Perpustakaan kastil yang gelap dan penuh debu terasa semakin sunyi setelah kekuatan yang dipanggil oleh Elara mulai surut. Getaran-getaran magis yang sebelumnya menyelimuti ruangan perlahan memudar, meninggalkan Darrel sendirian di lantai batu dingin. Tubuhnya gemetar hebat, jiwanya seakan terkoyak oleh kekuatan luar biasa yang baru saja terbangun di dalam dirinya.
Di sudut ruangan, Elara berdiri diam, tatapannya penuh dengan kepuasan yang tenang. Wajahnya yang biasanya lembut dan ramah kini tampak jauh lebih dingin, seolah-olah ada jarak yang tak terlihat antara dirinya dan dunia di sekelilingnya. Dia tahu tugasnya hampir selesai. Kekuatan yang telah disimpan di dalam tubuh Darrel selama bertahun-tahun telah dibangkitkan, dan sekarang, waktunya telah tiba baginya untuk kembali. “Elara…” Darrel berbisik, suaranya penuh kebingungan dan kelelahan. Ia berusaha bangkit, namun tubuhnya terasa begitu berat. “Apa yang kau lakukan padaku? Siapa kau… sebenarnya?” Elara memandangnya dengan senyum samar, seolah-olah ia sedang melihat seorang anak kecil yang baru saja belajar berjalan. "Kau sekarang mengerti, Tuan Darrel. Kau bukan hanya putra ketiga dari Duke Van Bertrand. Kau adalah warisan terakhir dari Drakonis, Raja Naga yang pernah menguasai dunia ini. Kekuatan itu sekarang mengalir dalam darahmu. Kau adalah titisan dari kehendaknya." Darrel merasa beban besar mulai menekan dirinya. Kenyataan tentang dirinya yang baru ini terasa begitu asing, begitu besar hingga dia tak tahu bagaimana harus menerimanya. Bagaimana mungkin seorang anak bangsawan biasa bisa menjadi penerus kekuatan yang begitu dahsyat? "Apa artinya ini? Apa yang harus kulakukan?" Darrel bertanya, mencoba memahami tujuan di balik semua ini. Dia mengingat kilatan ingatan yang muncul saat kekuatan Drakonis terbangun—pertempuran yang melibatkan api, naga raksasa, dan kehancuran dunia. Gambaran-gambaran itu begitu nyata, seolah-olah dia pernah hidup dalam masa-masa itu. Elara menundukkan kepalanya sedikit, matanya bersinar dengan kilatan magis yang samar. "Tugasmu belum selesai, Tuan. Kekuatan Drakonis masih perlu waktu untuk sepenuhnya terbangun dalam dirimu. Akan ada banyak musuh, banyak rintangan yang harus kau hadapi. Dunia ini berada di ambang kekacauan, dan hanya dengan kebangkitan kekuatan naga dalam dirimu, keseimbangan dapat dipulihkan." Seketika itu juga, Darrel merasa ketakutan. Beban dunia terasa menumpuk di bahunya. Dia hanyalah seorang remaja, bagaimana dia bisa menyelamatkan dunia yang bahkan belum sepenuhnya ia pahami? Namun, sebelum dia sempat berbicara lebih jauh, Elara melangkah mendekat, matanya yang kini tampak semakin jauh memandangnya dengan penuh kesadaran. "Tugasku sudah selesai, Tuan Darrel. Kehendak Drakonis telah dibangkitkan dalam dirimu, dan aku tidak lagi dibutuhkan." Darrel memandang Elara dengan kaget. “Apa maksudmu? Kau tidak bisa pergi! Aku… aku tidak tahu harus berbuat apa tanpa dirimu.” Elara menggelengkan kepala, suaranya lembut namun tegas. "Aku bukan manusia biasa, Tuan Darrel. Aku hanyalah manifestasi dari kehendak Drakonis, utusan yang diciptakan untuk membimbingmu menuju kebangkitan ini. Kini, saatnya bagiku untuk kembali kepada sumberku. Kau harus berjalan sendiri dari sini." Darrel menatapnya, tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi. Tapi ia bisa merasakan bahwa ini adalah akhir dari sesuatu—akhir dari kehadiran Elara yang selalu ada di sisinya selama bertahun-tahun sebagai pelayan keluarga. Tanpa Elara, Darrel merasa seperti kehilangan arah, meski kini ia mengerti bahwa nasibnya sudah terukir dalam sejarah kuno yang lebih besar dari dirinya. “Jangan pergi,” ucap Darrel, mencoba meraih Elara. Namun, Elara sudah melangkah mundur, senyum di wajahnya semakin memudar. Tubuhnya perlahan-lahan mulai berubah, kabur, seolah-olah dia mulai menyatu dengan udara di sekitarnya. Cahaya merah lembut bersinar di sekelilingnya, dan dalam sekejap, dia mulai menghilang ke dalam ketiadaan. "Saatnya telah tiba, Tuan Darrel. Temukan kekuatan dalam dirimu. Kau tidak sendirian—Drakonis selalu bersamamu." Suara Elara terdengar semakin pelan, dan sebelum Darrel bisa merespons, Elara menghilang sepenuhnya, meninggalkan ruangan itu dalam keheningan. Darrel berdiri sendirian di perpustakaan yang terasa jauh lebih besar dan sunyi dari sebelumnya. Tidak ada lagi kehadiran Elara yang familiar, tidak ada lagi suara yang membimbingnya. Hanya ada Darrel… dan kekuatan baru yang kini mengalir dalam darahnya. Dia terjatuh kembali ke kursinya, napasnya berat dan pikirannya kusut. Segala sesuatu yang dia percayai selama ini seolah-olah berubah dalam semalam. Kini, dia bukan hanya seorang bangsawan muda yang terasing dari keluarganya—dia adalah penerus dari Raja Naga, makhluk yang pernah menguasai dunia dengan kekuatan tak terbayangkan. Tetapi apa artinya itu bagi dirinya? Bagaimana dia bisa memahami kekuatan ini, atau menggunakannya? Darrel menutup matanya, mencoba menghubungkan dirinya dengan ingatan yang baru saja terbangkit. Gambaran-gambaran itu terus berdatangan—pemandangan perang, sayap naga raksasa, dan raungan naga yang menggema di langit. Darrel merasakan jantungnya berdegup kencang setiap kali ingatan itu datang, seolah-olah kekuatan besar di dalam dirinya menunggu untuk dilepaskan. Namun, bersama kekuatan itu, datang pula rasa takut yang mendalam. Darrel merasakan ada sesuatu yang mengintai di balik semua itu—sebuah kegelapan yang menyelimuti ingatan Drakonis. Naga itu tidak hanya penuh dengan kemuliaan dan kekuatan, tetapi juga dendam yang membara dan amarah yang belum terselesaikan. Sebagai penerusnya, Darrel tahu bahwa ia tidak hanya akan mewarisi kekuatan besar, tetapi juga tanggung jawab yang luar biasa berat. "Aku harus mengendalikan ini," bisik Darrel pada dirinya sendiri. "Aku tidak bisa membiarkan kekuatan ini menghancurkanku." Namun, bagaimana caranya? Bagaimana dia bisa memahami ingatan Drakonis tanpa tersesat dalam amarah dan dendam yang melingkupinya? Darrel tahu bahwa perjalanannya baru saja dimulai. Tidak ada lagi Elara untuk membimbingnya. Dia harus menemukan kekuatan dalam dirinya sendiri, memahami warisan yang telah dibangkitkan, dan menghadapi takdir yang menantinya. Kekuatan besar itu kini berada dalam dirinya, dan dunia di luar kastil ini akan segera mengetahui bahwa Sang Raja Naga telah bangkit kembali. Tapi untuk saat ini, Darrel hanya bisa duduk dalam kesendirian, mencoba memahami siapa dirinya sebenarnya—dan bagaimana dia bisa menghadapi apa yang akan datang.Suasana kastil Van Bertrand yang tenang terganggu oleh derap kuda yang mendekat. Darrel, yang masih tertegun dalam pikirannya sendiri, segera tersadar ketika ia mendengar suara pelayan mengumumkan kedatangan tamu yang Darrel tak duga-duga."Yang Mulia Frey Han Rollock telah tiba!" seru pelayan itu dengan nada hormat, meski Darrel tahu betul bagaimana Frey tidak pernah menghormati siapa pun kecuali dirinya sendiri.Jantung Darrel berdegup kencang mendengar nama itu. Frey Han Rollock. Nama yang selalu membawa kenangan buruk bagi Darrel, sejak masa kecil mereka. Sebagai putra ketiga dari Duke Han Rollock, Frey telah menjadi momok bagi Darrel, memanfaatkan setiap kesempatan untuk merendahkan, mengejek, dan bahkan memukulinya ketika tidak ada yang melihat.Darrel menghela napas dalam, mencoba menenangkan diri. Dalam sekejap, pikiran tentang kekuatan Drakonis yang baru bangkit di dalam dirinya mulai mengusik. Seharusnya, dengan kekuatan itu, ia tidak lagi takut pada Frey, bukan? Namun, ada
Matahari bersinar terang di atas menara kastil, menyisakan langit dengan awan putih dan langit biru. Di halaman luar Kastil Van Bertrand, Darrel berdiri tegap dengan tangan menggenggam gagang pedangnya. Di hadapannya, Frey Han Rollock sudah bersiap, wajahnya dipenuhi amarah dan kesombongan. Angin sore yang dingin menyapu tanah, mengangkat sedikit debu, seolah memulai sebuah pertarungan yang tak terhindarkan.“Ini akhir dari kesabaranmu, ya?” ejek Frey dengan tawa kecil. “Kau pikir bisa menantangku? Aku akan membuatmu menyesal sudah berani melawan.”Darrel tidak menjawab. Dia hanya menatap Frey, mencoba merasakan denyut kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya. Warisan Drakonis terasa hidup di bawah permukaan kulitnya, seperti api yang menunggu untuk dilepaskan. Namun, Darrel tahu, meskipun dia memiliki kekuatan naga dalam dirinya, dia tidak boleh bergantung sepenuhnya pada hal itu. Kekuatan sejati datang dari keseimbangan—dan untuk saat ini, dia harus fokus pada teknik dan strategi.Frey
Malam sudah larut ketika Darrel dipanggil ke ruang kerja ayahnya, Duke Davin Van Bertrand. Kastil yang biasanya dipenuhi aktivitas, kini sunyi. Hanya suara langkah-langkah sepatu Darrel yang terdengar menggema di sepanjang lorong istana, memantul di dinding tebal yang dingin. Di dadanya, Darrel merasakan kecemasan bercampur dengan sesuatu yang baru—sebuah rasa bangga akan kemampuannya dalam mengalahkan Frey. Namun, di balik itu semua, dia tahu ayahnya pasti sudah mendengar tentang duel tersebut, dan hal itu membuatnya sedikit khawatir. Pintu kayu besar yang menuju ke ruang kerja sang Duke terbuka dengan derit pelan. Darrel melangkah masuk, menemukan ayahnya duduk di belakang meja besar yang dipenuhi dokumen, lilin-lilin menerangi wajah tegas Duke Davin yang sudah berumur. Mata birunya yang dingin menatap lurus ke arah Darrel, penuh dengan kebijaksanaan dan kekuatan. “Darrel,” suara Duke Davin terdengar rendah namun penuh wibawa. “Kau tahu mengapa aku memanggilmu, bukan?” Darre
Pagi itu, fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Darrel Van Bertrand dan pasukan elitnya berangkat menuju perbatasan timur. Di depan, Darrel menunggangi kudanya, dengan jubah keluarga Van Bertrand berkibar tertiup angin. Di sisinya, seorang kesatria berwajah tenang dengan tatapan tajam, Virgo Bastarian, mengiringinya. Virgo adalah seorang Sword Master, dikenal karena kehebatannya di medan perang dan kemampuannya yang luar biasa dalam seni berpedang. Kehadirannya memberikan sedikit rasa aman bagi Darrel, meski jantungnya masih berdebar kencang.Pasukan yang ia pimpin berjumlah seratus orang—prajurit elit yang terlatih dalam pertempuran, para pejuang terbaik yang dimiliki oleh keluarga Van Bertrand. Namun, meski memiliki kekuatan besar di bawah komandonya, Darrel tak bisa menghilangkan rasa gugup yang merayap dalam hatinya.Ini adalah pertama kalinya dia memimpin pasukan ke medan perang, dan ancaman yang dihadapi bukanlah musuh biasa. Orc dikenal brutal dan kejam, apalagi dalam jum
Keesokan harinya setelah pertempuran besar melawan gerombolan orc, Darrel Van Bertrand berdiri di atas bukit kecil di dekat desa yang telah mereka pertahankan. Angin pagi menyapu wajahnya, membawa aroma asap yang samar dan tanah yang basah oleh embun. Langit cerah, seolah-olah alam semesta sendiri tengah memberikan penghormatan atas kemenangan yang diraih pasukannya. Namun, meski kemenangan telah diraih, Darrel merasakan ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di dalam dirinya—sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa ia pahami.Di tangannya, Darrel menggenggam pedang yang digunakan dalam pertempuran. Kilauan baja pedang itu terpantul dari sinar matahari pagi, namun ada sesuatu yang berbeda. Pedangnya seakan-akan berdenyut dengan kekuatan yang baru, mengeluarkan aura samar berwarna biru yang bergetar di sekelilingnya. Ini adalah sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya, dan Darrel tahu, ini bukan hal biasa.Virgo Bastarian, yang berdiri di sampingnya, memandang fenomena itu denga
Malam mulai menyelimuti langit ketika Darrel Van Bertrand duduk sendirian di dalam tenda komandonya. Pertempuran melawan gerombolan orc telah berlalu, namun pikirannya masih dipenuhi dengan kekuatan baru yang dia rasakan. Sword Aura yang ia bangkitkan selama pertempuran adalah tanda dari sesuatu yang lebih besar dan lebih dalam, sesuatu yang tampaknya mengikatnya pada takdir yang tak terelakkan. Di tengah keheningan malam, Darrel memejamkan mata, mencoba memahami lebih lanjut kekuatan yang mengalir dalam dirinya.Saat dia menarik napas dalam-dalam, tiba-tiba rasa dingin yang aneh melingkupi tubuhnya. Udara di sekitar tenda terasa berubah, dan Darrel membuka matanya dengan waspada. Dalam sekejap, cahaya biru kehijauan mulai berpendar dari tubuhnya, membentuk lingkaran yang semakin lama semakin intens. Darrel tersentak, mencoba mengendalikan kekuatan itu, namun aliran energi itu tidak bisa dihentikan. Al hasil membawa kesadaranya ke dalam ruang lingkup kegelapan."Kau akhirnya siap
Malam yang sunyi tiba-tiba terpecah oleh raungan keras yang menggema di seluruh perkemahan. Darrel Van Bertrand, yang tengah beristirahat di dalam tendanya, segera tersentak bangun. Jeritan pasukan dan suara logam yang berdentang membuatnya mengerti dengan cepat bahwa sesuatu yang buruk tengah terjadi.Darrel melompat dari tempat tidurnya, mengenakan baju besi secepat mungkin. Di luar tenda, suasana kacau. Tentara-tentara yang tadinya beristirahat kini berlarian mencari senjata mereka, sementara beberapa sudah terlibat dalam pertempuran sengit dengan musuh yang baru saja muncul.“Orc!” Teriak seorang prajurit dari kejauhan. “Mereka datang lagi!”Darrel keluar dari tendanya dan melihat situasi yang lebih buruk dari yang dia bayangkan. Di kejauhan, gelombang besar orc menyerbu perkemahan, jumlah mereka jauh lebih banyak daripada yang ditemui sebelumnya. Kali ini, mereka tidak hanya datang dalam kelompok kecil, tetapi dalam pasukan besar yang dipimpin oleh para Magician orc yang tampakny
Langit di atas medan perang memerah, seolah darah yang tumpah di tanah juga mencemari angkasa. Pasukan Duke Van Bertrand yang awalnya mendominasi medan pertempuran kini bersiap untuk merayakan kemenangan mereka. Suara tabuhan genderang dan gemuruh pertempuran mulai mereda ketika orc terakhir di garis depan jatuh oleh pedang prajurit.Darrel berdiri di tengah medan, pedangnya berlumuran darah orc, napasnya terengah-engah. Prajurit-prajurit di sekitarnya, meskipun lelah, mulai tersenyum. "Kita menang!" teriak salah satu prajurit, diikuti sorakan dari pasukan lainnya. Darrel tidak tersenyum. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, firasat buruk yang menghantuinya sejak awal pertempuran ini.Di kejauhan, dari balik kabut yang mulai menyelimuti medan perang, terdengar suara aneh, suara yang tak menyerupai seruan orc atau makhluk lainnya. Suara itu berat dan misterius, seperti bisikan kegelapan yang merangkak dari dasar bumi.Tiba-tiba, salah satu prajurit di barisan depan berhenti bersora
Medan perang semakin kacau setelah kemunculan Demon Lord Luciferos. Kabut hitam pekat yang menyelimuti wilayah Redthorn kini meluas, menyebar perlahan ke seluruh penjuru medan tempur, menyebarkan aroma busuk yang membuat siapa pun merasa mual.Di tengah suasana mencekam itu, barisan pasukan iblis terus muncul dari dalam hutan. Mereka berbaris dengan rapi, dipimpin oleh para jenderal iblis yang memiliki tampilan ganas dan mengintimidasi. Salah satu jenderal, sosok tinggi besar dengan kulit merah pekat dan pedang raksasa di punggungnya, tertawa keras."Haha! Lihat wajah ketakutan mereka! Pasukan elf sudah kehilangan nyali!" teriaknya, suaranya menggema di antara gemuruh langkah pasukan.Para prajurit elf semakin tertekan. Banyak di antara mereka yang jatuh berlutut, kehilangan semangat bertempur. Beberapa bahkan mulai menangis, membayangkan kematian yang tak terelakkan.Namun, dari kejauhan, terdengar suara terompet perang. Derap langkah ribuan pasukan bergema, menggetarkan tanah. Dari
Di medan perang yang porak-poranda, kekuatan luar biasa terpancar dari tubuh Darrel yang kini bertransformasi menjadi sesuatu yang hampir tak bisa dikenali. Sisik-sisik hitam keemasan membalut tubuhnya, membentuk armor kokoh yang memancarkan aura mengancam. Kedua tangannya berubah menjadi cakar tajam, seperti lengan seekor naga, sementara matanya bersinar keemasan, memancarkan tatapan dingin yang menusuk jiwa siapa pun yang melihatnya.Barrak tertegun, masih memegangi luka di perutnya yang tidak kunjung sembuh. Darah hitam pekat mengalir deras, namun luka itu bukan yang membuatnya gentar. Kekuatan yang terpancar dari Darrel memunculkan kenangan yang sudah lama terkubur dalam benaknya—bayangan sosok raksasa bermata emas, dengan suara yang menggema seperti guntur di atas langit yang kosong."Iblis. Beraninya makhluk menjijikkan seperti kalian menginjakkan kaki di duniaku."Suara berat nan agung itu terngiang kembali di kepala Barrak, membuat tubuhnya bergetar. Ia memandang Darrel den
Medan perang adalah neraka. Jeritan prajurit dan raungan iblis terus menggema, sementara darah mengalir seperti sungai di atas tanah, menghiasi tanah tandus itu, sementara tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan, menjadi saksi bisu betapa brutalnya pertarungan yang berlangsung.Di tengah kekacauan, Jenderal Leonor berdiri dengan pedang yang meneteskan darah. Napasnya memburu, tapi matanya tetap memancarkan determinasi. Armor peraknya berkilauan, memantulkan sinar matahari yang memudar di balik awan gelap. Ia baru saja berhasil menumbangkan golem iblis raksasa dengan bantuan para penyihir elf dan Darrel. Namun, senyum kepuasan tak sempat menghiasi wajahnya."Sial! Mereka tidak kenal lelah!" seru Leonor seraya menebaskan pedangnya ke arah iblis yang mendekat. "Seolah mereka tak peduli dengan nyawa mereka sendiri!"Seorang penyihir elf, Mariel, mengangguk dengan wajah pucat. "Pasukan iblis ini seperti dipacu oleh sesuatu yang lebih besar, Jenderal. Ada kekuatan yang tidak biasa mempenga
"Sial! Bedebah itu berhasil kabur," gerutu Delphira dengan napas terengah-engah, memandangi sosok berjubah hitam yang berlari menghilang ke kedalaman hutan lebat.Angin malam menyapu wajahnya yang sedikit di aliri keringat. Matanya menyipit, mencoba menembus gelapnya hutan, memastikan lawannya benar-benar pergi. Tubuhnya terasa agak letih, tenaga dalamnya terkuras setelah bertarung melawan sosok misterius itu. Ia menoleh ke arah luka kecil di lengannya, darah masih menetes perlahan."Kalau dia benar-benar bertarung sampai mati, aku mungkin harus siap kehilangan satu lemgan atau luka besar," gumamnya seraya mengusap keringat di dahinya. Meski berhasil memaksa lawannya mundur, ia tahu bahwa pertempuran tadi hampir berakhir buruk baginya.Delphira menarik napas panjang, mengatur dirinya sebelum melangkah mundur menuju tepi jurang. Dengan gerakan lincah, ia melompat ke udara. Seketika seekor elang raksasa dengan bulu keemasan menyambarnya, membawa tubuhnya melesat tinggi ke langit....S
Medan perang itu bergetar hebat saat golem raksasa hendak mengangkat tangannya yang besar dan dipenuhi bebatuan keras, mencoba menghantam barisan prajurit elf yang ketakutan. Sebuah dentuman keras terdengar, seakan seluruh tanah itu akan terbelah. Namun, saat tangan golem yang besar hendak mendaratkan pukulan, tiba-tiba tangan itu terpotong menjadi dua bagian."Sssrreeettttt!"Sebuah suara tajam terdengar, dan gumpalan batu besar yang mengelilingi lengan golem terjatuh berantakan ke tanah, menciptakan percikan batu yang menyebar di sekitar medan perang.Para prajurit elf dan penyihir yang sebelumnya tampak terkejut dan takut, kini terdiam, kebingungan dan tak percaya. "Apa yang terjadi? Tangan golem itu... terputus?!" teriak salah satu prajurit dengan nada penuh keheranan.Di tengah kebingungannya, mereka melihat seorang pemuda muncul entah dari mana, melompat tinggi di udara, langsung menerjang golem itu dengan keberanian yang luar biasa. Pedangnya yang terhunus bersinar dingin, mem
Hamparan tanah tandus di hutan Redthorn kini berubah menjadi medan perang yang mencekam. Tanah retak, langit kelabu, dan udara berat oleh aroma busuk iblis yang bercampur dengan debu. Kabut hitam pekat mengambang, seolah menjadi tirai yang menutupi kekacauan di tempat itu.Di kejauhan, pasukan Kerajaan Moondale yang baru tiba melangkah dengan megah. Pancaran cahaya perak dari armor mereka memantulkan sinar matahari yang samar, menciptakan kilauan di tengah kegelapan. Bendera kerajaan berkibar di tengah angin, simbol dari sebuah pohon raksasa yang persis mencerminkan Tree Of Wisdom, mengingatkan setiap prajurit pada tekad dan harapan untuk bangkit meskipun menghadapi kehancuran.Seorang prajurit elf muda, wajahnya penuh luka dan darah, mendekati Jenderal Leonor. "Jenderal, pasukan utama telah tiba," katanya dengan nada lega, tetapi suaranya gemetar oleh kelelahan.Jenderal Leonor, pria paruh baya dengan wajah tegas dan sorot mata tajam, memandangnya sekilas. "Bagaimana situasi di si
Butiran kerikil dan debu beterbangan dari ledakan itu, menciptakan kepulan asap pekat di atas tanah yang porak-prannda."Ugh..." Vindel terhuyung keluar dari asap, tubuhnya penuh luka dan darah mengalir deras dari bahu kirinya. Ledakan tadi memang tidak langsung membunuhnya, tetapi cukup untuk membuatnya kehilangan banyak tenaga."Oh? Keras kepala sekali kau, Nak," sosok berjubah hitam berkata dengan senyum mengejek. Matanya yang bersinar dingin menyipit, menunjukkan penghinaan yang mendalam.Vindel, meskipun terluka parah, tetap berusaha tegak. Tangannya gemetar ketika ia meraih busurnya lagi. Namun, ia tahu serangan berikutnya tidak akan memberinya kesempatan untuk bertahan. Pikiran Vindel berpacu, mencoba mencari jalan keluar.‘Aku belum boleh mati di sini,’ pikirnya. Vindel mengingat kembali tugasnya untuk menyampaikan permintaan bala bantuan ke suku pedalaman Great Forest belum selesai. Jika ia gagal, Kerajaan Moondale akan kehilangan sekutunya dalam perang melawan ras iblis.Sos
Bab 85: Bayang-Bayang di Ujung JurangDi sisi lain Negeri Elf, Vindel terus memacu rusa seukuran kuda yang ditungganginya melewati hutan yang semakin gelap. Bayang-bayang pepohonan raksasa diiringi suara lolongan serigala mengiringi setiap langkahnya. Vindel menghela napas panjang, satu tangannya menggenggam busur, sementara tangan lainnya bersiap dengan anak panah yang membidik ke arah serigala hitam."Binatang sihir ini seperti tidak ada habisnya!" gerutunya sambil memutar tubuh, memanah kawanan serigala hitam yang mengejarnya.Anak panahnya melesat, menancap di tubuh beberapa serigala. Tubuh mereka meledak menjadi debu hitam, tetapi kawanan di belakangnya tampak tidak gentar sedikit pun."Brengsek, jumlah mereka lebih banyak dari yang kuduga!" Vindel berdecak kesal. Wajahnya yang biasanya santai kini semakin serius, matanya memantulkan tekad kuat untuk bertahan hidup.Ia mengerahkan ennerginya pada anak panah yang mulai berkilau, melesat dengan kecepatan luar biasa hingga menimbu
Jauh di tengah kegelapan kastil yang megah namun menyeramkan, seorang pria bersiluet hitam duduk di atas singgasana besar, diselimuti bayang-bayang yang hampir sepenuhnya menyembunyikan sosoknya. Matanya yang berkilau ungu gelap menembus kegelapan, memancarkan aura dingin yang mencekam."Jadi, mereka akhirnya bergerak, ya?" ucapnya, suara beratnya bergema, memecah keheningan.Di hadapannya, seorang pria bertudung hitam berlutut dengan sikap hormat. "Benar, Tuan. Pasukan iblis telah bergerak, setengah dari mereka kini bergerak di perbatasan negeri Elf. Dari informasi terakhir kami, Raja Iblis kemungkinan akan menunjukkan dirinya dalam waktu dekat."Sosok di singgasana menyandarkan kepalanya dengan santai, seolah menikmati laporan itu. Sebuah tawa kecil keluar dari bibirnya. "Bagus. Itu berarti saat kita untuk bergerak sudah hampir tiba. Pastikan tidak ada informasi yang bocor ke negeri manusia. Semua jalur komunikasi harus diputuskan. Aku ingin kekacauan ini tetap terisolasi di tanah E