Senin pagi, 3 Agustus 2020
Tumpahan cairan berwarna kecoklatan menghiasi meja kaca yang berada persis di depan seorang pemuda berpakaian putih hitam tanpa dasi, dua kotak bongkahan es batu yang kian mengerucut, mengecil karena mencair, terlihat di tengah-tengah genangan kecil itu. Es teh manis yang seharusnya sudah berada di lambungnya, membasuh melewati kerongkongannya, harus terpaksa direlakan kendati ia sangat mengharapkan, karena ia sedari pagi sudah pontang-panting mencari tempat tambal ban untuk motornya yang tertembus paku di jalan. Namun kesalahan kecil dari office boy itu bisa dengan mudah ia lupakan, karena dalam waktu dekat ia akan mendapat es teh manis pengganti.
Arsha duduk di sebuah sofa bersama dua orang lain berpakaian rapi persis seperti dirinya, pemuda berusia dua puluh lima tahun ini sedang menunggu giliran untuk masuk ke dalam ruangan personalia untuk diwawancarai. Mereka bertiga saling melempar senyuman dan bertanya kecil perihal pekerjaan. Mereka tetap tersenyum meski tahu mereka adalah rival yang tak saling kenal, mereka sedang dalam kompetisi untuk mendapatkan sebuah posisi. Menunggu di tempat seperti ini bukanlah hal baru bagi Arsha, ia sudah berkali-kali berada di situasi yang sama, namun, baru kali ini ia melamar pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya.
Arsha seharusnya datang paling awal, masuk ke ruangan pertama kali dan menyelesaikan wawancara lebih dulu dari orang lain, sejak pagi ia sudah siap dan siaga untuk datang ke tempat ini. Namun sayang, paku sialan yang pagi ini tak sengaja ia lindas dengan sepeda motornya itu merusak segalanya. Ia datang tidak lebih dulu dari dua orang yang telah datang lebih pagi. Orang pertama telah selesai dan pergi, orang kedua sedang berada di ruangan, ia masuk lima belas menit yang lalu.
Di meja seberang, tak jauh dari tempatnya menunggu, terlihat sebuah kalender lipat berlogo perusahaan yang ia lamar, tak lupa dengan foto latar berupa pemandangan pantai pasir putih dan lautan biru tenang yang sudah tak asing dilihatnya, itu adalah foto pantai di desanya, pantai Renjana namanya. Sebuah pantai indah nan elok yang beberapa tahun lalu sebenarnya jarang diketahui orang, berada di desa kecil bernama Bitung yang terletak di bagian pesisir selatan provinsi Banten, dibagian bawah peta. Bahkan, sampai tiga tahun lalu, hanya ada sebuah pelabuhan kecil dan tempat penampungan ikan seadanya, kini, tempat ini menjadi salah satu pusat wisata yang ramai dengan segala hiruk pikuknya.
“Aku tumbuh di tempat yang sepi,” begitu Arsha berkata jika seseorang bertanya darimana asalnya, bukan tanpa alasan, dulunya desa ini memang benar-benar sunyi senyap, kota terdekat memang tidak begitu jauh, hanya sekitar lima belas kilometer, tapi desa ini seakan tak tersentuh, bukan karena orang tidak tahu tentangnya, tapi karena orang tak punya alasan untuk pergi ke sana, kosong melompong tak ada apa-apa. Meski begitu, Arsha bangga dengan tanah kelahirannya, di sinilah semua kenangan terukir, yang indah ataupun tidak.
Lima belas menit berlalu semenjak gelas berisi es teh manis di depannya habis, terdengar langkah kaki dua orang pria keluar dari ruangan yang Arsha ingin masuki sejak pagi, salah satu dari mereka bergegas pergi sembari berterimakasih kepada satu orang lagi yang berhenti setelah maju selangkah dari pintu, seorang pria paruh baya yang sudah diduganya sebagai orang yang akan mewawancarainya, Pak Kepala Personalia.
“Selanjutnya, mas Antariksha Bumisakti,” kata pria tersebut sambil melihat-lihat ke arah tiga orang yang sedang duduk.
Bergegas berdiri untuk menghampiri, “Saya Pak!” saut Arsha tegas. Arsha menyalami pria tersebut, yang ternyata bernama Rizwan Ahmad S.Psi, ia adalah kepala personalia persis seperti dugaan Arsha. Pak Rizwan lekas mempersilakan Arsha untuk masuk ke dalam ruangan. Wawancara yang telah ia tunggu-tunggu akhirnya dimulai. Ini adalah wawancara pertama Arsha di bidang yang sesuai dengan ijazah sarjananya. Ia adalah lulusan teknik perkapalan yang sedang melamar posisi sebagai teknisi kapal di PT. Ekowisata Bahari (EB Group), Perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan, pariwisata kelautan dan penyewaan kapal ikan bagi para nelayan.
Proses wawancara berjalan dengan sangat lancar, Arsha memang baru pertama kali melakukan wawancara untuk posisi teknisi kapal, tapi ia memiliki pengalaman teknis yang tidak perlu diragukan lagi. Ia lulus tiga tahun lalu, dan bukan tanpa alasan ia tak pernah benar-benar melamar pekerjaan di bidangnya, untuk alasan tertentu, ia tak bisa meninggalkan desa Bitung, sementara di daerah ini tak ada apa-apa sebelumnya, tempat ia melamar pekerjaan saat ini, hanyalah salah satu kantor cabang PT. Ekowisata Bahari yang baru dibuka tiga bulan lalu.
Sepuluh menit telah berlalu begitu saja, tak terasa wawancara berjalan begitu santai seperti obrolan biasa, tak ada hambatan yang berarti bagi Arsha, begitu pula Pak Rizwan yang tampak nyaman dan puas dengan semua jawaban Arsha. Atmosfer nyaman yang telah mereka bangun di dalam ruangan, harus terpecah karena suara ketukan, Pak Rizwan tampak tak kaget, beliau sepertinya telah mengharapkan kedatangan seseorang.
“Masuk, Mbak!” sahut Pak Rizwan ke arah suara ketukan pintu.
Arsha, tak tahu sama sekali siapa orang di balik pintu, ia hanya tahu bahwa wawancara ini akan dihadiri oleh satu orang penanya saja. Perlahan, gagang pintu bergerak turun lambat dari posisinya yang semula lurus horizontal, ia juga melirik sedikit ke arah jam dinding yang menggantung tak jauh di atas pintu yang sama, “sudah sepuluh menit, ya…, tak terasa,” gumamnya dalam hati.
Sorot mata Arsha yang semula masih terpaku pada jam dinding, kini sudah terkunci ke tempat lain, pandangannya seolah diambil paksa oleh sosok wanita setinggi seratus enam puluh sentimeter, wanita anggun yang sedari tadi mengetuk pintu. Arsha seakan membeku dengan jantung yang tak berdetak, tubuh yang tak bisa bergerak dan berkutik, jarum panjang berwarna merah dari jam dinding yang sedari tadi ia lihat seakan ikut berhenti berdetik.
Wajar saja, wanita ini adalah wanita yang sungguh tidak asing baginya, wanita yang pernah menjadi bagian indah dari kisah hidupnya, wanita yang dulu pernah meruntuhkan logikanya, mengganti prinsip kokohnya dengan keabstrakan yang tak bisa ia dapatkan dari orang lain. Wanita yang dulu berambut terurai sebahu, kini terlihat cantik dengan hijab pashmina sederhana berwarna biru kelabu.
“Niskala…,” cetus Arsha lirih.
“Arsha?” balas wanita yang ternyata bernama Niskala, ia tak kalah terkejut.
Mata mereka bertemu dan seakan saling menahan agar tidak pergi. Keheningan terjadi selama beberapa detik, sampai Pak Rizwan memecahnya dengan tiba-tiba.
“Loh, kalian saling kenal?” tanyanya kepada mereka berdua.
“Iya, Pak. Arsha adalah teman lama saya,” timpal Niskala.
Mendengar jawaban Niskala membuat batin Arsha terpukul, “Teman lama, ya…,” gumam perihnya dalam hati. Bagi Arsha, Niskala bukan hanya sekadar teman lama, ia pernah memiliki peran penting di salah satu bagian hidup Arsha. Oleh karenanya, Arsha tak bisa menerima kenyataan bahwa Niskala hanya menganggapnya teman lama. Tapi, ia yang mengerti situasi harus bersikap wajar, meskipun ia tak bisa berkelakar, bahwa hatinya terasa memar.
“Benar Pak Rizwan, kami sudah lama kenal, saya nggak menyangka akan bertemu Niskala di sini,” jelas Arsha.
Mendengar pernyataan itu, Pak Rizwan sedikit tersenyum, “Wah, bagus dong, Sebelum Mas Arsha masuk, saya dapat telpon dari Pak Kepala Cabang yang mengatakan kalau Mbak Niska ini akan ikut menjadi penanya, karena ia akan jadi atasan mas Arsha kalau mas diterima di sini."
“Wah…, Begitu ya, Pak,” timpal Arsha.
“Gimana kalau kita lanjut aja?” tanya Pak Rizwan kepada dua orang didepannya.
“Boleh, Pak. Ayo Sha,” jawab Niskala.
Proses wawancara yang sempat terhenti akibat reuni tak terduga ini mulai dilanjutkan kembali, Atmosfer yang telah dibangun Arsha bersama Pak Rizwan harus mengalami sedikit penyesuaian dengan adanya Niskala. Arsha yang semula begitu santai dan luwes, mengalami sedikit perubahan pada gestur tubuhnya, seperti ada sesuatu yang ia tahan. Tidak bisa dipungkiri, Niskala adalah penyebabnya.
Meskipun tidak ada kendala yang berarti, wawancara ini memang terasa berbeda dibanding sebelumnya, bertemu dengan seorang Niskala secara tiba-tiba di tempat yang tak pernah ia duga, bukanlah hal yang mudah bagi Arsha. Niskala pernah datang ke hidup Arsha tanpa izin, dan pergi begitu saja tanpa izin pula. Ada banyak pertanyaan di benak Arsha, namun ia tahu saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk itu.
Dua puluh menit telah berlalu semenjak Niskala memasuki ruangan, proses wawancara berjalan semestinya bagi mereka semua, termasuk Arsha, meskipun dalam pikirannya sedang ada banyak hal yang menggantung. Pak Rizwan menutup sesi wawancara dengan sebuah pernyataan bahwa Arsha akan menerima kabar dari mereka maksimal dua minggu setelah hari ini. Sejujurnya, Arsha kini ragu apakah ia akan mampu jika harus bekerja di tempat ini, bukan karena pekerjaannya, tapi karena ada Niskala di sana.
Arsha bergegas berdiri untuk pamit dan keluar dari ruangan, sebenarnya ia masih penasaran dengan Niskala, tapi sepertinya memang bukan waktu yang tepat untuk itu, hal pertama yang ada dipikirannya saat ini adalah menemui dua orang temannya, dua orang yang juga mengenal Niskala, dua orang yang menjadi saksi hidup bagaimana Arsha dan Niskala sangatlah tidak bisa jika hanya disebut sebagai teman lama.
Penyu adalah salah satu hewan paling berani di muka bumi. Tukik, sebutan untuk anakan penyu, adalah analogi positif untuk menggambarkan perjuangan dari nol, sejak masih berada di dalam telur, tukik sudah ditinggalkan oleh induknya, terkubur dalam pasir tanpa penjagaan, menetas mandiri tanpa bantuan, menemukan jalan hidupnya sendiri ke lautan dan harus bertahan dengan cangkang yang masih sedikit lunak sampai ia menjadi kuat.Antariksha Bumisakti, atau biasa dipanggil Arsha, setiap harinya menjalani hidup seperti seekor tukik yang baru menetas, ia tak gentar untuk merayap sekuatnya melewati pasir pantai untuk menuju ke samudera lepas sampai bisa berenang bebas. Namun, kali ini, Arsha sang tukik harus dihadapkan dengan kenyataan pahit; ia menetas terakhir. Tukik yang menetas terakhir harus mengemban resiko paling besar, tukik-tukik yang lebih dahulu menetas, telah meninggalkan jejak berupa aroma
Kepulan asap tipis berkumpul di atas potongan kayu bakar yang sedang dikipasi oleh Pak Khalid, ikan-ikan segar berbumbu dibariskan tertib melewati tusukan bilih bambu oleh Pak Rohim dan Pak Sopir, semua penghuni rumah Arsha sudah berkumpul di halaman belakang, kecuali Bu Ani dan Niskala, yang sedang sibuk di dapur untuk menyiapkan nasi dan lauk tambahan untuk nantinya menemani ikan-ikan segar itu. Di tengah ingar bingar kesibukan masing-masing, muncul Arsha dengan membawa dua buah daun pisang ukuran besar yang baru ia ambil dari kebun tak jauh dari belakang rumahnya. Makan bersama banyak orang beralaskan daun pisang merupakan hal yang biasa, selain karena asas persatuan dan kebersamaan, budaya Liwetan ini juga dipercaya bisa membuat acara makan lebih nikmat, tradisi ini sudah muncul sejak masuknya pengaruh Agama Islam di Pulau Jawa dan banyak ditemukan di pesantren-pesantren pada masa
Desa Bitung memang terletak di daerah dekat pesisir pantai, tapi bukan berarti desa ini tertinggal, tempat tinggal Arsha contohnya, jarak antar rumah warga tidak terlalu dekat dan hampir semua penduduk hidup di atas tanah milik sendiri, rumah-rumah warga pun sudah mengikuti zaman, memang ada beberapa yang masih berbentuk seperti bangunan tempo dulu, namun biasanya rumah tersebut dimiliki oleh penduduk yang sudah sepuh dan ditinggal pergi anak-anaknya yang merantau dan jarang pulang ke desa.Rumah Arsha sendiri merupakan bangunan permanen modern dengan pondasi yang kokoh seperti kebanyakan bangunan di kota-kota kecil. Rumah ini memiliki dua lantai dan sebuah garasi untuk mobil Kijang kebanggaan Pak Khalid, di lantai pertama terdapat empat buah ruangan, satu kamar Pak Khalid dan Bu Ani, satu kamar dengan pintu berhiaskan tirai cangkang kerang yang kini menjadi kamar Niskala, satu kamar tamu yan
Mentari mulai meninggi di pukul delapan lewat tiga puluh menit pagi, dua orang bak tentara baru pulang dari medan perang terlihat dari kejauhan, terbirit-birit di atas sepeda berjok belakang. Ketika kebanyakan tentara lain pulang dengan bekas luka, kedua tentara muda ini pulang dengan kedinginan, bertempur habis-habisan dengan hukum alam. Tak ada penghargaan semacam medali seperti di zaman kepahlawanan, yang ada hanya sambutan dari kedua orang tua yang sedari pagi bertanya kemana anak-anaknya.30 menit sebelumnya.“Sha, teh angetnya tinggal segini…,” lirih seorang perempuan berselimut jaket hitam, sambil menunjukkan isi termos kecil kepada orang di sebelahnya.“Kamu abisin aja pelan-pelan, kita tunggu matahari naik sedikit lagi, abis itu baru pulang. Kalau pulang sekarang
Senin sore, 3 Agustus 2020 Payung-payung besar terlihat ramai berjajar, gagangnya tertanam di dalam pasir dekat bibir pantai, suara gerombolan anak kecil berlari saling mengejar, suara orang dewasa yang saling bicara dan tertawa, keheningan pasangan muda-mudi yang memilih bicara melewati hati sembari menunggu senja, ingar-bingar kebisingan tanpa batas menyelimuti nyaris setiap lingkup sudut Pantai Renjana. Seorang pria muda lesu berpakaian formal tanpa dasi, kucal kulit gelap aura, terduduk diam sendirian di atas sebuah gazebo tua yang baru di pernis ulang, membelakangi meja-meja penuh terisi manusia, di belakang sebuah kedai es kelapa berpegawai tiga. Sorot matanya nyaris padam dengan pandangan tenggelam ke bawah, bagai seekor lembu ditinggal induknya. Deburan ombak dan derap langkah kaki tanpa henti di sekitar tak membuatnya sadar, kegelapan sudah telanjur menyeli
Kamis, 29 agustus 2013Lima hari setelah kedatangan Niskala, Arsha tak hentinya mengeluh karena perlakuan perempuan jahil itu, ia selalu saja menemukan cara untuk membuat Arsha kesal. Untungnya, belum ada kejadian yang lebih buruk dibanding saat ia dipaksa pergi ke pantai saat pagi buta. Arsha sudah membawa perempuan itu dalam sebuah perjalanan menyusuri seluk beluk desa, bersama Rawa juga Rhea, mereka mengenalkannya ke tempat-tempat penting yang mungkin nanti ia butuhkan.Desa ini memang tidak begitu ketinggalan zaman, namun bukan berarti semua hal ada di sini, seperti toko kelontong contohnya, hanya ada dua toko yang cukup besar di desa, toko pertama hanya berjarak tak lebih dari tiga ratus meter dari rumah Arsha. Sementara toko kedua, berjarak kurang lebih dua kilometer, sangat repot jika harus berjalan kaki menuju ke sana, Arsha biasa menggunakan sepedanya jika ia
Clermont adalah nama dari kapal uap pertama yang secara komersial telah sukses menjalankan tugasnya di atas air tanpa masalah, kapal rancangan Robert Fulton itu merupakan kapal berbahan bakar batu bara yang pertama kali dipakai di daerah Clermont, New York dan berhasil menaklukkan Sungai Hudson sejak tahun 1807 sampai 1814. Kapal itu dipersenjatai dengan mesin berkekuatan dua puluh tenaga kuda yang Robert impor dari Birmingham, Inggris. Mesin impor itu menggerakkan sepasang roda berpedal dengan diameter 450 sentimeter yang dipasang di tiap sisi kapal Clermont, sehingga membuatnya bisa bergerak di atas air tanpa bantuan layar dan angin seperti kapal-kapal lain di masanya.Hasil ciptaan Robert Fulton itu menjadikannya salah satu penemu Amerika yang paling berpengaruh dalam perkembangan teknologi transportasi, pria kelahiran tahun 1765 itu berhasil me
Potongan kertas tersebar menghiasi bagian atas amben yang berada di belakang rumah Arsha, amben yang sebelumnya digunakan untuk acara makan bersama saat hari kedatangan Niskala, kini kembali digunakan di hari keenam perempuan itu di sana. Amben yang sebelumnya dihiasi oleh daun pisang yang Arsha potong telah tergantikan oleh kardus bekas dan kertas-kertas karton. Kedua benda itu Arsha pungut dari sudut-sudut rumah, bukan untuk menjadi alas makan bersama, melainkan untuk kebutuhan Ospek di kampusnya. Arsha, Niskala, Rhea dan Rawa sudah berkumpul sejak pukul sepuluh pagi, rasa hangat dari cahaya mentari telah menyelimuti permukaan kulit mereka nyaris di setiap inci. Empat buah tanda nama berukuran tiga puluh kali sepuluh sentimeter yang terbuat dari potongan kardus telah selesai mereka rangkai, tanda nama pertama bertuliskan Antariksha Bumisakti dan nama jurusan tanpa sedikit pun hiasan