Suasana kastil Van Bertrand yang tenang terganggu oleh derap kuda yang mendekat. Darrel, yang masih tertegun dalam pikirannya sendiri, segera tersadar ketika ia mendengar suara pelayan mengumumkan kedatangan tamu yang Darrel tak duga-duga.
"Yang Mulia Frey Han Rollock telah tiba!" seru pelayan itu dengan nada hormat, meski Darrel tahu betul bagaimana Frey tidak pernah menghormati siapa pun kecuali dirinya sendiri. Jantung Darrel berdegup kencang mendengar nama itu. Frey Han Rollock. Nama yang selalu membawa kenangan buruk bagi Darrel, sejak masa kecil mereka. Sebagai putra ketiga dari Duke Han Rollock, Frey telah menjadi momok bagi Darrel, memanfaatkan setiap kesempatan untuk merendahkan, mengejek, dan bahkan memukulinya ketika tidak ada yang melihat. Darrel menghela napas dalam, mencoba menenangkan diri. Dalam sekejap, pikiran tentang kekuatan Drakonis yang baru bangkit di dalam dirinya mulai mengusik. Seharusnya, dengan kekuatan itu, ia tidak lagi takut pada Frey, bukan? Namun, ada bagian dalam dirinya yang masih belum siap menghadapi pemuda kejam itu, terutama dengan semua perubahan yang baru saja dialaminya. Tak lama kemudian, pintu ruang utama terbuka lebar, dan Frey Han Rollock memasuki ruangan dengan angkuh. Sosoknya tinggi, gagah, dengan rambut pirang yang berkilau di bawah cahaya lilin. Namun, di balik penampilannya yang tampak sempurna, ada aura kejam yang selalu mengikuti ke mana pun ia pergi. Mata biru tajam Frey segera menemukan Darrel, dan senyum jahat muncul di wajahnya. "Darrel," katanya, mendekati dengan langkah lambat dan penuh kepastian. Suaranya mengandung ejekan yang begitu kentara. "Sudah lama sekali, ya? Aku hampir lupa bagaimana rupamu yang menyedihkan itu." Darrel tidak merespons. Ia berdiri di tempatnya, mencoba mempertahankan ketenangan meski hatinya berdegup kencang. Frey selalu tahu bagaimana menekan perasaan orang lain dengan kata-katanya. Frey berjalan semakin dekat, berhenti hanya beberapa langkah dari Darrel. "Kudengar, kau masih berkutat di kastil ini, seperti seekor anjing yang patuh, tak ada yang memperhatikan, dan tak ada yang peduli. Kau benar-benar menghabiskan hidupmu dengan sia-sia, Darrel. Bahkan keluarga besarmu pun tidak menganggapmu penting." Darrel merasakan amarah mendidih di dalam dirinya, tapi dia tetap diam. Ia tidak ingin memberikan kepuasan kepada Frey dengan bereaksi terhadap provokasi itu. Namun, Frey tidak berhenti. Dia terus mengejek, berjalan mengelilingi Darrel seperti seekor serigala yang siap menyerang mangsanya. "Kau masih sama saja, pengecut, tak berguna. Dan kau berani memanggil dirimu sebagai putra seorang Duke? Bahkan anjing jalanan punya lebih banyak kehormatan daripada dirimu." Darrel mengepalkan tinjunya, mencoba menahan dirinya. Tetapi ada sesuatu yang berbeda kali ini—sesuatu yang jauh lebih kuat daripada sekadar amarah. Dia bisa merasakan kekuatan Drakonis bergerak di dalam dirinya, seperti api yang merambat, membakar amarahnya. Gambaran sayap naga, kobaran api, dan raungan yang menggema di langit mulai memenuhi pikirannya. “Kau ingin berkelahi lagi, Darrel?” ejek Frey, memukul-mukul dada Darrel dengan ujung jarinya. “Kau ingat terakhir kali kita bertemu, bagaimana aku menghajarmu habis-habisan? Kau menangis seperti bayi, seperti anjing yang diseret di jalanan.” Kata-kata itu menghantam Darrel keras. Ingatan tentang bagaimana Frey dulu mempermalukannya di depan orang-orang mereka kembali membanjiri pikirannya. Ia merasa harga dirinya hancur berkeping-keping setiap kali ia membayangkan tawa Frey yang kejam. "Ayo, Darrel," Frey berkata lagi, nadanya semakin mengejek. "Mari kita lihat apakah kau masih pengecut yang sama. Aku menantangmu untuk berduel! Atau apakah kau akan lari seperti biasa, bersembunyi di bawah rok ibumu?" Kata-kata Frey menggema di benak Darrel, menggetarkan setiap serat amarah dalam dirinya. Tapi kali ini, Darrel tidak takut. Kekuatan baru yang ia rasakan sejak Drakonis bangkit di dalam dirinya mulai mengalir lebih deras, memberinya rasa percaya diri yang tidak pernah ia miliki sebelumnya. "Aku tidak akan lari," kata Darrel, suaranya rendah tapi tegas. Frey tersenyum, tampaknya tidak mengira bahwa Darrel akan menyahut dengan keyakinan. "Ah, akhirnya si pengecut berani bicara. Bagus sekali! Ini akan menyenangkan." Darrel menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan kobaran api yang mendidih di dalam dirinya. Dia tahu bahwa kekuatan Drakonis tidak boleh digunakan sembarangan, terutama dalam situasi yang penuh emosi seperti ini. Tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang ketakutan yang diciptakan oleh Frey. Hari ini, dia akan berdiri, menghadapi musuhnya, dan menunjukkan bahwa dia bukan lagi anak kecil yang bisa dihina dan dipermalukan. “Kau menantangku untuk duel, Frey?” tanya Darrel, matanya menatap lurus ke arah musuh lamanya itu. “Baik. Aku menerimanya.” Mata Frey melebar sesaat, tidak menyangka bahwa Darrel akan menyetujui tantangan itu. Namun, senyum licik segera kembali menghiasi wajahnya. "Bagus. Mari kita lakukan ini dengan cepat. Aku akan menghabisimu dalam sekejap, seperti biasa." Darrel mengangguk pelan, meskipun ada sesuatu yang berbeda kali ini. Dia tidak lagi merasa takut. Sebaliknya, ada rasa tenang yang menyelimuti dirinya, seperti angin sejuk yang datang sebelum badai besar. Di dalam hatinya, Darrel tahu bahwa ini bukan hanya tentang membuktikan sesuatu kepada Frey. Ini adalah langkah pertamanya untuk memahami dan mengendalikan kekuatan yang ada di dalam dirinya—kekuatan yang bisa mengubah segalanya. Sebelum duel dimulai, pelayan kastil segera dipanggil untuk menyaksikan pertempuran yang akan berlangsung di lapangan terbuka di luar kastil. Penduduk kastil dan para prajurit berkumpul, ingin melihat hasil dari pertarungan yang tak terelakkan ini. Mereka sudah lama mendengar tentang ketegangan antara Frey dan Darrel, dan kini mereka akan melihat apakah Darrel, yang selama ini dianggap lemah, mampu berdiri tegak melawan Frey yang kejam. Terik matahari menyinari selurih permukaan kastil, menciptakan suasana yang sempurna untuk duel yang akan segera dimulai. Di lapangan yang sunyi itu, Darrel berdiri berhadapan dengan Frey, dua pemuda dari dua keluarga bangsawan, siap bertarung demi harga diri mereka. Dan di dalam hati Darrel, api Drakonis mulai menyala, menunggu untuk dilepaskan pada waktu yang tepat.Matahari bersinar terang di atas menara kastil, menyisakan langit dengan awan putih dan langit biru. Di halaman luar Kastil Van Bertrand, Darrel berdiri tegap dengan tangan menggenggam gagang pedangnya. Di hadapannya, Frey Han Rollock sudah bersiap, wajahnya dipenuhi amarah dan kesombongan. Angin sore yang dingin menyapu tanah, mengangkat sedikit debu, seolah memulai sebuah pertarungan yang tak terhindarkan.“Ini akhir dari kesabaranmu, ya?” ejek Frey dengan tawa kecil. “Kau pikir bisa menantangku? Aku akan membuatmu menyesal sudah berani melawan.”Darrel tidak menjawab. Dia hanya menatap Frey, mencoba merasakan denyut kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya. Warisan Drakonis terasa hidup di bawah permukaan kulitnya, seperti api yang menunggu untuk dilepaskan. Namun, Darrel tahu, meskipun dia memiliki kekuatan naga dalam dirinya, dia tidak boleh bergantung sepenuhnya pada hal itu. Kekuatan sejati datang dari keseimbangan—dan untuk saat ini, dia harus fokus pada teknik dan strategi.Frey
Malam sudah larut ketika Darrel dipanggil ke ruang kerja ayahnya, Duke Davin Van Bertrand. Kastil yang biasanya dipenuhi aktivitas, kini sunyi. Hanya suara langkah-langkah sepatu Darrel yang terdengar menggema di sepanjang lorong istana, memantul di dinding tebal yang dingin. Di dadanya, Darrel merasakan kecemasan bercampur dengan sesuatu yang baru—sebuah rasa bangga akan kemampuannya dalam mengalahkan Frey. Namun, di balik itu semua, dia tahu ayahnya pasti sudah mendengar tentang duel tersebut, dan hal itu membuatnya sedikit khawatir.Pintu kayu besar yang menuju ke ruang kerja sang Duke terbuka dengan derit pelan. Darrel melangkah masuk, menemukan ayahnya duduk di belakang meja besar yang dipenuhi dokumen, lilin-lilin menerangi wajah tegas Duke Davin yang sudah berumur. Mata birunya yang dingin menatap lurus ke arah Darrel, penuh dengan kebijaksanaan dan kekuatan.“Darrel,” suara Duke Davin terdengar rendah namun penuh wibawa. “Kau tahu mengapa aku memanggilmu, bukan?”Darrel menun
Pagi itu, fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Darrel Van Bertrand dan pasukan elitnya berangkat menuju perbatasan timur. Di depan, Darrel menunggangi kudanya, dengan jubah keluarga Van Bertrand berkibar tertiup angin. Di sisinya, seorang kesatria berwajah tenang dengan tatapan tajam, Virgo Bastarian, mengiringinya. Virgo adalah seorang Sword Master, dikenal karena kehebatannya di medan perang dan kemampuannya yang luar biasa dalam seni berpedang. Kehadirannya memberikan sedikit rasa aman bagi Darrel, meski jantungnya masih berdebar kencang.Pasukan yang ia pimpin berjumlah seratus orang—prajurit elit yang terlatih dalam pertempuran, para pejuang terbaik yang dimiliki oleh keluarga Van Bertrand. Namun, meski memiliki kekuatan besar di bawah komandonya, Darrel tak bisa menghilangkan rasa gugup yang merayap dalam hatinya.Ini adalah pertama kalinya dia memimpin pasukan ke medan perang, dan ancaman yang dihadapi bukanlah musuh biasa. Orc dikenal brutal dan kejam, apalagi dalam jum
Keesokan harinya setelah pertempuran besar melawan gerombolan orc, Darrel Van Bertrand berdiri di atas bukit kecil di dekat desa yang telah mereka pertahankan. Angin pagi menyapu wajahnya, membawa aroma asap yang samar dan tanah yang basah oleh embun. Langit cerah, seolah-olah alam semesta sendiri tengah memberikan penghormatan atas kemenangan yang diraih pasukannya. Namun, meski kemenangan telah diraih, Darrel merasakan ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di dalam dirinya—sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa ia pahami.Di tangannya, Darrel menggenggam pedang yang digunakan dalam pertempuran. Kilauan baja pedang itu terpantul dari sinar matahari pagi, namun ada sesuatu yang berbeda. Pedangnya seakan-akan berdenyut dengan kekuatan yang baru, mengeluarkan aura samar berwarna biru yang bergetar di sekelilingnya. Ini adalah sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya, dan Darrel tahu, ini bukan hal biasa.Virgo Bastarian, yang berdiri di sampingnya, memandang fenomena itu denga
Malam mulai menyelimuti langit ketika Darrel Van Bertrand duduk sendirian di dalam tenda komandonya. Pertempuran melawan gerombolan orc telah berlalu, namun pikirannya masih dipenuhi dengan kekuatan baru yang dia rasakan. Sword Aura yang ia bangkitkan selama pertempuran adalah tanda dari sesuatu yang lebih besar dan lebih dalam, sesuatu yang tampaknya mengikatnya pada takdir yang tak terelakkan. Di tengah keheningan malam, Darrel memejamkan mata, mencoba memahami lebih lanjut kekuatan yang mengalir dalam dirinya.Saat dia menarik napas dalam-dalam, tiba-tiba rasa dingin yang aneh melingkupi tubuhnya. Udara di sekitar tenda terasa berubah, dan Darrel membuka matanya dengan waspada. Dalam sekejap, cahaya biru kehijauan mulai berpendar dari tubuhnya, membentuk lingkaran yang semakin lama semakin intens. Darrel tersentak, mencoba mengendalikan kekuatan itu, namun aliran energi itu tidak bisa dihentikan. Al hasil membawa kesadaranya ke dalam ruang lingkup kegelapan."Kau akhirnya siap
Dalam kegelapan malam, langit membentang luas di atas pegunungan Tethra, diterangi hanya oleh cahaya bintang-bintang. Di bawah langit yang tenang itu, kerajaan Drakonik berjaga dalam keheningan. Di tengah pusat kerajaan, berdiri sebuah kastil megah yang dipahat dari batu hitam, tempat Raja Naga, Drakonis, memerintah dengan bijaksana. Sebagai penguasa naga terakhir, ia memiliki kekuatan besar yang tak tertandingi di dunia manusia. Drakonis telah menjaga keseimbangan antara manusia dan makhluk magis selama berabad-abad. Namun, di malam itu, ketenangan hanya menjadi ilusi tipis. Sesuatu yang gelap, berbahaya, dan tidak terlihat sedang bersembunyi di balik tembok kastil. Jenderal Arkanis, salah satu panglima perang terpercaya Raja Naga, berjalan cepat melewati koridor batu yang dingin, matanya penuh tekad dan niat busuk. Dalam diam, ia menggenggam erat sebuah permata hitam, artefak kuno yang selama ini tersembunyi dari pandangan Drakonis. Raja Naga duduk di singgasananya, tubuhnya yang
Kerajaan Morph terletak di lembah hijau yang dikelilingi oleh pegunungan megah, tempat angin dingin selalu menyapu desa-desa kecil yang tersebar di sekitarnya. Di atas bukit tertinggi berdiri Kastil Bertrand, rumah bagi salah satu keluarga bangsawan terkuat di seluruh kerajaan. Keluarga Van Bertrand telah memerintah tanah ini selama beberapa generasi dengan kekuasaan dan kehormatan. Duke Davin Van Bertrand, penguasa saat ini, dikenal sebagai seorang pemimpin tegas dan adil, dengan dua putra yang cerdas dan seorang anak ketiga yang berbeda dari mereka semua. Darrel Van Bertrand, putra ketiga Duke, sedang berdiri di tepi balkon kamarnya, menatap ke cakrawala di kejauhan. Usianya baru menginjak lima belas tahun, namun beban kehidupan bangsawan sudah mulai terasa. Angin yang menerpa wajahnya membawa bau pinus dari hutan yang membentang jauh di luar kastil. Matanya yang biru cerah memandangi lembah di bawahnya dengan perasaan campur aduk—di sanalah kebebasan terletak, di balik hutan
Langit di atas Kastil Bertrand mulai gelap ketika Darrel Van Bertrand terbenam dalam buku kuno yang baru saja ditemukannya. Di balik halaman demi halaman yang dipenuhi dengan tulisan kuno dan simbol-simbol yang memusingkan, Darrel merasa seolah-olah dirinya ditarik ke dalam kisah yang berbeda—lebih tua dan lebih besar dari sekadar catatan sejarah manusia. Kisah tentang Drakonis, Sang Raja Naga, yang telah lama dilupakan oleh dunia manusia, kini tampak lebih nyata daripada apa pun yang pernah ia pelajari. Saat Darrel terus membaca, rasa dingin yang aneh menjalar melalui tubuhnya. Tulisan-tulisan dalam buku mulai terasa bukan hanya sebagai cerita belaka, tetapi sebuah panggilan, bisikan dari masa lalu yang mencoba mencapai pikirannya. “Drakonis,” Darrel berbisik, namanya terasa asing di lidah, namun penuh makna. Di saat yang sama, seseorang bergerak di balik bayang-bayang perpustakaan. Elara, sang pelayan yang telah melayani keluarga Van Bertrand selama bertahun-tahun, perlahan mende