Clermont adalah nama dari kapal uap pertama yang secara komersial telah sukses menjalankan tugasnya di atas air tanpa masalah, kapal rancangan Robert Fulton itu merupakan kapal berbahan bakar batu bara yang pertama kali dipakai di daerah Clermont, New York dan berhasil menaklukkan Sungai Hudson sejak tahun 1807 sampai 1814. Kapal itu dipersenjatai dengan mesin berkekuatan dua puluh tenaga kuda yang Robert impor dari Birmingham, Inggris. Mesin impor itu menggerakkan sepasang roda berpedal dengan diameter 450 sentimeter yang dipasang di tiap sisi kapal Clermont, sehingga membuatnya bisa bergerak di atas air tanpa bantuan layar dan angin seperti kapal-kapal lain di masanya.
Hasil ciptaan Robert Fulton itu menjadikannya salah satu penemu Amerika yang paling berpengaruh dalam perkembangan teknologi transportasi, pria kelahiran tahun 1765 itu berhasil meninggalkan kesan yang begitu mendalam bagi kehidupan manusia di atas air sampai detik ini. Seorang Robert Fulton mungkin jarang sekali didengar oleh orang-orang di masa sekarang, tidak seperti penemu terkenal lain yang sering disebutkan namanya di buku-buku sekolah.
Kendati jarang terpublikasi, bukan berarti kisahnya tak ada yang mengetahui, seperti halnya seorang pelajar pria kelas sebelas yang sedang duduk terpaku di sudut kelas dari sebuah sekolah tak terkenal di ujung barat Pulau Jawa pada awal tahun 2012, telapak tangan kirinya menjadi sandaran bagi buku yang sedang ia baca, sementara jari-jari di tangan kanannya ia beri tugas untuk membalik halaman setelah matanya selesai dengan kata terakhir yang berada di ujung kanan bawah.
Robert Fulton and the Steamboat adalah buku yang belum sempat lepas dari genggaman tangan dan cengkraman mata sang pelajar sejak dimulainya istirahat pertama. Buku yang terbit pertama kali pada tahun 1954 ini berisi kisah hidup seorang Robert Fulton dan semua kontribusinya dalam dunia teknologi mesin dan transportasi, karya tulis dari Ralph Nading Hill ini lebih mampu menarik perhatian sang pelajar pria, dibanding dengan seorang pelajar wanita yang sedari tadi memanggil namanya.
“Arsha! Arsha! Woi! Jadi gimana?” panggil si pelajar wanita.
“Hah?” saut pelajar pria yang tidak lain adalah Antariksha Bumisakti di masa sekolah. Ia menyaut tanpa sedikit pun membiarkan sorot matanya berpindah dari tulisan-tulisan indah yang berasal dari pertengahan abad dua puluh itu.
“Ih! Dari tadi aku nanya juga, jadi menurutmu gimana soal ramalan kiamat di akhir tahun nanti?” tanyanya antusias.
“Aku nggak tahu, nggak peduli juga,” jawabnya dengan sorot mata yang masih di tempat yang sama.
“Ah, yaudah, kamu nggak mau nanya balik?” lanjut sang pelajar wanita.
“Aku harus nanya apa?” tanya Arsha malas.
“Ya apa gitu! Kenapa kamu nggak pernah nanya balik tiap kuajak ngobrol?!” ketus sang pelajar wanita.
Sorot mata Arsha baru berhenti bergulir menyamping dan ke bawah setelah mendengar perkataan terakhir dari wanita di depannya, tangan kanannya berhenti membalik halaman seperti sedia kala, ia menutup buku itu dengan perlahan, menggeletakkannya di atas meja, melihat ke arah sang wanita, lalu berkata seadanya.
“Aku nggak tertarik.”
Sebuah lontaran kalimat yang cukup kuat untuk membuat wanita itu pergi menjauh dengan ekspresi yang meringis dan gelagat sudah muak, meninggalkan Arsha sendirian dengan penuh rasa nyaman seperti yang selama ini ia harapkan.
“Gila, gila, Shania yang masuk daftar cewek paling cantik di sekolah ini aja kamu bikin dongkol begitu, sia-sia sekali wahai anak muda,” celetuk seseorang, suara yang tak asing itu berasal dari belakang Arsha, ia sudah bisa menduga sebelum menoleh ke arahnya. Rawamana Putra, berdiri di luar kelas dengan kepala yang masuk ke dalam melalui celah jendela.
“Udah kuduga, Rawa sialan,” ketus Arsha, “Ngapain sih harus ngomong lewat jendela begitu?”
“Biar misterius. Eh, serius, Shania itu kayaknya suka denganmu, kenapa diperlakukan begitu?” tanya Rawa.
“Pertama, aku emang begitu ke semua cewek kecuali Rhea. Kedua, Shania selalu ngajak ngobrol tiap aku lagi sibuk dengan duniaku,” jelas Arsha.
“Yaaa, masalahnya kamu itu sibuk dengan duniamu di setiap waktu, kapan dia bisa ngajak ngobrolnya kalau gitu?” tanya Rawa lagi.
“Nanti, kalau dia bisa jadi lebih menarik dari duniaku!” jawab Arsha, “Udah ya, mau lanjut baca buku, pergilah kembali ke dunia asalmu!” lanjutnya.
“Emangnya aku jin nyasar hah?!” protes Rawa. “Yaudahlah, jangan lupa makan, ya!” pesannya lagi.
“Jangan sok perhatian, sialan! Menjijikan!” tolak Arsha.
“Ya abisnya, nanti aku kesulitan nyari orang lain untuk diolok-olok kalau kamu mati karena kelaparan!” kilah Rawa sambil bergegas pergi dari Arsha.
“Siala—”
DUGGG!!
Rawa yang terburu-buru pergi setelah mengejek sahabatnya itu malah terkena karma instan di depan mata Arsha, kepalanya terbentur jendela begitu keras sampai Arsha dan beberapa orang yang masih berada di dalam kelas seketika tertawa puas melihatnya.
***
Satu setengah tahun kemudian Arsha kembali berada di hadapan seorang perempuan, bukan di dalam kelas yang berisik, melainkan di sebuah tempat parkir yang sunyi, tak ada suara mesin uap dengan kepulan asap yang muncul dalam bentuk imajinasi, hanya ada suara mesin kendaraan yang mati atau menyala sesekali. Bukan di hadapan Shania yang sudah merasa dongkol karena diabaikan olehnya, melainkan di hadapan Niskala, perempuan yang malah berhasil membuat Arsha melontarkan banyak tanya, terlalu banyak tanya sampai Niskala menangis dibuatnya.
Membuat seorang perempuan meneteskan air mata adalah hal yang tak pernah Arsha bayangkan sebelumnya, tubuhnya kaku tak tahu harus berbuat apa. Arsha membeku di tengah-tengah tempat parkir yang lapang, yang di setiap detiknya bisa saja ada orang yang datang. Niskala yang menangis tanpa suara bukan berarti membuatnya lantas lega, diamnya perempuan itu justru malah membuat Arsha tak bisa mengatakan sesuatu yang seharusnya dikatakan orang dalam kondisi serupa, ia tak bisa berkata “Tenanglah.”
Untungnya Arsha yang membeku sesaat mulai bisa merasakan hangat, ia mendapatkan sebuah alasan untuk mencair, sebuah alasan yang seharusnya ada di bagian terdepan pemikirannya saat ia merasakan tidak enak, salah satu dari tiga kata paling ajaib dalam kehidupan.
“Maaf.”
Mulut Arsha kembali menutup setelah satu kata itu keluar diiringi rasa sesal, Niskala yang masih terdiam dalam kesedihan, tiba-tiba menggelengkan kepalanya pelan, membuat Arsha kebingungan dan lantas merasa harus memaksa mulut itu terbuka untuk yang kedua kalinya. Bukan kata maaf lagi yang terucap, melainkan sebuah kata yang diakhiri dengan tanda tanya.
“Kamu kenapa?”
Mulut yang kali ini mengeluarkan dua buah kata ternyata berhasil membuat Niskala keluar dari zona diamnya.
“Kamu nggak salah,” jawabnya.
“Terus kamu kenapa?” tanya Arsha lagi.
“Soal Kak Dirga…,” jawabnya terhenti.
Arsha terkejut mendengar jawaban Niskala dan langsung bertanya lagi kepadanya, “Dia? Kamu diapain?”
“Bukan, bukan itu…, Kak Dirga itu satu-satunya yang nggak minta nomorku di antara cowok-cowok yang kutemui hari ini, makanya tadi aku bisa ngobrol sama dia. Tapi kami emang cuma ngomongin ospek,” terang Niskala.
“Terus yang buat kamu nangis apa?” tanya Arsha lagi.
“Saat kamu mulai nganggep aku pilih-pilih ngobrol sama cowok…, aku tahu, itu bukan salahmu. Kamu cuma penasaran, wajar kalau kamu nanya ini itu. Mungkin akunya yang terlalu sensitif,” ungkap Niskala.
“Nggak kok, emang aku juga yang salah, aku malah bikin asumsi aneh-aneh sebelum dengar penjelasan dari kamu,” sanggah Arsha.
“Kamu cuma nanya dengan wajar kok, Sha. Jadi gapapa,” balas Niskala, “Sha…,” panggilnya pelan tiba-tiba.
“Iya?” saut Arsha.
“Caramu menatapku waktu tadi…, aku nggak mau lihat tatapan itu dari kamu lagi,” pinta Niskala.
Arsha terdiam sesaat.
“Aku nggak bisa nahan rasa sedihku tiap kali ada orang yang melihatku seolah aku ini perempuan yang nilai orang lain dari fisik atau statusnya aja. Ada beberapa alasan dibalik itu, alasan yang belum bisa aku ceritain ke kamu,” ujar Niskala.
“Aku ngerti…,” angguk Arsha.
“Sha…,” panggil Niskala lagi. Suaranya terdengar melemah dengan mata yang semakin sayu, membuat Arsha yang mendengarnya semakin merasa bersalah.
“Iya?” saut Arsha pelan, ia seketika menelan ludah karena merasa banyak melakukan hal yang membuat Niskala merana.
“Aku laper…,” jawab Niskala dengan ekspresi meringis yang dibuat-buat, bibirnya sengaja ditekuk ke bawah untuk menciptakan kesan cemberut yang dipaksakan.
Arsha dengan kesadaran sepenuhnya baru saja menerima fakta bahwa ia telah dibodohi lagi oleh perempuan itu, Niskala yang peka bahwa Arsha sedang merasa bersalah, sengaja menciptakan ilusi berupa suasana seolah ia akan merasa semakin bersedih di hadapannya. Ungkapan bahwa ia hanya sekadar lapar langsung membuat ekspektasi Arsha jatuh seketika. Namun anehnya, tak ada rasa kesal yang menghinggapi diri Arsha, ia malah merasa lega karena perempuan itu telah kembali seperti semula.
Arsha tak membalas Niskala yang berkata bahwa ia sedang lapar, ia memilih untuk berpaling darinya, berjalan sebentar ke arah rerumputan yang berada di tepian tempat parkir, mengambil segenggam tanaman hijau itu dan kembali mendatangi Niskala.
Tangan yang sedari tadi Arsha jaga agar tetap mengepal, ia sodorkan di hadapan Niskala dengan posisi yang sudah berubah terbuka lebar, terlihat gumpalan rumput yang baru Arsha cabut.
“Nih, makan!” celetuk Arsha.
“Enak aja!” protes Niskala, “Tadi kamu suruh aku nanya sama tembok, sekarang suruh aku makan rumput, kamu beneran nganggep aku cicak?!” lanjutnya.
“Wahai putri sulung Pak Rohim…, Sejak kapan cicak bisa ngomong sama tembok? Sejak kapan cicak makannya rumput?!” protes Arsha yang sudah gemas dengan Niskala.
“Wahai putra sulung Pak Khalid…, kamu … aarrgh bodo amat!!” balas Niskala pasrah, ia bergegas mengambil helm bogo miliknya dan memakainya langsung di hadapan Arsha, “Ayo!” ketusnya.
Niskala yang tak bisa lagi melanjutkan kata-katanya telah menjadi alasan timbulnya sebuah senyuman licik di bibir Arsha, ia merasa senang karena telah menang dari perempuan di hadapannya, sebuah kemenangan kecil dari banyak kekalahan yang ia terima. Arsha bergegas kembali menaiki motornya tanpa lupa meminta Niskala untuk naik juga, mereka berdua memutuskan untuk pergi dan keluar dari tempat parkir.
Gas dari motor tua itu Arsha tarik perlahan karena ia masih berada di lingkungan perkuliahan, pikirannya yang mulai fokus ke arah depan tiba-tiba dibuyarkan oleh sebuah pertanyaan dari orang di belakang.
“Kamu beneran nggak peka, ya?” tanya Niskala tiba-tiba.
“Nggak peka gimana?” jawabnya dengan tanya.
“Tadi pas aku nangis…, harusnya kan dipeluk. Minimal pundakku kamu pegang gitu,” celetuk Niskala.
“Hah?! Kenapa aku harus ngelakuin itu?” protes Arsha.
“Ya normalnya kan begitu!” ketus Niskala.
“Enak aja, lagian mana kepikiran aku buat meluk perempuan, di tempat umum pula!” balas Arsha.
“Yaudah lain kali aku nangis di tempat yang nggak umum aja,” goda Niskala.
“Ya nggak gitu juga!” ketus Arsha, “Tetep nggak bakal kupeluk,” lanjutnya.
“Hmm…, masa? Yaudah lihat aja nanti,” tantang Niskala.
Tantangan dari Niskala tak benar-benar dihiraukan oleh Arsha, memeluk perempuan adalah hal yang tak bisa ia bayangkan akan terjadi dalam waktu dekat. Motor yang telah keluar melewati gerbang utama langsung ia tancap lebih cepat, meninggalkan UNSUF yang terlihat semakin kecil di belakang mereka.
Melihat jalan raya dan lingkungan sekitar, membuat Niskala merasa kebingungan, motor yang membawanya tidaklah berjalan ke arah berlawanan saat mereka datang. Arsha yang juga tak bilang apa-apa membuatnya mengira bahwa pemuda itu memutuskan untuk pulang melewati jalan yang berbeda. Namun, perkiraan Niskala semakin jauh dari kata benar ketika ia sadar bahwa di depan mereka sudah bukan lagi jalan raya, melainkan sebuah tempat luas dengan hembusan angin dan suara deburan yang khas.
Motor yang telah mengaspal kurang lebih selama lima menit semenjak keluar melewati gerbang utama UNSUF itu Arsha hentikan di depan sebuah warung makan tak jauh dari lapang yang dipenuhi dengan pasir putih, Ikan Bakar Sakana adalah nama dari warung makan itu. Aroma khas bumbu ikan bakar yang terjatuh dan menyentuh bagian atas arang telah hinggap dengan nyaman di dalam indra penciuman mereka, kepulan asap tipis dari atas pemanggangan berhasil mendatangkan nafsu makan yang sejak pagi tadi mereka tahan.
Tak jauh dari tempat mereka singgah, terdapat sebuah tulisan besar yang berdiri kuat di atas tanah, sebuah ikon yang terdiri dari beberapa huruf besar terbuat dari beton, huruf-huruf itu dipasang berdiri sejajar, membentuk dua buah kata yang bertuliskan “Pantai Abipraya.”
“Wah…, kok ke sini?” tanya Niskala penasaran.
“Tadi kamu kan bilang laper, gimana sih?!” balas Arsha.
“Oh iya juga,” timpal Niskala.
“Kamu pesan sana, aku yang traktir. Sebagai permintaan maaf karena udah bikin kamu nangis,” jelas Arsha.
“Ih so sweet banget,” goda Niskala.
“Berisik! Buruan pesan sebelum aku berubah pikiran!” keluh Arsha.
“Iya iyaaa!” jawab Niskala yang dengan antusias bergegas memasuki tempat makan, ia memesan cumi bakar yang merupakan makanan favoritnya, diikuti Arsha yang juga masuk dan ternyata memesan menu yang sama.
Ikan Bakar Sakana adalah warung makan yang tak terlalu besar namun sering penuh dan ramai, Arsha mengetahui tentang tempat ini dari Rawa. Warung makan ini layaknya Kedai Kasih yang membelakangi pantai, di bagian belakangnya juga ada tenda sederhana yang melindungi beberapa meja makan di bawahnya. Arsha dan Niskala memutuskan untuk makan di bagian belakang sambil melihat pemandangan pantai yang tak diragukan lagi keindahannya.
Mereka berdua makan dengan lahap dan menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit untuk membuat piring di hadapannya bersih seketika, cumi yang telah dibakar selama tiga puluh menit langsung habis hanya dalam waktu tak lebih dari sepertiganya. Yang tersisa di sana hanyalah Arsha dan Niskala dengan perut terisi dan wajah sumringah.
“Nis…,” panggil Arsha.
“Yaaaa?!!” jawab Niskala dengan begitu antusias, membuat Arsha kebingungan melihatnya.
“Kok kamu jawab seneng banget begitu?” tanya Arsha.
“Baru pertama kali kamu manggil aku bukan dengan nama lengkapku, kamu tiap manggil selalu aja pake kata ‘Niskala’ atau ‘Kamu’, eh tapi aku nggak pengen dipanggil 'Nis', panggil aja Niska atau Ka,” terang dan pintanya.
“Karena itu doang?” tanya Arsha heran.
“Tau ah! Apa manggil-manggil?!” jawab Niskala yang kini berubah menjadi acuh tak acuh.
“Aku jadi penasaran, kenapa kamu nggak mau ngasih nomor teleponmu ke cowok-cowok itu tadi?” tanya Arsha.
“Pertama, karena aku emang ngga nyaman sama cowok yang dateng cuma buat godain dan minta kontakku doang, yang kedua…,” jawabnya terhenti.
“Yang kedua apa?” tanya Arsha penasaran.
“Masa masih nggak peka juga, sih!” ketus Niskala.
“Nggak peka gimana lagi hah?!” protes Arsha.
“Aku pengen kamu jadi cowok pertama yang kupunya nomornya di sini!” ungkap Niskala sedikit berteriak, “Tapi kamu nggak pernah nanyain nomorku duluan,” lanjutnya lagi.
“Astaga…, cuma karena itu? Aku mana kepikiran buat minta nomormu, kita kan serumah! Lagian, kenapa kamu nggak minta duluan?” tanya Arsha.
“Nggak mau! Pengen kamu yang minta duluan. Masa di antara cowok-cowok yang minta nomorku, pacarku sendiri nggak termasuk di antaranya!” jawab Niskala.
Jawaban yang baru ia dengar membuat Arsha terdiam seketika, ia baru ingat bahwa Niskala menganggapnya sebagai pacar, kata itu jarang terdengar lagi dari mulut Niskala semenjak hari pertama dan kedua ia tinggal di sana. Arsha yang telah menerima saran dari Rhea untuk membiarkan Niskala, memutuskan untuk menahan diri dan tidak berkata apa-apa tiap kali perempuan itu membahasnya. Tentu saja Arsha sudah menyiapkan diri untuk membahas itu bersama Niskala, kelak jika ia merasa sudah berada di tempat dan waktu yang tepat.
“Huft…,” keluh Arsha, “Sini ponselmu,” pintanya tiba-tiba.
Niskala lantas memberi apa yang Arsha minta tanpa ada satu pun tanya. “Nih,” sodornya.
“Ini ponselku,” ucap Arsha sambil menyerahkan ponsel miliknya juga kepada Niskala, “Kita isi nomor telepon masing-masing aja biar cepat,” jelasnya.
“Ohh begitu, oke!” jawab Niskala.
Ponsel Niskala kini sudah berada di tangan Arsha, ia menggenggam sebuah perwujudan dari teknologi yang mengikuti zaman, berbeda jauh dari ponsel miliknya yang sudah nyaris menyandang status ketertinggalan. Jari-jarinya begitu nyaman menari-nari di atas papan ketik jenis Qwerty, yang menjadi ciri khas dari ponsel pintar merek buah beri.
Ponsel dikembalikan ke pemilik masing-masing setelah keduanya sama-sama selesai digunakan dan kedua nomor telepon telah berhasil saling tersimpan. Arsha memutuskan mengajak pulang Niskala tanpa melihat dulu isi ponselnya, Niskala yang sudah kenyang dan cukup lelah juga mengiyakan ajakan sang pemuda. Mereka berdua kembali berada di atas motor tua, kembali pula menyusuri jalan yang sama seperti sedia kala, lima puluh menit dibutuhkan sampai mereka berhenti di depan rumah, di desa yang jauh dari sumpah serapah orang-orang yang berjuang di tengah kota.
Arsha langsung bergegas naik kembali ke daerah kekuasaannya, menyiapkan diri untuk beristirahat sejenak sebelum melakukan kegiatan yang sudah ia rencanakan. Tubuhnya terlentang di atas kasur empuk, matanya memejam perlahan, pelan-pelan ia mulai melupakan kehidupan. Sampai tak disangka semua rasa nyaman itu hilang seketika karena sebuah getaran dari atas meja. Ponselnya menyala dan menampilkan sebuah notifikasi pesan masuk di layarnya.
Sebuah pesan yang hanya berisi satu kata diakhiri tanda titik, dikirim oleh kontak bernama Niskala Cantik.
“Kangen.”
Pesan yang baru saja Arsha baca itu tak bedanya seperti mesin uap kapal Clermont yang baru pertama kali menyala. Sebuah inovasi baru pasti memiliki kekurangan di belakangnya, cerobong asap dari kapal Clermont adalah salah satu contoh nyata, benda itu mengeluarkan kepulan asap hitam yang menghinggapi pakaian dari semua penumpangnya. Persis seperti Niskala yang baru saja mendapatkan inovasi baru dalam mengganggu Arsha, melalui pesan yang akan terus menghinggapi ponsel sang pemuda.
Potongan kertas tersebar menghiasi bagian atas amben yang berada di belakang rumah Arsha, amben yang sebelumnya digunakan untuk acara makan bersama saat hari kedatangan Niskala, kini kembali digunakan di hari keenam perempuan itu di sana. Amben yang sebelumnya dihiasi oleh daun pisang yang Arsha potong telah tergantikan oleh kardus bekas dan kertas-kertas karton. Kedua benda itu Arsha pungut dari sudut-sudut rumah, bukan untuk menjadi alas makan bersama, melainkan untuk kebutuhan Ospek di kampusnya. Arsha, Niskala, Rhea dan Rawa sudah berkumpul sejak pukul sepuluh pagi, rasa hangat dari cahaya mentari telah menyelimuti permukaan kulit mereka nyaris di setiap inci. Empat buah tanda nama berukuran tiga puluh kali sepuluh sentimeter yang terbuat dari potongan kardus telah selesai mereka rangkai, tanda nama pertama bertuliskan Antariksha Bumisakti dan nama jurusan tanpa sedikit pun hiasan
Hukuman berupa pengucilan dari masyarakat telah diterima oleh seorang pria tua pada tanggal 22 juni tahun 1633, setidaknya itulah hasil dari putusan pengadilan gereja masa itu di Italia. Pria tua itu disidang karena dianggap telah melenceng dari kepercayaan masyarakat, ia mempercayai sebuah teori yang mengatakan bahwa bumi mengelilingi matahari, teori yang pada akhirnya ternyata benar dan terbukti. Galileo Galilei adalah seorang fisikawan terkemuka yang hidup di pertengahan abad ke enam belas. Beliau adalah orang yang menyempurnakan teropong bintang, benda ajaib yang memiliki kemampuan untuk melihat dan menembus lapisan langit, salah satu benda yang juga sangat digemari oleh seorang laki-laki bernama Antariksha Bumisakti. Gumpalan sampah berwujud potongan kertas bak limbah kembali terlihat di depan sekumpulan anak manusia,
Hari pertama di bulan september tahun 2013 bukan hanya menjadi hari yang berbeda untuk Niskala yang akan segera ditinggal pergi oleh ayahnya. Hari ini juga menjadi titik temu bagi Arsha yang baru diberitahu sesuatu oleh ayah Niskala, sesuatu tentang anaknya yang membuat Arsha langsung begitu saja menjadi orang yang berbeda. “Sha…, kamu kenapa?” tanya dengan lirih seorang perempuan. Tak butuh waktu lama bagi orang yang ditanya untuk menjawabnya. “Maksudnya? Aku nggak kenapa-kenapa.” “Kamu agak beda gitu,” balas Niskala. “Itu perasaanmu aja kali,” timpal Arsha. Niskala maupun Arsha tak lagi melanjutkan kata-katanya, mereka kembali duduk di atas sofa
Siang hari yang terik harusnya dimanfaatkan untuk istirahat bagi orang-orang yang sedang tak memiliki kegiatan, itu adalah pemikiran yang normal bagi kebanyakan manusia. Namun tidak untuk kedua sahabat berusia paruh baya bernama Khalid dan Rohim, yang sedang asik memainkan sebuah konsol gim generasi kedua buatan sebuah perusahaan asal negeri sakura. Konsol gim itu sebenarnya adalah hadiah ulang tahun Arsha yang keempat belas, namun benda itu lebih sering berada di tangan Pak Khalid, karena Arsha sudah lama berhenti memainkannya. Arsha hanya memainkannya sesekali jika Rawa sedang berada di sana, tentu saja pemuda penuh euforia itulah yang mengajaknya bermain bersama. Permainan di layar kaca yang telah berlangsung beberapa lama, harus terpaksa dijeda karena suara tertawa keras yang tak perlu ditanya dari mana asalnya.
Suara mesin mobil hitam milik Pak Rohim yang baru menyala menjadi pertanda perpisahan seorang ayah dengan anaknya, kendati perpisahan ini hanya berlangsung sementara, tetaplah bukan hal yang mudah bagi keduanya. Niskala akan mengenyam pendidikan di pelosok daerah antah berantah, jauh dari kedua orang tua yang selalu menemaninya selama ia hidup di dunia. Niskala tentu akan pulang ke Bandung setiap liburan semester atau setiap hari raya, ia bak tokoh utama dalam lagu karya Ade Irma, lagu tentang seorang pria yang tak kunjung pulang jua setelah tiga kali lebaran dan puasa. Untungnya, Niskala bukanlah sosok yang sama dengan pria di lagu tersebut, ia pasti akan pulang dan bertemu kedua orang tua yang menunggunya, kedua orang tua yang akan menjadi sebaik-baiknya penyambut. Seluruh penghuni rumah kini berbaris tak jauh di pinggir jalan,
Udara dingin menyelimuti sekujur tubuh perempuan asal Bandung tatkala pemuda yang tak jelas asalnya tiba-tiba menarik tangannya secara paksa, Antariksha Bumisakti mendadak berubah menjadi agresif beberapa jam setelah seorang perempuan muda ditinggal sendiri oleh ayahnya. Jarum dari jam dinding yang membentuk sudut sembilan puluh derajat ke arah kanan, atau tepat pukul tiga pagi menjadi pusat perhatian kedua bagi sang perempuan setelah melihat wajah Arsha yang menjadi pusat perhatian pertamanya.Kaki telanjang yang dipaksa menginjak lantai bersuhu rendah, tak membuat Niskala Kirani Alnair bisa begitu saja marah. Meskipun apa yang dilakukan oleh Arsha bisa jadi adalah hal yang mampu membuat sebagian besar manusia murka, Niskala masih menanggapi pemuda itu dengan penuh percaya. Kesan paksa yang tersemat pada lakon yang sedang Arsha perankan, tak bisa didukung sepenuhnya karena Arsha masih memper
Deraian air mata yang menetes dari mata indah milik Niskala, baru saja mendapatkan dukungan ekspresi berupa keindahan yang berasal dari senyum manis di bibirnya. Perempuan itu bak menyerap energi dari Galaksi Bimasakti yang sedang mengitari langit, air mata yang berbinar seakan menjadi butiran cermin yang merefleksikan cahaya dari bintang-bintang yang ia pingit. “Makasih banyak, Sha.” Bibirnya yang semula membentuk lengkungan, kini terbuka dan mengeluarkan suara yang membentuk sebuah ucapan. “Sama-sama, Ka,” balas Arsha. “Ka? Tumben hehe…,” tanya Niskala heran. “Katanya kamu pengen dipanggil ‘Niska’ atau ‘Ka’ ‘kan?” balas Arsha. “Iyaa, ya tu
Suara hentakan dari sebuah papan catur terdengar setelah benteng milik Rawamana dimakan bulat-bulat oleh ratu milik Antariksha, dilanjut dengan suara sang pemuda yang sedikit berteriak setelah mengeklaim kemenangannya, Arsha berhasil mengalahkan Rawa berkat gerakan gambit, sebuah istilah dalam permainan catur ketika pemain mengorbankan satu atau dua bidak sebagai strategi untuk mendapatkan keuntungan. “Skak mat!” seru Arsha. “Sial!” gerutu Rawa. Sore hari yang sejuk menghiasi suasana gazebo tua yang berdiri kokoh di pinggir Pantai Renjana, di hari yang begitu indah dengan langit sore yang menjingga, terdapat empat orang anak manusia yang asik menyantap es kelapa, dan dua di antaranya sedang bergemar dengan papan catur hasil pinjaman dari Koh Banar.