Kepulan asap tipis berkumpul di atas potongan kayu bakar yang sedang dikipasi oleh Pak Khalid, ikan-ikan segar berbumbu dibariskan tertib melewati tusukan bilih bambu oleh Pak Rohim dan Pak Sopir, semua penghuni rumah Arsha sudah berkumpul di halaman belakang, kecuali Bu Ani dan Niskala, yang sedang sibuk di dapur untuk menyiapkan nasi dan lauk tambahan untuk nantinya menemani ikan-ikan segar itu. Di tengah ingar bingar kesibukan masing-masing, muncul Arsha dengan membawa dua buah daun pisang ukuran besar yang baru ia ambil dari kebun tak jauh dari belakang rumahnya.
Makan bersama banyak orang beralaskan daun pisang merupakan hal yang biasa, selain karena asas persatuan dan kebersamaan, budaya Liwetan ini juga dipercaya bisa membuat acara makan lebih nikmat, tradisi ini sudah muncul sejak masuknya pengaruh Agama Islam di Pulau Jawa dan banyak ditemukan di pesantren-pesantren pada masa itu, tradisi ini juga menjalar ke Tatar Sunda, yaitu istilah untuk Tanah Sunda di bagian barat Pulau Jawa bekas kekuasaan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Sunda Galuh.
Arsha sebenarnya masih sedikit memikirkan kejadian aneh yang baru terjadi tiga jam lalu antara ia dan Niskala, namun pemikiran itu ia kubur dalam-dalam karena menganggap Niskala hanya bercanda saja, lagipula Niskala juga tidak membahasnya lagi, mereka berdua sudah beberapa kali berpapasan namun tak ada yang membuka pembicaraan, Arsha juga tidak tahu harus berkata apa padanya, karena memang tak ada hal yang bisa ia bahas dengan gadis itu.
Dua buah daun pisang yang Arsha bawa sudah disiapkan di atas amben tempat biasa ia bersantai, yang kini akan dipakai untuk tempat makan semua orang. Amben adalah dipan atau balai-balai, yaitu bangku panjang rendah tanpa sandaran yang terbuat dari bambu, digunakan sebagai tempat duduk atau untuk sekadar berbaring, Amben di belakang rumahnya juga merupakan tempat yang nyaman untuk bersantai bagi Rawa dan Rhea jika sedang berkunjung ke rumahnya.
Arsha yang baru bersiap membersihkan daun pisang dengan lap basah bersih, melihat dua orang sosok yang tidak asing mendekat ke arahnya. Seorang lelaki muda terlihat seperti sedang asik bercanda dengan perempuan di sebelahnya, yang sepertinya menanggapi lelaki itu seadanya. Siapa lagi kalau bukan Rawa dan Rhea, mereka sudah biasa datang bersama karena rumah mereka berdekatan, Rhea juga tidak bisa datang sendiri ke rumah Arsha jika hanya bermodalkan lampu senter dan cahaya bulan, pada dasarnya ia hanyalah perempuan biasa yang takut dengan kegelapan malam.
“Wih, kayaknya ada yang seneng bersih-bersih nih,” cetus Rawa kepada Arsha. Arsha yang mendengar celotehannya langsung melempar temannya itu dengan lap basah yang sedari tadi ia gunakan untuk menggosok daun pisang.
“Giliranmu bersihin!” gerutu Arsha setelah lap basahnya berpindah tangan.
Melihat kedua temannya, Rhea mulai tertawa sambil menutupi mulutnya dengan telapak tangan, suara cekikikan keluar dari sela jari jemarinya, merambat melalui udara dan sampai ke telinga Arsha, yang kini menatapnya dengan tatapan kesal.
“Kamu juga ikut bersihin!” perintah Arsha kepada Rhea.
“Si … siap Boss!” jawab Rhea dengan telapak tangan yang kini berpindah ke dahi dengan posisi punggung tangan menghadap ke atas dan ujung jari lurus menuju pelipis, persis seperti anak sekolah dasar yang baru belajar hormat bendera.
Ekspresi datar sedikit kesal yang terpatri di wajah kedua temannya membuat Arsha tersenyum menyeringai licik bak Ibu tiri Cinderella yang sedang seenaknya memerintah sang gadis bersepatu kaca untuk menggosok daun pisang.
“Haha…, enak aja, dateng-dateng mau langsung makan. Kerja dulu!” kekeh Arsha di hadapan kedua Cinderella malang.
“Rhe…, dia kayak emak-emak, ya…,” bisik tipis Rawa di telinga Rhea.
“Pff…,” decit bibir Rhea menahan tawa.
“Aku bisa denger kalian!” ketus Arsha tiba-tiba.
Mendengar sang Ibu tiri tiba-tiba sedikit berteriak, gerak tangan kedua Cinderella mendadak cepat seperti kilat, daun pisang yang sebelumnya seperti keset berdebu, mulai terlihat kinclong dan memantulkan cahaya lampu lima belas Watt yang berada tidak jauh dari sana.
“Kamu jahat banget…,” ujar lembut seseorang tiba-tiba, suaranya berasal dari arah belakang Arsha.
“Heh?” celetuk Arsha sedikit kaget sembari memalingkan pandangan ke belakang, terlihat seorang gadis yang muncul entah dari mana, dengan kulit putih yang sepertinya mampu memantulkan cahaya jauh lebih baik dibanding daun pisang para Cinderella. Ia muncul tiba-tiba tidak bedanya seperti Ibu peri yang datang untuk menyelamatkan Rawa dan Rhea, siapa lagi kalau bukan Niskala.
“Itu lho, nyuruh orang sampe segitunya,” ujar sang Ibu peri.
“Ah, gapapa, mereka mah paling seneng disuruh-suruh kok,” celetuk Arsha.
“Eh, beneran?” tanya Ibu peri.
“Nggak laaaah!” teriak kompak Rawa dan Rhea.
Mendengar teriakan kedua orang itu secara kompak membuat Niskala kesulitan menahan tawa, sosok tenang Ibu peri telah hilang, digantikan dengan keindahan yang melebihi bayangan orang-orang, ia tertawa kecil dengan bebasnya, dengan kelopak mata menutup tipis dan pipi mendadak merah muda, telapak tangan kanannya sedikit menutup mulut dan tangan kirinya melingkar di perut. Ia bukan lagi Ibu peri, ia adalah seorang Dewi.
“Hahaha … aduh, maaf ngetawain…,” ujarnya lirih.
“Gapapa!” balas Rawa dan Rhea yang lagi-lagi secara bersamaan mengatakan hal yang sama, mereka berdua sama-sama kagum dengan kecantikan dari perempuan asing yang baru mereka lihat.
“Hahaha! Kok kalian kompakan banget sih?!” balas Niskala yang lagi-lagi tertawa.
Rawa dan Rhea lantas saling melempar tatapan setelah mendengar perkataan Niskala, kompak adalah sebuah kata yang sulit untuk diterapkan di antara keduanya, mereka bahkan sering sekali bertikai karena hal-hal kecil.
“Oh iya, Aku Niskala…,” salam Niskala kepada Rawa dan Rhea sambil mengulurkan tangannya.
“Aku Rhea, kami nggak kompak kok, dia aja mungkin yang ikut-ikut,” ucap Rhea sembari menjabat tangan Niskala.
“Enak aja! Kamu kali ikut-ikut! Oh iya, aku Rawa, salam kenal ya hehe…,” ujar Rawa yang mendadak menurunkan suara dan bersikap sok lembut.
Arsha yang melihat kejadian ini langsung merasa lega, ia yang sebelumnya merasa janggal dengan sikap Niskala, kini hanya menganggapnya sebagai gadis biasa, mungkin ucapannya tadi sore hanya sebatas gurauan belaka.
“Sha, aku ingin bicara empat mata denganmu, mari ke sana sebentar,” celetuk seorang Rawa tiba-tiba dengan lantangnya, orang ini benar-benar payah dalam menyembunyikan sifat sok-sokannya, ia jelas ingin terlihat keren di depan seorang perempuan cantik yang baru ia kenal.
“Ya, sudah kuduga…,” timpal Arsha dengan malas, ia sudah tahu apa yang akan Rawa bicarakan, lagi-lagi membuktikan bahwa orang ini benar-benar payah dalam menyembunyikan tujuannya.
“Udah ayo!” balas Rawa sambil menyeret Arsha sedikit memaksa, ia baru berhenti setelah berjarak sepuluh meter dari Niskala dan Rhea.
“Apa maksudmu, Sha? Kamu ngga pernah bilang perempuan yang bakal tinggal di rumahmu secantik itu,” tanya Rawa tiba-tiba.
“Ya mana ku tahu, bego. Aku nggak pernah lihat fotonya, lagipula kamu lebay, dia nggak secantik itu,” jawab Arsha.
“Nggak secantik itu? Aku tau kamu nggak begitu bisa lihat perempuan. Tapi kamu beneran nggak bisa lihat kecantikan dia? Pas dia ketawa tadi? Dia cewek paling cantik yang pernah ku lihat di desa ini!” tegas Rawa.
“Dia emang cantik, tapi aku biasa aja sama dia. Bagiku dia sama aja kayak cewek lain yang ku kenal,” ujar Arsha santai.
“Aku nggak mengerti seleramu, Sha…, kalau begitu, aku mau deketin dia, kamu nggak masalah, kan? Eh, sekalian kamu bisa bantuin, dong?” tanya Rawa penasaran.
“Ya ya ya, terserah kamu, Wa. Aku sih mau aja bantu asal nggak aneh-aneh,” ujar Arsha.
“Sip, terimakasih saudaraku!” cetus Rawa.
Sebenarnya Arsha mengiyakan permintaan Rawa agar urusannya cepat selesai dan ia bisa beranjak kembali ke tempat semula. Bukan hal baru bagi Arsha melihat Rawa yang mudah tertarik dengan perempuan, saat masa sekolah, ia kerap mendatangi Arsha tiba-tiba hanya untuk mengatakan bahwa ia menyukai seseorang, sebuah informasi yang sangat tidak penting bagi Arsha. Rawa sendiri banyak menerima penolakan dari para perempuan yang ia dekati, jadi kemungkinan kali ini juga akan berakhir sama.
Sesampainya di tempat semula, Arsha mendapati Rhea sudah mulai bisa berbincang asik dengan Niskala, sepertinya mereka berdua sangat cocok dan bisa menjadi teman baik. Di sisi lain, Rawa datang dengan tampang sok tampan, mencoba berlagak keren di depan gebetan yang baru ia dapatkan.
“Niskala, menurutmu gimana desa ini? Pasti beda banget sama kota asalmu, ya?” tanya Rawa dengan bodohnya, sudah jelas desa yang nyaris berada di daerah pesisir ini sangat tidak bisa dibandingkan dengan kota besar seperti Bandung.
“Eh…, iya beda banget, di sini sepi…, tapi aku suka, udaranya segar dan suasananya nyaman,” jawab Niskala.
“Emangnya pacarmu yang di sana nggak sedih kamu tinggal?”
Pertanyaan terakhir yang diajukan Rawa membuat Rhea dan Arsha tersentak, Rhea langsung menatap tajam ke arah Rawa dan memberinya kode bahwa pertanyaannya terlalu berlebihan. Di sisi lain, setelah mendengar pertanyaan Rawa, mata Niskala langsung menuju ke Arsha, yang membuat Arsha merasakan firasat tidak enak, ia teringat kejadian sore tadi di mana Niskala mengatakan bahwa ia adalah pacarnya, Arsha membalas tatapan Niskala sedikit tajam dan memberinya kode berupa gelengan kepala, yang secara tidak langsung berarti “Jangan mengatakan hal yang sama seperti saat sore tadi.”
“Eh, dia nggak—” jawab Niskala setelah terdiam beberapa detik.
“Nggak? Lelaki macam apa yang nggak sedih ditinggal pacarnya?” potong Rawa antusias.
“Dia nggak di sana…,” Jawab Niskala pelan dan lirih.
“Hah? Maksudnya?” tanya Rawa penasaran.
“Dia di sini…,” jawab Niskala semakin pelan. Kali ini ia mulai menundukkan wajah, Arsha yang melihatnya mulai gusar karena firasat buruk yang ia rasakan tadi semakin membesar. Sementara itu, Rhea dan Rawa kebingungan setelah mendengar jawaban Niskala, bagaimana mungkin bisa ia sudah punya pacar padahal baru beberapa jam semenjak sampai di sini. Kebingungan mereka mulai terjawab ketika tangan kanan Niskala mulai meninggi secara lamban, empat buah jarinya mengepal meninggalkan satu jari telunjuk yang terbuka lebar, membentuk arah tunjuk yang kini tegak lurus mengarah kepada seseorang, “Arsha…,” ucapnya nyaris tak terdengar.
Mendengar ucapan Niskala, Arsha sontak merasa kaget, seperti mendengar suara petir menyambar saat langit sedang baik-baik saja. Rhea dan Rawa yang mendengarnya juga sukses dibuat mematung oleh pernyataan gadis ini. Rhea, merasa bingung karena Arsha tak pernah mendekati seseorang, mendengar ia punya pacar dan pacarnya adalah seorang perempuan yang baru ia kenal beberapa jam, tentu saja adalah hal yang menurutnya tidak masuk akal. Sementara itu, Rawa tak berhenti menatap Arsha dengan tajamnya, tidak seperti Rhea, Rawa merasa dirinya telah dibohongi oleh Arsha, padahal sebelumnya Arsha berkata bahwa Niskala adalah perempuan biasa sama seperti yang lainnya, namun, ia tentu saja tidak marah, karena Rawa sejak lama menginginkan Arsha untuk memiliki pacar, khawatir sahabatnya ini akan menyendiri selamanya.
Yang paling terbebani saat ini, Arsha, tentu saja merasa penuh tekanan dari kedua temannya, ia merasa harus segera menjelaskan, tapi ia sendiri tidak mengerti tentang apa yang sedang terjadi, yang ia tahu, Niskala sangat sulit untuk dimengerti.
“Sha…? Aku nggak tahu kamu sehebat itu, baru sebentar ketemu udah macarin anak orang aja hahaha,” ujar Rhea.
“Saudaraku…, kenapa nggak bilang aja dari tadi? Kalo gitu kan aku nggak akan macam-macam sama pacarmu, aku ikut senang,” timpal Rawa.
“Hah?! Kalian percaya dia? Niskala bohong!” tegas Arsha. Mendengar itu, Rhea dan Rawa kembali kebingungan, mereka semua terdiam.
“Mana mungkin aku nembak seseorang yang baru ku kenal tadi sore, itu kan aneh banget! Maksudmu apa, sih?” lanjutnya dengan tanya kepada Niskala.
Niskala yang mendengar Arsha sedikit tegas, tidak bisa berkata apa-apa, ia hanya terdiam dan menunduk, tidak ada yang bisa melihat wajah yang tertutupi rambutnya yang terurai ke depan itu, entah ia sedang menangis, tertawa atau memerah malu karena dianggap pembohong oleh Arsha. Sampai beberapa detik kemudian ia tiba-tiba bergerak memalingkan wajah ke belakang, melesat masuk ke dalam rumah tanpa ada satu kata pun keluar dari mulutnya, lagi-lagi meninggalkan orang lain dalam kebingungan.
Melihat Niskala yang pergi begitu saja, Rhea mulai khawatir dan ingin mengejarnya, ia takut Niskala menangis, namun Arsha secara sigap menahan tubuh Rhea.
“Jangan dikejar, biar aku jelasin dulu. Tadi sore, dia juga bilang aku pacarnya, aku beneran nggak ngerti,” ucap Arsha kepada Rhea dan Rawa.
“Hah? Kok gitu?” tanya Rhea.
“Walah … aku jadi ikutan bingung,” timpal Rawa ikut bersuara.
“Makanya, aku juga nggak kalah bingung. Aku nggak ngerti sama sekali maksud dia apa,” balas Arsha.
Mereka bertiga berdiri mematung, tak tahu apa yang sedang terjadi, sampai tidak lama terdengarlah suara langkah kaki cepat yang berasal dari dalam rumah, seorang perempuan berlari terbirit-birit sambil memeluk sebuah papan kayu ke arah mereka bertiga, ia berlari dengan wajah sumringah, tersenyum dengan antusias.
“Hufftt…, capek,” ucapnya sambil terengah-engah setelah sampai di depan ketiga orang yang tadi ia tinggalkan, “Nih…,” lanjutnya dengan menyodorkan papan kayu itu kepada Arsha.
Arsha menerima papan kayu itu dengan kebingungan, Rhea dan Rawa yang ikut mendekat untuk melihat juga tidak kalah bingung. Ia lantas membalikkan papan kayu yang kini mereka bertiga tahu adalah sebuah bingkai foto yang sepertinya sudah berumur, bingkai ini berukuran delapan belas kali tiga belas sentimeter, terbuat dari kayu berwarna kecoklatan tua tanpa ukiran, bermotif bawaan dari serat kayu dan permukaan mengkilap khas hasil pernis transparan tanpa tambahan pewarna.
“Ini…,” ujar Arsha pelan setelah melihat sisi lain dari bingkai foto yang ia balik, bingkai ini dilengkapi kaca tipis di bagian tengah dan terdapat sebuah potongan cangkang kerang tertempel di bagian sisi kanan atasnya, secarik kertas foto agak buram terlihat di balik kaca yang melindunginya, sebuah foto dari dua orang anak kecil, lelaki dan perempuan yang sedang berdiri membelakangi pantai Renjana, pantai yang berjarak sepuluh menit bersepeda dari rumah Arsha.
Arsha, Rawa dan Rhea sama-sama terbelalak melihatnya, karena anak lelaki yang ada di foto itu sudah jelas-jelas adalah Arsha.
“Itu foto kita, hehe…,” ungkap Niskala tiba-tiba, “Dulu aku pernah datang ke sini, ke rumahmu, terus kita main bareng. Waktu itu kita ke pantai, teruuuuus pokoknya akhirnya kamu bilang kita pacaran,” jelasnya lagi dengan ekspresi wajah yang begitu cerah, ternyata sedari tadi ia bukanlah sedang sedih atau menangis, ia terlihat begitu senang.
Rawa dan Rhea, dengan mata yang sedikit berbinar, melihat Niskala dengan pemikiran yang sama, perempuan ini berada di level yang berbeda ketika sedang tersenyum dan tertawa. Mendengar ceritanya yang begitu manis, mereka tak lagi berasumsi aneh tentangnya. “Niskala hanyalah gadis polos biasa,” pikir mereka berdua.
Sementara itu, sang tokoh utama, Arsha, kali ini masih kebingungan dan tak menyangka, ia bahkan tak sedikit pun mengingat apa-apa tentang foto itu, ia berusia sekitar tujuh tahun di foto, artinya cerita Niskala terjadi sepuluh tahun yang lalu, bagaimana gadis ini bisa dan masih terus mengingatnya adalah hal yang membuat Arsha kagum terhadapnya.
“So sweet…,” ucap Rhea dan Rawa memecah suasana, mereka berdua lagi-lagi mengatakan hal yang sama, membuat Niskala kembali tertawa.
“Ta … tapi kan itu kejadian udah lama dan waktu itu kita cuma anak kecil, masa kamu anggap serius sampe sekarang?” tanya Arsha kepada Niskala.
“Biarin, terserah aku,” jawabnya singkat.
“Haaah?! Nggak bisa gitu dong, kan ini butuh persetujuanku!” balas Arsha.
“Kamu udah janji mau jagain aku lho waktu itu, pokoknya nggak boleh bantah, aku pacarmu! Titik!” timpal Niskala, “Siniin bingkainya!” lanjutnya sambil merebut paksa bingkai foto itu dari tangan Arsha, Niskala kembali memalingkan tubuhnya dan mencoba pergi meninggalkan mereka lagi, namun kali ini ia berhenti sejenak setelah beberapa langkah, melihat kembali ke arah mereka bertiga, menjulurkan lidahnya ke arah Arsha, “Wlee!” ejeknya dengan sukacita, kemudian melesat pergi begitu saja.
“Huft, aku harus gimana?” tanya Arsha kepada kedua sahabatnya.
“Gimana apanya, sialan! Kamu enak banget nggak usah berusaha tapi bisa dapet pacar secantik dia!” protes Rawa.
“Astaga…,” balas Arsha malas.
“Menurutku, kamu biarin aja dia begitu dulu, dia kelihatan seneng banget. Lagian ini kan baru hari pertamanya, dia bakal tinggal di sini untuk waktu lama lho,” timpal Rhea.
“Nah itu masalahnya, dia bakal tinggal lama di sini, hari pertama aja udah bikin pusing,” pungkas Arsha.
“Ya gimana, kita juga belum begitu kenal dia, mungkin kamu harus coba jelasin pelan-pelan ke Niskala, siapa tahu nanti dia bakal berhenti sendiri,” tutur Rhea.
“Yaudah deh aku ikut saranmu Rhe…, makasih ya, kamu emang teman terbaik!” balas Arsha.
“Terus aku dianggap apa?!!” protes Rawa mendengar ucapan Arsha.
“Cangkang kerang!” balas Arsha.
Setelah mendengar saran dari Rhea, Arsha memutuskan untuk membiarkan Niskala. Mereka bertiga melanjutkan kegiatan bersih-bersih dan mempersiapkan tempat yang akan dipakai untuk makan bersama. Pak Khalid yang sedari tadi telah selesai membuat arang ternyata telah menempatkan ikan-ikan itu juga di atasnya, membutuhkan waktu yang tidak begitu lama sampai semua ikan itu matang, Bu Ani juga telah selesai memasak tambahan makanan, ia terlihat keluar rumah membawanya bersama Niskala.
Acara makan bersama berlangsung dengan lancar, Rawa dan Rhea juga ikut berkenalan dengan Pak Rohim yang gemar tertawa. Untung saja Niskala tidak berulah dan membahas status paksanya dengan Arsha, ia bersikap normal di depan semua orang, namun masih terlihat sedikit kesal dengan Arsha. Acara ini berakhir setelah satu jam makan dan bersantai.
Arsha yang kini sudah terbaring di kamarnya sedang bersiap untuk terlelap, namun ia sedikit memikirkan apa yang akan terjadi kedepannya, ia tak pernah membayangkan orang yang kini serumah dengannya akan serumit Niskala. Tapi bagaimanapun juga, ia telah mengiyakan permintaan Pak Rohim untuk menjaga perempuan itu. “Hidup emang nggak bisa ditebak,” gumamnya sebelum ia benar-benar menutup mata dan tertidur pulas.
***
Keesokan harinya, pukul tujuh pagi, Arsha bangun untuk ke dua kalinya setelah ia memutuskan tidur selepas ibadah, ia mendapati secarik kertas terselip di celah bawah pintu kamarnya, yang saat subuh tadi tak ada disana. Perlahan ia buka satu lipatan yang ternyata menutup dua baris tulisan di dalamnya, yang ia kira secarik kertas ternyata adalah sepucuk surat.
“Aku mau lihat matahari terbit ke pantai yang ada di foto kita dulu, kalo kamu udah bangun, tolong susul ya, aku udah agak lupa jalan, jadi kayaknya bakal nyasar, hehe…, -Niskala.”
“Haaah?!!! Kalo nggak tahu jalan kenapa nekat kesana?! Terus, matahari terbit? udah jam tujuh pagi ini sialan!” batin Arsha meledak-ledak. Arsha tak punya pilihan selain bergegas menyusul perempuan yang seenaknya itu, Pantai itu berjarak sepuluh menit bersepeda, artinya, dia benar-benar tersesat jika sampai sekarang belum kembali juga.
Arsha berlari keluar dari kamarnya, ia mulai sedikit panik ketika menemukan dua sepeda yang ia punya masih ada di dalam rumah, “Cewek nekat itu jalan kaki?!!!” pikirnya. Arsha semakin mempercepat langkahnya, mengeluarkan salah satu sepeda dan mulai mengayuhnya.
“Siaaaaaaaal!!” teriaknya di atas sepeda yang mulai melaju menjauhi rumahnya.
Desa Bitung memang terletak di daerah dekat pesisir pantai, tapi bukan berarti desa ini tertinggal, tempat tinggal Arsha contohnya, jarak antar rumah warga tidak terlalu dekat dan hampir semua penduduk hidup di atas tanah milik sendiri, rumah-rumah warga pun sudah mengikuti zaman, memang ada beberapa yang masih berbentuk seperti bangunan tempo dulu, namun biasanya rumah tersebut dimiliki oleh penduduk yang sudah sepuh dan ditinggal pergi anak-anaknya yang merantau dan jarang pulang ke desa.Rumah Arsha sendiri merupakan bangunan permanen modern dengan pondasi yang kokoh seperti kebanyakan bangunan di kota-kota kecil. Rumah ini memiliki dua lantai dan sebuah garasi untuk mobil Kijang kebanggaan Pak Khalid, di lantai pertama terdapat empat buah ruangan, satu kamar Pak Khalid dan Bu Ani, satu kamar dengan pintu berhiaskan tirai cangkang kerang yang kini menjadi kamar Niskala, satu kamar tamu yan
Mentari mulai meninggi di pukul delapan lewat tiga puluh menit pagi, dua orang bak tentara baru pulang dari medan perang terlihat dari kejauhan, terbirit-birit di atas sepeda berjok belakang. Ketika kebanyakan tentara lain pulang dengan bekas luka, kedua tentara muda ini pulang dengan kedinginan, bertempur habis-habisan dengan hukum alam. Tak ada penghargaan semacam medali seperti di zaman kepahlawanan, yang ada hanya sambutan dari kedua orang tua yang sedari pagi bertanya kemana anak-anaknya.30 menit sebelumnya.“Sha, teh angetnya tinggal segini…,” lirih seorang perempuan berselimut jaket hitam, sambil menunjukkan isi termos kecil kepada orang di sebelahnya.“Kamu abisin aja pelan-pelan, kita tunggu matahari naik sedikit lagi, abis itu baru pulang. Kalau pulang sekarang
Senin sore, 3 Agustus 2020 Payung-payung besar terlihat ramai berjajar, gagangnya tertanam di dalam pasir dekat bibir pantai, suara gerombolan anak kecil berlari saling mengejar, suara orang dewasa yang saling bicara dan tertawa, keheningan pasangan muda-mudi yang memilih bicara melewati hati sembari menunggu senja, ingar-bingar kebisingan tanpa batas menyelimuti nyaris setiap lingkup sudut Pantai Renjana. Seorang pria muda lesu berpakaian formal tanpa dasi, kucal kulit gelap aura, terduduk diam sendirian di atas sebuah gazebo tua yang baru di pernis ulang, membelakangi meja-meja penuh terisi manusia, di belakang sebuah kedai es kelapa berpegawai tiga. Sorot matanya nyaris padam dengan pandangan tenggelam ke bawah, bagai seekor lembu ditinggal induknya. Deburan ombak dan derap langkah kaki tanpa henti di sekitar tak membuatnya sadar, kegelapan sudah telanjur menyeli
Kamis, 29 agustus 2013Lima hari setelah kedatangan Niskala, Arsha tak hentinya mengeluh karena perlakuan perempuan jahil itu, ia selalu saja menemukan cara untuk membuat Arsha kesal. Untungnya, belum ada kejadian yang lebih buruk dibanding saat ia dipaksa pergi ke pantai saat pagi buta. Arsha sudah membawa perempuan itu dalam sebuah perjalanan menyusuri seluk beluk desa, bersama Rawa juga Rhea, mereka mengenalkannya ke tempat-tempat penting yang mungkin nanti ia butuhkan.Desa ini memang tidak begitu ketinggalan zaman, namun bukan berarti semua hal ada di sini, seperti toko kelontong contohnya, hanya ada dua toko yang cukup besar di desa, toko pertama hanya berjarak tak lebih dari tiga ratus meter dari rumah Arsha. Sementara toko kedua, berjarak kurang lebih dua kilometer, sangat repot jika harus berjalan kaki menuju ke sana, Arsha biasa menggunakan sepedanya jika ia
Clermont adalah nama dari kapal uap pertama yang secara komersial telah sukses menjalankan tugasnya di atas air tanpa masalah, kapal rancangan Robert Fulton itu merupakan kapal berbahan bakar batu bara yang pertama kali dipakai di daerah Clermont, New York dan berhasil menaklukkan Sungai Hudson sejak tahun 1807 sampai 1814. Kapal itu dipersenjatai dengan mesin berkekuatan dua puluh tenaga kuda yang Robert impor dari Birmingham, Inggris. Mesin impor itu menggerakkan sepasang roda berpedal dengan diameter 450 sentimeter yang dipasang di tiap sisi kapal Clermont, sehingga membuatnya bisa bergerak di atas air tanpa bantuan layar dan angin seperti kapal-kapal lain di masanya.Hasil ciptaan Robert Fulton itu menjadikannya salah satu penemu Amerika yang paling berpengaruh dalam perkembangan teknologi transportasi, pria kelahiran tahun 1765 itu berhasil me
Potongan kertas tersebar menghiasi bagian atas amben yang berada di belakang rumah Arsha, amben yang sebelumnya digunakan untuk acara makan bersama saat hari kedatangan Niskala, kini kembali digunakan di hari keenam perempuan itu di sana. Amben yang sebelumnya dihiasi oleh daun pisang yang Arsha potong telah tergantikan oleh kardus bekas dan kertas-kertas karton. Kedua benda itu Arsha pungut dari sudut-sudut rumah, bukan untuk menjadi alas makan bersama, melainkan untuk kebutuhan Ospek di kampusnya. Arsha, Niskala, Rhea dan Rawa sudah berkumpul sejak pukul sepuluh pagi, rasa hangat dari cahaya mentari telah menyelimuti permukaan kulit mereka nyaris di setiap inci. Empat buah tanda nama berukuran tiga puluh kali sepuluh sentimeter yang terbuat dari potongan kardus telah selesai mereka rangkai, tanda nama pertama bertuliskan Antariksha Bumisakti dan nama jurusan tanpa sedikit pun hiasan
Hukuman berupa pengucilan dari masyarakat telah diterima oleh seorang pria tua pada tanggal 22 juni tahun 1633, setidaknya itulah hasil dari putusan pengadilan gereja masa itu di Italia. Pria tua itu disidang karena dianggap telah melenceng dari kepercayaan masyarakat, ia mempercayai sebuah teori yang mengatakan bahwa bumi mengelilingi matahari, teori yang pada akhirnya ternyata benar dan terbukti. Galileo Galilei adalah seorang fisikawan terkemuka yang hidup di pertengahan abad ke enam belas. Beliau adalah orang yang menyempurnakan teropong bintang, benda ajaib yang memiliki kemampuan untuk melihat dan menembus lapisan langit, salah satu benda yang juga sangat digemari oleh seorang laki-laki bernama Antariksha Bumisakti. Gumpalan sampah berwujud potongan kertas bak limbah kembali terlihat di depan sekumpulan anak manusia,
Hari pertama di bulan september tahun 2013 bukan hanya menjadi hari yang berbeda untuk Niskala yang akan segera ditinggal pergi oleh ayahnya. Hari ini juga menjadi titik temu bagi Arsha yang baru diberitahu sesuatu oleh ayah Niskala, sesuatu tentang anaknya yang membuat Arsha langsung begitu saja menjadi orang yang berbeda. “Sha…, kamu kenapa?” tanya dengan lirih seorang perempuan. Tak butuh waktu lama bagi orang yang ditanya untuk menjawabnya. “Maksudnya? Aku nggak kenapa-kenapa.” “Kamu agak beda gitu,” balas Niskala. “Itu perasaanmu aja kali,” timpal Arsha. Niskala maupun Arsha tak lagi melanjutkan kata-katanya, mereka kembali duduk di atas sofa