Matahari bersinar terang di atas menara kastil, menyisakan langit dengan awan putih dan langit biru. Di halaman luar Kastil Van Bertrand, Darrel berdiri tegap dengan tangan menggenggam gagang pedangnya. Di hadapannya, Frey Han Rollock sudah bersiap, wajahnya dipenuhi amarah dan kesombongan. Angin sore yang dingin menyapu tanah, mengangkat sedikit debu, seolah memulai sebuah pertarungan yang tak terhindarkan.
“Ini akhir dari kesabaranmu, ya?” ejek Frey dengan tawa kecil. “Kau pikir bisa menantangku? Aku akan membuatmu menyesal sudah berani melawan.” Darrel tidak menjawab. Dia hanya menatap Frey, mencoba merasakan denyut kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya. Warisan Drakonis terasa hidup di bawah permukaan kulitnya, seperti api yang menunggu untuk dilepaskan. Namun, Darrel tahu, meskipun dia memiliki kekuatan naga dalam dirinya, dia tidak boleh bergantung sepenuhnya pada hal itu. Kekuatan sejati datang dari keseimbangan—dan untuk saat ini, dia harus fokus pada teknik dan strategi. Frey, dengan gerakan cepat, melangkah maju, mengayunkan pedangnya ke arah Darrel. Gerakannya lincah dan penuh pengalaman, hasil dari pelatihan bertahun-tahun. Darrel mengangkat pedangnya untuk menangkis, tapi tangannya terasa sedikit kaku. Ini adalah pertama kalinya dia benar-benar bertarung dengan seseorang, dan meskipun pelatihan dasar sudah dia lakukan, perasaan cemas mulai menyelusup. Dentang! Pedang mereka bertabrakan dengan suara nyaring, membuat tangan Darrel bergetar karena benturan kuat. Frey tertawa keras, merasakan dominasi dalam pertarungan itu. "Kau lambat, Darrel! Apa kau serius ingin bertarung denganku? Kau akan kalah seperti biasa!" Darrel mundur beberapa langkah, menenangkan napasnya. Frey kembali menyerang dengan ayunan cepat, pedangnya mengincar leher Darrel. Dengan susah payah, Darrel berhasil menghindar, namun langkahnya terhuyung. Gerakan Frey lebih cepat dari yang dia duga. Frey terus menekan dengan serangan demi serangan, membuat Darrel lebih banyak bertahan daripada menyerang. “Kau hanya bisa bertahan, Darrel? Di mana keberanianmu?” Frey mengejek lagi, tidak memberi Darrel kesempatan untuk membalas. Serangan Frey memang agresif dan terlatih, dan Darrel tahu bahwa jika dia terus bertahan seperti ini, dia akan segera kalah. Frey sudah bertahun-tahun berlatih seni berpedang, sedangkan Darrel lebih sering menyendiri, lebih nyaman di perpustakaan daripada di arena latihan. Namun, di tengah serangan Frey yang semakin ganas, Darrel tiba-tiba merasakan sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Peningkatan denyut kekuatan yang berasal dari warisan Drakonis mulai merasuki tubuhnya. Dalam sekejap, Darrel merasakan sesuatu yang lebih—bukan hanya kekuatan fisik, tetapi juga intuisi naluriah yang tiba-tiba muncul. Dia bisa merasakan setiap gerakan Frey, seolah-olah tubuhnya tahu ke mana serangan berikutnya akan datang bahkan sebelum Frey melakukannya. Frey menyerang lagi, kali ini dengan tusukan lurus yang diarahkan ke jantung Darrel. Namun, Darrel dengan mudah menghindar ke samping, membuat Frey kehilangan keseimbangan. Darrel, tanpa berpikir panjang, memanfaatkan celah tersebut dan mengayunkan pedangnya ke arah sisi Frey. Pedang itu nyaris mengenai lengan Frey, namun Frey berhasil menarik diri di saat-saat terakhir. “Kau… bagaimana bisa?” Frey terkejut, tidak menyangka Darrel yang tadinya kewalahan sekarang mulai mampu mengimbangi serangannya. Darrel merasakan napasnya semakin stabil. Dia tidak lagi gugup. Di dalam dirinya, ingatan Drakonis memberikan pengetahuan yang lebih dari sekadar teknik bertarung. Dia sekarang bisa melihat pertarungan ini seperti naga yang pernah bertempur di langit, melihat kelemahan lawan dan membaca setiap gerakan. Darrel akhirnya mulai menyerang balik, serangannya tajam dan tepat. Kini giliran Frey yang tertekan. Setiap kali dia mencoba menyerang, Darrel sudah lebih dulu mengantisipasi gerakannya. Setiap ayunan pedang Frey berakhir dengan tangkisan atau hindaran dari Darrel, dan serangan balasan Darrel semakin sulit ditahan. Keringat mulai mengalir di wajah Frey. Wajah yang tadinya penuh dengan kesombongan kini berubah menjadi cemas. "Apa yang terjadi padamu, Darrel? Kau... kau bukan seperti yang kukenal!" teriak Frey panik. Darrel tidak menjawab. Dia hanya terus menekan, ayunan pedangnya semakin cepat dan kuat. Setiap kali pedang mereka berbenturan, Frey semakin kehilangan keseimbangannya. Sekarang, Darrel berada dalam kendali penuh. Serangannya tidak hanya didasarkan pada keterampilan, tetapi juga pemahaman yang dalam tentang seni pertempuran yang entah bagaimana tertanam dalam pikirannya—warisan dari Drakonis. Frey, yang biasanya begitu percaya diri, kini mulai mundur. Langkah-langkahnya semakin kacau, dan dalam satu serangan balasan cepat dari Darrel, pedang Frey terlempar dari tangannya. Pedang itu jatuh ke tanah dengan suara dentingan, meninggalkan Frey tak berdaya di hadapan Darrel. Darrel menghentikan serangannya, menatap Frey yang sekarang tampak ketakutan. Dia bisa merasakan kekuatan besar yang mengalir dalam dirinya, namun dia juga merasakan dorongan kuat untuk tidak menggunakan kekuatan itu secara berlebihan. Ada bagian dari dirinya—bagian yang lebih manusiawi—yang masih mencoba untuk mengendalikan amarah dan kekuatan naga yang bersemayam dalam dirinya. “Aku tidak ingin membunuhmu, Frey,” ucap Darrel dengan tenang, meski ada kekuatan besar di balik suaranya. “Pertarungan ini selesai.” Frey terdiam, napasnya terengah-engah. Wajahnya memucat, terkejut dan terhina sekaligus. Dia tidak bisa percaya bahwa Darrel, yang dulu sering dia rendahkan, kini telah mengalahkannya dengan mudah. “Kau… kau akan membayarnya,” gumam Frey penuh kebencian, meskipun tubuhnya gemetar. Darrel menurunkan pedangnya dan melangkah mundur. Dia bisa melihat bahwa Frey belum sepenuhnya mengerti apa yang baru saja terjadi, tapi itu bukan urusannya lagi. Darrel telah membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa dia lebih dari sekadar pewaris darah naga. Dia adalah seorang pejuang, dan dengan atau tanpa kekuatan Drakonis, dia tidak lagi lemah. Frey, yang merasa terhina dan dikalahkan, meraih pedangnya yang jatuh dan berdiri dengan susah payah. "Ini belum berakhir, Darrel," ucapnya sebelum berlari meninggalkan arena dengan wajah merah padam. Di samping, para penonton bersorak dengan penuh kejutan, mereka masih tak menyangka Darrel menjadi kuat seperti itu. Mampu mengalahkan anak jenius dari keluarga Han Rollock adalah suatu keajaiban. Terutama Darrel yang sedari dulu dianggap paling lemah di antara generasinya, namun sekarang pandangan setiap orang di tempat itu mulai berubah. Orang-orang dari istana Van Bertrand bersorak gembira sekaligus bangga dengan Darrel, akhirnya seseorang mampu menundukkan bajingan sombong seperti Frey. Hanya mereka yang merupakan prajurit bawahan Frey yang terlihat muram tak senang. Darrel hanya menghela napas. Meski pertarungan itu telah dimenangkannya, ia tahu bahwa konflik dengan Frey belum sepenuhnya berakhir. Frey akan kembali—dan mungkin membawa lebih banyak ancaman di masa depan. Namun, untuk pertama kalinya, Darrel merasa siap. Siap menghadapi tantangan yang lebih besar, dan siap menghadapi kekuatan yang terus tumbuh di dalam dirinya. Pertarungan ini hanya permulaan.Malam sudah larut ketika Darrel dipanggil ke ruang kerja ayahnya, Duke Davin Van Bertrand. Kastil yang biasanya dipenuhi aktivitas, kini sunyi. Hanya suara langkah-langkah sepatu Darrel yang terdengar menggema di sepanjang lorong istana, memantul di dinding tebal yang dingin. Di dadanya, Darrel merasakan kecemasan bercampur dengan sesuatu yang baru—sebuah rasa bangga akan kemampuannya dalam mengalahkan Frey. Namun, di balik itu semua, dia tahu ayahnya pasti sudah mendengar tentang duel tersebut, dan hal itu membuatnya sedikit khawatir.Pintu kayu besar yang menuju ke ruang kerja sang Duke terbuka dengan derit pelan. Darrel melangkah masuk, menemukan ayahnya duduk di belakang meja besar yang dipenuhi dokumen, lilin-lilin menerangi wajah tegas Duke Davin yang sudah berumur. Mata birunya yang dingin menatap lurus ke arah Darrel, penuh dengan kebijaksanaan dan kekuatan.“Darrel,” suara Duke Davin terdengar rendah namun penuh wibawa. “Kau tahu mengapa aku memanggilmu, bukan?”Darrel menun
Pagi itu, fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Darrel Van Bertrand dan pasukan elitnya berangkat menuju perbatasan timur. Di depan, Darrel menunggangi kudanya, dengan jubah keluarga Van Bertrand berkibar tertiup angin. Di sisinya, seorang kesatria berwajah tenang dengan tatapan tajam, Virgo Bastarian, mengiringinya. Virgo adalah seorang Sword Master, dikenal karena kehebatannya di medan perang dan kemampuannya yang luar biasa dalam seni berpedang. Kehadirannya memberikan sedikit rasa aman bagi Darrel, meski jantungnya masih berdebar kencang.Pasukan yang ia pimpin berjumlah seratus orang—prajurit elit yang terlatih dalam pertempuran, para pejuang terbaik yang dimiliki oleh keluarga Van Bertrand. Namun, meski memiliki kekuatan besar di bawah komandonya, Darrel tak bisa menghilangkan rasa gugup yang merayap dalam hatinya.Ini adalah pertama kalinya dia memimpin pasukan ke medan perang, dan ancaman yang dihadapi bukanlah musuh biasa. Orc dikenal brutal dan kejam, apalagi dalam jum
Keesokan harinya setelah pertempuran besar melawan gerombolan orc, Darrel Van Bertrand berdiri di atas bukit kecil di dekat desa yang telah mereka pertahankan. Angin pagi menyapu wajahnya, membawa aroma asap yang samar dan tanah yang basah oleh embun. Langit cerah, seolah-olah alam semesta sendiri tengah memberikan penghormatan atas kemenangan yang diraih pasukannya. Namun, meski kemenangan telah diraih, Darrel merasakan ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di dalam dirinya—sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa ia pahami.Di tangannya, Darrel menggenggam pedang yang digunakan dalam pertempuran. Kilauan baja pedang itu terpantul dari sinar matahari pagi, namun ada sesuatu yang berbeda. Pedangnya seakan-akan berdenyut dengan kekuatan yang baru, mengeluarkan aura samar berwarna biru yang bergetar di sekelilingnya. Ini adalah sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya, dan Darrel tahu, ini bukan hal biasa.Virgo Bastarian, yang berdiri di sampingnya, memandang fenomena itu denga
Malam mulai menyelimuti langit ketika Darrel Van Bertrand duduk sendirian di dalam tenda komandonya. Pertempuran melawan gerombolan orc telah berlalu, namun pikirannya masih dipenuhi dengan kekuatan baru yang dia rasakan. Sword Aura yang ia bangkitkan selama pertempuran adalah tanda dari sesuatu yang lebih besar dan lebih dalam, sesuatu yang tampaknya mengikatnya pada takdir yang tak terelakkan. Di tengah keheningan malam, Darrel memejamkan mata, mencoba memahami lebih lanjut kekuatan yang mengalir dalam dirinya.Saat dia menarik napas dalam-dalam, tiba-tiba rasa dingin yang aneh melingkupi tubuhnya. Udara di sekitar tenda terasa berubah, dan Darrel membuka matanya dengan waspada. Dalam sekejap, cahaya biru kehijauan mulai berpendar dari tubuhnya, membentuk lingkaran yang semakin lama semakin intens. Darrel tersentak, mencoba mengendalikan kekuatan itu, namun aliran energi itu tidak bisa dihentikan. Al hasil membawa kesadaranya ke dalam ruang lingkup kegelapan."Kau akhirnya siap
Dalam kegelapan malam, langit membentang luas di atas pegunungan Tethra, diterangi hanya oleh cahaya bintang-bintang. Di bawah langit yang tenang itu, kerajaan Drakonik berjaga dalam keheningan. Di tengah pusat kerajaan, berdiri sebuah kastil megah yang dipahat dari batu hitam, tempat Raja Naga, Drakonis, memerintah dengan bijaksana. Sebagai penguasa naga terakhir, ia memiliki kekuatan besar yang tak tertandingi di dunia manusia. Drakonis telah menjaga keseimbangan antara manusia dan makhluk magis selama berabad-abad. Namun, di malam itu, ketenangan hanya menjadi ilusi tipis. Sesuatu yang gelap, berbahaya, dan tidak terlihat sedang bersembunyi di balik tembok kastil. Jenderal Arkanis, salah satu panglima perang terpercaya Raja Naga, berjalan cepat melewati koridor batu yang dingin, matanya penuh tekad dan niat busuk. Dalam diam, ia menggenggam erat sebuah permata hitam, artefak kuno yang selama ini tersembunyi dari pandangan Drakonis. Raja Naga duduk di singgasananya, tubuhnya yang
Kerajaan Morph terletak di lembah hijau yang dikelilingi oleh pegunungan megah, tempat angin dingin selalu menyapu desa-desa kecil yang tersebar di sekitarnya. Di atas bukit tertinggi berdiri Kastil Bertrand, rumah bagi salah satu keluarga bangsawan terkuat di seluruh kerajaan. Keluarga Van Bertrand telah memerintah tanah ini selama beberapa generasi dengan kekuasaan dan kehormatan. Duke Davin Van Bertrand, penguasa saat ini, dikenal sebagai seorang pemimpin tegas dan adil, dengan dua putra yang cerdas dan seorang anak ketiga yang berbeda dari mereka semua. Darrel Van Bertrand, putra ketiga Duke, sedang berdiri di tepi balkon kamarnya, menatap ke cakrawala di kejauhan. Usianya baru menginjak lima belas tahun, namun beban kehidupan bangsawan sudah mulai terasa. Angin yang menerpa wajahnya membawa bau pinus dari hutan yang membentang jauh di luar kastil. Matanya yang biru cerah memandangi lembah di bawahnya dengan perasaan campur aduk—di sanalah kebebasan terletak, di balik hutan
Langit di atas Kastil Bertrand mulai gelap ketika Darrel Van Bertrand terbenam dalam buku kuno yang baru saja ditemukannya. Di balik halaman demi halaman yang dipenuhi dengan tulisan kuno dan simbol-simbol yang memusingkan, Darrel merasa seolah-olah dirinya ditarik ke dalam kisah yang berbeda—lebih tua dan lebih besar dari sekadar catatan sejarah manusia. Kisah tentang Drakonis, Sang Raja Naga, yang telah lama dilupakan oleh dunia manusia, kini tampak lebih nyata daripada apa pun yang pernah ia pelajari. Saat Darrel terus membaca, rasa dingin yang aneh menjalar melalui tubuhnya. Tulisan-tulisan dalam buku mulai terasa bukan hanya sebagai cerita belaka, tetapi sebuah panggilan, bisikan dari masa lalu yang mencoba mencapai pikirannya. “Drakonis,” Darrel berbisik, namanya terasa asing di lidah, namun penuh makna. Di saat yang sama, seseorang bergerak di balik bayang-bayang perpustakaan. Elara, sang pelayan yang telah melayani keluarga Van Bertrand selama bertahun-tahun, perlahan mende
Perpustakaan kastil yang gelap dan penuh debu terasa semakin sunyi setelah kekuatan yang dipanggil oleh Elara mulai surut. Getaran-getaran magis yang sebelumnya menyelimuti ruangan perlahan memudar, meninggalkan Darrel sendirian di lantai batu dingin. Tubuhnya gemetar hebat, jiwanya seakan terkoyak oleh kekuatan luar biasa yang baru saja terbangun di dalam dirinya.Di sudut ruangan, Elara berdiri diam, tatapannya penuh dengan kepuasan yang tenang. Wajahnya yang biasanya lembut dan ramah kini tampak jauh lebih dingin, seolah-olah ada jarak yang tak terlihat antara dirinya dan dunia di sekelilingnya. Dia tahu tugasnya hampir selesai. Kekuatan yang telah disimpan di dalam tubuh Darrel selama bertahun-tahun telah dibangkitkan, dan sekarang, waktunya telah tiba baginya untuk kembali.“Elara…” Darrel berbisik, suaranya penuh kebingungan dan kelelahan. Ia berusaha bangkit, namun tubuhnya terasa begitu berat. “Apa yang kau lakukan padaku? Siapa kau… sebenarnya?”Elara memandangnya dengan seny