Perpustakaan kastil yang gelap dan penuh debu terasa semakin sunyi setelah kekuatan yang dipanggil oleh Elara mulai surut. Getaran-getaran magis yang sebelumnya menyelimuti ruangan perlahan memudar, meninggalkan Darrel sendirian di lantai batu dingin. Tubuhnya gemetar hebat, jiwanya seakan terkoyak oleh kekuatan luar biasa yang baru saja terbangun di dalam dirinya.
Di sudut ruangan, Elara berdiri diam, tatapannya penuh dengan kepuasan yang tenang. Wajahnya yang biasanya lembut dan ramah kini tampak jauh lebih dingin, seolah-olah ada jarak yang tak terlihat antara dirinya dan dunia di sekelilingnya. Dia tahu tugasnya hampir selesai. Kekuatan yang telah disimpan di dalam tubuh Darrel selama bertahun-tahun telah dibangkitkan, dan sekarang, waktunya telah tiba baginya untuk kembali. “Elara…” Darrel berbisik, suaranya penuh kebingungan dan kelelahan. Ia berusaha bangkit, namun tubuhnya terasa begitu berat. “Apa yang kau lakukan padaku? Siapa kau… sebenarnya?” Elara memandangnya dengan senyum samar, seolah-olah ia sedang melihat seorang anak kecil yang baru saja belajar berjalan. "Kau sekarang mengerti, Tuan Darrel. Kau bukan hanya putra ketiga dari Duke Van Bertrand. Kau adalah warisan terakhir dari Drakonis, Raja Naga yang pernah menguasai dunia ini. Kekuatan itu sekarang mengalir dalam darahmu. Kau adalah titisan dari kehendaknya." Darrel merasa beban besar mulai menekan dirinya. Kenyataan tentang dirinya yang baru ini terasa begitu asing, begitu besar hingga dia tak tahu bagaimana harus menerimanya. Bagaimana mungkin seorang anak bangsawan biasa bisa menjadi penerus kekuatan yang begitu dahsyat? "Apa artinya ini? Apa yang harus kulakukan?" Darrel bertanya, mencoba memahami tujuan di balik semua ini. Dia mengingat kilatan ingatan yang muncul saat kekuatan Drakonis terbangun—pertempuran yang melibatkan api, naga raksasa, dan kehancuran dunia. Gambaran-gambaran itu begitu nyata, seolah-olah dia pernah hidup dalam masa-masa itu. Elara menundukkan kepalanya sedikit, matanya bersinar dengan kilatan magis yang samar. "Tugasmu belum selesai, Tuan. Kekuatan Drakonis masih perlu waktu untuk sepenuhnya terbangun dalam dirimu. Akan ada banyak musuh, banyak rintangan yang harus kau hadapi. Dunia ini berada di ambang kekacauan, dan hanya dengan kebangkitan kekuatan naga dalam dirimu, keseimbangan dapat dipulihkan." Seketika itu juga, Darrel merasa ketakutan. Beban dunia terasa menumpuk di bahunya. Dia hanyalah seorang remaja, bagaimana dia bisa menyelamatkan dunia yang bahkan belum sepenuhnya ia pahami? Namun, sebelum dia sempat berbicara lebih jauh, Elara melangkah mendekat, matanya yang kini tampak semakin jauh memandangnya dengan penuh kesadaran. "Tugasku sudah selesai, Tuan Darrel. Kehendak Drakonis telah dibangkitkan dalam dirimu, dan aku tidak lagi dibutuhkan." Darrel memandang Elara dengan kaget. “Apa maksudmu? Kau tidak bisa pergi! Aku… aku tidak tahu harus berbuat apa tanpa dirimu.” Elara menggelengkan kepala, suaranya lembut namun tegas. "Aku bukan manusia biasa, Tuan Darrel. Aku hanyalah manifestasi dari kehendak Drakonis, utusan yang diciptakan untuk membimbingmu menuju kebangkitan ini. Kini, saatnya bagiku untuk kembali kepada sumberku. Kau harus berjalan sendiri dari sini." Darrel menatapnya, tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi. Tapi ia bisa merasakan bahwa ini adalah akhir dari sesuatu—akhir dari kehadiran Elara yang selalu ada di sisinya selama bertahun-tahun sebagai pelayan keluarga. Tanpa Elara, Darrel merasa seperti kehilangan arah, meski kini ia mengerti bahwa nasibnya sudah terukir dalam sejarah kuno yang lebih besar dari dirinya. “Jangan pergi,” ucap Darrel, mencoba meraih Elara. Namun, Elara sudah melangkah mundur, senyum di wajahnya semakin memudar. Tubuhnya perlahan-lahan mulai berubah, kabur, seolah-olah dia mulai menyatu dengan udara di sekitarnya. Cahaya merah lembut bersinar di sekelilingnya, dan dalam sekejap, dia mulai menghilang ke dalam ketiadaan. "Saatnya telah tiba, Tuan Darrel. Temukan kekuatan dalam dirimu. Kau tidak sendirian—Drakonis selalu bersamamu." Suara Elara terdengar semakin pelan, dan sebelum Darrel bisa merespons, Elara menghilang sepenuhnya, meninggalkan ruangan itu dalam keheningan. Darrel berdiri sendirian di perpustakaan yang terasa jauh lebih besar dan sunyi dari sebelumnya. Tidak ada lagi kehadiran Elara yang familiar, tidak ada lagi suara yang membimbingnya. Hanya ada Darrel… dan kekuatan baru yang kini mengalir dalam darahnya. Dia terjatuh kembali ke kursinya, napasnya berat dan pikirannya kusut. Segala sesuatu yang dia percayai selama ini seolah-olah berubah dalam semalam. Kini, dia bukan hanya seorang bangsawan muda yang terasing dari keluarganya—dia adalah penerus dari Raja Naga, makhluk yang pernah menguasai dunia dengan kekuatan tak terbayangkan. Tetapi apa artinya itu bagi dirinya? Bagaimana dia bisa memahami kekuatan ini, atau menggunakannya? Darrel menutup matanya, mencoba menghubungkan dirinya dengan ingatan yang baru saja terbangkit. Gambaran-gambaran itu terus berdatangan—pemandangan perang, sayap naga raksasa, dan raungan naga yang menggema di langit. Darrel merasakan jantungnya berdegup kencang setiap kali ingatan itu datang, seolah-olah kekuatan besar di dalam dirinya menunggu untuk dilepaskan. Namun, bersama kekuatan itu, datang pula rasa takut yang mendalam. Darrel merasakan ada sesuatu yang mengintai di balik semua itu—sebuah kegelapan yang menyelimuti ingatan Drakonis. Naga itu tidak hanya penuh dengan kemuliaan dan kekuatan, tetapi juga dendam yang membara dan amarah yang belum terselesaikan. Sebagai penerusnya, Darrel tahu bahwa ia tidak hanya akan mewarisi kekuatan besar, tetapi juga tanggung jawab yang luar biasa berat. "Aku harus mengendalikan ini," bisik Darrel pada dirinya sendiri. "Aku tidak bisa membiarkan kekuatan ini menghancurkanku." Namun, bagaimana caranya? Bagaimana dia bisa memahami ingatan Drakonis tanpa tersesat dalam amarah dan dendam yang melingkupinya? Darrel tahu bahwa perjalanannya baru saja dimulai. Tidak ada lagi Elara untuk membimbingnya. Dia harus menemukan kekuatan dalam dirinya sendiri, memahami warisan yang telah dibangkitkan, dan menghadapi takdir yang menantinya. Kekuatan besar itu kini berada dalam dirinya, dan dunia di luar kastil ini akan segera mengetahui bahwa Sang Raja Naga telah bangkit kembali. Tapi untuk saat ini, Darrel hanya bisa duduk dalam kesendirian, mencoba memahami siapa dirinya sebenarnya—dan bagaimana dia bisa menghadapi apa yang akan datang.Suasana kastil Van Bertrand yang tenang terganggu oleh derap kuda yang mendekat. Darrel, yang masih tertegun dalam pikirannya sendiri, segera tersadar ketika ia mendengar suara pelayan mengumumkan kedatangan tamu yang Darrel tak duga-duga."Yang Mulia Frey Han Rollock telah tiba!" seru pelayan itu dengan nada hormat, meski Darrel tahu betul bagaimana Frey tidak pernah menghormati siapa pun kecuali dirinya sendiri.Jantung Darrel berdegup kencang mendengar nama itu. Frey Han Rollock. Nama yang selalu membawa kenangan buruk bagi Darrel, sejak masa kecil mereka. Sebagai putra ketiga dari Duke Han Rollock, Frey telah menjadi momok bagi Darrel, memanfaatkan setiap kesempatan untuk merendahkan, mengejek, dan bahkan memukulinya ketika tidak ada yang melihat.Darrel menghela napas dalam, mencoba menenangkan diri. Dalam sekejap, pikiran tentang kekuatan Drakonis yang baru bangkit di dalam dirinya mulai mengusik. Seharusnya, dengan kekuatan itu, ia tidak lagi takut pada Frey, bukan? Namun, ada
Matahari bersinar terang di atas menara kastil, menyisakan langit dengan awan putih dan langit biru. Di halaman luar Kastil Van Bertrand, Darrel berdiri tegap dengan tangan menggenggam gagang pedangnya. Di hadapannya, Frey Han Rollock sudah bersiap, wajahnya dipenuhi amarah dan kesombongan. Angin sore yang dingin menyapu tanah, mengangkat sedikit debu, seolah memulai sebuah pertarungan yang tak terhindarkan.“Ini akhir dari kesabaranmu, ya?” ejek Frey dengan tawa kecil. “Kau pikir bisa menantangku? Aku akan membuatmu menyesal sudah berani melawan.”Darrel tidak menjawab. Dia hanya menatap Frey, mencoba merasakan denyut kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya. Warisan Drakonis terasa hidup di bawah permukaan kulitnya, seperti api yang menunggu untuk dilepaskan. Namun, Darrel tahu, meskipun dia memiliki kekuatan naga dalam dirinya, dia tidak boleh bergantung sepenuhnya pada hal itu. Kekuatan sejati datang dari keseimbangan—dan untuk saat ini, dia harus fokus pada teknik dan strategi.Frey
Malam sudah larut ketika Darrel dipanggil ke ruang kerja ayahnya, Duke Davin Van Bertrand. Kastil yang biasanya dipenuhi aktivitas, kini sunyi. Hanya suara langkah-langkah sepatu Darrel yang terdengar menggema di sepanjang lorong istana, memantul di dinding tebal yang dingin. Di dadanya, Darrel merasakan kecemasan bercampur dengan sesuatu yang baru—sebuah rasa bangga akan kemampuannya dalam mengalahkan Frey. Namun, di balik itu semua, dia tahu ayahnya pasti sudah mendengar tentang duel tersebut, dan hal itu membuatnya sedikit khawatir.Pintu kayu besar yang menuju ke ruang kerja sang Duke terbuka dengan derit pelan. Darrel melangkah masuk, menemukan ayahnya duduk di belakang meja besar yang dipenuhi dokumen, lilin-lilin menerangi wajah tegas Duke Davin yang sudah berumur. Mata birunya yang dingin menatap lurus ke arah Darrel, penuh dengan kebijaksanaan dan kekuatan.“Darrel,” suara Duke Davin terdengar rendah namun penuh wibawa. “Kau tahu mengapa aku memanggilmu, bukan?”Darrel menun
Pagi itu, fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Darrel Van Bertrand dan pasukan elitnya berangkat menuju perbatasan timur. Di depan, Darrel menunggangi kudanya, dengan jubah keluarga Van Bertrand berkibar tertiup angin. Di sisinya, seorang kesatria berwajah tenang dengan tatapan tajam, Virgo Bastarian, mengiringinya. Virgo adalah seorang Sword Master, dikenal karena kehebatannya di medan perang dan kemampuannya yang luar biasa dalam seni berpedang. Kehadirannya memberikan sedikit rasa aman bagi Darrel, meski jantungnya masih berdebar kencang.Pasukan yang ia pimpin berjumlah seratus orang—prajurit elit yang terlatih dalam pertempuran, para pejuang terbaik yang dimiliki oleh keluarga Van Bertrand. Namun, meski memiliki kekuatan besar di bawah komandonya, Darrel tak bisa menghilangkan rasa gugup yang merayap dalam hatinya.Ini adalah pertama kalinya dia memimpin pasukan ke medan perang, dan ancaman yang dihadapi bukanlah musuh biasa. Orc dikenal brutal dan kejam, apalagi dalam jum
Keesokan harinya setelah pertempuran besar melawan gerombolan orc, Darrel Van Bertrand berdiri di atas bukit kecil di dekat desa yang telah mereka pertahankan. Angin pagi menyapu wajahnya, membawa aroma asap yang samar dan tanah yang basah oleh embun. Langit cerah, seolah-olah alam semesta sendiri tengah memberikan penghormatan atas kemenangan yang diraih pasukannya. Namun, meski kemenangan telah diraih, Darrel merasakan ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di dalam dirinya—sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa ia pahami.Di tangannya, Darrel menggenggam pedang yang digunakan dalam pertempuran. Kilauan baja pedang itu terpantul dari sinar matahari pagi, namun ada sesuatu yang berbeda. Pedangnya seakan-akan berdenyut dengan kekuatan yang baru, mengeluarkan aura samar berwarna biru yang bergetar di sekelilingnya. Ini adalah sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya, dan Darrel tahu, ini bukan hal biasa.Virgo Bastarian, yang berdiri di sampingnya, memandang fenomena itu denga
Malam mulai menyelimuti langit ketika Darrel Van Bertrand duduk sendirian di dalam tenda komandonya. Pertempuran melawan gerombolan orc telah berlalu, namun pikirannya masih dipenuhi dengan kekuatan baru yang dia rasakan. Sword Aura yang ia bangkitkan selama pertempuran adalah tanda dari sesuatu yang lebih besar dan lebih dalam, sesuatu yang tampaknya mengikatnya pada takdir yang tak terelakkan. Di tengah keheningan malam, Darrel memejamkan mata, mencoba memahami lebih lanjut kekuatan yang mengalir dalam dirinya.Saat dia menarik napas dalam-dalam, tiba-tiba rasa dingin yang aneh melingkupi tubuhnya. Udara di sekitar tenda terasa berubah, dan Darrel membuka matanya dengan waspada. Dalam sekejap, cahaya biru kehijauan mulai berpendar dari tubuhnya, membentuk lingkaran yang semakin lama semakin intens. Darrel tersentak, mencoba mengendalikan kekuatan itu, namun aliran energi itu tidak bisa dihentikan. Al hasil membawa kesadaranya ke dalam ruang lingkup kegelapan."Kau akhirnya siap
Dalam kegelapan malam, langit membentang luas di atas pegunungan Tethra, diterangi hanya oleh cahaya bintang-bintang. Di bawah langit yang tenang itu, kerajaan Drakonik berjaga dalam keheningan. Di tengah pusat kerajaan, berdiri sebuah kastil megah yang dipahat dari batu hitam, tempat Raja Naga, Drakonis, memerintah dengan bijaksana. Sebagai penguasa naga terakhir, ia memiliki kekuatan besar yang tak tertandingi di dunia manusia. Drakonis telah menjaga keseimbangan antara manusia dan makhluk magis selama berabad-abad. Namun, di malam itu, ketenangan hanya menjadi ilusi tipis. Sesuatu yang gelap, berbahaya, dan tidak terlihat sedang bersembunyi di balik tembok kastil. Jenderal Arkanis, salah satu panglima perang terpercaya Raja Naga, berjalan cepat melewati koridor batu yang dingin, matanya penuh tekad dan niat busuk. Dalam diam, ia menggenggam erat sebuah permata hitam, artefak kuno yang selama ini tersembunyi dari pandangan Drakonis. Raja Naga duduk di singgasananya, tubuhnya yang
Kerajaan Morph terletak di lembah hijau yang dikelilingi oleh pegunungan megah, tempat angin dingin selalu menyapu desa-desa kecil yang tersebar di sekitarnya. Di atas bukit tertinggi berdiri Kastil Bertrand, rumah bagi salah satu keluarga bangsawan terkuat di seluruh kerajaan. Keluarga Van Bertrand telah memerintah tanah ini selama beberapa generasi dengan kekuasaan dan kehormatan. Duke Davin Van Bertrand, penguasa saat ini, dikenal sebagai seorang pemimpin tegas dan adil, dengan dua putra yang cerdas dan seorang anak ketiga yang berbeda dari mereka semua. Darrel Van Bertrand, putra ketiga Duke, sedang berdiri di tepi balkon kamarnya, menatap ke cakrawala di kejauhan. Usianya baru menginjak lima belas tahun, namun beban kehidupan bangsawan sudah mulai terasa. Angin yang menerpa wajahnya membawa bau pinus dari hutan yang membentang jauh di luar kastil. Matanya yang biru cerah memandangi lembah di bawahnya dengan perasaan campur aduk—di sanalah kebebasan terletak, di balik hutan