Suasana kastil Van Bertrand yang tenang terganggu oleh derap kuda yang mendekat. Darrel, yang masih tertegun dalam pikirannya sendiri, segera tersadar ketika ia mendengar suara pelayan mengumumkan kedatangan tamu yang Darrel tak duga-duga.
"Yang Mulia Frey Han Rollock telah tiba!" seru pelayan itu dengan nada hormat, meski Darrel tahu betul bagaimana Frey tidak pernah menghormati siapa pun kecuali dirinya sendiri. Jantung Darrel berdegup kencang mendengar nama itu. Frey Han Rollock. Nama yang selalu membawa kenangan buruk bagi Darrel, sejak masa kecil mereka. Sebagai putra ketiga dari Duke Han Rollock, Frey telah menjadi momok bagi Darrel, memanfaatkan setiap kesempatan untuk merendahkan, mengejek, dan bahkan memukulinya ketika tidak ada yang melihat. Darrel menghela napas dalam, mencoba menenangkan diri. Dalam sekejap, pikiran tentang kekuatan Drakonis yang baru bangkit di dalam dirinya mulai mengusik. Seharusnya, dengan kekuatan itu, ia tidak lagi takut pada Frey, bukan? Namun, ada bagian dalam dirinya yang masih belum siap menghadapi pemuda kejam itu, terutama dengan semua perubahan yang baru saja dialaminya. Tak lama kemudian, pintu ruang utama terbuka lebar, dan Frey Han Rollock memasuki ruangan dengan angkuh. Sosoknya tinggi, gagah, dengan rambut pirang yang berkilau di bawah cahaya lilin. Namun, di balik penampilannya yang tampak sempurna, ada aura kejam yang selalu mengikuti ke mana pun ia pergi. Mata biru tajam Frey segera menemukan Darrel, dan senyum jahat muncul di wajahnya. "Darrel," katanya, mendekati dengan langkah lambat dan penuh kepastian. Suaranya mengandung ejekan yang begitu kentara. "Sudah lama sekali, ya? Aku hampir lupa bagaimana rupamu yang menyedihkan itu." Darrel tidak merespons. Ia berdiri di tempatnya, mencoba mempertahankan ketenangan meski hatinya berdegup kencang. Frey selalu tahu bagaimana menekan perasaan orang lain dengan kata-katanya. Frey berjalan semakin dekat, berhenti hanya beberapa langkah dari Darrel. "Kudengar, kau masih berkutat di kastil ini, seperti seekor anjing yang patuh, tak ada yang memperhatikan, dan tak ada yang peduli. Kau benar-benar menghabiskan hidupmu dengan sia-sia, Darrel. Bahkan keluarga besarmu pun tidak menganggapmu penting." Darrel merasakan amarah mendidih di dalam dirinya, tapi dia tetap diam. Ia tidak ingin memberikan kepuasan kepada Frey dengan bereaksi terhadap provokasi itu. Namun, Frey tidak berhenti. Dia terus mengejek, berjalan mengelilingi Darrel seperti seekor serigala yang siap menyerang mangsanya. "Kau masih sama saja, pengecut, tak berguna. Dan kau berani memanggil dirimu sebagai putra seorang Duke? Bahkan anjing jalanan punya lebih banyak kehormatan daripada dirimu." Darrel mengepalkan tinjunya, mencoba menahan dirinya. Tetapi ada sesuatu yang berbeda kali ini—sesuatu yang jauh lebih kuat daripada sekadar amarah. Dia bisa merasakan kekuatan Drakonis bergerak di dalam dirinya, seperti api yang merambat, membakar amarahnya. Gambaran sayap naga, kobaran api, dan raungan yang menggema di langit mulai memenuhi pikirannya. “Kau ingin berkelahi lagi, Darrel?” ejek Frey, memukul-mukul dada Darrel dengan ujung jarinya. “Kau ingat terakhir kali kita bertemu, bagaimana aku menghajarmu habis-habisan? Kau menangis seperti bayi, seperti anjing yang diseret di jalanan.” Kata-kata itu menghantam Darrel keras. Ingatan tentang bagaimana Frey dulu mempermalukannya di depan orang-orang mereka kembali membanjiri pikirannya. Ia merasa harga dirinya hancur berkeping-keping setiap kali ia membayangkan tawa Frey yang kejam. "Ayo, Darrel," Frey berkata lagi, nadanya semakin mengejek. "Mari kita lihat apakah kau masih pengecut yang sama. Aku menantangmu untuk berduel! Atau apakah kau akan lari seperti biasa, bersembunyi di bawah rok ibumu?" Kata-kata Frey menggema di benak Darrel, menggetarkan setiap serat amarah dalam dirinya. Tapi kali ini, Darrel tidak takut. Kekuatan baru yang ia rasakan sejak Drakonis bangkit di dalam dirinya mulai mengalir lebih deras, memberinya rasa percaya diri yang tidak pernah ia miliki sebelumnya. "Aku tidak akan lari," kata Darrel, suaranya rendah tapi tegas. Frey tersenyum, tampaknya tidak mengira bahwa Darrel akan menyahut dengan keyakinan. "Ah, akhirnya si pengecut berani bicara. Bagus sekali! Ini akan menyenangkan." Darrel menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan kobaran api yang mendidih di dalam dirinya. Dia tahu bahwa kekuatan Drakonis tidak boleh digunakan sembarangan, terutama dalam situasi yang penuh emosi seperti ini. Tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan yang diciptakan oleh Frey. Hari ini, dia akan berdiri, menghadapi musuhnya, dan menunjukkan bahwa dia bukan lagi anak kecil yang bisa dihina dan dipermalukan. “Kau menantangku untuk duel, Frey?” tanya Darrel, matanya menatap lurus ke arah musuh lamanya itu. “Baik. Aku menerimanya.” Mata Frey melebar sesaat, tidak menyangka bahwa Darrel akan menyetujui tantangan itu. Namun, senyum licik segera kembali menghiasi wajahnya. "Bagus. Mari kita lakukan ini dengan cepat. Aku akan menghabisimu dalam sekejap, seperti biasa." Darrel mengangguk pelan, meskipun ada sesuatu yang berbeda kali ini. Dia tidak lagi merasa takut. Sebaliknya, ada rasa tenang yang menyelimuti dirinya, seperti angin sejuk yang datang sebelum badai besar. Di dalam hatinya, Darrel tahu bahwa ini bukan hanya tentang membuktikan sesuatu kepada Frey. Ini adalah langkah pertamanya untuk memahami dan mengendalikan kekuatan yang ada di dalam dirinya—kekuatan yang bisa mengubah segalanya. Sebelum duel dimulai, pelayan kastil segera dipanggil untuk menyaksikan pertempuran yang akan berlangsung di lapangan terbuka di luar kastil. Penduduk kastil dan para prajurit berkumpul, ingin melihat hasil dari pertarungan yang tak terelakkan ini. Mereka sudah lama mendengar tentang ketegangan antara Frey dan Darrel, dan kini mereka akan melihat apakah Darrel, yang selama ini dianggap lemah, mampu berdiri tegak melawan Frey yang kejam. Terik matahari menyinari selurih permukaan kastil, menciptakan suasana yang sempurna untuk duel yang akan segera dimulai. Di lapangan yang sunyi itu, Darrel berdiri berhadapan dengan Frey, dua pemuda dari dua keluarga bangsawan, siap bertarung demi harga diri mereka. Dan di dalam hati Darrel, api Drakonis mulai menyala, menunggu untuk dilepaskan pada waktu yang tepat.Matahari bersinar terang di atas menara kastil, menyisakan langit dengan awan putih dan langit biru. Di halaman luar Kastil Van Bertrand, Darrel berdiri tegap dengan tangan menggenggam gagang pedangnya. Di hadapannya, Frey Han Rollock sudah bersiap, wajahnya dipenuhi amarah dan kesombongan. Angin sore yang dingin menyapu tanah, mengangkat sedikit debu, seolah memulai sebuah pertarungan yang tak terhindarkan.“Ini akhir dari kesabaranmu, ya?” ejek Frey dengan tawa kecil. “Kau pikir bisa menantangku? Aku akan membuatmu menyesal sudah berani melawan.”Darrel tidak menjawab. Dia hanya menatap Frey, mencoba merasakan denyut kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya. Warisan Drakonis terasa hidup di bawah permukaan kulitnya, seperti api yang menunggu untuk dilepaskan. Namun, Darrel tahu, meskipun dia memiliki kekuatan naga dalam dirinya, dia tidak boleh bergantung sepenuhnya pada hal itu. Kekuatan sejati datang dari keseimbangan—dan untuk saat ini, dia harus fokus pada teknik dan strategi.Frey
Malam sudah larut ketika Darrel dipanggil ke ruang kerja ayahnya, Duke Davin Van Bertrand. Kastil yang biasanya dipenuhi aktivitas, kini sunyi. Hanya suara langkah-langkah sepatu Darrel yang terdengar menggema di sepanjang lorong istana, memantul di dinding tebal yang dingin. Di dadanya, Darrel merasakan kecemasan bercampur dengan sesuatu yang baru—sebuah rasa bangga akan kemampuannya dalam mengalahkan Frey. Namun, di balik itu semua, dia tahu ayahnya pasti sudah mendengar tentang duel tersebut, dan hal itu membuatnya sedikit khawatir. Pintu kayu besar yang menuju ke ruang kerja sang Duke terbuka dengan derit pelan. Darrel melangkah masuk, menemukan ayahnya duduk di belakang meja besar yang dipenuhi dokumen, lilin-lilin menerangi wajah tegas Duke Davin yang sudah berumur. Mata birunya yang dingin menatap lurus ke arah Darrel, penuh dengan kebijaksanaan dan kekuatan. “Darrel,” suara Duke Davin terdengar rendah namun penuh wibawa. “Kau tahu mengapa aku memanggilmu, bukan?” Darre
Pagi itu, fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Darrel Van Bertrand dan pasukan elitnya berangkat menuju perbatasan timur. Di depan, Darrel menunggangi kudanya, dengan jubah keluarga Van Bertrand berkibar tertiup angin. Di sisinya, seorang kesatria berwajah tenang dengan tatapan tajam, Virgo Bastarian, mengiringinya. Virgo adalah seorang Sword Master, dikenal karena kehebatannya di medan perang dan kemampuannya yang luar biasa dalam seni berpedang. Kehadirannya memberikan sedikit rasa aman bagi Darrel, meski jantungnya masih berdebar kencang.Pasukan yang ia pimpin berjumlah seratus orang—prajurit elit yang terlatih dalam pertempuran, para pejuang terbaik yang dimiliki oleh keluarga Van Bertrand. Namun, meski memiliki kekuatan besar di bawah komandonya, Darrel tak bisa menghilangkan rasa gugup yang merayap dalam hatinya.Ini adalah pertama kalinya dia memimpin pasukan ke medan perang, dan ancaman yang dihadapi bukanlah musuh biasa. Orc dikenal brutal dan kejam, apalagi dalam jum
Keesokan harinya setelah pertempuran besar melawan gerombolan orc, Darrel Van Bertrand berdiri di atas bukit kecil di dekat desa yang telah mereka pertahankan. Angin pagi menyapu wajahnya, membawa aroma asap yang samar dan tanah yang basah oleh embun. Langit cerah, seolah-olah alam semesta sendiri tengah memberikan penghormatan atas kemenangan yang diraih pasukannya. Namun, meski kemenangan telah diraih, Darrel merasakan ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di dalam dirinya—sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa ia pahami.Di tangannya, Darrel menggenggam pedang yang digunakan dalam pertempuran. Kilauan baja pedang itu terpantul dari sinar matahari pagi, namun ada sesuatu yang berbeda. Pedangnya seakan-akan berdenyut dengan kekuatan yang baru, mengeluarkan aura samar berwarna biru yang bergetar di sekelilingnya. Ini adalah sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya, dan Darrel tahu, ini bukan hal biasa.Virgo Bastarian, yang berdiri di sampingnya, memandang fenomena itu denga
Malam mulai menyelimuti langit ketika Darrel Van Bertrand duduk sendirian di dalam tenda komandonya. Pertempuran melawan gerombolan orc telah berlalu, namun pikirannya masih dipenuhi dengan kekuatan baru yang dia rasakan. Sword Aura yang ia bangkitkan selama pertempuran adalah tanda dari sesuatu yang lebih besar dan lebih dalam, sesuatu yang tampaknya mengikatnya pada takdir yang tak terelakkan. Di tengah keheningan malam, Darrel memejamkan mata, mencoba memahami lebih lanjut kekuatan yang mengalir dalam dirinya.Saat dia menarik napas dalam-dalam, tiba-tiba rasa dingin yang aneh melingkupi tubuhnya. Udara di sekitar tenda terasa berubah, dan Darrel membuka matanya dengan waspada. Dalam sekejap, cahaya biru kehijauan mulai berpendar dari tubuhnya, membentuk lingkaran yang semakin lama semakin intens. Darrel tersentak, mencoba mengendalikan kekuatan itu, namun aliran energi itu tidak bisa dihentikan. Al hasil membawa kesadaranya ke dalam ruang lingkup kegelapan."Kau akhirnya siap
Malam yang sunyi tiba-tiba terpecah oleh raungan keras yang menggema di seluruh perkemahan. Darrel Van Bertrand, yang tengah beristirahat di dalam tendanya, segera tersentak bangun. Jeritan pasukan dan suara logam yang berdentang membuatnya mengerti dengan cepat bahwa sesuatu yang buruk tengah terjadi.Darrel melompat dari tempat tidurnya, mengenakan baju besi secepat mungkin. Di luar tenda, suasana kacau. Tentara-tentara yang tadinya beristirahat kini berlarian mencari senjata mereka, sementara beberapa sudah terlibat dalam pertempuran sengit dengan musuh yang baru saja muncul.“Orc!” Teriak seorang prajurit dari kejauhan. “Mereka datang lagi!”Darrel keluar dari tendanya dan melihat situasi yang lebih buruk dari yang dia bayangkan. Di kejauhan, gelombang besar orc menyerbu perkemahan, jumlah mereka jauh lebih banyak daripada yang ditemui sebelumnya. Kali ini, mereka tidak hanya datang dalam kelompok kecil, tetapi dalam pasukan besar yang dipimpin oleh para Magician orc yang tampakny
Langit di atas medan perang memerah, seolah darah yang tumpah di tanah juga mencemari angkasa. Pasukan Duke Van Bertrand yang awalnya mendominasi medan pertempuran kini bersiap untuk merayakan kemenangan mereka. Suara tabuhan genderang dan gemuruh pertempuran mulai mereda ketika orc terakhir di garis depan jatuh oleh pedang prajurit.Darrel berdiri di tengah medan, pedangnya berlumuran darah orc, napasnya terengah-engah. Prajurit-prajurit di sekitarnya, meskipun lelah, mulai tersenyum. "Kita menang!" teriak salah satu prajurit, diikuti sorakan dari pasukan lainnya. Darrel tidak tersenyum. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, firasat buruk yang menghantuinya sejak awal pertempuran ini.Di kejauhan, dari balik kabut yang mulai menyelimuti medan perang, terdengar suara aneh, suara yang tak menyerupai seruan orc atau makhluk lainnya. Suara itu berat dan misterius, seperti bisikan kegelapan yang merangkak dari dasar bumi.Tiba-tiba, salah satu prajurit di barisan depan berhenti bersora
Dorongan kekuatan Drakonis yang membara membuat tubuh Darrel memanas, nyaris seperti akan terbakar dari dalam. Darrel tahu bahwa kekuatan itu bisa menelannya kapan saja, tapi dia tidak punya pilihan. Setiap langkahnya di medan perang menjadi lebih berat, tetapi ketakutannya tenggelam di balik keberanian yang dibawa oleh darah naga dalam dirinya.Di depan matanya, undead orc terus membanjiri pasukan Duke. Mereka tak henti-henti, seperti gelombang kegelapan yang siap menelan apa pun yang menghalangi jalan mereka. Darrel merasakan nyala energi di tubuhnya terus meningkat, hampir tak terkendali. Pedangnya kini berkilat merah, diselimuti oleh kekuatan Drakonis yang memancar dari setiap serangan."Jangan biarkan mereka mendekat!" teriak Darrel, suaranya menggema di antara prajurit yang mulai mundur, kewalahan oleh serangan tanpa henti. Meski takut, para prajurit mendengar seruannya dan berusaha bertahan, mengacungkan senjata mereka dengan gemetar.Di tengah kekacauan itu, Virgo, salah satu
Medan perang semakin kacau setelah kemunculan Demon Lord Luciferos. Kabut hitam pekat yang menyelimuti wilayah Redthorn kini meluas, menyebar perlahan ke seluruh penjuru medan tempur, menyebarkan aroma busuk yang membuat siapa pun merasa mual.Di tengah suasana mencekam itu, barisan pasukan iblis terus muncul dari dalam hutan. Mereka berbaris dengan rapi, dipimpin oleh para jenderal iblis yang memiliki tampilan ganas dan mengintimidasi. Salah satu jenderal, sosok tinggi besar dengan kulit merah pekat dan pedang raksasa di punggungnya, tertawa keras."Haha! Lihat wajah ketakutan mereka! Pasukan elf sudah kehilangan nyali!" teriaknya, suaranya menggema di antara gemuruh langkah pasukan.Para prajurit elf semakin tertekan. Banyak di antara mereka yang jatuh berlutut, kehilangan semangat bertempur. Beberapa bahkan mulai menangis, membayangkan kematian yang tak terelakkan.Namun, dari kejauhan, terdengar suara terompet perang. Derap langkah ribuan pasukan bergema, menggetarkan tanah. Dari
Di medan perang yang porak-poranda, kekuatan luar biasa terpancar dari tubuh Darrel yang kini bertransformasi menjadi sesuatu yang hampir tak bisa dikenali. Sisik-sisik hitam keemasan membalut tubuhnya, membentuk armor kokoh yang memancarkan aura mengancam. Kedua tangannya berubah menjadi cakar tajam, seperti lengan seekor naga, sementara matanya bersinar keemasan, memancarkan tatapan dingin yang menusuk jiwa siapa pun yang melihatnya.Barrak tertegun, masih memegangi luka di perutnya yang tidak kunjung sembuh. Darah hitam pekat mengalir deras, namun luka itu bukan yang membuatnya gentar. Kekuatan yang terpancar dari Darrel memunculkan kenangan yang sudah lama terkubur dalam benaknya—bayangan sosok raksasa bermata emas, dengan suara yang menggema seperti guntur di atas langit yang kosong."Iblis. Beraninya makhluk menjijikkan seperti kalian menginjakkan kaki di duniaku."Suara berat nan agung itu terngiang kembali di kepala Barrak, membuat tubuhnya bergetar. Ia memandang Darrel den
Medan perang adalah neraka. Jeritan prajurit dan raungan iblis terus menggema, sementara darah mengalir seperti sungai di atas tanah, menghiasi tanah tandus itu, sementara tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan, menjadi saksi bisu betapa brutalnya pertarungan yang berlangsung.Di tengah kekacauan, Jenderal Leonor berdiri dengan pedang yang meneteskan darah. Napasnya memburu, tapi matanya tetap memancarkan determinasi. Armor peraknya berkilauan, memantulkan sinar matahari yang memudar di balik awan gelap. Ia baru saja berhasil menumbangkan golem iblis raksasa dengan bantuan para penyihir elf dan Darrel. Namun, senyum kepuasan tak sempat menghiasi wajahnya."Sial! Mereka tidak kenal lelah!" seru Leonor seraya menebaskan pedangnya ke arah iblis yang mendekat. "Seolah mereka tak peduli dengan nyawa mereka sendiri!"Seorang penyihir elf, Mariel, mengangguk dengan wajah pucat. "Pasukan iblis ini seperti dipacu oleh sesuatu yang lebih besar, Jenderal. Ada kekuatan yang tidak biasa mempenga
"Sial! Bedebah itu berhasil kabur," gerutu Delphira dengan napas terengah-engah, memandangi sosok berjubah hitam yang berlari menghilang ke kedalaman hutan lebat.Angin malam menyapu wajahnya yang sedikit di aliri keringat. Matanya menyipit, mencoba menembus gelapnya hutan, memastikan lawannya benar-benar pergi. Tubuhnya terasa agak letih, tenaga dalamnya terkuras setelah bertarung melawan sosok misterius itu. Ia menoleh ke arah luka kecil di lengannya, darah masih menetes perlahan."Kalau dia benar-benar bertarung sampai mati, aku mungkin harus siap kehilangan satu lemgan atau luka besar," gumamnya seraya mengusap keringat di dahinya. Meski berhasil memaksa lawannya mundur, ia tahu bahwa pertempuran tadi hampir berakhir buruk baginya.Delphira menarik napas panjang, mengatur dirinya sebelum melangkah mundur menuju tepi jurang. Dengan gerakan lincah, ia melompat ke udara. Seketika seekor elang raksasa dengan bulu keemasan menyambarnya, membawa tubuhnya melesat tinggi ke langit....S
Medan perang itu bergetar hebat saat golem raksasa hendak mengangkat tangannya yang besar dan dipenuhi bebatuan keras, mencoba menghantam barisan prajurit elf yang ketakutan. Sebuah dentuman keras terdengar, seakan seluruh tanah itu akan terbelah. Namun, saat tangan golem yang besar hendak mendaratkan pukulan, tiba-tiba tangan itu terpotong menjadi dua bagian."Sssrreeettttt!"Sebuah suara tajam terdengar, dan gumpalan batu besar yang mengelilingi lengan golem terjatuh berantakan ke tanah, menciptakan percikan batu yang menyebar di sekitar medan perang.Para prajurit elf dan penyihir yang sebelumnya tampak terkejut dan takut, kini terdiam, kebingungan dan tak percaya. "Apa yang terjadi? Tangan golem itu... terputus?!" teriak salah satu prajurit dengan nada penuh keheranan.Di tengah kebingungannya, mereka melihat seorang pemuda muncul entah dari mana, melompat tinggi di udara, langsung menerjang golem itu dengan keberanian yang luar biasa. Pedangnya yang terhunus bersinar dingin, mem
Hamparan tanah tandus di hutan Redthorn kini berubah menjadi medan perang yang mencekam. Tanah retak, langit kelabu, dan udara berat oleh aroma busuk iblis yang bercampur dengan debu. Kabut hitam pekat mengambang, seolah menjadi tirai yang menutupi kekacauan di tempat itu.Di kejauhan, pasukan Kerajaan Moondale yang baru tiba melangkah dengan megah. Pancaran cahaya perak dari armor mereka memantulkan sinar matahari yang samar, menciptakan kilauan di tengah kegelapan. Bendera kerajaan berkibar di tengah angin, simbol dari sebuah pohon raksasa yang persis mencerminkan Tree Of Wisdom, mengingatkan setiap prajurit pada tekad dan harapan untuk bangkit meskipun menghadapi kehancuran.Seorang prajurit elf muda, wajahnya penuh luka dan darah, mendekati Jenderal Leonor. "Jenderal, pasukan utama telah tiba," katanya dengan nada lega, tetapi suaranya gemetar oleh kelelahan.Jenderal Leonor, pria paruh baya dengan wajah tegas dan sorot mata tajam, memandangnya sekilas. "Bagaimana situasi di si
Butiran kerikil dan debu beterbangan dari ledakan itu, menciptakan kepulan asap pekat di atas tanah yang porak-prannda."Ugh..." Vindel terhuyung keluar dari asap, tubuhnya penuh luka dan darah mengalir deras dari bahu kirinya. Ledakan tadi memang tidak langsung membunuhnya, tetapi cukup untuk membuatnya kehilangan banyak tenaga."Oh? Keras kepala sekali kau, Nak," sosok berjubah hitam berkata dengan senyum mengejek. Matanya yang bersinar dingin menyipit, menunjukkan penghinaan yang mendalam.Vindel, meskipun terluka parah, tetap berusaha tegak. Tangannya gemetar ketika ia meraih busurnya lagi. Namun, ia tahu serangan berikutnya tidak akan memberinya kesempatan untuk bertahan. Pikiran Vindel berpacu, mencoba mencari jalan keluar.‘Aku belum boleh mati di sini,’ pikirnya. Vindel mengingat kembali tugasnya untuk menyampaikan permintaan bala bantuan ke suku pedalaman Great Forest belum selesai. Jika ia gagal, Kerajaan Moondale akan kehilangan sekutunya dalam perang melawan ras iblis.Sos
Bab 85: Bayang-Bayang di Ujung JurangDi sisi lain Negeri Elf, Vindel terus memacu rusa seukuran kuda yang ditungganginya melewati hutan yang semakin gelap. Bayang-bayang pepohonan raksasa diiringi suara lolongan serigala mengiringi setiap langkahnya. Vindel menghela napas panjang, satu tangannya menggenggam busur, sementara tangan lainnya bersiap dengan anak panah yang membidik ke arah serigala hitam."Binatang sihir ini seperti tidak ada habisnya!" gerutunya sambil memutar tubuh, memanah kawanan serigala hitam yang mengejarnya.Anak panahnya melesat, menancap di tubuh beberapa serigala. Tubuh mereka meledak menjadi debu hitam, tetapi kawanan di belakangnya tampak tidak gentar sedikit pun."Brengsek, jumlah mereka lebih banyak dari yang kuduga!" Vindel berdecak kesal. Wajahnya yang biasanya santai kini semakin serius, matanya memantulkan tekad kuat untuk bertahan hidup.Ia mengerahkan ennerginya pada anak panah yang mulai berkilau, melesat dengan kecepatan luar biasa hingga menimbu
Jauh di tengah kegelapan kastil yang megah namun menyeramkan, seorang pria bersiluet hitam duduk di atas singgasana besar, diselimuti bayang-bayang yang hampir sepenuhnya menyembunyikan sosoknya. Matanya yang berkilau ungu gelap menembus kegelapan, memancarkan aura dingin yang mencekam."Jadi, mereka akhirnya bergerak, ya?" ucapnya, suara beratnya bergema, memecah keheningan.Di hadapannya, seorang pria bertudung hitam berlutut dengan sikap hormat. "Benar, Tuan. Pasukan iblis telah bergerak, setengah dari mereka kini bergerak di perbatasan negeri Elf. Dari informasi terakhir kami, Raja Iblis kemungkinan akan menunjukkan dirinya dalam waktu dekat."Sosok di singgasana menyandarkan kepalanya dengan santai, seolah menikmati laporan itu. Sebuah tawa kecil keluar dari bibirnya. "Bagus. Itu berarti saat kita untuk bergerak sudah hampir tiba. Pastikan tidak ada informasi yang bocor ke negeri manusia. Semua jalur komunikasi harus diputuskan. Aku ingin kekacauan ini tetap terisolasi di tanah E