Penyu adalah salah satu hewan paling berani di muka bumi. Tukik, sebutan untuk anakan penyu, adalah analogi positif untuk menggambarkan perjuangan dari nol, sejak masih berada di dalam telur, tukik sudah ditinggalkan oleh induknya, terkubur dalam pasir tanpa penjagaan, menetas mandiri tanpa bantuan, menemukan jalan hidupnya sendiri ke lautan dan harus bertahan dengan cangkang yang masih sedikit lunak sampai ia menjadi kuat.
Antariksha Bumisakti, atau biasa dipanggil Arsha, setiap harinya menjalani hidup seperti seekor tukik yang baru menetas, ia tak gentar untuk merayap sekuatnya melewati pasir pantai untuk menuju ke samudera lepas sampai bisa berenang bebas. Namun, kali ini, Arsha sang tukik harus dihadapkan dengan kenyataan pahit; ia menetas terakhir. Tukik yang menetas terakhir harus mengemban resiko paling besar, tukik-tukik yang lebih dahulu menetas, telah meninggalkan jejak berupa aroma telur di sekitar sarang, membuat predator dengan mudah menemukannya. Tukik bungsu yang malang bisa saja tiba-tiba diterkam rakun, kepiting hantu, bahkan burung camar. Dan predator dari Arsha, sang tukik malang adalah seorang wanita bernama Niskala.
Minggu, 25 Agustus 2013
“Sha, itu joranmu gerak!!!” teriak seorang pemuda dengan lantang kepada temannya yang sedang buang air kecil di balik bongkahan batu besar.
“Halah, bohong aja terus Wa…,” timpalnya malas.
“Arshaaaaa!! Buruan kesini, itu beneran gerak!” satu teriakan tambahan dari seorang perempuan muda yang terdengar lebih nyaring.
Mendengar teriakan kedua yang lebih meyakinkan, Arsha langsung bergegas pergi dari tempatnya dan berlari menuju dua orang yang sedari tadi meneriakinya, benar saja, ujung joran miliknya sedang bergerak-gerak dengan catutan tak berurutan, seperti ditarik-tarik sesuatu. Arsha bergegas untuk menarik joran miliknya, dengan kuat namun hati-hati, tarikannya yang semula mendapat perlawanan kuat, tiba-tiba hilang tanpa kekuatan, seperti menarik angin. Makhluk apapun yang tadi terjerat kail miliknya, sepertinya sudah berhasil menyelamatkan diri dan terbebas kembali ke lautan.
“Hahaha..., lepas, 'kan? makanya kalo temen bilang dengerin!” kata seorang pemuda bernama Rawamana alias Rawa yang langsung tertawa begitu temannya mengalami kesialan.
“Haha…, eh tapi bukan salah Arsha juga sih, Wa. Kamu tuh keseringan bohong, makanya dia susah percaya sama yang kamu bilang!” timpal Rhea.
“Nah…, bener kata Rhea, kamu udah kebanyakan bohong!” Sambung Arsha.
Tiga orang manusia yang bersahabat baik semenjak balita ini memang sudah biasa gaduh karena hal-hal kecil, sebagian besar memang karena ulah Rawa, yang selalu punya cara untuk membuat kedua sahabatnya geram, namun semua kegaduhan itu hampir selalu berakhir dengan tertawa bersama. Mereka bertiga sama-sama berusia delapan belas tahun dan baru saja lulus Sekolah Menengah Kejuruan.
Rawa, laki-laki penuh euforia, mudah tertawa dan sering bersikap konyol, berbanding terbalik dengan Rhea, perempuan ini lebih dewasa darinya, ia selalu menjadi dinding pembatas apabila Rawa mulai bersikap berlebihan di waktu dan tempat yang tidak tepat. Arsha, anak pendiam dan cuek di depan banyak orang, namun mampu menjadi pribadi yang terbuka di hadapan sahabat-sahabatnya, Arsha juga cukup dewasa.
“Ah, udahan yuk! Panas banget ini, emang ikannya masih kurang, Sha?” tanya Rhea sembari menyeka keringat di wajahnya dengan lengannya yang putih.
“Udah cukup sih, Rhe, yaudah, balik aja yuk! Wa, balik?” tanya Arsha pada Rawa.
“Ah, cemen kalian! Aku nggak akan pulang sebelum dapet hiu kepala martil!” tangkas Rawa pada kedua sahabatnya.
Rhea dan Arsha yang sudah mulai banyak berkeringat, saling melempar tatapan dan kerutan dahi setelah mendengar jawaban Rawa yang selalu diluar kepala mereka. Mereka berdua sepakat membalas “Terserah…,” kemudian bergegas merapikan joran dan perlengkapan memancing.
“Eh yaudah iyaaa aku ikut, duh kalian, susah diajak bercanda,” saut Rawa yang juga ikut membereskan barang-barangnya.
“Ya lagian, ubun-ubun udah panas dan kerongkongan kering kerontang gini, masih aja sempet bercanda,” balas Rhea.
“Iya iya, jangan ngambek dong manis,” canda Rawa, ia memang sering bercanda setengah rayu kepada Rhea, meskipun rayuannya selalu payah dan klise.
“Eh, Sha, jadi kira-kira kapan perempuan kota itu sampe ke rumahmu?” tanya Rhea
“Ah, aku diabaikan padahal udah bilang manis…,” potong Rawa
“Bodo amat!” ketus Rhea.
Arsha tertawa kecil melihat kedua sahabatnya saat sedang ribut, pemandangan yang sudah biasa ia lihat dari mereka.
“Kayaknya dia bakal sampe sore ini deh, Rhe,” jawab Arsha kepada Rhea yang tadi terpotong oleh Rawa.
“Oh, semoga dia betah deh…,” balas Rhea.
Ada alasan mengapa mereka memancing ikan bersama sedari pagi sampai siang bolong tadi, sore ini Arsha akan kedatangan tamu, seorang perempuan dari kota seberang, anak dari sahabat ayahnya. Untuk beberapa alasan, sang sahabat dari ayah Arsha ingin menitipkan anaknya untuk berkuliah di daerah Arsha, tentu saja akan tinggal bersama Arsha dan keluarganya untuk empat tahun ke depan. Jadi, tamu ini bukanlah sekadar tamu, ia juga akan menjadi penghuni rumah Arsha.
Ayah Arsha, Pak Khalid, adalah warga asli desa Bitung, ia bekerja sebagai seorang teknisi kapal di Pelabuhan Merak yang berjarak 160 kilometer di sisi lain Provinsi Banten, Pekerjaannya mewajibkan ia ikut dalam perjalanan di atas kapal, rutenya memang tak jauh, kapal yang ia naiki bukanlah kapal pesiar besar antar negara, melainkan hanya kapal ferry sedang yang mengangkut warga lokal untuk sampai ke Pulau Sumatera. Namun, pekerjaan ini membuatnya jarang pulang, ia bisa bekerja lima hari dalam seminggu dan pulang di hari sabtu, seninnya sudah harus berangkat lagi.
Sahabat Pak Khalid, Pak Rohim, merupakan warga asli desa Bitung juga, namun beliau telah merantau jauh dari desa semenjak usianya dua puluhan sampai kini ia hampir kepala lima, ia tak memiliki sanak saudara lagi di desa, karena ia anak tunggal dan orang tuanya telah meninggal, ia menikahi seorang wanita yang berasal dari Kota Bandung dan memutuskan untuk tinggal di sana sampai sekarang. Pak Khalid hanya bisa bertemu dengan sahabatnya beberapa tahun sekali, itu pun jika beliau ada urusan ke daerah Jawa Barat, namun kedua sahabat ini masih menjaga komunikasi dengan baik sampai sekarang.
Pak Rohim memiliki seorang anak perempuan berusia sama dengan Arsha, gadis ini baru saja lulus Sekolah Menengah Atas. Karena alasan tertentu, Pak Rohim memutuskan untuk menitipkan anaknya kepada keluarga Arsha, beliau ingin anak gadisnya tinggal jauh dari perkotaan dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi dekat tanah kelahirannya. Keputusan yang menurut Arsha sedikit rancu, karena perguruan tinggi di daerahnya tidaklah sebagus perguruan tinggi di kota besar seperti Bandung.
Ikan yang telah Arsha kumpulkan sedari pagi, dimaksudkan untuk dibakar malam ini, untuk menyambut Pak Rohim dan anaknya yang dijadwalkan akan sampai beberapa jam lagi. Mereka berangkat dari Kota Bandung menggunakan mobil yang dikemudikan oleh seorang sopir, menempuh jarak sekitar tiga ratusan kilometer dan memakan waktu sampai tujuh jam perjalanan, jadi sudah sewajarnya jika mereka disambut dengan sepantasnya.
“Assalamualaikum, Bu, Pak,” salam Arsha kepada orang tuanya sesaat setelah ia sampai di rumah dengan ember penuh ikan, Rawa dan Rhea sudah pulang ke rumah masing-masing, mereka akan datang ke rumah Arsha nanti malam, karena Rawa dan Rhea juga akan menjadi teman dari anak Pak Rohim nantinya, jadi malam ini mereka juga bisa langsung berkenalan dengannya, sekaligus ikut meramaikan acara makan bersama.
“Waalaikumsalam, Sha,” balas ibu Arsha, Bu Ani. Bu Ani berperan sebagai seorang Ibu Rumah Tangga di keluarga Arsha, sebenarnya beliau pernah menjadi pengajar di Sekolah Menengah Pertama yang tidak jauh dari desa, namun beliau berhenti semenjak komplikasi penyakit mulai menggerayangi tubuhnya, salah satunya adalah penyakit yang biasa dialami orang yang sudah berumur empat puluh tahun, yaitu Gout alias Asam Urat. Asam Urat yang dialami Bu Ani memang tidak begitu kronis, namun kekhawatiran Pak Khalid tidak bisa dibendung, ia menyarankan Bu Ani untuk berhenti saja dan bersantai di rumah.
Arsha disambut sang ibu sendirian di rumah, Pak Khalid sepertinya sedang keluar karena suatu urusan, Arsha adalah seorang pemuda yang mandiri, tidak seperti kebanyakan anak laki-laki lain yang mungkin akan langsung menyerahkan ikan tangkapannya kepada sang ibunda untuk dibersihkan, Arsha langsung pergi ke dapur untuk membersihkannya sendiri, ia juga bisa memasak berbagai jenis hidangan makanan, karena baginya, memasak adalah sebuah keterampilan untuk bertahan hidup, tidak masalah pria ataupun wanita, semua orang setidaknya harus bisa memasak untuk dirinya sendiri.
Ikan yang telah dibersihkan langsung dilumuri dengan bumbu ikan bakar yang telah dibuat oleh Bu Ani untuk kemudian di marinasi agar bumbunya menyerap dengan maksimal dan nanti malam hanya tinggal dibakar saja. Arsha bergegas mandi setelah membersihkan ikan, melanjutkan dengan ibadah wajib dan memutuskan untuk tidur siang didampingi hembusan sejuk kipas angin yang menempel di dinding kamarnya.
***
“Sha, bangun, Sha…,” ujar lembut seorang ibu sambil mendorong-dorong kecil tubuh anaknya yang masih terlelap.
Mata yang masih tertutup kuat itu harus terpaksa dibuka perlahan, “Iya sebentar lagi Buuu…,” lirih Arsha kepada ibunya. Tertidur di siang hari menjelang sore adalah sesuatu yang nikmat bagi seorang Arsha, ia akan sulit untuk bangun kalau sudah berada di penjara tidur ini, apalagi, ia yang baru lulus sekolah benar-benar menikmati momen tidur siang yang sulit didapatkan selama beberapa tahun terakhir, paling hanya saat akhir pekan ia baru bisa mendapatkannya.
“Bangun, itu Pak Rohim udah sampe, cuci muka terus salim sana!” timpal Bu Ani kepada Arsha yang masih sangat sulit untuk bangun.
Arsha dengan kesadaran yang baru terkumpul setengah, terhuyung-huyung bak pemuda mabuk salah pergaulan nekat berjalan ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya yang tak begitu rupawan, kurang selangkah menuju pintu kamar mandi, tubuhnya terhenti, mematung di depan seseorang yang tak pernah ia lihat seumur hidupnya, seorang gadis muda yang mengenakan pakaian lengan panjang berwarna abu tua, tampaknya gadis ini baru selesai menggunakan kamar mandi.
“Permisi…,” ujar Arsha spontan sambil memberikan tanda berupa tangan dan tatapan sedikit ke bawah, bahasa universal untuk meminta izin lewat.
“Eh, iya…,” jawab lembut sang gadis asing sembari mempersilakan Arsha lewat.
Kesadaran Arsha baru benar-benar kembali sepenuhnya sesaat setelah air membasahi wajahnya, ia kini berdiri didepan cermin.
“Tadi, anaknya Pak Rohim, ya?” gumamnya sedikit pelan.
Pemuda mabuk yang tadi memasuki kamar mandi, kini melangkah keluar sebagai pemuda siuman yang sudah taubat, sadar sepenuhnya hanya karena air setara tiga gayung. Arsha menghampiri Pak Rohim dan sang Sopir yang masih kerabat dari istri beliau untuk memberi salam, Pak Khalid juga telah kembali dan kini mendampingi mereka merokok dan minum kopi di selasar depan rumah.
“Arsha, ya? Udah gede ya sekarang, terakhir ketemu waktu masih setinggi pinggang, sekarang sudah melewati saya haha…,” celetuk Pak Rohim begitu santai sambil tertawa.
“Eh, iya Pak hehe…,” timpal Arsha sedikit canggung, ia tak ingin memikirkan bagaimana bisa Pak Rohim membandingkan tingginya dengan pinggangnya semasa itu, padahal masih ada unsur lain yang bisa dijadikan komparasi.
“Bapak titip si neng ya, Sha. Tolong jagain selama di sini. Kalo dia ngerepotin, marahin aja gapapa hahaha…,” lanjutnya begitu santai dan lagi-lagi tertawa, Arsha tak habis pikir, seorang ayah menitipkan anak gadisnya untuk tinggal selama empat tahun di tempat yang berjarak ratusan kilometer darinya, namun seperti tidak ada kekhawatiran tercermin dari perangainya.
“Iya, Pak, InsyaAllah saya jaga,” jawab Arsha singkat padat.
Arsha baru menyadari bahwa ia belum melihat lagi gadis yang tadi berpapasan dengannya, padahal ia merasa sedikit bersalah karena tidak menyalaminya. Setelah berbincang lebih lama dengan Pak Rohim, tak disangka, sang gadis yang ia pertanyakan keberadaannya muncul secara tiba-tiba dari balik pintu dengan hiasan tirai bergantungan cangkang kerang, pintu dari sebuah ruangan yang akan menjadi kamar pribadinya, ternyata sedari tadi ia sibuk menyusun pakaiannya di dalam. Arsha berdiri, memasuki rumah kembali dan menghampiri gadis itu tanpa pikir panjang.
“Hai, perkenalkan, Arsha…,” ucapnya pelan sambil mengulurkan tangan dan mengharap balasan.
Untuk beberapa detik, sang gadis hanya terdiam kaku, menatap ke arah Arsha dengan lipatan mata yang menipis tajam. Arsha sedikit bingung dengan situasi itu, ia berpikir apakah sang gadis marah karena ia tak menyalaminya sebelumnya. Sang gadis yang mula-mula terlihat serius, mendadak menunjukkan senyum tipis dengan tatapan sayu.
“Sama pacar sendiri udah lupa?” tanya gadis itu santai dengan gestur menggoda.
Arsha sontak terperanjat mendengar pertanyaan yang sangat abstrak dari seseorang yang tak pernah ia jumpai sebelumnya. Arsha tak pernah mempunyai pacar seumur hidupnya, mendekati wanita saja ia tak mencari tahu caranya, ia mampu, namun memilih untuk tidak melakukannya. Jadi, sudah jelas bahwa gadis ini mengada-ngada.
“Haaaahh?!! Pacar? Kamu mabuk darat?” tanya Arsha sedikit curiga.
“Enak aja! Aku sadar seratus persen!” jawab gadis itu merajuk.
“Kita aja baru ketemu! Dan aku nggak pernah punya pacar!” cetus Arsha.
“Kamu punya pacar! Namanya Niskala…, itu aku!” celetuk sang gadis percaya diri.
“…,” Arsha terdiam keheranan.
“Au ah!” timpal Niskala, sang gadis misterius, yang kemudian melesat pergi dan masuk kembali ke kamarnya, meninggalkan seorang pemuda kebingungan mematung dengan pikiran yang masih tenggelam dalam keheranan.
Di sisi lain, sang pemuda bingung, masih belum mampu memproses kejadian yang baru terjadi sepersekian detik lalu, ia memikirkan sebuah kemungkinan dan membangun hipotesis menakutkan, yaitu Niskala adalah makhluk yang lebih random dari Rawa dan makhluk ini akan tinggal di rumahnya untuk waktu yang lama.Kepulan asap tipis berkumpul di atas potongan kayu bakar yang sedang dikipasi oleh Pak Khalid, ikan-ikan segar berbumbu dibariskan tertib melewati tusukan bilih bambu oleh Pak Rohim dan Pak Sopir, semua penghuni rumah Arsha sudah berkumpul di halaman belakang, kecuali Bu Ani dan Niskala, yang sedang sibuk di dapur untuk menyiapkan nasi dan lauk tambahan untuk nantinya menemani ikan-ikan segar itu. Di tengah ingar bingar kesibukan masing-masing, muncul Arsha dengan membawa dua buah daun pisang ukuran besar yang baru ia ambil dari kebun tak jauh dari belakang rumahnya. Makan bersama banyak orang beralaskan daun pisang merupakan hal yang biasa, selain karena asas persatuan dan kebersamaan, budaya Liwetan ini juga dipercaya bisa membuat acara makan lebih nikmat, tradisi ini sudah muncul sejak masuknya pengaruh Agama Islam di Pulau Jawa dan banyak ditemukan di pesantren-pesantren pada masa
Desa Bitung memang terletak di daerah dekat pesisir pantai, tapi bukan berarti desa ini tertinggal, tempat tinggal Arsha contohnya, jarak antar rumah warga tidak terlalu dekat dan hampir semua penduduk hidup di atas tanah milik sendiri, rumah-rumah warga pun sudah mengikuti zaman, memang ada beberapa yang masih berbentuk seperti bangunan tempo dulu, namun biasanya rumah tersebut dimiliki oleh penduduk yang sudah sepuh dan ditinggal pergi anak-anaknya yang merantau dan jarang pulang ke desa.Rumah Arsha sendiri merupakan bangunan permanen modern dengan pondasi yang kokoh seperti kebanyakan bangunan di kota-kota kecil. Rumah ini memiliki dua lantai dan sebuah garasi untuk mobil Kijang kebanggaan Pak Khalid, di lantai pertama terdapat empat buah ruangan, satu kamar Pak Khalid dan Bu Ani, satu kamar dengan pintu berhiaskan tirai cangkang kerang yang kini menjadi kamar Niskala, satu kamar tamu yan
Mentari mulai meninggi di pukul delapan lewat tiga puluh menit pagi, dua orang bak tentara baru pulang dari medan perang terlihat dari kejauhan, terbirit-birit di atas sepeda berjok belakang. Ketika kebanyakan tentara lain pulang dengan bekas luka, kedua tentara muda ini pulang dengan kedinginan, bertempur habis-habisan dengan hukum alam. Tak ada penghargaan semacam medali seperti di zaman kepahlawanan, yang ada hanya sambutan dari kedua orang tua yang sedari pagi bertanya kemana anak-anaknya.30 menit sebelumnya.“Sha, teh angetnya tinggal segini…,” lirih seorang perempuan berselimut jaket hitam, sambil menunjukkan isi termos kecil kepada orang di sebelahnya.“Kamu abisin aja pelan-pelan, kita tunggu matahari naik sedikit lagi, abis itu baru pulang. Kalau pulang sekarang
Senin sore, 3 Agustus 2020 Payung-payung besar terlihat ramai berjajar, gagangnya tertanam di dalam pasir dekat bibir pantai, suara gerombolan anak kecil berlari saling mengejar, suara orang dewasa yang saling bicara dan tertawa, keheningan pasangan muda-mudi yang memilih bicara melewati hati sembari menunggu senja, ingar-bingar kebisingan tanpa batas menyelimuti nyaris setiap lingkup sudut Pantai Renjana. Seorang pria muda lesu berpakaian formal tanpa dasi, kucal kulit gelap aura, terduduk diam sendirian di atas sebuah gazebo tua yang baru di pernis ulang, membelakangi meja-meja penuh terisi manusia, di belakang sebuah kedai es kelapa berpegawai tiga. Sorot matanya nyaris padam dengan pandangan tenggelam ke bawah, bagai seekor lembu ditinggal induknya. Deburan ombak dan derap langkah kaki tanpa henti di sekitar tak membuatnya sadar, kegelapan sudah telanjur menyeli
Kamis, 29 agustus 2013Lima hari setelah kedatangan Niskala, Arsha tak hentinya mengeluh karena perlakuan perempuan jahil itu, ia selalu saja menemukan cara untuk membuat Arsha kesal. Untungnya, belum ada kejadian yang lebih buruk dibanding saat ia dipaksa pergi ke pantai saat pagi buta. Arsha sudah membawa perempuan itu dalam sebuah perjalanan menyusuri seluk beluk desa, bersama Rawa juga Rhea, mereka mengenalkannya ke tempat-tempat penting yang mungkin nanti ia butuhkan.Desa ini memang tidak begitu ketinggalan zaman, namun bukan berarti semua hal ada di sini, seperti toko kelontong contohnya, hanya ada dua toko yang cukup besar di desa, toko pertama hanya berjarak tak lebih dari tiga ratus meter dari rumah Arsha. Sementara toko kedua, berjarak kurang lebih dua kilometer, sangat repot jika harus berjalan kaki menuju ke sana, Arsha biasa menggunakan sepedanya jika ia
Clermont adalah nama dari kapal uap pertama yang secara komersial telah sukses menjalankan tugasnya di atas air tanpa masalah, kapal rancangan Robert Fulton itu merupakan kapal berbahan bakar batu bara yang pertama kali dipakai di daerah Clermont, New York dan berhasil menaklukkan Sungai Hudson sejak tahun 1807 sampai 1814. Kapal itu dipersenjatai dengan mesin berkekuatan dua puluh tenaga kuda yang Robert impor dari Birmingham, Inggris. Mesin impor itu menggerakkan sepasang roda berpedal dengan diameter 450 sentimeter yang dipasang di tiap sisi kapal Clermont, sehingga membuatnya bisa bergerak di atas air tanpa bantuan layar dan angin seperti kapal-kapal lain di masanya.Hasil ciptaan Robert Fulton itu menjadikannya salah satu penemu Amerika yang paling berpengaruh dalam perkembangan teknologi transportasi, pria kelahiran tahun 1765 itu berhasil me
Potongan kertas tersebar menghiasi bagian atas amben yang berada di belakang rumah Arsha, amben yang sebelumnya digunakan untuk acara makan bersama saat hari kedatangan Niskala, kini kembali digunakan di hari keenam perempuan itu di sana. Amben yang sebelumnya dihiasi oleh daun pisang yang Arsha potong telah tergantikan oleh kardus bekas dan kertas-kertas karton. Kedua benda itu Arsha pungut dari sudut-sudut rumah, bukan untuk menjadi alas makan bersama, melainkan untuk kebutuhan Ospek di kampusnya. Arsha, Niskala, Rhea dan Rawa sudah berkumpul sejak pukul sepuluh pagi, rasa hangat dari cahaya mentari telah menyelimuti permukaan kulit mereka nyaris di setiap inci. Empat buah tanda nama berukuran tiga puluh kali sepuluh sentimeter yang terbuat dari potongan kardus telah selesai mereka rangkai, tanda nama pertama bertuliskan Antariksha Bumisakti dan nama jurusan tanpa sedikit pun hiasan
Hukuman berupa pengucilan dari masyarakat telah diterima oleh seorang pria tua pada tanggal 22 juni tahun 1633, setidaknya itulah hasil dari putusan pengadilan gereja masa itu di Italia. Pria tua itu disidang karena dianggap telah melenceng dari kepercayaan masyarakat, ia mempercayai sebuah teori yang mengatakan bahwa bumi mengelilingi matahari, teori yang pada akhirnya ternyata benar dan terbukti. Galileo Galilei adalah seorang fisikawan terkemuka yang hidup di pertengahan abad ke enam belas. Beliau adalah orang yang menyempurnakan teropong bintang, benda ajaib yang memiliki kemampuan untuk melihat dan menembus lapisan langit, salah satu benda yang juga sangat digemari oleh seorang laki-laki bernama Antariksha Bumisakti. Gumpalan sampah berwujud potongan kertas bak limbah kembali terlihat di depan sekumpulan anak manusia,