang yang sunyi, menyisakan jejak kehancuran. Bangkai monster raksasa tergeletak di atas tanah yang retak, bersama dengan mayat-mayat undead yang sebelumnya dikendalikan para penyihir kegelapan. Kini, semua ancaman itu telah musnah tanpa sisa. Darrel berdiri di tengah medan perang, tubuhnya yang masih diselimuti aura keemasan perlahan memudar. Wujudnya kembali seperti semula, seorang pemuda dengan tekad baja yang telah memenuhi kewajibannya sebagai pewaris Drakonis. Ia memandang sekeliling, melihat para prajurit yang tersisa mulai bergerak untuk mengumpulkan rekan-rekan mereka yang gugur. Duke Davin dan Duke Melwyn mendekati Darrel, keduanya membawa luka pertempuran yang terlihat jelas. Mata mereka penuh ra
Darrel mengangkat tangannya perlahan, memperlihatkan sebuah artefak berbentuk sarung tangan yang bersinar gelap, Abyssal Zephyrion. Cahaya kemerahan dari artefak itu tampak kontras dengan aura keemasan yang mengelilingi tubuhnya."Artefak ini…" gumam Darrel, sambil memandangi sarung tangan itu dengan tatapan penuh keyakinan. "Sudah terlalu lama aku menyembunyikannya. Aku tidak ingin menggunakannya, kecuali di saat terakhir. Kini waktunya telah tiba."Arkanis menggeram, mencoba menyeret tubuh raksasanya untuk mendekat. "Kau pikir benda itu bisa menghancurkanku?!" Ia meraung, memaksakan dirinya berdiri meski tubuhnya terus kehilangan energi.Namun, Darrel hanya menggeleng. "Waktumu sudah habis," katanya sembari mengulurkan tangannya ke depan.Aura keemasan di sekeliling Darrel semakin terang, menyatu dengan energi dari artefak di tangannya. Pusaran energi besar mulai terbentuk, menarik setiap partikel di sekitarnya ke dalam putaran dahsyat.Arkanis menyadari bahaya itu. "Tidak! Aku tida
Pemuda itu, yang sebelumnya terkapar tak berdaya, kini berdiri dengan teguh. Tubuhnya dilingkupi aura keemasan yang berkilauan, retakan-retakan pada sisiknya telah menyatu sempurna.Matanya bersinar terang, memancarkan kekuatan Drakonis yang sepenuhnya terbangkitkan. Udara di sekelilingnya terasa berat, penuh dengan energi yang mendebarkan.“Arkanis,” suara Darrel terdengar rendah namun jelas, dipenuhi dengan ketegasan. “Aku tidak akan membiarkanmu menginjak-injak kehormatan ras Drakonik lagi. Usaha sia-siamu berakhir di sini.”Arkanis menatap Darrel dengan mata penuh kemarahan dan keterkejutan. “Kau…! Kau seharusnya sudah mati!” raungnya dengan suara serak. “Tidak mungkin kau bisa bangkit setelah seranganku tadi!”Darrel melangkah maju, auranya yang memancar membuat tanah di bawah kakinya retak. “aku harus berterimakasih pada Falkor, berkatnya kekuatan Drakonis dalam diriku bangkit kembali setelah kristal hitam itu hancur.”Sementara itu, Arkanis memandang Darrel dengan tatapan tajam
Langit yang kelam menjadi saksi atas kehancuran yang perlahan-lahan menghampiri Arkanis. Kristal hitam, yang menyimpan usahanya selama ribuan tahun, kini telah hancur berkeping-keping. Energi keemasan menyapu medan perang, menciptakan gelombang yang mengguncang tanah sejauh ribuan mil. Arkanis menoleh dengan mata yang penuh keterkejutan. Mulutnya menganga, tak mampu menyembunyikan ekspresi ngeri. “T-tidak mungkin…! Bagaimana bisa ini terjadi?!” suaranya menggema di antara sisa-sisa kehancuran, penuh kemarahan dan kebingungan. Falkor, naga kecil yang baru saja terpental akibat ledakan energi dari kristal hitam itu, mencoba bangkit dengan tubuh yang gemetar. Sayap kecilnya berkibar penuh getaran, namun matanya tetap terpancang pada sosok Arkanis yang kini dilingkupi aura gelap yang semakin pekat. Falkor menggeram pelan, matanya membara dengan keberanian yang entah dari mana asalnya. Arkanis, dalam kemarahannya yang membara, membiarkan tubuhnya bergetar hebat. Aura hitam menyel
Di bawah langit yang gelap dan berkabut, Arkanis berdiri tegak dengan tangan terangkat, memegang kristal hitam yang berkilau. Kristal itu memancarkan cahaya samar yang berkilau dalam dua elemen yang saling bertabrakan—sebuah cahaya gelap yang menyatu dengan kilatan keemasan yang berputar di dalam intinya. Aura yang begitu kuat mengelilingi Arkanis, menciptakan suasana menegangkan yang mencekam seluruh medan pertempuran.Tawa puas Arkanis menggema di tengah heningnya mendan perang. Suaranya penuh dengan kemenangan yang sudah terasa di ujung jari. Wajahnya yang dingin kini dipenuhi kebanggaan, dan matanya yang bercahaya dengan kegembiraan yang hampir tak terkendali, mencerminkan keyakinannya bahwa ia akan segera mengakhiri semuanya. Semua usaha dan pengorbanan ribuan tahun lamanya, semuanya menuju satu titik—kekuasaan absolut di tangannya.“Bocah…” gumamnya dengan penuh kebencian, matanya yang tajam menatap Darrel yang terkapar tak berdaya di tanah. Setiap kata yang keluar dari bibi
Baru saja pasukan Duke Melwyn Lionheart tiba di medan perang, mereka disambut oleh kekacauan yang sulit dipercaya. Pasukan monster terus mengamuk, menghancurkan segala yang ada di jalurnya. Para prajurit Duke Melwyn, yang dikenal sebagai pasukan elit kerajaan, tetap bertahan dan mencoba mengendalikan situasi.Namun, perhatian mereka teralihkan ketika suara ledakan besar menggema di langit. Gelombang kejutnya terasa hingga ke permukaan tanah, membuat banyak prajurit terjatuh. Ketika mereka menoleh ke atas, mata mereka terbelalak melihat pemandangan yang tak masuk akal."Astaga... apa itu?" salah satu prajurit bergumam, suaranya dipenuhi ketakutan.Di atas langit, kepulan asap hitam mengepul tebal, menutupi pandangan. Namun, di balik asap itu, kilauan keemasan yang samar terlihat seperti bintang yang jatuh ke bumi.“Apa itu…” gumam Duke Melwyn, yang berdiri di atas kudanya. Matanya tajam menatap ke arah cahaya itu.Dari kilauan itu, sosok Darrel terjatuh dengan kecepatan tinggi. Tubuhn
Darrel melesat bagai kilat, membelah angkasa yang penuh dengan aura gelap yang mendominasi medan perang. Tubuhnya, berselimut cahaya keemasan yang menyala terang, memancarkan keagungan kekuatan Drakonik. Di atas langit, Arkanis tetap berdiri dengan tenang, dikelilingi puluhan naga undead yang melayang di udara. Mata merah mereka menyala, penuh kebencian dan kehampaan.Arkanis mengangkat tangannya, dan puluhan undead Drakonik langsung bergerak, membentuk formasi melingkar. Mulut mereka terbuka, mengumpulkan bola-bola energi hitam yang berkedip-kedip seperti bintang kematian. Dalam sekejap, lusinan bola energi itu melesat, memburu Darrel dengan kecepatan luar biasa.Di bawah, para prajurit yang menyaksikan pemandangan itu hanya bisa tertegun, rasa takut merayapi tubuh mereka. Dentuman demi dentuman dari ledakan energi memenuhi udara, mengguncang tanah dan menghancurkan apa saja yang ada di jalurnya.“Ini… ini bukan pertarungan manusia,” gumam salah seorang prajurit, tubuhnya bergetar
Darrel terpental jauh ke bawah, tubuhnya menghantam bumi dengan kekuatan dahsyat, menciptakan kawah besar yang memekakkan medan perang. Debu dan pecahan tanah beterbangan, mengiringi getaran yang terasa hingga jarak bermil-mil. Tubuhnya, yang berselimut energi keemasan, tampak seperti meteor yang baru saja jatuh dari langit.Namun, di tengah rasa sakit yang mendera, Darrel menggenggam pedangnya lebih erat. Matanya menatap lurus ke atas, ke arah musuh yang masih melayang di udara. Napasnya berat, tapi tekadnya tidak goyah.Di sisi lain, kengerian melanda setiap sudut medan perang. Para prajurit, yang sebelumnya berjuang mati-matian melawan gelombang monster, kini berdiri terpaku, menyaksikan pemandangan yang tidak dapat dijelaskan oleh akal sehat. Langit bergemuruh oleh ledakan energi, dan bumi bergetar seolah takut pada kekuatan entitas yang bertarung di atas sana.Lorkan berdiri di antara tumpukan mayat monster, tubuhnya gemetar bukan karena luka, melainkan karena rasa ngeri yang me
Di atas tanah yang porak-poranda, Darrel berlutut, menahan rasa sakit yang merambat di seluruh tubuhnya. Luka-luka menganga di setiap sudut tubuhnya, darah segar mengalir, menciptakan genangan merah di medan pertempuran yang hancur. Napasnya berat, namun matanya memancarkan keteguhan.Dari kejauhan, Balroth berdiri terpaku. Tubuhnya gemetar menyaksikan pertarungan yang baru saja usai, meskipun ia tahu ini belum selesai. Ledakan sebelumnya telah mengguncang seluruh medan perang, membuatnya nyaris kehilangan harapan pada sang pewaris Drakonis."Yang Mulia!" serunya dengan suara parau, mencoba memanggil Darrel yang masih terhuyung, berdiri dengan satu lutut di tanah. Wajahnya penuh ketegangan, dan rasa takut membakar hatinya.Langkah kaki terdengar mendekat, semakin berat dan jelas. Dari balik debu dan asap sisa ledakan, Arkanis muncul dengan senyum dingin yang menghina. Wajahnya tetap tenang, seolah tak terpengaruh oleh apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya masih diselimuti aura kegelap