Suasana kastil Van Bertrand yang tenang terganggu oleh derap kuda yang mendekat. Darrel, yang masih tertegun dalam pikirannya sendiri, segera tersadar ketika ia mendengar suara pelayan mengumumkan kedatangan tamu yang Darrel tak duga-duga.
"Yang Mulia Frey Han Rollock telah tiba!" seru pelayan itu dengan nada hormat, meski Darrel tahu betul bagaimana Frey tidak pernah menghormati siapa pun kecuali dirinya sendiri. Jantung Darrel berdegup kencang mendengar nama itu. Frey Han Rollock. Nama yang selalu membawa kenangan buruk bagi Darrel, sejak masa kecil mereka. Sebagai putra ketiga dari Duke Han Rollock, Frey telah menjadi momok bagi Darrel, memanfaatkan setiap kesempatan untuk merendahkan, mengejek, dan bahkan memukulinya ketika tidak ada yang melihat. Darrel menghela napas dalam, mencoba menenangkan diri. Dalam sekejap, pikiran tentang kekuatan Drakonis yang baru bangkit di dalam dirinya mulai mengusik. Seharusnya, dengan kekuatan itu, ia tidak lagi takut pada Frey, bukan? Namun, ada bagian dalam dirinya yang masih belum siap menghadapi pemuda kejam itu, terutama dengan semua perubahan yang baru saja dialaminya. Tak lama kemudian, pintu ruang utama terbuka lebar, dan Frey Han Rollock memasuki ruangan dengan angkuh. Sosoknya tinggi, gagah, dengan rambut pirang yang berkilau di bawah cahaya lilin. Namun, di balik penampilannya yang tampak sempurna, ada aura kejam yang selalu mengikuti ke mana pun ia pergi. Mata biru tajam Frey segera menemukan Darrel, dan senyum jahat muncul di wajahnya. "Darrel," katanya, mendekati dengan langkah lambat dan penuh kepastian. Suaranya mengandung ejekan yang begitu kentara. "Sudah lama sekali, ya? Aku hampir lupa bagaimana rupamu yang menyedihkan itu." Darrel tidak merespons. Ia berdiri di tempatnya, mencoba mempertahankan ketenangan meski hatinya berdegup kencang. Frey selalu tahu bagaimana menekan perasaan orang lain dengan kata-katanya. Frey berjalan semakin dekat, berhenti hanya beberapa langkah dari Darrel. "Kudengar, kau masih berkutat di kastil ini, seperti seekor anjing yang patuh, tak ada yang memperhatikan, dan tak ada yang peduli. Kau benar-benar menghabiskan hidupmu dengan sia-sia, Darrel. Bahkan keluarga besarmu pun tidak menganggapmu penting." Darrel merasakan amarah mendidih di dalam dirinya, tapi dia tetap diam. Ia tidak ingin memberikan kepuasan kepada Frey dengan bereaksi terhadap provokasi itu. Namun, Frey tidak berhenti. Dia terus mengejek, berjalan mengelilingi Darrel seperti seekor serigala yang siap menyerang mangsanya. "Kau masih sama saja, pengecut, tak berguna. Dan kau berani memanggil dirimu sebagai putra seorang Duke? Bahkan anjing jalanan punya lebih banyak kehormatan daripada dirimu." Darrel mengepalkan tinjunya, mencoba menahan dirinya. Tetapi ada sesuatu yang berbeda kali ini—sesuatu yang jauh lebih kuat daripada sekadar amarah. Dia bisa merasakan kekuatan Drakonis bergerak di dalam dirinya, seperti api yang merambat, membakar amarahnya. Gambaran sayap naga, kobaran api, dan raungan yang menggema di langit mulai memenuhi pikirannya. “Kau ingin berkelahi lagi, Darrel?” ejek Frey, memukul-mukul dada Darrel dengan ujung jarinya. “Kau ingat terakhir kali kita bertemu, bagaimana aku menghajarmu habis-habisan? Kau menangis seperti bayi, seperti anjing yang diseret di jalanan.” Kata-kata itu menghantam Darrel keras. Ingatan tentang bagaimana Frey dulu mempermalukannya di depan orang-orang mereka kembali membanjiri pikirannya. Ia merasa harga dirinya hancur berkeping-keping setiap kali ia membayangkan tawa Frey yang kejam. "Ayo, Darrel," Frey berkata lagi, nadanya semakin mengejek. "Mari kita lihat apakah kau masih pengecut yang sama. Aku menantangmu untuk berduel! Atau apakah kau akan lari seperti biasa, bersembunyi di bawah rok ibumu?" Kata-kata Frey menggema di benak Darrel, menggetarkan setiap serat amarah dalam dirinya. Tapi kali ini, Darrel tidak takut. Kekuatan baru yang ia rasakan sejak Drakonis bangkit di dalam dirinya mulai mengalir lebih deras, memberinya rasa percaya diri yang tidak pernah ia miliki sebelumnya. "Aku tidak akan lari," kata Darrel, suaranya rendah tapi tegas. Frey tersenyum, tampaknya tidak mengira bahwa Darrel akan menyahut dengan keyakinan. "Ah, akhirnya si pengecut berani bicara. Bagus sekali! Ini akan menyenangkan." Darrel menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan kobaran api yang mendidih di dalam dirinya. Dia tahu bahwa kekuatan Drakonis tidak boleh digunakan sembarangan, terutama dalam situasi yang penuh emosi seperti ini. Tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan yang diciptakan oleh Frey. Hari ini, dia akan berdiri, menghadapi musuhnya, dan menunjukkan bahwa dia bukan lagi anak kecil yang bisa dihina dan dipermalukan. “Kau menantangku untuk duel, Frey?” tanya Darrel, matanya menatap lurus ke arah musuh lamanya itu. “Baik. Aku menerimanya.” Mata Frey melebar sesaat, tidak menyangka bahwa Darrel akan menyetujui tantangan itu. Namun, senyum licik segera kembali menghiasi wajahnya. "Bagus. Mari kita lakukan ini dengan cepat. Aku akan menghabisimu dalam sekejap, seperti biasa." Darrel mengangguk pelan, meskipun ada sesuatu yang berbeda kali ini. Dia tidak lagi merasa takut. Sebaliknya, ada rasa tenang yang menyelimuti dirinya, seperti angin sejuk yang datang sebelum badai besar. Di dalam hatinya, Darrel tahu bahwa ini bukan hanya tentang membuktikan sesuatu kepada Frey. Ini adalah langkah pertamanya untuk memahami dan mengendalikan kekuatan yang ada di dalam dirinya—kekuatan yang bisa mengubah segalanya. Sebelum duel dimulai, pelayan kastil segera dipanggil untuk menyaksikan pertempuran yang akan berlangsung di lapangan terbuka di luar kastil. Penduduk kastil dan para prajurit berkumpul, ingin melihat hasil dari pertarungan yang tak terelakkan ini. Mereka sudah lama mendengar tentang ketegangan antara Frey dan Darrel, dan kini mereka akan melihat apakah Darrel, yang selama ini dianggap lemah, mampu berdiri tegak melawan Frey yang kejam. Terik matahari menyinari selurih permukaan kastil, menciptakan suasana yang sempurna untuk duel yang akan segera dimulai. Di lapangan yang sunyi itu, Darrel berdiri berhadapan dengan Frey, dua pemuda dari dua keluarga bangsawan, siap bertarung demi harga diri mereka. Dan di dalam hati Darrel, api Drakonis mulai menyala, menunggu untuk dilepaskan pada waktu yang tepat.Matahari bersinar terang di atas menara kastil, menyisakan langit dengan awan putih dan langit biru. Di halaman luar Kastil Van Bertrand, Darrel berdiri tegap dengan tangan menggenggam gagang pedangnya. Di hadapannya, Frey Han Rollock sudah bersiap, wajahnya dipenuhi amarah dan kesombongan. Angin sore yang dingin menyapu tanah, mengangkat sedikit debu, seolah memulai sebuah pertarungan yang tak terhindarkan.“Ini akhir dari kesabaranmu, ya?” ejek Frey dengan tawa kecil. “Kau pikir bisa menantangku? Aku akan membuatmu menyesal sudah berani melawan.”Darrel tidak menjawab. Dia hanya menatap Frey, mencoba merasakan denyut kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya. Warisan Drakonis terasa hidup di bawah permukaan kulitnya, seperti api yang menunggu untuk dilepaskan. Namun, Darrel tahu, meskipun dia memiliki kekuatan naga dalam dirinya, dia tidak boleh bergantung sepenuhnya pada hal itu. Kekuatan sejati datang dari keseimbangan—dan untuk saat ini, dia harus fokus pada teknik dan strategi.Frey
Malam sudah larut ketika Darrel dipanggil ke ruang kerja ayahnya, Duke Davin Van Bertrand. Kastil yang biasanya dipenuhi aktivitas, kini sunyi. Hanya suara langkah-langkah sepatu Darrel yang terdengar menggema di sepanjang lorong istana, memantul di dinding tebal yang dingin. Di dadanya, Darrel merasakan kecemasan bercampur dengan sesuatu yang baru—sebuah rasa bangga akan kemampuannya dalam mengalahkan Frey. Namun, di balik itu semua, dia tahu ayahnya pasti sudah mendengar tentang duel tersebut, dan hal itu membuatnya sedikit khawatir. Pintu kayu besar yang menuju ke ruang kerja sang Duke terbuka dengan derit pelan. Darrel melangkah masuk, menemukan ayahnya duduk di belakang meja besar yang dipenuhi dokumen, lilin-lilin menerangi wajah tegas Duke Davin yang sudah berumur. Mata birunya yang dingin menatap lurus ke arah Darrel, penuh dengan kebijaksanaan dan kekuatan. “Darrel,” suara Duke Davin terdengar rendah namun penuh wibawa. “Kau tahu mengapa aku memanggilmu, bukan?” Darre
Pagi itu, fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Darrel Van Bertrand dan pasukan elitnya berangkat menuju perbatasan timur. Di depan, Darrel menunggangi kudanya, dengan jubah keluarga Van Bertrand berkibar tertiup angin. Di sisinya, seorang kesatria berwajah tenang dengan tatapan tajam, Virgo Bastarian, mengiringinya. Virgo adalah seorang Sword Master, dikenal karena kehebatannya di medan perang dan kemampuannya yang luar biasa dalam seni berpedang. Kehadirannya memberikan sedikit rasa aman bagi Darrel, meski jantungnya masih berdebar kencang.Pasukan yang ia pimpin berjumlah seratus orang—prajurit elit yang terlatih dalam pertempuran, para pejuang terbaik yang dimiliki oleh keluarga Van Bertrand. Namun, meski memiliki kekuatan besar di bawah komandonya, Darrel tak bisa menghilangkan rasa gugup yang merayap dalam hatinya.Ini adalah pertama kalinya dia memimpin pasukan ke medan perang, dan ancaman yang dihadapi bukanlah musuh biasa. Orc dikenal brutal dan kejam, apalagi dalam jum
Keesokan harinya setelah pertempuran besar melawan gerombolan orc, Darrel Van Bertrand berdiri di atas bukit kecil di dekat desa yang telah mereka pertahankan. Angin pagi menyapu wajahnya, membawa aroma asap yang samar dan tanah yang basah oleh embun. Langit cerah, seolah-olah alam semesta sendiri tengah memberikan penghormatan atas kemenangan yang diraih pasukannya. Namun, meski kemenangan telah diraih, Darrel merasakan ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di dalam dirinya—sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa ia pahami.Di tangannya, Darrel menggenggam pedang yang digunakan dalam pertempuran. Kilauan baja pedang itu terpantul dari sinar matahari pagi, namun ada sesuatu yang berbeda. Pedangnya seakan-akan berdenyut dengan kekuatan yang baru, mengeluarkan aura samar berwarna biru yang bergetar di sekelilingnya. Ini adalah sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya, dan Darrel tahu, ini bukan hal biasa.Virgo Bastarian, yang berdiri di sampingnya, memandang fenomena itu denga
Malam mulai menyelimuti langit ketika Darrel Van Bertrand duduk sendirian di dalam tenda komandonya. Pertempuran melawan gerombolan orc telah berlalu, namun pikirannya masih dipenuhi dengan kekuatan baru yang dia rasakan. Sword Aura yang ia bangkitkan selama pertempuran adalah tanda dari sesuatu yang lebih besar dan lebih dalam, sesuatu yang tampaknya mengikatnya pada takdir yang tak terelakkan. Di tengah keheningan malam, Darrel memejamkan mata, mencoba memahami lebih lanjut kekuatan yang mengalir dalam dirinya.Saat dia menarik napas dalam-dalam, tiba-tiba rasa dingin yang aneh melingkupi tubuhnya. Udara di sekitar tenda terasa berubah, dan Darrel membuka matanya dengan waspada. Dalam sekejap, cahaya biru kehijauan mulai berpendar dari tubuhnya, membentuk lingkaran yang semakin lama semakin intens. Darrel tersentak, mencoba mengendalikan kekuatan itu, namun aliran energi itu tidak bisa dihentikan. Al hasil membawa kesadaranya ke dalam ruang lingkup kegelapan."Kau akhirnya siap
Malam yang sunyi tiba-tiba terpecah oleh raungan keras yang menggema di seluruh perkemahan. Darrel Van Bertrand, yang tengah beristirahat di dalam tendanya, segera tersentak bangun. Jeritan pasukan dan suara logam yang berdentang membuatnya mengerti dengan cepat bahwa sesuatu yang buruk tengah terjadi.Darrel melompat dari tempat tidurnya, mengenakan baju besi secepat mungkin. Di luar tenda, suasana kacau. Tentara-tentara yang tadinya beristirahat kini berlarian mencari senjata mereka, sementara beberapa sudah terlibat dalam pertempuran sengit dengan musuh yang baru saja muncul.“Orc!” Teriak seorang prajurit dari kejauhan. “Mereka datang lagi!”Darrel keluar dari tendanya dan melihat situasi yang lebih buruk dari yang dia bayangkan. Di kejauhan, gelombang besar orc menyerbu perkemahan, jumlah mereka jauh lebih banyak daripada yang ditemui sebelumnya. Kali ini, mereka tidak hanya datang dalam kelompok kecil, tetapi dalam pasukan besar yang dipimpin oleh para Magician orc yang tampakny
Langit di atas medan perang memerah, seolah darah yang tumpah di tanah juga mencemari angkasa. Pasukan Duke Van Bertrand yang awalnya mendominasi medan pertempuran kini bersiap untuk merayakan kemenangan mereka. Suara tabuhan genderang dan gemuruh pertempuran mulai mereda ketika orc terakhir di garis depan jatuh oleh pedang prajurit.Darrel berdiri di tengah medan, pedangnya berlumuran darah orc, napasnya terengah-engah. Prajurit-prajurit di sekitarnya, meskipun lelah, mulai tersenyum. "Kita menang!" teriak salah satu prajurit, diikuti sorakan dari pasukan lainnya. Darrel tidak tersenyum. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, firasat buruk yang menghantuinya sejak awal pertempuran ini.Di kejauhan, dari balik kabut yang mulai menyelimuti medan perang, terdengar suara aneh, suara yang tak menyerupai seruan orc atau makhluk lainnya. Suara itu berat dan misterius, seperti bisikan kegelapan yang merangkak dari dasar bumi.Tiba-tiba, salah satu prajurit di barisan depan berhenti bersora
Dorongan kekuatan Drakonis yang membara membuat tubuh Darrel memanas, nyaris seperti akan terbakar dari dalam. Darrel tahu bahwa kekuatan itu bisa menelannya kapan saja, tapi dia tidak punya pilihan. Setiap langkahnya di medan perang menjadi lebih berat, tetapi ketakutannya tenggelam di balik keberanian yang dibawa oleh darah naga dalam dirinya.Di depan matanya, undead orc terus membanjiri pasukan Duke. Mereka tak henti-henti, seperti gelombang kegelapan yang siap menelan apa pun yang menghalangi jalan mereka. Darrel merasakan nyala energi di tubuhnya terus meningkat, hampir tak terkendali. Pedangnya kini berkilat merah, diselimuti oleh kekuatan Drakonis yang memancar dari setiap serangan."Jangan biarkan mereka mendekat!" teriak Darrel, suaranya menggema di antara prajurit yang mulai mundur, kewalahan oleh serangan tanpa henti. Meski takut, para prajurit mendengar seruannya dan berusaha bertahan, mengacungkan senjata mereka dengan gemetar.Di tengah kekacauan itu, Virgo, salah satu
Keesokan harinya, Darrel dan teman-temannya berada di tempat latihan sejak pagi. Semangat dan antusiasme mereka membara, meskipun waktu latihan terasa sangat melelahkan. Mereka sadar bahwa ini adalah kesempatan untuk membuktikan diri, dan setiap detik yang terbuang adalah kehilangan kesempatan untuk berkembang. Latihan fisik yang keras diiringi dengan strategi yang matang telah menjadi bagian dari rutinitas mereka. Mereka sudah hampir melupakan dunia luar, fokus pada persiapan untuk kompetisi yang semakin dekat.Namun, ketenangan mereka tak berlangsung lama. Tiba-tiba, sekelompok siswa dari kelas menengah berjalan menghampiri mereka. Mereka mengenakan seragam akademi yang rapi dan menatap tim Darrel dengan pandangan arogan. Di depan kelompok itu, seorang siswa bertubuh kekar dan tinggi berdiri dengan tangan disilangkan di dada, tersenyum mengejek."Itu Andrew Vandirc," bisik Lean pada Darrel. "Dia keponakan Instruktur Sebastian. Salah satu siswa yang paling berpengaruh di kelas men
Dengan bimbingan dari Drakonis yang mengalir dalam dirinya, Darrel mengajarkan mereka teknik-teknik dasar yang memanfaatkan kecepatan, namun dengan penekanan pada keseimbangan dan ketepatan serangan. Setiap gerakan Dims dan Lissa diarahkan untuk mengurangi gerakan yang tidak perlu, sehingga mereka bisa bergerak lebih cepat dan efisien.Dims, yang biasanya bertarung dengan penuh antusiasme tanpa memikirkan pertahanan, kini mulai memahami pentingnya menjaga jarak dan menyesuaikan langkah kakinya. Setiap serangan yang ia lakukan sekarang lebih terukur, lebih terfokus.Lissa, yang awalnya ragu dengan setiap gerakan, mulai merasakan peningkatan kepercayaan diri. Dengan sedikit dorongan dari Darrel, dia bisa merasakan bahwa setiap langkah dan ayunan pedangnya lebih presisi."Kalian luar biasa, aku hanya mengajarkan kalian sedikit, namun kalian berkembang dengan cepat." kata Darrel setelah beberapa kali latihan intens. "Teruslah berlatih, ini baru teknik dasar, tapi kalau kalian bisa menguas
Mereka berlatih setiap hari, berusaha meningkatkan kemampuan fisik, mental, dan taktik. Darrel mengatur strategi dengan hati-hati, memanfaatkan setiap keahlian yang dimiliki oleh anggota timnya."Lean, kau akan bertanggung jawab dalam bidang informasi dan strategi. Kau tahu lebih banyak tentang hutan Crofis daripada kami semua," kata Darrel saat mereka berlatih di lapangan.Lean, meskipun tidak sekuat anggota tim lainnya, memiliki kecerdasan yang luar biasa. Ia adalah tipe orang yang dapat menganalisis situasi dengan cepat dan merencanakan strategi yang matang. Darrel tahu bahwa keahlian Lean sangat penting untuk kerjasama tim mereka."Aku akan melakukan yang terbaik," jawab Lean dengan serius. Ia memang tidak memiliki fisik dan keterampilan berpedang yang hebat, tapi ia bertekad untuk tidak menjadi beban bagi kelompoknya.Dims, meskipun tidak sekuat Jose, adalah seorang yang cepat dan gesit. Ia menjadi andalan dalam latihan kecepatan dan ketangkasan. "Kalau kita bisa bertahan dari b
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan atmosfer di Akademi Kekaisaran Ravencroft semakin dipenuhi ketegangan. Sejak kesepakatan berisiko yang dilakukan Darrel dengan Instruktur Sebastian, suasana kelas pemula di Akademi Ravencroft berubah drastis. Para siswa, yang sebelumnya sudah terbebani oleh tugas-tugas fisik yang berat, kini merasa lebih tertekan oleh taruhan besar yang digantungkan di atas kepala mereka. Mereka kini hidup dalam ketakutan akan hasil dari kompetisi antar kelas yang akan datang.Darrel, yang kini menjadi pusat perhatian, merasakan tatapan canggung dari rekan-rekannya. Rasa gugup yang melingkupi mereka tampak jelas. Darrel tahu bahwa keputusan yang ia buat bukan hanya memengaruhi dirinya sendiri, tetapi juga masa depan seluruh siswa kelas pemula. Sebagian besar dari mereka, meski tak berani berkata secara langsung, merasa bahwa keputusan Darrel terlalu gegabah. Mereka tidak yakin apakah bisa membantu Darrel dalam memenangkan kompetisi tersebut, terutama mengingat
Beberapa hari kemudian, suasana di Akademi Ravencroft terasa lebih tegang dari biasanya, terutama bagi kelas pemula. Darrel telah menyelesaikan rutinitas pagi dan bergegas menuju lapangan tempat latihan fisik berlangsung. Hari ini adalah kelas praktek, di mana setiap murid diharuskan menjalani latihan fisik yang cukup berat. Lapangan luas yang dipenuhi debu telah siap menyambut para siswa dengan tantangan yang tak sedikit.Darrel memandang sekeliling, melihat teman-temannya, termasuk Lean, yang berdiri dengan wajah penuh kecemasan. Mereka tahu bahwa latihan fisik di bawah pengawasan Instruktur Sebastian bukanlah sesuatu yang bisa dianggap enteng. Selain latihan keras yang mereka jalani, ada satu hal lagi yang membuat mereka semakin takut: sifat kejam Sebastian.Instruktur Sebastian muncul di depan mereka dengan senyum sinisnya yang sudah dikenal oleh seluruh siswa. Dengan tangan di pinggang, ia memerintahkan murid-murid untuk mulai berlari mengelilingi lapangan sebanyak sepuluh putar
Di dalam kelas, terlihat beberapa siswa yang sudah duduk. Mereka semua terlihat biasa saja, dengan aura dan postur tubuh yang tidak mencerminkan bakat khusus. Salah satu dari mereka yang tampak sedikit berbeda adalah Lean Forc, teman sekamar Darrel di asrama. Pemuda berwajah culun itu tampak aneh melihat kesana kemari sambil menulis sesuatu di buku kecilnya. “Hallo,” sapa Darrel dengan senyum ramah, "Kau di kelas ini juga ya." Lean menoleh dengan sedikit kejutan, dia hanya mengangguk pelan. "Ya, kelas paling cocok untuk orang dengan bakat rendah sepertiku. Dan apa yang kau lakukan disini?" Darrel tertawa kecil, mengabaikan kerendahan hati Lean. "Tentu saja untuk belajar, memangnya apa lagi." Lean memandang Darrel dengan mata menyipit, "Bukannya nilaimu cukup bagus di atas rata-rata, kau bahkan mampu mengalahkan pemuda berbakat seperti Sanz, lantas mengapa kamu datang ke kelas paling rendah ini? Jangan bilang kau tersesat?" ucapnya. "Mana kutahu, aku mendapatkan perintah
Serangan itu mengenai pinggang kiri Sanz dengan akurat, membuatnya terpental jauh ke sisi arena. Tubuh Sanz menghantam dinding arena dengan keras, membuat retakan kecil di tembok. Suasana arena mendadak sunyi. Para penonton terkejut melihat pemandangan itu, terutama karena Darrel yang sejak awal tampak defensif, tiba-tiba mengalahkan Sanz dalam satu pukulan.Sanz terkapar di tanah, tak mampu bergerak. Darrel, yang masih berdiri dengan tenang di tengah arena, tak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Profesor Jack akhirnya menghampiri Sanz, memeriksa kondisinya sebelum mengumumkan hasil duel. "Pemenangnya, Darrel Van Bertrand!"Sorakan dan bisikan segera memenuhi arena. Tak ada yang menyangka bahwa Darrel, yang mencetak skor rata-rata dalam dua tahap ujian sebelumnya, bisa mengalahkan Sanz dengan begitu mudah. "Apa yang terjadi?""Tak mungkin? Bukannya dia memiliki skor poin rata-rata di tahap ujian pertama dan kedua, Mengapa Sanz kalah dari orang itu dengan skor keterampilan yang jauh
Sementara itu di kerumunan para siswa, Frey Han Rollock tentu merasa sedikit terkejut. Dia benar-benar tidak menduga Darrel akan memiliki skor poin rata-rata. Padahal dia masih mengingat dengan jelas kekalahannya waktu itu. Namun, dari hal tersebut Frey diam-diam tersenyum sinis tanpa alsan yang pasti."Apakah dia sedang bermain-main? Bagaimana jika aku diam-diam ikut campur," gumam Frey sambil tersenyum dingin.Biar bagaimanapun Frey sangat senang mengetahui skor Darrel lebih rendah dari apa yang dia miliki. Ini akan menjadi kesempatan untuknya membalas setelah dipermalukan waktu itu. Diam-diam Frey tersenyum jahat....Setelah semua peserta menyelesaikan tahap pertama dan kedua, ujian terakhir dimulai: duel satu lawan satu. Ini adalah bagian yang paling dinantikan oleh semua orang—kesempatan untuk membuktikan diri dalam pertarungan nyata.Arena duel terbentang luas di depan para siswa. Setiap pasangan akan dipilih secara acak untuk bertarung, dan mereka harus menggunakan semua yang
Di barisan depan, para profesor duduk di kursi khusus, mengamati para siswa baru dengan mata tajam. Para pendatang baru, seperti Darrel, berdiri berbaris dengan rapi. Ini adalah salah satu momen paling penting bagi setiap siswa yang memasuki akademi, karena hari ini akan menentukan posisi mereka sebagai siswa pendatang baru di akademi.Suasana aula yang semula ramai mulai mereda ketika seorang profesor berdiri dari kursinya. Dia adalah Profesor Jack Garland, sosok yang berwibawa dan anggun. Profesor Jack Garland, adalah salah satu guru hebat di akademi, juga merupakan seorang penyihir ternama di Akademi kekaisaran Ravencroft dan memiliki banyak prestasi tercatat yang diakui. Dengan suara berat dan karismatik, Profesor Garland mulai memberikan pengantar dan membuka upacara.“Selamat datang di Akademi Ravencroft,” ucap Profesor Garland, suaranya menggema di seluruh aula. “Kalian semua datang dari berbagai penjuru kekaisaran, membawa kebanggaan keluarga dan harapan masa depan kalian. N