Beranda / Romansa / Kelana Nirbatas / Bab 7 - Embun Di Ujung Rumput

Share

Bab 7 - Embun Di Ujung Rumput

Kamis, 29 agustus 2013

Lima hari setelah kedatangan Niskala, Arsha tak hentinya mengeluh karena perlakuan perempuan jahil itu, ia selalu saja menemukan cara untuk membuat Arsha kesal. Untungnya, belum ada kejadian yang lebih buruk dibanding saat ia dipaksa pergi ke pantai saat pagi buta. Arsha sudah membawa perempuan itu dalam sebuah perjalanan menyusuri seluk beluk desa, bersama Rawa juga Rhea, mereka mengenalkannya ke tempat-tempat penting yang mungkin nanti ia butuhkan.

Desa ini memang tidak begitu ketinggalan zaman, namun bukan berarti semua hal ada di sini, seperti toko kelontong contohnya, hanya ada dua toko yang cukup besar di desa, toko pertama hanya berjarak tak lebih dari tiga ratus meter dari rumah Arsha. Sementara toko kedua, berjarak kurang lebih dua kilometer, sangat repot jika harus berjalan kaki menuju ke sana, Arsha biasa menggunakan sepedanya jika ia ingin membeli sesuatu yang tidak ada di toko kelontong pertama. Itu artinya, Niskala yang tidak bisa menaiki sepeda akan menambah tugas baru bagi Arsha, Arsha harus siaga kapan pun untuk mengantarnya jika perempuan itu ingin membeli sesuatu yang tidak ada di toko dekat rumah.

Untuk urusan belanja pangan, Bu Ani biasa pergi ke pasar yang berjarak sekitar delapan kilometer dari rumah, searah dengan kota terdekat dari desa, yaitu Kota Raya yang berjarak lima belas kilometer. Keluarga Arsha memiliki sebuah mobil Kijang dan dua buah kendaraan roda dua, mobil Kijang selalu dipakai oleh Pak Khalid untuk bekerja, satu motor dipakai oleh Bu Ani untuk bepergian, termasuk ke pasar dan satu motor lagi adalah milik Arsha. Arsha bukanlah orang yang gemar berkendara, motor miliknya jarang sekali ia tunggangi di atas aspal, sepeda lah yang selalu menjadi pilihannya untuk berkeliling desa. Namun karena tuntutan jarak, ia harus mulai menggunakan motor itu untuk berkuliah. Tentu saja, bersama Niskala yang akan duduk di jok bagian belakangnya.

Hari ini adalah jadwal Arsha untuk mengantar Niskala ke kampus mereka, Universitas Sultan Maulana Yusuf. Niskala yang sudah mendaftar dan diterima melalui jalur nilai rapor, harus segera mengumpulkan beberapa berkas administrasi yang tersisa, sekaligus melakukan verifikasi data, kehadirannya hari ini sangat dibutuhkan di sana. Niskala mendaftar sejak beberapa bulan lalu dengan mengirim berkas pendukung melalui perusahaan jasa pengiriman dari Kota Bandung, dibantu oleh ayahnya.

Universitas Sultan Maulana Yusuf atau UNSUF adalah sebuah Perguruan Tinggi yang terbilang cukup baru di Kota Raya, Perguruan Tinggi ini diresmikan pada 4 oktober 1996 oleh Presiden ke-2 Republik Indonesia, tepat empat tahun sebelum Provinsi Banten menyatakan memisahkan diri secara resmi dari Provinsi Jawa Barat dan menjadi provinsi yang berdiri sendiri. UNSUF adalah Perguruan Tinggi yang tidak terlalu besar, terdapat tiga fakultas di dalamnya, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan.

Kedua sahabat Arsha juga akan berkuliah di tempat yang sama. Rhea akan menjadi mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Jurusan Manajemen bersama dengan Niskala. Rawa akan mengejar mimpinya untuk menjadi ahli kelautan, ia mendaftar di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Jurusan Ilmu Kelautan. Terakhir, Arsha yang sudah jelas akan menjadi bagian dari Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Perkapalan. Bukan tanpa alasan mereka berkuliah di kampus yang sama, UNSUF bukan hanya Perguruan Tinggi terdekat dari desa, namun juga salah satu yang memiliki akreditasi dan reputasi paling baik.

Pukul tujuh pagi, Arsha sudah rapi dengan jaket kulit yang biasa ia pakai untuk bepergian, helm hitam di kepala yang menutup setengah wajahnya, tak lupa juga dengan sepasang sarung tangan yang juga ia kenakan. Sepuluh menit sudah ia duduk di atas motor keluaran Jepang miliknya, motor yang tangki bahan bakarnya berada di depan. Bukan motor mahal seperti Ninja dan sebangsanya, melainkan hanya motor tua bekas pemberian sang ayah. Arsha memanaskan mesin motornya yang ia sendiri lupa kapan terakhir kali menyala, sambil menunggu seorang perempuan yang tak kunjung muncul melalui pintu.

Butuh waktu sekitar 45 menit untuk sampai ke kampus, meskipun pengumpulan berkas baru dimulai pukul delapan pagi, Arsha tetap ingin sampai di sana secepat mungkin, menghindari antrean yang bisa saja memakan banyak waktu. Arsha sebenarnya ingin sekali memanggil perempuan yang sedari tadi ia tunggu, namun ia merasa akan sangat memalukan jika melakukannya, ia hanya menyerahkannya kepada Tuhan, berharap agar sang perempuan segera keluar dengan penuh kesadaran.

“Dor!!” teriak Niskala dari belakang, ia muncul begitu saja tanpa Arsha duga.

Arsha merasa kaget dan langsung menoleh ke arahnya, “Apa sih?!” protesnya.

“Ngapain liatin pintu terus? Nunggu aku?” tanya Niskala.

“Kamu sadar kalau lagi ditungguin, kenapa nggak keluar dari tadi?” tanya balik Arsha.

“Aku udah keluar dari tadi kok, tapi lewat belakang,” jawabnya santai.

“Kenapa harus lewat belakang?!” tanya Arsha mulai kesal.

“Ya biar bisa ngagetin kamu,” jawabnya lagi tanpa dosa.

“Kurang kerjaan! Cepetan keburu telat!” pinta Arsha.

“Siaaap,” balas Niskala sambil perlahan menaiki motor Arsha, kini ia sudah dalam posisi duduk rapi, “Udah!” celetuknya bersemangat.

“Kamu ngapain?” tanya Arsha.

Niskala bingung mendengar pertanyaan itu, “Duduk?” tanyanya polos.

“Ini … mana?” lanjut Arsha, sambil mengetukkan jarinya ke pelindung kepala bertuliskan Standar Nasional Indonesia yang ia kenakan.

“Hehe…, lupa,” jawab Niskala dengan senyum canggung dan menahan malu.

“Buruan ambil sana!” pinta Arsha.

“Siap Bos!” balas Niskala.

Niskala turun dari motor, kembali masuk ke dalam rumah dan mengambil barang yang tak sengaja ia tinggalkan di atas meja, ia keluar dengan wajah yang terhalangi lapisan kaca gelap mencembung, kepalanya tersembunyi di balik helm bogo retro bahan kulit sintetis berwarna biru dengan strip hitam di bagian tengah atasnya, itu adalah helm kesukaannya yang ia bawa langsung dari Kota Bandung. Rupanya perempuan itu memakainya terlebih dahulu di dalam rumah.

“Udah siap nih,” ucap Niskala menghampiri Arsha dan bersiap menaiki motornya untuk yang kedua kalinya.

“Oke,” balas Arsha singkat.

Arsha mulai menarik gas di tangan kanannya secara perlahan, mesin motor yang sudah begitu panas akhirnya benar-benar melakukan tugasnya. Mereka menyusuri jalan dari depan rumah untuk menuju ke jalan raya besar yang berjarak sekitar tiga kilometer dari desa. Gapura berwarna merah dan putih bekas acara hari kemerdekaan terlihat menjadi pembatas antara jalan raya besar dan jalan kecil menuju desa. Di jalan raya besar inilah baru bisa ditemukan banyak kendaraan umum yang melintas, namun tak ada satu pun kendaraan umum yang masuk ke desa. Seseorang yang bertujuan pergi ke desa namun tidak mengendarai kendaraan pribadi, harus menggunakan jasa ojek pangkalan yang berkumpul tak jauh dari gapura, kocek yang harus dirogoh juga terhitung tak murah, dua puluh ribu rupiah untuk ongkos sekali jalan.

Pukul tujuh lima puluh pagi, Arsha dan Niskala sampai di depan gerbang UNSUF yang terlihat masih agak sepi, membuat Arsha bersyukur dalam hati. Arsha sangat tidak menyukai antrean atau pun mengantre, ia mudah gusar jika harus menunggu untuk waktu yang lama. Arsha bergegas mengarahkan motornya ke tempat parkiran yang tak jauh dari gerbang masuk, ia lantas meminta Niskala untuk turun setelah ia berhasil memarkirkan motornya.

“Huft…, sampe,” ujar Niskala sambil melepaskan helm bogo dan mengaitkannya ke kaca spion kiri motor Arsha, ia merentangkan kedua tangannya ke atas, merasa terbebas dari posisi duduk yang kaku.

“Udah buruan sana ke Ruang Administrasi, aku tunggu di sini,” timpal Arsha.

Niskala mengernyitkan alis dan dahi, “Kamu pikir aku tahu di mana ruangannya?!” protesnya.

“Ya kalau nggak tahu kan bisa nanya orang, bisa juga coba nanya ke tembok di sana tuh,” kelakar Arsha sambil menunjuk salah satu bagian bangunan yang tak jauh dari mereka. 

“Emangnya aku cicak?! Yaudah ah, tapi jangan salahin aku kalo nanti jadi lama!” balas Niskala cerdas, ia tahu Arsha tidak suka menunggu, ia langsung berpura-pura memalingkan tubuhnya dan mulai berjalan pelan.

“Eh, eh! Yaudah aku anter!” tawar Arsha sambil bergegas mengikutinya. Arsha yang mencoba membuatnya kesal berakhir dengan dibuat kesal lagi olehnya. Sesaat setelah berhasil menyusul dan berjalan di sebelah perempuan itu, Arsha baru menyadari sesuatu, “Tapi emang cicak bisa ngomong sama tembok? Kan nempel doang…, ah sudahlah,” keluhnya dalam hati.

Mereka berdua berjalan menyusuri lorong, Arsha yang sudah pernah datang ke kampus bersama Rawa dan Rhea tentu sudah tidak asing dengan tempat ini, ia hafal betul di mana Ruang Administrasi. UNSUF memiliki dua buah gedung utama, Gedung A dengan sepuluh lantai diperuntukkan bagi Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, sementara Fakultas Ekonomi dan Bisnis menempati Gedung B yang memiliki lima lantai saja. Ruang Administrasi berada di lantai pertama Gedung A. UNSUF juga berada tak jauh dari pantai pasir putih dengan karang-karang besar yang mencuat tak jauh dari bibir pantai, pantai elok yang jauh lebih terkenal dari Pantai Renjana, Pantai Abipraya namanya. Pantai ini menjadi tempat praktik yang biasa digunakan oleh mahasiswa dari jurusan yang berhubungan dengan bidang ilmu kelautan.

Setelah sampai di Ruang Administrasi yang ternyata sudah ramai, Arsha hanya bisa berkeluh kesah dan mengernyitkan dahi, ia lantas membiarkan Niskala masuk sendiri. Kendati ruangan itu memiliki tempat tunggu yang nyaman dengan pendingin udara yang membuatnya sejuk, Arsha lebih memilih untuk menunggu perempuan itu di tempat lain. Arsha duduk di sebuah bangku panjang di depan taman yang berada di tengah-tengah antara kedua gedung utama. Ia menunggu sembari memainkan ponselnya yang memiliki nada dering dan logo jabat tangan khas, memang kalah canggih dengan ponsel pintar merek buah beri hitam yang terkenal dengan aplikasi pesan instannya, namun ponsel ini cukup bagi Arsha yang hanya menggemari Efbi, sosial media yang ia pakai untuk mencari informasi tentang seseorang tempo hari.

Arsha menghabiskan satu jam waktunya menunggu dengan menggulirkan layar, bolak-balik melihat gambar-gambar lucu di beranda lini masanya, kedua matanya fokus mengarah ke ponsel yang ia tempati sedikit rendah dari posisi duduknya, membuatnya tak bisa melihat sekitar. Sampai ia dikagetkan dengan suara seorang pria yang tiba-tiba terdengar di telinganya.

“Permisi, ‘A. Boleh minta nomornya—”

“Hah?!” teriak Arsha kaget dan memotongnya, “Eh, maaf ‘A, nomor saya buat apa, ya?” tanya Arsha dengan sopan, membalas pria itu dengan panggilan berbahasa Sunda. Arsha sebenarnya sudah mulai gelisah, takut jika pria di hadapannya tertarik kepadanya. Tidak lucu jika ia yang sejak dulu sengaja menghindari wanita, malah berakhir menarik perhatian dari seorang pria.

“Eh, bukan nomor si A’a maksudnya,” jawab pria tersebut yang juga merasa kaget, membuat Arsha sedikit lega, “Maksud saya, boleh minta nomornya Teteh itu?” tanya sang pria sambil menunjuk ke arah perempuan yang sedang tersenyum kecil di seberang taman. 

Perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah seseorang yang sepertinya sengaja mendeklarasikan diri sebagai musuh bebuyutan Arsha, Niskala. Senyuman kecil menjengkelkan yang terlihat jelas di wajahnya sudah pasti memiliki arti sebagai sebuah ejekan, hal ini diperkuat dengan Niskala yang kemudian terlihat sedikit tertawa dari kejauhan.

“Tetehnya tadi bilang, kalau mau nomor dia harus minta ke si A’a,” lanjut sang pria.

Arsha merasa sangat jengkel mendengarnya, ia langsung berpikir untuk memberikan nomor Niskala kepada pria di sebelahnya, agar perempuan itu merasa kapok. Belum sempat ia buka menu kontak di ponselnya, Arsha langsung teringat bahwa meskipun Niskala sudah hampir seminggu berada di rumahnya, mereka berdua belum pernah bertukar nomor telepon. Hal ini lantas membuatnya merasa sangat kebingungan, Arsha tak mengerti mengapa perempuan itu mengarahkan sang pria kepadanya padahal ia tahu Arsha tak memiliki apa yang pria itu inginkan.

Butuh beberapa puluh detik untuk akhirnya membuat Arsha menyadari bahwa Niskala memang tak berniat memberikan nomornya kepada pria itu, ia sengaja mengambinghitamkan Arsha yang kebetulan bisa juga dijadikan sasaran empuk dari kejahilannya, dengan begitu Niskala tak perlu repot-repot menolak permintaan si pria, namun di lain sisi ia masih bisa mendapatkan kegembiraan dari raut wajah Arsha yang lagi-lagi terlihat kesal terhadapnya.

“Maaf nih, saya nggak punya nomor dia, ‘A,” ucap Arsha kepada sang pria.

“Wah…, bener kata si Teteh, dia bilang kalo si A’a bilang nggak punya nomornya, berarti emang A’anya nggak mau ngasih,” jelas si pria, “Ayo dong, sesama kaum adam harus saling membantu,” lanjutnya lagi.

Arsha membatin, menyadari bahwa Niskala adalah perempuan yang benar-benar menyeramkan. 

“Beneran, ‘A. Saya nggak punya,” ucapnya lagi.

“Ah yaudah kalau nggak mau ngasih mah, ‘A.” balas si pria pasrah, sambil mulai pergi menjauhi Arsha, “Mentang-mentang boga nomer awewe geulis, meni koret hayang dikeukeupan ku sorangan,” gumam kecil pria itu dalam bahasa Sunda yang berarti “Mentang-mentang punya nomor perempuan cantik, maunya disimpan sendirian,” yang sudah jelas masih bisa didengar oleh Arsha, Tapi Arsha sudah tidak peduli lagi karena setidaknya pria itu sudah pergi.

Kini Arsha punya segudang rasa kesal dan jengkel yang menumpuk untuk satu orang, satu orang yang sudah tak lagi terlihat di seberang sana, perempuan itu menghilang begitu saja. Arsha yang sudah merasa mulai lelah, memutuskan untuk kembali ke tempat parkir, menyusuri lorong sendirian tanpa Niskala seperti sebelumnya.

Tak disangka, sosok Niskala yang membuatnya sangat kesal, ternyata sedang asik berbincang dengan seorang pria di dekat motornya, pria ini memiliki perawakan yang lebih tinggi dari Arsha, wajahnya lebih tampan darinya, juga jauh melebihi pria yang tadi meminta nomor telepon Niskala kepadanya, “Ternyata pilih-pilih, ya,” gumam Arsha seraya mendekati mereka.

“Dah, Kak! Sekali lagi makasih ya!” saut Niskala sambil melambaikan tangan kepada pria yang sedari tadi berbincang dengannya, pria itu pergi sesaat sebelum Arsha sampai di motornya.

Arsha menghampiri Niskala yang kini berdiri sendirian, ia langsung memanggil perempuan itu dengan sedikit keras. “Woy Niska—”

“Kamu cemburu?” potong Niskala, ia bertanya dengan antusias.

“Hah? Kok cemburu? Aku kesal karena kejadian tad—”

“Sama cowok barusan, cemburu?” potong Niskala lagi, matanya terbuka penuh harap.

“Ngomong apa, sih? Aku nggak peduli sama cowok barusan. Cowok yang tadi datengin aku di taman itu yang kupermasalahkan!” tegas Arsha.

“Yaudah deh, pulang yuk,” ajaknya malas.

“Kok ‘yaudah deh?’, kamu nggak mau minta maaf karena udah iseng tadi?!” protes Arsha, “Sama cowok itu juga harusnya minta maaf, kasihan dia kamu isengin gitu.”

“Yaudah maaf, aku nggak punya pilihan lain,” dalih Niskala.

“Nggak punya pilihan lain? Padahal tinggal bilang ke orang itu kalau kamu nggak mau ngasih nomormu,” sanggah Arsha.

“Aku nggak bisa,” balas Niskala.

“Nggak bisa? Tapi sama cowok yang lebih ganteng tadi bisa?” tanya Arsha serius.

“Maksudmu apa, Sha? Aku pilih-pilih, gitu? Kamu kalau nggak tahu apa-apa jangan asal ngomong! Yang tadi itu Kak Dirga, dia kakak tingkat yang bakal jadi panitia ospek kita nanti, tadi aku cuma ngomongin ospek sama dia!” terang Niskala.

“Tapi ngomong sama dia bisa, ‘kan? Kenapa sama cowok sebelumnya, untuk sekadar nolak apa yang dia minta kamu nggak bisa?” tanya Arsha lagi.

“Udah kubilang, kamu jangan asal ngomong!” bantah Niskala, “Aku capek, Sha!” sambung Niskala dengan nada suara yang meninggi.

“Hah? Kamu capek ngapain?” tanya Arsha kebingungan. 

“Sha, aku ini nggak punya kenalan lain selain kamu di sini, aku mungkin dari tadi cuma duduk sambil nunggu antrean di ruangan yang sejuk dan nyaman, tapi aku juga bisa ngerasa bosan dan nggak tahu mau ngapain. Begitu banyak orang di dalam sana, tapi nggak ada satu pun yang kukenal, yang bisa aku ajak ngomong atau pun cuma sekadar bersenda gurau, aku pengen ngobrol sama kamu, tapi kamunya lebih milih nunggu di luar!

Soal cowok yang nyamperin kamu? Iya aku ngerasa bersalah sama dia, tapi dia itu cowok kesembilan yang nyamperin aku cuma buat kenalan dan minta nomor teleponku doang! Aku udah nolak semua cowok yang minta nomorku sebelum dia!” jelas Niskala panjang lebar.

“Terus kenapa kamu nggak nolak permintaan cowok itu kayak cowok-cowok sebelumnya? Kenapa harus isengin dia sampe nyamperin aku segala?” tanya Arsha penasaran.

“Kamu nggak ngerti? Aku kayak gitu karena pengen lihat reaksi kamu, reaksi yang sebelumnya udah kuduga bakal jadi satu-satunya alasanku untuk tersenyum dan tertawa, setelah satu jam lebih aku ngerasa kesepian padahal ada di antara banyak manusia!” jelas Niskala.

Penjelasan yang baru keluar dari mulut Niskala tentu membuat Arsha tak bisa lagi melanjutkan pertanyaannya, pandangannya tertunduk ke bawah, ia mendadak terdiam kaku penuh rasa bersalah karena telah membiarkan perempuan itu merasa sepi sendirian, sementara ia masih bisa senang-senang di depan layar ponselnya. 

Arsha menyadari bahwa ia sudah tak peka terhadap Niskala, ia lantas berpikir untuk meminta maaf kepadanya. Namun sebelum mulutnya sempat terbuka, ia melihat wajah Niskala dan langsung mengurungkan niatnya.

“Arsha…,” lirih Niskala yang tiba-tiba memanggil namanya, dengan butiran air mata yang mengalir pelan namun sudah hampir sampai ke pipinya. 

Tanpa isak, tanpa suara, perempuan itu menangis di hadapannya. Perempuan yang tanpa ia sadari begitu rapuh, bagaikan embun di ujung rumput.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status