Potongan kertas tersebar menghiasi bagian atas amben yang berada di belakang rumah Arsha, amben yang sebelumnya digunakan untuk acara makan bersama saat hari kedatangan Niskala, kini kembali digunakan di hari keenam perempuan itu di sana. Amben yang sebelumnya dihiasi oleh daun pisang yang Arsha potong telah tergantikan oleh kardus bekas dan kertas-kertas karton. Kedua benda itu Arsha pungut dari sudut-sudut rumah, bukan untuk menjadi alas makan bersama, melainkan untuk kebutuhan Ospek di kampusnya. Arsha, Niskala, Rhea dan Rawa sudah berkumpul sejak pukul sepuluh pagi, rasa hangat dari cahaya mentari telah menyelimuti permukaan kulit mereka nyaris di setiap inci.
Empat buah tanda nama berukuran tiga puluh kali sepuluh sentimeter yang terbuat dari potongan kardus telah selesai mereka rangkai, tanda nama pertama bertuliskan Antariksha Bumisakti dan nama jurusan tanpa sedikit pun hiasan
Halo, Terimakasih telah membaca karya pertama saya sampai sejauh ini. Mohon ditunggu kelanjutan ceritanya, ya! Jangan lupa untuk menjaga kesehatan ditengah sulitnya kondisi yang sedang menghinggapi kehidupan, semoga kamu dan kita semua senantiasa diberi kesehatan. Semoga harimu menyenangkan! -A.K
Hukuman berupa pengucilan dari masyarakat telah diterima oleh seorang pria tua pada tanggal 22 juni tahun 1633, setidaknya itulah hasil dari putusan pengadilan gereja masa itu di Italia. Pria tua itu disidang karena dianggap telah melenceng dari kepercayaan masyarakat, ia mempercayai sebuah teori yang mengatakan bahwa bumi mengelilingi matahari, teori yang pada akhirnya ternyata benar dan terbukti. Galileo Galilei adalah seorang fisikawan terkemuka yang hidup di pertengahan abad ke enam belas. Beliau adalah orang yang menyempurnakan teropong bintang, benda ajaib yang memiliki kemampuan untuk melihat dan menembus lapisan langit, salah satu benda yang juga sangat digemari oleh seorang laki-laki bernama Antariksha Bumisakti. Gumpalan sampah berwujud potongan kertas bak limbah kembali terlihat di depan sekumpulan anak manusia,
Hari pertama di bulan september tahun 2013 bukan hanya menjadi hari yang berbeda untuk Niskala yang akan segera ditinggal pergi oleh ayahnya. Hari ini juga menjadi titik temu bagi Arsha yang baru diberitahu sesuatu oleh ayah Niskala, sesuatu tentang anaknya yang membuat Arsha langsung begitu saja menjadi orang yang berbeda. “Sha…, kamu kenapa?” tanya dengan lirih seorang perempuan. Tak butuh waktu lama bagi orang yang ditanya untuk menjawabnya. “Maksudnya? Aku nggak kenapa-kenapa.” “Kamu agak beda gitu,” balas Niskala. “Itu perasaanmu aja kali,” timpal Arsha. Niskala maupun Arsha tak lagi melanjutkan kata-katanya, mereka kembali duduk di atas sofa
Siang hari yang terik harusnya dimanfaatkan untuk istirahat bagi orang-orang yang sedang tak memiliki kegiatan, itu adalah pemikiran yang normal bagi kebanyakan manusia. Namun tidak untuk kedua sahabat berusia paruh baya bernama Khalid dan Rohim, yang sedang asik memainkan sebuah konsol gim generasi kedua buatan sebuah perusahaan asal negeri sakura. Konsol gim itu sebenarnya adalah hadiah ulang tahun Arsha yang keempat belas, namun benda itu lebih sering berada di tangan Pak Khalid, karena Arsha sudah lama berhenti memainkannya. Arsha hanya memainkannya sesekali jika Rawa sedang berada di sana, tentu saja pemuda penuh euforia itulah yang mengajaknya bermain bersama. Permainan di layar kaca yang telah berlangsung beberapa lama, harus terpaksa dijeda karena suara tertawa keras yang tak perlu ditanya dari mana asalnya.
Suara mesin mobil hitam milik Pak Rohim yang baru menyala menjadi pertanda perpisahan seorang ayah dengan anaknya, kendati perpisahan ini hanya berlangsung sementara, tetaplah bukan hal yang mudah bagi keduanya. Niskala akan mengenyam pendidikan di pelosok daerah antah berantah, jauh dari kedua orang tua yang selalu menemaninya selama ia hidup di dunia. Niskala tentu akan pulang ke Bandung setiap liburan semester atau setiap hari raya, ia bak tokoh utama dalam lagu karya Ade Irma, lagu tentang seorang pria yang tak kunjung pulang jua setelah tiga kali lebaran dan puasa. Untungnya, Niskala bukanlah sosok yang sama dengan pria di lagu tersebut, ia pasti akan pulang dan bertemu kedua orang tua yang menunggunya, kedua orang tua yang akan menjadi sebaik-baiknya penyambut. Seluruh penghuni rumah kini berbaris tak jauh di pinggir jalan,
Udara dingin menyelimuti sekujur tubuh perempuan asal Bandung tatkala pemuda yang tak jelas asalnya tiba-tiba menarik tangannya secara paksa, Antariksha Bumisakti mendadak berubah menjadi agresif beberapa jam setelah seorang perempuan muda ditinggal sendiri oleh ayahnya. Jarum dari jam dinding yang membentuk sudut sembilan puluh derajat ke arah kanan, atau tepat pukul tiga pagi menjadi pusat perhatian kedua bagi sang perempuan setelah melihat wajah Arsha yang menjadi pusat perhatian pertamanya.Kaki telanjang yang dipaksa menginjak lantai bersuhu rendah, tak membuat Niskala Kirani Alnair bisa begitu saja marah. Meskipun apa yang dilakukan oleh Arsha bisa jadi adalah hal yang mampu membuat sebagian besar manusia murka, Niskala masih menanggapi pemuda itu dengan penuh percaya. Kesan paksa yang tersemat pada lakon yang sedang Arsha perankan, tak bisa didukung sepenuhnya karena Arsha masih memper
Deraian air mata yang menetes dari mata indah milik Niskala, baru saja mendapatkan dukungan ekspresi berupa keindahan yang berasal dari senyum manis di bibirnya. Perempuan itu bak menyerap energi dari Galaksi Bimasakti yang sedang mengitari langit, air mata yang berbinar seakan menjadi butiran cermin yang merefleksikan cahaya dari bintang-bintang yang ia pingit. “Makasih banyak, Sha.” Bibirnya yang semula membentuk lengkungan, kini terbuka dan mengeluarkan suara yang membentuk sebuah ucapan. “Sama-sama, Ka,” balas Arsha. “Ka? Tumben hehe…,” tanya Niskala heran. “Katanya kamu pengen dipanggil ‘Niska’ atau ‘Ka’ ‘kan?” balas Arsha. “Iyaa, ya tu
Suara hentakan dari sebuah papan catur terdengar setelah benteng milik Rawamana dimakan bulat-bulat oleh ratu milik Antariksha, dilanjut dengan suara sang pemuda yang sedikit berteriak setelah mengeklaim kemenangannya, Arsha berhasil mengalahkan Rawa berkat gerakan gambit, sebuah istilah dalam permainan catur ketika pemain mengorbankan satu atau dua bidak sebagai strategi untuk mendapatkan keuntungan. “Skak mat!” seru Arsha. “Sial!” gerutu Rawa. Sore hari yang sejuk menghiasi suasana gazebo tua yang berdiri kokoh di pinggir Pantai Renjana, di hari yang begitu indah dengan langit sore yang menjingga, terdapat empat orang anak manusia yang asik menyantap es kelapa, dan dua di antaranya sedang bergemar dengan papan catur hasil pinjaman dari Koh Banar.
Keberadaan seorang perempuan cantik berambut kuncir kuda khas yang muncul secara tiba-tiba, tentu membuat semua tamu gazebo tua terkejut seketika. Shania tidaklah tinggal di desa yang sama dengan mereka, kendati rumahnya tidak begitu jauh dari jalan raya utama, ini adalah kali pertama bagi Arsha dan kedua sahabatnya melihat perempuan itu di sana. Mereka memang sempat mengenyam pendidikan di sekolah menengah kejuruan yang sama, namun lokasi sekolah itu tidaklah berada di desa, sekolah kejuruan negeri itu berada di kecamatan lain di kabupaten mereka, butuh angkutan umum untuk sampai ke sana. Oleh karenanya, pertemuan mereka dengan Shania sore ini adalah sesuatu yang sangat tidak terduga. “Shan?! Kok kamu ada di sini?” tanya Rhea penasaran. “Ehehe, iya, Rhe. Ada uru