Keesokan harinya setelah pertempuran besar melawan gerombolan orc, Darrel Van Bertrand berdiri di atas bukit kecil di dekat desa yang telah mereka pertahankan. Angin pagi menyapu wajahnya, membawa aroma asap yang samar dan tanah yang basah oleh embun. Langit cerah, seolah-olah alam semesta sendiri tengah memberikan penghormatan atas kemenangan yang diraih pasukannya. Namun, meski kemenangan telah diraih, Darrel merasakan ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di dalam dirinya—sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa ia pahami.
Di tangannya, Darrel menggenggam pedang yang digunakan dalam pertempuran. Kilauan baja pedang itu terpantul dari sinar matahari pagi, namun ada sesuatu yang berbeda. Pedangnya seakan-akan berdenyut dengan kekuatan yang baru, mengeluarkan aura samar berwarna biru yang bergetar di sekelilingnya. Ini adalah sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya, dan Darrel tahu, ini bukan hal biasa. Virgo Bastarian, yang berdiri di sampingnya, memandang fenomena itu dengan tatapan heran. Seorang Sword Master seperti Virgo bukanlah orang yang mudah terkejut, tetapi apa yang dilihatnya sekarang di tangan Darrel jelas melampaui apa yang dia harapkan dari seorang pemula seperti Darrel. “Tuan Darrel,” kata Virgo perlahan, suaranya serius. "Anda... Anda sudah mencapai tingkat yang baru.” Darrel menoleh, tidak sepenuhnya mengerti. “Apa maksudmu, Virgo?” “Lihat pedangmu,” kata Virgo, mengangguk ke arah pedang di tangan Darrel. “Aura itu… Anda baru saja menampakkan Sword Aura untuk pertama kalinya. Itu adalah tanda bahwa Anda telah mencapai tingkat Sword Beginner.” Darrel menatap pedangnya dengan lebih seksama, dan kali ini dia merasakan energi yang mengalir dari tubuhnya melalui pedang itu. Sebuah sensasi yang aneh, namun begitu kuat, seperti kekuatan yang bersemayam di dalam dirinya akhirnya menemukan jalan keluar. Aura biru yang berkilauan di sekeliling bilah pedangnya memancar semakin jelas. Itu bukan hanya efek dari pertempuran semalam, tetapi perubahan yang nyata dalam dirinya. “Sword Aura?” Darrel mengulang, bingung sekaligus takjub. “Aku tidak tahu apa ini…” Virgo tertawa kecil, namun suaranya mengandung kekaguman yang tulus. “Tidak banyak orang yang bisa mengaktifkan Sword Aura, Darrel. Hanya mereka yang benar-benar memahami esensi pertempuran dan tubuh mereka sendiri yang bisa mencapainya. Itu adalah langkah pertama menuju menjadi Sword Master.” Mendengar kata-kata itu, Darrel merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Sword Master—gelar yang hanya diberikan kepada sedikit orang yang benar-benar telah menguasai seni berpedang hingga mencapai puncak kemampuan mereka. Virgo sendiri adalah seorang Sword Master, dan kini Darrel baru saja mengambil langkah pertama ke jalan yang sama. Virgo melanjutkan penjelasannya dengan tenang, matanya masih tertuju pada aura yang memancar dari pedang Darrel. “Sword Aura adalah wujud fisik dari niat dan tekadmu dalam bertarung. Itu mencerminkan kekuatan internalmu—sebuah kekuatan yang datang dari hatimu, bukan hanya dari otot-ototmu. Dalam pertempuran melawan orc, kau telah menemukan sesuatu di dalam dirimu yang membangkitkan kekuatan ini. Mungkin karena keberanianmu sendiri. Tapi yang jelas, kau telah melangkah ke jalan para swordsman sejati.” Darrel mendengarkan dengan seksama, masih mencoba mencerna semua yang dikatakan Virgo. Ini adalah sesuatu yang besar, dan dia tahu itu. Sword Aura bukan hanya tanda kekuatan, tetapi juga simbol dari pertumbuhan dirinya sebagai seorang petarung dan seorang pemimpin. “Keluarga Van Bertrand,” lanjut Virgo, “memiliki sejarah panjang dalam seni berpedang. Setiap Duke yang memimpin wilayah ini, setiap pewaris, telah menjadi seorang swordsman yang dihormati. Sword Aura bukan hanya kekuatan pribadi, tapi juga simbol keluarga kita. Itu adalah tanda bahwa kau tidak hanya mewarisi darah Van Bertrand, tapi juga kehormatan dan kekuatan yang datang bersama nama itu.” Mendengar hal itu, Darrel merasakan kebanggaan mengalir di dalam dirinya. Keluarganya, para Duke Van Bertrand, telah lama dikenal sebagai pemimpin yang kuat di medan perang, bukan hanya karena politik dan strategi, tapi karena kemampuan tempur mereka yang legendaris. Dan kini, dia telah mengambil langkah pertama menuju warisan itu—bukan hanya sebagai seorang bangsawan, tapi juga sebagai seorang swordsman sejati. Virgo kemudian mendekat, menatap Darrel dengan penuh kekaguman. “Jujur saja, Darrel, aku tidak mengira kau akan mencapai tahap ini secepat ini. Banyak orang butuh bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun untuk mencapai level Sword Beginner. Tapi kau... Anda baru saja melewati pertempuran pertama yang sesungguhnya, dan sudah berhasil membangkitkan aura ini. Anda sungguh luar biasa tuan.” Darrel menundukkan kepalanya sedikit, merasa tersanjung, namun juga sedikit tidak yakin. “Aku tidak merasa luar biasa. Aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan.” Virgo tersenyum tipis. “Dan itulah yang membuatmu luar biasa. Anda tidak hanya bertarung dengan kekuatan fisik, tapi juga dengan tekad dan tujuan. Itulah yang membedakan seorang swordsman biasa dari seorang master sejati.” Mereka berdua terdiam sejenak, membiarkan kata-kata Virgo menggantung di udara. Darrel masih memandangi pedangnya, merasakan energi yang mengalir melalui bilahnya. Meskipun dia belum sepenuhnya mengerti apa yang baru saja dia capai, dia tahu bahwa ini adalah titik balik dalam hidupnya. “Anda harus belajar mengendalikan Sword Aura ini, Tuan Darrel,” kata Virgo akhirnya. “Itu adalah kekuatan yang luar biasa, tapi juga bisa menjadi berbahaya jika tidak dikendalikan. Anda harus melatihnya, memahami batas-batasnya, dan memperkuatnya. Aku bisa membantumu dengan itu, jika anda mau.” Darrel mengangguk, berterima kasih. “Aku akan sangat menghargai bantuanmu, Virgo.” Virgo menepuk bahu Darrel dengan tangan kuatnya. “Aku sudah melihat potensi besar dalam dirimu sejak pertama kali kita bertemu. Dan sekarang, potensi itu mulai terwujud. Jangan sia-siakan ini, Tuan Darrel. Anda akan menjadi sesuatu yang lebih besar dari yang pernah di bayangkan.” Darrel menatap ke arah cakrawala di kejauhan, di mana matahari pagi mulai terbit lebih tinggi. Di dalam dirinya, dia merasakan sebuah tujuan baru terbentuk—sebuah tujuan untuk menjadi lebih kuat, untuk melindungi keluarganya, dan untuk memahami sepenuhnya kekuatan Drakonis yang diwariskan padanya. Jalan di depannya masih panjang dan penuh tantangan, tapi untuk pertama kalinya, Darrel merasa yakin bahwa dia bisa menghadapinya. Dia adalah keturunan Van Bertrand, dan sekarang, dia juga seorang swordsman yang telah memulai langkah pertamanya menuju kejayaan.Malam mulai menyelimuti langit ketika Darrel Van Bertrand duduk sendirian di dalam tenda komandonya. Pertempuran melawan gerombolan orc telah berlalu, namun pikirannya masih dipenuhi dengan kekuatan baru yang dia rasakan. Sword Aura yang ia bangkitkan selama pertempuran adalah tanda dari sesuatu yang lebih besar dan lebih dalam, sesuatu yang tampaknya mengikatnya pada takdir yang tak terelakkan. Di tengah keheningan malam, Darrel memejamkan mata, mencoba memahami lebih lanjut kekuatan yang mengalir dalam dirinya.Saat dia menarik napas dalam-dalam, tiba-tiba rasa dingin yang aneh melingkupi tubuhnya. Udara di sekitar tenda terasa berubah, dan Darrel membuka matanya dengan waspada. Dalam sekejap, cahaya biru kehijauan mulai berpendar dari tubuhnya, membentuk lingkaran yang semakin lama semakin intens. Darrel tersentak, mencoba mengendalikan kekuatan itu, namun aliran energi itu tidak bisa dihentikan. Al hasil membawa kesadaranya ke dalam ruang lingkup kegelapan."Kau akhirnya siap
Dalam kegelapan malam, langit membentang luas di atas pegunungan Tethra, diterangi hanya oleh cahaya bintang-bintang. Di bawah langit yang tenang itu, kerajaan Drakonik berjaga dalam keheningan. Di tengah pusat kerajaan, berdiri sebuah kastil megah yang dipahat dari batu hitam, tempat Raja Naga, Drakonis, memerintah dengan bijaksana. Sebagai penguasa naga terakhir, ia memiliki kekuatan besar yang tak tertandingi di dunia manusia. Drakonis telah menjaga keseimbangan antara manusia dan makhluk magis selama berabad-abad. Namun, di malam itu, ketenangan hanya menjadi ilusi tipis. Sesuatu yang gelap, berbahaya, dan tidak terlihat sedang bersembunyi di balik tembok kastil. Jenderal Arkanis, salah satu panglima perang terpercaya Raja Naga, berjalan cepat melewati koridor batu yang dingin, matanya penuh tekad dan niat busuk. Dalam diam, ia menggenggam erat sebuah permata hitam, artefak kuno yang selama ini tersembunyi dari pandangan Drakonis. Raja Naga duduk di singgasananya, tubuhnya yang
Kerajaan Morph terletak di lembah hijau yang dikelilingi oleh pegunungan megah, tempat angin dingin selalu menyapu desa-desa kecil yang tersebar di sekitarnya. Di atas bukit tertinggi berdiri Kastil Bertrand, rumah bagi salah satu keluarga bangsawan terkuat di seluruh kerajaan. Keluarga Van Bertrand telah memerintah tanah ini selama beberapa generasi dengan kekuasaan dan kehormatan. Duke Davin Van Bertrand, penguasa saat ini, dikenal sebagai seorang pemimpin tegas dan adil, dengan dua putra yang cerdas dan seorang anak ketiga yang berbeda dari mereka semua. Darrel Van Bertrand, putra ketiga Duke, sedang berdiri di tepi balkon kamarnya, menatap ke cakrawala di kejauhan. Usianya baru menginjak lima belas tahun, namun beban kehidupan bangsawan sudah mulai terasa. Angin yang menerpa wajahnya membawa bau pinus dari hutan yang membentang jauh di luar kastil. Matanya yang biru cerah memandangi lembah di bawahnya dengan perasaan campur aduk—di sanalah kebebasan terletak, di balik hutan
Langit di atas Kastil Bertrand mulai gelap ketika Darrel Van Bertrand terbenam dalam buku kuno yang baru saja ditemukannya. Di balik halaman demi halaman yang dipenuhi dengan tulisan kuno dan simbol-simbol yang memusingkan, Darrel merasa seolah-olah dirinya ditarik ke dalam kisah yang berbeda—lebih tua dan lebih besar dari sekadar catatan sejarah manusia. Kisah tentang Drakonis, Sang Raja Naga, yang telah lama dilupakan oleh dunia manusia, kini tampak lebih nyata daripada apa pun yang pernah ia pelajari. Saat Darrel terus membaca, rasa dingin yang aneh menjalar melalui tubuhnya. Tulisan-tulisan dalam buku mulai terasa bukan hanya sebagai cerita belaka, tetapi sebuah panggilan, bisikan dari masa lalu yang mencoba mencapai pikirannya. “Drakonis,” Darrel berbisik, namanya terasa asing di lidah, namun penuh makna. Di saat yang sama, seseorang bergerak di balik bayang-bayang perpustakaan. Elara, sang pelayan yang telah melayani keluarga Van Bertrand selama bertahun-tahun, perlahan mende
Perpustakaan kastil yang gelap dan penuh debu terasa semakin sunyi setelah kekuatan yang dipanggil oleh Elara mulai surut. Getaran-getaran magis yang sebelumnya menyelimuti ruangan perlahan memudar, meninggalkan Darrel sendirian di lantai batu dingin. Tubuhnya gemetar hebat, jiwanya seakan terkoyak oleh kekuatan luar biasa yang baru saja terbangun di dalam dirinya.Di sudut ruangan, Elara berdiri diam, tatapannya penuh dengan kepuasan yang tenang. Wajahnya yang biasanya lembut dan ramah kini tampak jauh lebih dingin, seolah-olah ada jarak yang tak terlihat antara dirinya dan dunia di sekelilingnya. Dia tahu tugasnya hampir selesai. Kekuatan yang telah disimpan di dalam tubuh Darrel selama bertahun-tahun telah dibangkitkan, dan sekarang, waktunya telah tiba baginya untuk kembali.“Elara…” Darrel berbisik, suaranya penuh kebingungan dan kelelahan. Ia berusaha bangkit, namun tubuhnya terasa begitu berat. “Apa yang kau lakukan padaku? Siapa kau… sebenarnya?”Elara memandangnya dengan seny
Suasana kastil Van Bertrand yang tenang terganggu oleh derap kuda yang mendekat. Darrel, yang masih tertegun dalam pikirannya sendiri, segera tersadar ketika ia mendengar suara pelayan mengumumkan kedatangan tamu yang Darrel tak duga-duga."Yang Mulia Frey Han Rollock telah tiba!" seru pelayan itu dengan nada hormat, meski Darrel tahu betul bagaimana Frey tidak pernah menghormati siapa pun kecuali dirinya sendiri.Jantung Darrel berdegup kencang mendengar nama itu. Frey Han Rollock. Nama yang selalu membawa kenangan buruk bagi Darrel, sejak masa kecil mereka. Sebagai putra ketiga dari Duke Han Rollock, Frey telah menjadi momok bagi Darrel, memanfaatkan setiap kesempatan untuk merendahkan, mengejek, dan bahkan memukulinya ketika tidak ada yang melihat.Darrel menghela napas dalam, mencoba menenangkan diri. Dalam sekejap, pikiran tentang kekuatan Drakonis yang baru bangkit di dalam dirinya mulai mengusik. Seharusnya, dengan kekuatan itu, ia tidak lagi takut pada Frey, bukan? Namun, ada
Matahari bersinar terang di atas menara kastil, menyisakan langit dengan awan putih dan langit biru. Di halaman luar Kastil Van Bertrand, Darrel berdiri tegap dengan tangan menggenggam gagang pedangnya. Di hadapannya, Frey Han Rollock sudah bersiap, wajahnya dipenuhi amarah dan kesombongan. Angin sore yang dingin menyapu tanah, mengangkat sedikit debu, seolah memulai sebuah pertarungan yang tak terhindarkan.“Ini akhir dari kesabaranmu, ya?” ejek Frey dengan tawa kecil. “Kau pikir bisa menantangku? Aku akan membuatmu menyesal sudah berani melawan.”Darrel tidak menjawab. Dia hanya menatap Frey, mencoba merasakan denyut kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya. Warisan Drakonis terasa hidup di bawah permukaan kulitnya, seperti api yang menunggu untuk dilepaskan. Namun, Darrel tahu, meskipun dia memiliki kekuatan naga dalam dirinya, dia tidak boleh bergantung sepenuhnya pada hal itu. Kekuatan sejati datang dari keseimbangan—dan untuk saat ini, dia harus fokus pada teknik dan strategi.Frey
Malam sudah larut ketika Darrel dipanggil ke ruang kerja ayahnya, Duke Davin Van Bertrand. Kastil yang biasanya dipenuhi aktivitas, kini sunyi. Hanya suara langkah-langkah sepatu Darrel yang terdengar menggema di sepanjang lorong istana, memantul di dinding tebal yang dingin. Di dadanya, Darrel merasakan kecemasan bercampur dengan sesuatu yang baru—sebuah rasa bangga akan kemampuannya dalam mengalahkan Frey. Namun, di balik itu semua, dia tahu ayahnya pasti sudah mendengar tentang duel tersebut, dan hal itu membuatnya sedikit khawatir.Pintu kayu besar yang menuju ke ruang kerja sang Duke terbuka dengan derit pelan. Darrel melangkah masuk, menemukan ayahnya duduk di belakang meja besar yang dipenuhi dokumen, lilin-lilin menerangi wajah tegas Duke Davin yang sudah berumur. Mata birunya yang dingin menatap lurus ke arah Darrel, penuh dengan kebijaksanaan dan kekuatan.“Darrel,” suara Duke Davin terdengar rendah namun penuh wibawa. “Kau tahu mengapa aku memanggilmu, bukan?”Darrel menun