Kerajaan Morph terletak di lembah hijau yang dikelilingi oleh pegunungan megah, tempat angin dingin selalu menyapu desa-desa kecil yang tersebar di sekitarnya.
Di atas bukit tertinggi berdiri Kastil Bertrand, rumah bagi salah satu keluarga bangsawan terkuat di seluruh kerajaan. Keluarga Van Bertrand telah memerintah tanah ini selama beberapa generasi dengan kekuasaan dan kehormatan. Duke Davin Van Bertrand, penguasa saat ini, dikenal sebagai seorang pemimpin tegas dan adil, dengan dua putra yang cerdas dan seorang anak ketiga yang berbeda dari mereka semua. Darrel Van Bertrand, putra ketiga Duke, sedang berdiri di tepi balkon kamarnya, menatap ke cakrawala di kejauhan. Usianya baru menginjak lima belas tahun, namun beban kehidupan bangsawan sudah mulai terasa. Angin yang menerpa wajahnya membawa bau pinus dari hutan yang membentang jauh di luar kastil. Matanya yang biru cerah memandangi lembah di bawahnya dengan perasaan campur aduk—di sanalah kebebasan terletak, di balik hutan, di luar batas yang ia kenal selama ini. Darrel selalu merasa berbeda dari saudara-saudaranya. Kedua kakaknya, Lorcan dan Roderic, telah mengikuti jejak ayah mereka sebagai prajurit dan diplomat yang ulung. Lorcan, pria berotot, sang ahli strategi militer, dipuja karena kecerdasan dan keberanian di medan perang. Sementara Roderic, dengan pesonanya yang menawan, telah menjalin aliansi kuat dengan bangsawan dari kerajaan tetangga. Darrel, sebaliknya, selalu lebih tertarik pada hal-hal yang tidak kasatmata, misteri sejarah kuno, dan suara-suara alam yang sering kali hanya dia yang bisa mendengarnya. "Hari ini, seharusnya aku keluar ke hutan," gumamnya pada dirinya sendiri, tangannya menyentuh sarung pedang sederhana yang menggantung di pinggangnya. Pedang itu, hadiah dari mendiang ibunya, terasa terlalu ringan di tangannya. Seperti ada yang hilang—sesuatu yang lebih besar dari sekadar baja. Ketukan di pintu menginterupsi lamunannya. Pintu kayu berderit terbuka, dan seorang pelayan muda, Maren, melangkah masuk. "Yang Mulia, ayahmu memintamu ke aula utama. Para tamu telah tiba untuk pertemuan besar hari ini," katanya dengan hormat, meskipun nadanya terdengar agak cemas. Darrel mengangguk, meskipun hatinya sedikit memberontak. Pertemuan besar itu hanyalah salah satu dari banyak kewajiban bangsawan yang selalu dia hindari. Keluarganya hari ini menjamu Lord Alistair, salah satu sekutu terdekat keluarga Van Bertrand. Pertemuan ini penting, tetapi bagi Darrel, semua itu terasa begitu jauh dari dunia yang ia inginkan. Ketika Darrel berjalan menuju aula utama, pikirannya masih melayang pada hutan di luar kastil. Dia teringat cerita-cerita lama yang pernah dia dengar dari buku-buku tua tentang Naga dan makhluk-makhluk magis yang pernah hidup di kerajaan ini. Di suatu tempat, ia merasa ada sesuatu yang memanggilnya, sebuah bisikan yang hanya bisa ia dengar. Sampai di aula utama, Darrel mendapati ayahnya, Duke Davin Van Bertrand, duduk di singgasananya dengan kedua kakaknya berdiri di samping. Wajah Duke yang keras dan tegas tidak menunjukkan emosi ketika melihat putra bungsunya masuk. "Darrel," kata Duke dengan suara berat, "Aku berharap kau bisa memperhatikan pertemuan ini dengan lebih serius. Lord Alistair telah datang dari jauh untuk membicarakan masa depan kerajaan kita. Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan." Darrel hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Dia tahu bahwa ayahnya kecewa padanya. Bukan karena dia malas atau tidak berkompeten, tapi karena Darrel tidak pernah menunjukkan minat pada kehidupan yang seharusnya dia jalani sebagai seorang bangsawan. Dia lebih sering terlihat berkeliaran di perpustakaan tua atau pergi berburu di hutan sendirian daripada mempelajari seni perang atau politik. Lord Alistair, seorang pria tua dengan jubah ungu yang dihiasi simbol-simbol kekaisaran, bangkit berdiri. Wajahnya yang penuh kerutan menunjukkan kebijaksanaan dari usia yang panjang dan pengalaman yang mendalam. Dia menatap Darrel sejenak, sebelum beralih ke Duke. "Putramu yang ketiga ini tampak memiliki jiwa petualang, Davin," katanya dengan senyum samar. "Mungkin takdirnya berbeda dari saudara-saudaranya." Duke Devin menatap Darrel dengan mata yang penuh harapan bercampur kekhawatiran. "Aku hanya ingin yang terbaik untuknya, Lord Alistair," katanya berat. "Tapi dia tampaknya tidak bisa melihat pentingnya kekuasaan dan tanggung jawab yang menanti." Setelah beberapa jam diskusi, pertemuan itu akhirnya selesai. Darrel, yang nyaris tidak mengatakan apa-apa, segera keluar dari aula utama, kembali ke kamar dengan kepala penuh pertanyaan. Ketika dia berjalan melalui koridor panjang kastil, langkahnya tiba-tiba berhenti di depan perpustakaan tua yang jarang dikunjungi siapa pun. Tanpa sadar, kakinya membawanya masuk ke dalam. Cahaya matahari sore menyelinap melalui jendela-jendela kecil, menerangi debu yang menari di udara. Darrel berjalan menuju rak buku yang dipenuhi dengan teks-teks tua yang mengandung sejarah dan legenda kuno. Di sudut ruangan, matanya tertuju pada sebuah buku besar dengan sampul kulit yang tebal dan hiasan perak yang usang. Buku itu tampak lebih tua daripada yang lain. Ia menariknya dari rak, membersihkan debu yang menempel, dan membukanya dengan hati-hati. Judulnya membuat darah Darrel berdesir: "Sang Drakonis: Penguasa yang Terlupakan." Jantungnya berdebar keras ketika dia mulai membaca. Di dalam halaman-halaman buku itu, tersembunyi rahasia tentang naga yang pernah memerintah dunia, tentang kekuatan besar yang sekarang terlupakan, dan tentang peran penting keturunan manusia yang akan membangkitkan kembali kekuatan itu. Darrel membaca dengan mata yang lebar, setiap kalimat seolah menggema dalam benaknya. Tiba-tiba, ia merasa seolah-olah telah menemukan bagian dari dirinya yang selama ini hilang. Namun, yang tidak dia sadari adalah bahwa dari bayang-bayang di dalam perpustakaan itu, seseorang memperhatikan. Seorang wanita dengan mata tajam, Elara, yang selama ini bertindak sebagai pelayan keluarga, mengamati Darrel dari kejauhan, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Waktunya hampir tiba,” bisik Elara pelan, sebelum menghilang ke dalam kegelapan.Langit di atas Kastil Bertrand mulai gelap ketika Darrel Van Bertrand terbenam dalam buku kuno yang baru saja ditemukannya. Di balik halaman demi halaman yang dipenuhi dengan tulisan kuno dan simbol-simbol yang memusingkan, Darrel merasa seolah-olah dirinya ditarik ke dalam kisah yang berbeda—lebih tua dan lebih besar dari sekadar catatan sejarah manusia. Kisah tentang Drakonis, Sang Raja Naga, yang telah lama dilupakan oleh dunia manusia, kini tampak lebih nyata daripada apa pun yang pernah ia pelajari. Saat Darrel terus membaca, rasa dingin yang aneh menjalar melalui tubuhnya. Tulisan-tulisan dalam buku mulai terasa bukan hanya sebagai cerita belaka, tetapi sebuah panggilan, bisikan dari masa lalu yang mencoba mencapai pikirannya. “Drakonis,” Darrel berbisik, namanya terasa asing di lidah, namun penuh makna. Di saat yang sama, seseorang bergerak di balik bayang-bayang perpustakaan. Elara, sang pelayan yang telah melayani keluarga Van Bertrand selama bertahun-tahun, perlahan mende
Perpustakaan kastil yang gelap dan penuh debu terasa semakin sunyi setelah kekuatan yang dipanggil oleh Elara mulai surut. Getaran-getaran magis yang sebelumnya menyelimuti ruangan perlahan memudar, meninggalkan Darrel sendirian di lantai batu dingin. Tubuhnya gemetar hebat, jiwanya seakan terkoyak oleh kekuatan luar biasa yang baru saja terbangun di dalam dirinya.Di sudut ruangan, Elara berdiri diam, tatapannya penuh dengan kepuasan yang tenang. Wajahnya yang biasanya lembut dan ramah kini tampak jauh lebih dingin, seolah-olah ada jarak yang tak terlihat antara dirinya dan dunia di sekelilingnya. Dia tahu tugasnya hampir selesai. Kekuatan yang telah disimpan di dalam tubuh Darrel selama bertahun-tahun telah dibangkitkan, dan sekarang, waktunya telah tiba baginya untuk kembali.“Elara…” Darrel berbisik, suaranya penuh kebingungan dan kelelahan. Ia berusaha bangkit, namun tubuhnya terasa begitu berat. “Apa yang kau lakukan padaku? Siapa kau… sebenarnya?”Elara memandangnya dengan seny
Suasana kastil Van Bertrand yang tenang terganggu oleh derap kuda yang mendekat. Darrel, yang masih tertegun dalam pikirannya sendiri, segera tersadar ketika ia mendengar suara pelayan mengumumkan kedatangan tamu yang Darrel tak duga-duga."Yang Mulia Frey Han Rollock telah tiba!" seru pelayan itu dengan nada hormat, meski Darrel tahu betul bagaimana Frey tidak pernah menghormati siapa pun kecuali dirinya sendiri.Jantung Darrel berdegup kencang mendengar nama itu. Frey Han Rollock. Nama yang selalu membawa kenangan buruk bagi Darrel, sejak masa kecil mereka. Sebagai putra ketiga dari Duke Han Rollock, Frey telah menjadi momok bagi Darrel, memanfaatkan setiap kesempatan untuk merendahkan, mengejek, dan bahkan memukulinya ketika tidak ada yang melihat.Darrel menghela napas dalam, mencoba menenangkan diri. Dalam sekejap, pikiran tentang kekuatan Drakonis yang baru bangkit di dalam dirinya mulai mengusik. Seharusnya, dengan kekuatan itu, ia tidak lagi takut pada Frey, bukan? Namun, ada
Matahari bersinar terang di atas menara kastil, menyisakan langit dengan awan putih dan langit biru. Di halaman luar Kastil Van Bertrand, Darrel berdiri tegap dengan tangan menggenggam gagang pedangnya. Di hadapannya, Frey Han Rollock sudah bersiap, wajahnya dipenuhi amarah dan kesombongan. Angin sore yang dingin menyapu tanah, mengangkat sedikit debu, seolah memulai sebuah pertarungan yang tak terhindarkan.“Ini akhir dari kesabaranmu, ya?” ejek Frey dengan tawa kecil. “Kau pikir bisa menantangku? Aku akan membuatmu menyesal sudah berani melawan.”Darrel tidak menjawab. Dia hanya menatap Frey, mencoba merasakan denyut kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya. Warisan Drakonis terasa hidup di bawah permukaan kulitnya, seperti api yang menunggu untuk dilepaskan. Namun, Darrel tahu, meskipun dia memiliki kekuatan naga dalam dirinya, dia tidak boleh bergantung sepenuhnya pada hal itu. Kekuatan sejati datang dari keseimbangan—dan untuk saat ini, dia harus fokus pada teknik dan strategi.Frey
Malam sudah larut ketika Darrel dipanggil ke ruang kerja ayahnya, Duke Davin Van Bertrand. Kastil yang biasanya dipenuhi aktivitas, kini sunyi. Hanya suara langkah-langkah sepatu Darrel yang terdengar menggema di sepanjang lorong istana, memantul di dinding tebal yang dingin. Di dadanya, Darrel merasakan kecemasan bercampur dengan sesuatu yang baru—sebuah rasa bangga akan kemampuannya dalam mengalahkan Frey. Namun, di balik itu semua, dia tahu ayahnya pasti sudah mendengar tentang duel tersebut, dan hal itu membuatnya sedikit khawatir.Pintu kayu besar yang menuju ke ruang kerja sang Duke terbuka dengan derit pelan. Darrel melangkah masuk, menemukan ayahnya duduk di belakang meja besar yang dipenuhi dokumen, lilin-lilin menerangi wajah tegas Duke Davin yang sudah berumur. Mata birunya yang dingin menatap lurus ke arah Darrel, penuh dengan kebijaksanaan dan kekuatan.“Darrel,” suara Duke Davin terdengar rendah namun penuh wibawa. “Kau tahu mengapa aku memanggilmu, bukan?”Darrel menun
Pagi itu, fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Darrel Van Bertrand dan pasukan elitnya berangkat menuju perbatasan timur. Di depan, Darrel menunggangi kudanya, dengan jubah keluarga Van Bertrand berkibar tertiup angin. Di sisinya, seorang kesatria berwajah tenang dengan tatapan tajam, Virgo Bastarian, mengiringinya. Virgo adalah seorang Sword Master, dikenal karena kehebatannya di medan perang dan kemampuannya yang luar biasa dalam seni berpedang. Kehadirannya memberikan sedikit rasa aman bagi Darrel, meski jantungnya masih berdebar kencang.Pasukan yang ia pimpin berjumlah seratus orang—prajurit elit yang terlatih dalam pertempuran, para pejuang terbaik yang dimiliki oleh keluarga Van Bertrand. Namun, meski memiliki kekuatan besar di bawah komandonya, Darrel tak bisa menghilangkan rasa gugup yang merayap dalam hatinya.Ini adalah pertama kalinya dia memimpin pasukan ke medan perang, dan ancaman yang dihadapi bukanlah musuh biasa. Orc dikenal brutal dan kejam, apalagi dalam jum
Keesokan harinya setelah pertempuran besar melawan gerombolan orc, Darrel Van Bertrand berdiri di atas bukit kecil di dekat desa yang telah mereka pertahankan. Angin pagi menyapu wajahnya, membawa aroma asap yang samar dan tanah yang basah oleh embun. Langit cerah, seolah-olah alam semesta sendiri tengah memberikan penghormatan atas kemenangan yang diraih pasukannya. Namun, meski kemenangan telah diraih, Darrel merasakan ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di dalam dirinya—sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa ia pahami.Di tangannya, Darrel menggenggam pedang yang digunakan dalam pertempuran. Kilauan baja pedang itu terpantul dari sinar matahari pagi, namun ada sesuatu yang berbeda. Pedangnya seakan-akan berdenyut dengan kekuatan yang baru, mengeluarkan aura samar berwarna biru yang bergetar di sekelilingnya. Ini adalah sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya, dan Darrel tahu, ini bukan hal biasa.Virgo Bastarian, yang berdiri di sampingnya, memandang fenomena itu denga
Malam mulai menyelimuti langit ketika Darrel Van Bertrand duduk sendirian di dalam tenda komandonya. Pertempuran melawan gerombolan orc telah berlalu, namun pikirannya masih dipenuhi dengan kekuatan baru yang dia rasakan. Sword Aura yang ia bangkitkan selama pertempuran adalah tanda dari sesuatu yang lebih besar dan lebih dalam, sesuatu yang tampaknya mengikatnya pada takdir yang tak terelakkan. Di tengah keheningan malam, Darrel memejamkan mata, mencoba memahami lebih lanjut kekuatan yang mengalir dalam dirinya.Saat dia menarik napas dalam-dalam, tiba-tiba rasa dingin yang aneh melingkupi tubuhnya. Udara di sekitar tenda terasa berubah, dan Darrel membuka matanya dengan waspada. Dalam sekejap, cahaya biru kehijauan mulai berpendar dari tubuhnya, membentuk lingkaran yang semakin lama semakin intens. Darrel tersentak, mencoba mengendalikan kekuatan itu, namun aliran energi itu tidak bisa dihentikan. Al hasil membawa kesadaranya ke dalam ruang lingkup kegelapan."Kau akhirnya siap