Share

Bab 7: Panggilan Duke Davin Van Bertrand

Malam sudah larut ketika Darrel dipanggil ke ruang kerja ayahnya, Duke Davin Van Bertrand. Kastil yang biasanya dipenuhi aktivitas, kini sunyi. Hanya suara langkah-langkah sepatu Darrel yang terdengar menggema di sepanjang lorong istana, memantul di dinding tebal yang dingin.

Di dadanya, Darrel merasakan kecemasan bercampur dengan sesuatu yang baru—sebuah rasa bangga akan kemampuannya dalam mengalahkan Frey. Namun, di balik itu semua, dia tahu ayahnya pasti sudah mendengar tentang duel tersebut, dan hal itu membuatnya sedikit khawatir.

Pintu kayu besar yang menuju ke ruang kerja sang Duke terbuka dengan derit pelan. Darrel melangkah masuk, menemukan ayahnya duduk di belakang meja besar yang dipenuhi dokumen, lilin-lilin menerangi wajah tegas Duke Davin yang sudah berumur. Mata birunya yang dingin menatap lurus ke arah Darrel, penuh dengan kebijaksanaan dan kekuatan.

“Darrel,” suara Duke Davin terdengar rendah namun penuh wibawa. “Kau tahu mengapa aku memanggilmu, bukan?”

Darrel menundukkan kepala sejenak, lalu mengangguk. “Ya, Ayah.”

Duke Davin berdiri dari kursinya, berjalan perlahan ke jendela besar yang menghadap halaman kastil. Dia memandang keluar, sejenak terdiam sebelum berbicara lagi. “Aku mendengar tentang duelmu dengan Frey Han Rollock.”

Darrel mengepalkan tangannya. Dia tahu, meskipun duel itu terpaksa terjadi karena provokasi Frey, pertempuran antar bangsawan muda selalu menjadi perhatian serius, terutama ketika melibatkan anak-anak Duke yang berpengaruh. “Aku minta maaf, Ayah. Aku tahu seharusnya tidak membiarkan situasi ini terjadi. Frey memprovokasi, dan aku...”

“Tidak perlu menjelaskan,” potong Duke Davin sambil berbalik, tatapannya masih tajam. “Frey Rollock memang terkenal sebagai pengganggu. Ini bukan kali pertama aku mendengar laporan tentang perilakunya. Namun, terlibat dalam duel seperti itu adalah hal yang berisiko, terutama bagimu. Kau tahu konsekuensinya jika salah satu dari kalian terluka parah.”

Darrel mengangguk lagi, merasa beban di pundaknya semakin berat. Namun, sebelum dia bisa merespons lebih jauh, Duke Davin mendekatinya. Wajahnya masih dingin, tetapi ada sesuatu yang lain dalam sorot matanya—sesuatu yang Darrel belum pernah lihat sebelumnya.

“Kau mengalahkan Frey,” ucap Duke Davin dengan nada datar.

Darrel menatap ayahnya dengan sedikit bingung. “Ya, aku... aku berhasil mengalahkannya.”

Ada jeda sejenak. Darrel menunggu teguran lebih lanjut, tapi yang datang berikutnya benar-benar tidak diduganya. Sang Duke tersenyum tipis, hampir tidak terlihat, tapi jelas ada.

“Bagus,” kata Duke Davin pelan, hampir seperti bisikan yang ditujukan hanya untuk dirinya sendiri. “Kau telah menunjukkan bahwa kau bukan lagi anak kecil yang bisa dipermainkan. Aku mendengar dari para pelayan bahwa duelmu berlangsung dengan sangat baik. Kau menunjukkan keberanian dan ketenangan yang luar biasa. Sesuatu yang lebih dari sekadar naluri bertarung.”

Darrel terdiam, tidak yakin bagaimana harus menanggapi. Apakah itu... pujian? Dari ayahnya?

“Tapi,” lanjut Duke Davin, kembali serius, “jangan biarkan kemenangan itu membuatmu lengah. Keluarga Rollock tidak akan menerima kekalahan ini begitu saja. Kau harus waspada.”

Darrel mengangguk pelan. Meski ada sedikit rasa bangga yang menyelinap ke dalam hatinya, dia tahu betul bahwa ancaman dari keluarga Rollock bisa menjadi lebih serius di masa depan.

Sebelum Darrel bisa membalas, pintu ruang kerja tiba-tiba terbuka dengan tergesa-gesa. Seorang penjaga masuk dengan cepat, napasnya berat, seolah-olah dia telah berlari sepanjang jalan dari gerbang kastil.

“Lord! Berita dari perbatasan timur!” katanya dengan suara gemetar.

Duke Davin segera menatap tajam ke arah penjaga tersebut. “Apa yang terjadi?”

Penjaga itu berusaha mengatur napasnya sebelum menjawab. “Gerombolan orc, Tuan. Mereka telah menyerang desa-desa di sepanjang perbatasan timur. Pasukan penjaga kita terdesak, dan mereka meminta bantuan segera!”

Kejutan menghantam Darrel dan Duke Davin pada saat yang bersamaan. Serangan orc di perbatasan bukanlah hal yang biasa. Selama bertahun-tahun, wilayah Duke Van Bertrand relatif aman dari ancaman besar seperti itu, meskipun ketegangan selalu ada di perbatasan. Namun, kali ini tampaknya berbeda. Penjaga yang dikirim ke perbatasan timur adalah pasukan terbaik mereka, dan jika mereka terdesak, itu berarti ancaman ini lebih serius dari yang diduga.

“Berapa besar gerombolan itu?” tanya Duke Davin dengan tenang, meskipun ada kekhawatiran di balik suaranya.

“Diperkirakan lebih dari seratus, mungkin lebih. Mereka bergerak cepat, dan beberapa desa sudah dibakar habis. Kami belum bisa memperkirakan jumlah pasti mereka, tapi situasinya mendesak.”

Duke Davin terdiam, pikirannya jelas tengah menyusun rencana. Dia kemudian berbalik ke arah Darrel, yang masih berdiri di tempatnya.

“Kau ingin menjadi pewaris nama Van Bertrand, bukan?” tanyanya dengan nada tegas.

Darrel mengangguk. Meski hatinya masih dipenuhi kecemasan atas apa yang terjadi sebelumnya dengan Frey, ini adalah saatnya untuk membuktikan dirinya. Dia tahu ini lebih besar dari sekadar duel atau konflik pribadi. Ini tentang tanggung jawab dan melindungi rakyatnya.

“Baik,” ucap Duke Davin. “Aku akan memimpin pasukan utama. Tapi kau, Darrel, akan berangkat lebih dulu dengan sekelompok prajurit elit. Tugasmu adalah membantu pertahanan di desa-desa perbatasan hingga bala bantuan tiba. Kau akan menjadi ujung tombak kita.”

Darrel terkejut mendengar perintah itu. “Aku? Memimpin pasukan?”

Duke Davin menatapnya dalam-dalam, dan kali ini tanpa ada tanda-tanda keraguan. “Ya, kau. Ini bukan lagi tentang duel pribadi atau persaingan antar bangsawan. Ini tentang rakyat kita, tentang tanah kita. Dan ini adalah kesempatanmu untuk menunjukkan bahwa kau bukan hanya pewaris darah, tetapi pewaris kehormatan.”

Darrel merasakan jantungnya berdebar keras. Perintah ini adalah tantangan yang besar, dan dia tahu bahwa dia belum memiliki pengalaman memimpin di medan perang. Namun, dengan kekuatan yang dia miliki—baik sebagai seorang Van Bertrand maupun sebagai penerus Drakonis—dia yakin bahwa dia bisa menjalankan tugas ini.

“Aku tidak akan mengecewakanmu, Ayah,” ucap Darrel tegas.

Duke Davin menatapnya sejenak, kemudian mengangguk. “Aku tahu kau tidak akan mengecewakanku.”

Darrel segera meninggalkan ruang kerja ayahnya, pikirannya dipenuhi dengan tanggung jawab yang baru diberikan kepadanya. Dia tahu bahwa perjalanan ini akan menjadi salah satu ujian terbesar dalam hidupnya, baik sebagai seorang putra Duke maupun sebagai seseorang yang harus belajar mengendalikan kekuatan besar di dalam dirinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status