Dalam kegelapan malam, langit membentang luas di atas pegunungan Tethra, diterangi hanya oleh cahaya bintang-bintang. Di bawah langit yang tenang itu, kerajaan Drakonik berjaga dalam keheningan. Di tengah pusat kerajaan, berdiri sebuah kastil megah yang dipahat dari batu hitam, tempat Raja Naga, Drakonis, memerintah dengan bijaksana. Sebagai penguasa naga terakhir, ia memiliki kekuatan besar yang tak tertandingi di dunia manusia. Drakonis telah menjaga keseimbangan antara manusia dan makhluk magis selama berabad-abad.
Namun, di malam itu, ketenangan hanya menjadi ilusi tipis. Sesuatu yang gelap, berbahaya, dan tidak terlihat sedang bersembunyi di balik tembok kastil. Jenderal Arkanis, salah satu panglima perang terpercaya Raja Naga, berjalan cepat melewati koridor batu yang dingin, matanya penuh tekad dan niat busuk. Dalam diam, ia menggenggam erat sebuah permata hitam, artefak kuno yang selama ini tersembunyi dari pandangan Drakonis. Raja Naga duduk di singgasananya, tubuhnya yang megah berbalut sisik emas yang berkilauan di bawah cahaya lilin. Matanya yang besar dan berwarna kuning memandang lurus ke depan, menatap langit-langit yang tinggi di atasnya, seolah bisa merasakan ada sesuatu yang salah. Namun, sebelum ia dapat bereaksi, pintu besar di ruangan itu terbuka dengan suara bergemuruh. Arkanis melangkah masuk dengan langkah pasti. "Arkanis," suara Raja Naga terdengar dalam dan menggetarkan dinding-dinding kastil, "Apa yang terjadi? Mengapa kau datang dengan terburu-buru di tengah malam begini?" Arkanis berhenti beberapa langkah dari singgasana, menyembunyikan permata hitam di balik jubahnya. Wajahnya tetap tenang, tetapi di balik ketenangan itu ada kemarahan dan dendam yang telah lama tumbuh. "Yang Mulia," kata Arkanis dengan suara rendah, "Aku datang dengan berita yang tak mengenakkan. Dunia manusia mulai bergolak. Kerajaan di utara mulai menentang kedamaian yang kita bangun. Mereka merencanakan pemberontakan, dan aku khawatir kita harus bertindak sebelum mereka menghancurkan segalanya." Drakonis menatap Arkanis dengan pandangan tajam. Dia sudah terlalu lama hidup untuk tidak bisa mencium pengkhianatan, namun dia masih meragukan bahwa Arkanis, prajurit yang paling dia percayai, akan menjadi musuhnya. "Aku lebih tahu apa yang terjadi di dunia manusia daripada denganmu, Arkanis," jawab Drakonis, matanya kini penuh dengan kewaspadaan. "Kita tidak akan bertindak gegabah. Perseteruan kecil antar umat manusia bukan sesuatu hal yang dapat kita campuri seenaknya, selama dunia ini tetap dalam keseimbangan, dan tidak merugikan kita maka biarkan saja." Arkanis memandang Raja Naga dengan tatapan dingin. Di hatinya, kedamaian yang diinginkan Drakonis hanyalah kelemahan. Sebuah dunia di mana manusia harus terus-menerus tunduk kepada naga, tidak pernah bisa berkembang menjadi lebih kuat. Ia tidak bisa menerima itu. Kekuasaan seharusnya berada di tangan mereka yang tahu bagaimana menggunakannya, bukan mereka yang hanya ingin mempertahankan status quo. "Tapi Yang Mulia," katanya dengan suara lebih mendesak, "Jika kita tidak bertindak sekarang, kita akan kehilangan kesempatan. Kedamaian yang kau pertahankan tidak akan berarti apa-apa jika umat manusia semakin mengganas seiring waktu." Drakonis menggelengkan kepalanya, sisik emasnya berkilau dalam cahaya. "Kita tidak akan kalah, Arkanis. Aku memiliki kekuatan untuk melindungi dunia ini, dan aku akan melakukannya dengan kebijaksanaan, bukan dengan kekerasan." Arkanis tahu bahwa inilah saatnya. Tidak ada jalan kembali. Ia mengangkat tangannya, menunjukkan permata hitam yang kini bersinar dengan kekuatan jahat yang mencekam. Mata Drakonis membelalak, menyadari bahaya yang mengancam, tetapi sebelum dia bisa bergerak, Arkanis telah merapal mantra gelap yang telah ia pelajari dari sudut-sudut dunia yang terlarang. "Cukup sudah," teriak Arkanis, suaranya menggema di seluruh ruangan. "Hari ini, kau akan jatuh, Drakonis! Dengan kekuatan ini, aku akan mengambil alih dunia ini dan membawa manusia ke puncak kekuasaan!" Drakonis mengerang marah, tubuhnya mulai bertransformasi menjadi sosok naga raksasa yang mengerikan, sayapnya membentang hingga hampir menyentuh dinding kastil. Tetapi mantra Arkanis bekerja cepat, memerangkap Raja Naga dalam lingkaran sihir gelap yang memancarkan cahaya ungu suram. Drakonis mencoba melawan, memanggil kekuatan Drakonik dalam dirinya, tetapi kekuatan gelap yang dimiliki Arkanis terlalu kuat. “!!!” “Pengkhianat!” Suara Drakonis menggelegar di udara, menggetarkan dinding-dinding kastil hingga retak. "Aku ternyata salah mempercayaimu!" "Aku tidak butuh kepercayaanmu lagi, naga tua," balas Arkanis dingin. "Dengan ini, kekuatanmu akan menjadi milikku!" Tubuh Drakonis mulai melemah. Mantra hitam perlahan menghisap energinya, menyegel kekuatan naga itu ke dalam permata hitam yang digenggam Arkanis. Sebagai pertahanan terakhir, Drakonis melemparkan kutukan ke langit, memanggil hujan petir yang menghantam bumi dengan kemarahan yang tak terbendung. Namun, itu tidak cukup. Dalam hitungan detik, tubuh besar Drakonis terjatuh ke tanah, napasnya terengah-engah. Kilau sisiknya meredup, dan matanya yang kuning kini memudar. Kekuatan yang selama ini menjaga keseimbangan dunia perlahan menghilang, menyisakan tubuh naga besar yang tak bernyawa di hadapan Arkanis. Dengan senyum penuh kemenangan, Arkanis melangkah maju, memandangi tubuh raksasa naga yang dulu merupakan rajanya. "Sekarang, dunia ini akan tunduk padaku," gumamnya dengan penuh kepuasan. "Dan tidak ada lagi yang bisa menghalangiku." Tapi di kejauhan, di balik reruntuhan kastil, sebuah kekuatan tersembunyi mulai bergerak. Kekuatan terakhir dari Drakonis mulai bekerja, melesat ke cakra wala dan menembus ruang-waktu tak terbatas, kejadian kecil yang tidak diketahui oleh siapa pun. Sang Raja Naga mungkin telah jatuh, tapi warisannya belum berakhir. Langit malam itu, yang tadinya begitu damai, kini berubah menjadi panggung bagi kemarahan alam. Hujan deras turun, angin berhembus liar, dan petir terus menyambar seolah meratapi kejatuhan Drakonis. Demikian Raja Naga yang pernah menguasai dunia hanya menjadi sebuah legenda ribuan tahun kemudian.Kerajaan Morph terletak di lembah hijau yang dikelilingi oleh pegunungan megah, tempat angin dingin selalu menyapu desa-desa kecil yang tersebar di sekitarnya. Di atas bukit tertinggi berdiri Kastil Bertrand, rumah bagi salah satu keluarga bangsawan terkuat di seluruh kerajaan. Keluarga Van Bertrand telah memerintah tanah ini selama beberapa generasi dengan kekuasaan dan kehormatan. Duke Davin Van Bertrand, penguasa saat ini, dikenal sebagai seorang pemimpin tegas dan adil, dengan dua putra yang cerdas dan seorang anak ketiga yang berbeda dari mereka semua. Darrel Van Bertrand, putra ketiga Duke, sedang berdiri di tepi balkon kamarnya, menatap ke cakrawala di kejauhan. Usianya baru menginjak lima belas tahun, namun beban kehidupan bangsawan sudah mulai terasa. Angin yang menerpa wajahnya membawa bau pinus dari hutan yang membentang jauh di luar kastil. Matanya yang biru cerah memandangi lembah di bawahnya dengan perasaan campur aduk—di sanalah kebebasan terletak, di balik hutan
Langit di atas Kastil Bertrand mulai gelap ketika Darrel Van Bertrand terbenam dalam buku kuno yang baru saja ditemukannya. Di balik halaman demi halaman yang dipenuhi dengan tulisan kuno dan simbol-simbol yang memusingkan, Darrel merasa seolah-olah dirinya ditarik ke dalam kisah yang berbeda—lebih tua dan lebih besar dari sekadar catatan sejarah manusia. Kisah tentang Drakonis, Sang Raja Naga, yang telah lama dilupakan oleh dunia manusia, kini tampak lebih nyata daripada apa pun yang pernah ia pelajari. Saat Darrel terus membaca, rasa dingin yang aneh menjalar melalui tubuhnya. Tulisan-tulisan dalam buku mulai terasa bukan hanya sebagai cerita belaka, tetapi sebuah panggilan, bisikan dari masa lalu yang mencoba mencapai pikirannya. “Drakonis,” Darrel berbisik, namanya terasa asing di lidah, namun penuh makna. Di saat yang sama, seseorang bergerak di balik bayang-bayang perpustakaan. Elara, sang pelayan yang telah melayani keluarga Van Bertrand selama bertahun-tahun, perlahan mende
Perpustakaan kastil yang gelap dan penuh debu terasa semakin sunyi setelah kekuatan yang dipanggil oleh Elara mulai surut. Getaran-getaran magis yang sebelumnya menyelimuti ruangan perlahan memudar, meninggalkan Darrel sendirian di lantai batu dingin. Tubuhnya gemetar hebat, jiwanya seakan terkoyak oleh kekuatan luar biasa yang baru saja terbangun di dalam dirinya.Di sudut ruangan, Elara berdiri diam, tatapannya penuh dengan kepuasan yang tenang. Wajahnya yang biasanya lembut dan ramah kini tampak jauh lebih dingin, seolah-olah ada jarak yang tak terlihat antara dirinya dan dunia di sekelilingnya. Dia tahu tugasnya hampir selesai. Kekuatan yang telah disimpan di dalam tubuh Darrel selama bertahun-tahun telah dibangkitkan, dan sekarang, waktunya telah tiba baginya untuk kembali.“Elara…” Darrel berbisik, suaranya penuh kebingungan dan kelelahan. Ia berusaha bangkit, namun tubuhnya terasa begitu berat. “Apa yang kau lakukan padaku? Siapa kau… sebenarnya?”Elara memandangnya dengan seny
Suasana kastil Van Bertrand yang tenang terganggu oleh derap kuda yang mendekat. Darrel, yang masih tertegun dalam pikirannya sendiri, segera tersadar ketika ia mendengar suara pelayan mengumumkan kedatangan tamu yang Darrel tak duga-duga."Yang Mulia Frey Han Rollock telah tiba!" seru pelayan itu dengan nada hormat, meski Darrel tahu betul bagaimana Frey tidak pernah menghormati siapa pun kecuali dirinya sendiri.Jantung Darrel berdegup kencang mendengar nama itu. Frey Han Rollock. Nama yang selalu membawa kenangan buruk bagi Darrel, sejak masa kecil mereka. Sebagai putra ketiga dari Duke Han Rollock, Frey telah menjadi momok bagi Darrel, memanfaatkan setiap kesempatan untuk merendahkan, mengejek, dan bahkan memukulinya ketika tidak ada yang melihat.Darrel menghela napas dalam, mencoba menenangkan diri. Dalam sekejap, pikiran tentang kekuatan Drakonis yang baru bangkit di dalam dirinya mulai mengusik. Seharusnya, dengan kekuatan itu, ia tidak lagi takut pada Frey, bukan? Namun, ada
Matahari bersinar terang di atas menara kastil, menyisakan langit dengan awan putih dan langit biru. Di halaman luar Kastil Van Bertrand, Darrel berdiri tegap dengan tangan menggenggam gagang pedangnya. Di hadapannya, Frey Han Rollock sudah bersiap, wajahnya dipenuhi amarah dan kesombongan. Angin sore yang dingin menyapu tanah, mengangkat sedikit debu, seolah memulai sebuah pertarungan yang tak terhindarkan.“Ini akhir dari kesabaranmu, ya?” ejek Frey dengan tawa kecil. “Kau pikir bisa menantangku? Aku akan membuatmu menyesal sudah berani melawan.”Darrel tidak menjawab. Dia hanya menatap Frey, mencoba merasakan denyut kekuatan yang mengalir dalam tubuhnya. Warisan Drakonis terasa hidup di bawah permukaan kulitnya, seperti api yang menunggu untuk dilepaskan. Namun, Darrel tahu, meskipun dia memiliki kekuatan naga dalam dirinya, dia tidak boleh bergantung sepenuhnya pada hal itu. Kekuatan sejati datang dari keseimbangan—dan untuk saat ini, dia harus fokus pada teknik dan strategi.Frey
Malam sudah larut ketika Darrel dipanggil ke ruang kerja ayahnya, Duke Davin Van Bertrand. Kastil yang biasanya dipenuhi aktivitas, kini sunyi. Hanya suara langkah-langkah sepatu Darrel yang terdengar menggema di sepanjang lorong istana, memantul di dinding tebal yang dingin. Di dadanya, Darrel merasakan kecemasan bercampur dengan sesuatu yang baru—sebuah rasa bangga akan kemampuannya dalam mengalahkan Frey. Namun, di balik itu semua, dia tahu ayahnya pasti sudah mendengar tentang duel tersebut, dan hal itu membuatnya sedikit khawatir. Pintu kayu besar yang menuju ke ruang kerja sang Duke terbuka dengan derit pelan. Darrel melangkah masuk, menemukan ayahnya duduk di belakang meja besar yang dipenuhi dokumen, lilin-lilin menerangi wajah tegas Duke Davin yang sudah berumur. Mata birunya yang dingin menatap lurus ke arah Darrel, penuh dengan kebijaksanaan dan kekuatan. “Darrel,” suara Duke Davin terdengar rendah namun penuh wibawa. “Kau tahu mengapa aku memanggilmu, bukan?” Darre
Pagi itu, fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Darrel Van Bertrand dan pasukan elitnya berangkat menuju perbatasan timur. Di depan, Darrel menunggangi kudanya, dengan jubah keluarga Van Bertrand berkibar tertiup angin. Di sisinya, seorang kesatria berwajah tenang dengan tatapan tajam, Virgo Bastarian, mengiringinya. Virgo adalah seorang Sword Master, dikenal karena kehebatannya di medan perang dan kemampuannya yang luar biasa dalam seni berpedang. Kehadirannya memberikan sedikit rasa aman bagi Darrel, meski jantungnya masih berdebar kencang.Pasukan yang ia pimpin berjumlah seratus orang—prajurit elit yang terlatih dalam pertempuran, para pejuang terbaik yang dimiliki oleh keluarga Van Bertrand. Namun, meski memiliki kekuatan besar di bawah komandonya, Darrel tak bisa menghilangkan rasa gugup yang merayap dalam hatinya.Ini adalah pertama kalinya dia memimpin pasukan ke medan perang, dan ancaman yang dihadapi bukanlah musuh biasa. Orc dikenal brutal dan kejam, apalagi dalam jum
Keesokan harinya setelah pertempuran besar melawan gerombolan orc, Darrel Van Bertrand berdiri di atas bukit kecil di dekat desa yang telah mereka pertahankan. Angin pagi menyapu wajahnya, membawa aroma asap yang samar dan tanah yang basah oleh embun. Langit cerah, seolah-olah alam semesta sendiri tengah memberikan penghormatan atas kemenangan yang diraih pasukannya. Namun, meski kemenangan telah diraih, Darrel merasakan ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di dalam dirinya—sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa ia pahami.Di tangannya, Darrel menggenggam pedang yang digunakan dalam pertempuran. Kilauan baja pedang itu terpantul dari sinar matahari pagi, namun ada sesuatu yang berbeda. Pedangnya seakan-akan berdenyut dengan kekuatan yang baru, mengeluarkan aura samar berwarna biru yang bergetar di sekelilingnya. Ini adalah sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya, dan Darrel tahu, ini bukan hal biasa.Virgo Bastarian, yang berdiri di sampingnya, memandang fenomena itu denga
Cilera, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Kau sungguh berani menantang mereka,” ucapnya dengan nada rendah. “Tapi kau tahu, Redwolf tidak akan tinggal diam. Mereka pasti akan kembali dengan lebih banyak orang.”Olmund menghela napas panjang, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. Ia berjalan ke meja kerjanya, mengambil kain lap untuk membersihkan darah yang tercecer di lantai. “Seharusnya kalian tidak ikut campur,” katanya pelan, namun suaranya terdengar tegas. “Ini adalah masalahku, bukan urusan kalian.”Darrel menoleh ke arah Olmund, matanya penuh ketegasan. “Tapi mereka mengancam Anda dan cucu Anda, Pak Tua. Tidak ada seorang pun yang pantas diperlakukan seperti itu.”Lean menambahkan, “Dan mereka juga membantai desaku. Aku tidak akan membiarkan mereka terus melakukan kejahatan mereka!”Olmund terdiam, menatap mereka satu per satu. Dalam hatinya, ia merasa bersyukur atas keberanian mereka, namun rasa khawatir tetap menghantui. “Kalian tidak mengerti. Redwolf adalah organisas
Tiba-tiba pintu bengkel tua itu berderit sekali lagi, namun jauh lebih kasar. Kali ini suaranya memekakkan telinga hingga membuat Darrel dan Lean reflek menoleh. Sekelompok pria bertubuh kekar dan berwajah kasar masuk ke dalam ruangan. Aura mereka penuh ancaman, serasi dengan bekas luka dan tato yang menghiasi tubuh mereka. Sekelompok orang yang tak asing di sekitaran pinggiran kota ini, sangat di kenali oleh Olmund, bahkan oleh Cilera, Darrel dan Lean sekalipun mengenali beberapa di antara mereka. Cilera segera menarik tudungnya, menyembunyikan wajahnya di balik jubah hitamnya, sementara Darrel tetap berdiri diam, matanya memandang dingin ke arah kelompok itu. Lean, di sisi lain, mengepalkan tinjunya erat, tatapannya dipenuhi kemarahan yang sulit disembunyikan.Pemimpin mereka, seorang pria tinggi dengan tubuh berotot penuh tato dan bekas luka di pipi kanan, ia melangkah ke depan. Matanya menyapu seluruh ruangan hingga akhirnya berhenti pada Olmund yang berdiri tegak di dekat mej
Darrel berjalan perlahan ke sudut ruangan. Kotak kayu panjang yang tampak lusuh itu memancarkan aura misterius, seolah memanggilnya untuk mendekat. Ukiran-ukiran aneh di permukaannya menarik perhatian, simbol-simbol itu terasa asing namun menggugah rasa ingin tahunya. Ia menoleh ke arah Olmund, yang sedang sibuk memanaskan besi di tungku."Tuan Olmund," panggil Darrel sambil menunjuk kotak itu. "Apa ini?"Olmund menghentikan pekerjaannya, menoleh dengan cepat. Tatapan matanya berubah tajam, penuh kewaspadaan. Dengan langkah tergesa-gesa, ia mendekati Darrel."Jangan sentuh itu!" serunya tajam.Namun terlambat. Darrel sudah meletakkan tangannya di atas kotak itu. Seketika, sensasi aneh menyelimuti dirinya. Tekstur kayu kasar itu terasa hangat, mengalirkan energi yang tidak kasat mata ke tubuhnya.Suara Drakonis bergema di dalam benaknya. “Darrel. Kotak itu menyimpan sesuatu yang mengandung kekuatan iblis. Artefak ini sepertinya terbuat dari roh monster dan material langka dari luar
Setelah menghabiskan teh mereka, Cilera berdiri dan menuju ke pemilik kedai untuk membayar tagihan mereka. Kemudian, ia mengajak Darrel dan Lean keluar dari kedai, memimpin jalan ke sudut kota yang lebih sepi.Mereka berjalan melewati gang-gang sempit yang berbau lembab, udara malam di ibu kota terasa dingin. Lingkungan di sekitar mereka mulai berubah. Bangunan-bangunan megah yang biasa ditemukan di pusat kota berganti menjadi rumah-rumah tua yang terlihat kusam dan rusak."Jadi," Lean membuka percakapan, "bagaimana kau bisa tahu tentang tempat ini? Rasanya aneh seorang Elf seperti kau tahu detail kota manusia seperti ini."Cilera menoleh sekilas, senyum tipis terlukis di wajahnya. "Aku pernah tinggal di sini untuk sementara waktu. Kau akan terkejut betapa banyak hal yang bisa kau pelajari ketika kau harus bertahan hidup."Darrel, yang berjalan di belakang mereka, memperhatikan dengan seksama. "Tinggal di sini? Itu cukup menarik. Apa ini ada hubungannya dengan temanmu yang kau cari?
Lean memutar kepalanya, mencoba mengingat sesuatu. Nama Redwolf terasa asing, namun ada sesuatu yang mengusik ingatannya. Beberapa saat kemudian, matanya melebar, wajahnya berubah suram, dan kedua tangannya mengepal erat.“Serikat Redwolf…” gumamnya, nadanya berubah penuh kebencian.Darrel menoleh, merasa ada sesuatu yang serius. "Kau tahu mereka, Lean? Kenapa reaksimu seperti itu?"Lean mengangguk perlahan, rahangnya mengeras. "Aku pernah mendengar cerita tentang mereka... sebuah cerita yang tak pernah bisa kulupakan."Darrel tidak menyela, membiarkan Lean melanjutkan.“Di desaku dulu, beberapa tahun lalu saat aku masih kecil,” Lean memulai dengan suara rendah, penuh tekanan emosi. "Seekor Dark Bear—monster sihir—mengamuk dan menghancurkan desa kami. Tidak ada yang bisa menghentikannya. Setengah dari desa, termasuk ternak kami, musnah dalam hitungan detik."Darrel tetap diam, matanya terfokus pada temannya yang tampak bergelut dengan emosi.“Lalu, sekelompok pemburu datang. Mereka m
Di salah satu sudut ibu kota Kekaisaran Rafencroft, sebuah bangunan besar dengan plakat bertuliskan "Guild Pemburu" berdiri kokoh. Tempat yang dikhususkan bagi prajurit bayaran atau pemburu untuk berkumpul dan menghasilkan uang. Guild Pemburu akan menyediakan berbagai misi untuk mereka, pekerjaan berbayar yang datang dari keluhan, keperluan ataupun masalah penduduk setempat. Suara riuh rendah memenuhi ruangan, bercampur dengan aroma alkohol dan asap rokok yang mengepul tipis. Di sudut ruangan, dua sosok berjubah hitam duduk diam di meja bundar, jauh dari perhatian. Sosok laki-laki bersandar ke kursi sambil menyesap minumannya. "Apakah benda itu bereaksi lagi?" tanyanya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam keramaian. Sosok perempuan di depannya menggeleng. Tudung hitamnya menutupi wajahnya, hanya sedikit helai rambut perak yang menyembul keluar. "Tidak. Tapi aku yakin petunjuk itu membawa kita ke sini, ke negeri manusia ini." "Dan itu berarti apa yang kita cari ada di
Satu minggu setelah ujian, suasana Akademi Kekaisaran Rafencroft kembali ramai dengan siswa-siswa yang berkerumun di depan papan pengumuman. Papan itu memuat hasil ujian yang telah dinantikan banyak orang.“Darrel! Namamu ada di peringkat kedua!” seru Lean dengan semangat, menunjuk papan peringkat itu.Darrel, yang berdiri di dekat Lean, hanya melirik sekilas sebelum mengangkat bahu. “Hanya peringkat. Aku tidak terlalu peduli.”“Tidak peduli? Kau hampir mengalahkan Yurie, kau tahu. Ini prestasi luar biasa!” Lean terus berusaha memujinya.Darrel tersenyum kecil. “Yurie. Dia di peringkat ketiga, kan? Harusnya dia di atasku.”Nama di peringkat pertama menarik perhatian Lean. “Siapa ini... Evan Stark? Aku tidak pernah mendengar namanya sebelumnya. Tapi dia di atasmu. Kau tidak penasaran?”Darrel menggeleng. “Tidak perlu. Lagipula, ujian ini sudah selesai. Aku lebih tertarik pada liburan tiga minggu ke depan.”Lean tertawa kecil. “Ya, benar juga. Jadi, apa rencanamu selama libur?”Hari itu
Keesokan harinya, mentari pagi akhirnya berhasil menerobos sisa-sisa awan kelabu, membawa cahaya cerah yang menyelimuti seluruh akademi. Para siswa telah berkumpul di lapangan latihan, wajah mereka mencerminkan campuran antusiasme dan ketegangan.Profesor Aldrin berdiri di depan mereka, dengan postur tegas seperti biasanya. Di sebelahnya, sebuah papan besar menampilkan nama-nama siswa yang akan bertarung satu lawan satu, dipasangkan secara acak."Selamat pagi, siswa-siswa hebat Akademi Kekaisaran Rafencroft!" seru Profesor Aldrin dengan suara lantang, menarik perhatian semua orang. "Hari ini, kalian akan menghadapi ujian praktek bertarung. Tunjukkan kemampuan terbaik kalian, karena ujian ini tak dinilai hanya dari menang atau kalah. Ingat, saya akan menilai berdasarkan teknik, strategi, dan keberanian kalian!"Siswa-siswa mulai saling melirik, beberapa tampak gugup sementara yang lain tak sabar untuk memulai."Aku harap aku tidak harus bertarung serius denganmu, Lean," gumam Rem pela
Tiba-tiba seorang gadis angkat bicara, dengan tatapan serius ia langsung meraik perhatian dan membuat suasana kembali sunyi.Semua orang menoleh ke arah gadis itu. Darrel memandangnya dengan rasa familiar. Setelah beberapa saat, ia mengingat siapa gadis itu—sosok yang pernah menabrak Lean di koridor beberapa waktu lalu. Rambut hitam panjang gadis itu tergerai rapi, dan matanya yang tajam menatap langsung ke arah Marcel.“Apa yang ingin kau katakan, Yurie?” tanya Profesor Aldrin dengan nada penasaran.Yurie melangkah maju, suaranya terdengar jelas di seluruh ruangan. “Profesor, saya melihat sesuatu saat ujian berlangsung. Saya tidak ingin masalah ini berlanjut, dan saya rasa ini saat yang tepat untuk berbicara.”Marcel tampak gelisah, wajahnya yang sebelumnya penuh percaya diri kini menunjukkan tanda-tanda ketegangan. “Apa maksudmu, Yurie?”Yurie menatap Marcel dengan tajam. “Aku melihat Lia mengambil sesuatu dari bawah kursi Lean saat ujian berlangsung. Dan aku melihat Marcel memeri