Senin sore, 3 Agustus 2020
Payung-payung besar terlihat ramai berjajar, gagangnya tertanam di dalam pasir dekat bibir pantai, suara gerombolan anak kecil berlari saling mengejar, suara orang dewasa yang saling bicara dan tertawa, keheningan pasangan muda-mudi yang memilih bicara melewati hati sembari menunggu senja, ingar-bingar kebisingan tanpa batas menyelimuti nyaris setiap lingkup sudut Pantai Renjana.
Seorang pria muda lesu berpakaian formal tanpa dasi, kucal kulit gelap aura, terduduk diam sendirian di atas sebuah gazebo tua yang baru di pernis ulang, membelakangi meja-meja penuh terisi manusia, di belakang sebuah kedai es kelapa berpegawai tiga. Sorot matanya nyaris padam dengan pandangan tenggelam ke bawah, bagai seekor lembu ditinggal induknya. Deburan ombak dan derap langkah kaki tanpa henti di sekitar tak membuatnya sadar, kegelapan sudah telanjur menyelimuti mata dan telinganya, ia tak bisa merasakan apa-apa, sunyi senyap di kepalanya.
Delapan jam telah ia habiskan sepeninggalnya dari tempat yang muram, enam jam ia pakai untuk murung di rumah, dua jam sisanya menguap di atas gazebo tua, ia habiskan untuk duduk diam. PT Ekowisata Bahari yang ia harapkan akan menjadi tempatnya menaungkan mimpi untuk pertama kali, malah mendatangkan kenangan yang tak sekalipun ingin ia undang.
Seorang pria tua dengan topi bucket khas telah berulang kali menghampirinya, menanyakan padanya apa yang sedang terjadi, namun tak ada jawaban yang benar-benar pria muda itu berikan. ia terus berkata tidak ada apa-apa sambil berdalih bahwa ia hanya sekadar menunggu teman, tentu saja perkataannya berbanding terbalik dengan sorot matanya yang hampir seperti kehilangan cahaya.
Jalan kecil di depan kedai kini sudah perlahan diperlebar oleh pemerintah daerah kabupaten, sudah ramai diisi lalu-lalang orang dan kendaraan, sebuah mobil pabrikan Jepang berwarna biru tua terlihat tiba-tiba berhenti di bagian pinggirnya. Dari dalamnya keluar dua orang pria dan wanita, sigap bergegas menuju pria tua bertopi bucket yang kini sedang sibuk memotong kelapa muda, melakukan pekerjaan yang sebenarnya bukan lagi tugasnya.
“Sore Koh,” sapa si pria dan wanita secara bersamaan.
“Sore juga, kompaknya kalian ye,” balas si pria tua, “Teman awak berdua, si Arsha, sedang bertangkar di gazebo kesukaan dia, tak biasanya ku tengok anak muda tu murung seperti badak jawa kehilangan berat badan,” lanjutnya lagi dengan candaan.
“Hahaha…, dia sih lebih mirip badak jawa ketemu mantan!” timpal si pria yang tak lain adalah Rawa.
Meskipun tahu sahabatnya sedang dalam kondisi murung dan gundah gulana, tak membuat Rawa menahan diri untuk tidak mengejeknya, ia tertawa dengan bebas bersama Koh Banar, menyamakan Arsha dengan hewan langka yang terkenal sebagai maskot Provinsi Banten itu.
“Hus!” pungkas Rhea sambil menyenggol lengan Rawa, “Lagi galau dia Koh, baru aja dihinggapi kenangan masa lalu,” lanjutnya kepada Koh Banar.
“Urusan perempuan, ke?” balas Koh Banar.
“Benar, Koh. Urusan perempuan, udah ku suruh dia dekati cewek dari dulu, biar nggak kaget kalau patah hati, eh dia nggak dengar. Sekarang dia galau berlarut-larut karena satu orang, itulah akibat karena tidak menghiraukan perkataan sahabatnya yang baik ini,” sosor Rawa membanggakan dirinya sendiri.
“Ngomong udah kayak banyak pengalaman sama cewek aja, padahal lebih banyak patah hatinya!” Sanggah Rhea sedikit kesal.
“Galau karena satu orang? Ah, maksud awak gadis cantik bernama Niskala itu, ke? masih belum berpindah hati juga pemuda tu ye,” balas Koh Banar.
“Iya koh, siapa lagi kalau bukan Niskala, hahaha!” lanjut Rawa tertawa.
Niskala bukanlah orang asing lagi bagi sebagian besar warga desa, ia dikenal sebagai seorang putri raja yang tersesat di negeri antah berantah, hari-harinya selalu dijaga oleh seorang kesatria, namun dalam hal ini, kesatria yang dimaksud bukanlah seorang perwira gagah perkasa yang menunggang kuda, melainkan hanya pemuda biasa penunggang sepeda bernama Antariksha.
“Ah, syukurlah. Sebenarnya saya agak khawatir melihat dia, gelagatnya mirip seperti ‘hari itu’, ngerti awak?” tanya Koh Banar tanpa sedikit pun canda di dalamnya.
“Ah, iya Koh, ngerti,” jawab Rawa yang juga menjadi lebih serius.
“Masih untunglah kali ni cuma masalah perempuan je, masih cetek itu, tapi lebih elok awak temani lah dia sana,” sambung Koh Banar.
“Iya Koh, yaudah kita pamit ke belakang ya, Koh. Ayo Wa!” cetus Rhea yang sudah peka dengan keadaan, memutuskan untuk langsung menemui Arsha tanpa lupa menyeret Rawa, ia juga pamit kepada Koh Banar, mereka bergegas menuju tempat bertangkar sang badak jawa.
Bagian punggung dari kemeja pria muda itu sudah terlihat dari kejauhan, ia tak hanya mengenakan pakaian yang berbeda dari kebanyakan orang di kerumunan, namun juga memiliki aura yang muram sendirian, kepala bagian belakangnya nyaris tak terlihat karena tertunduk begitu dalam.
“Permisi, Mas. Anak magang, ‘kan? Bisa tolong bikinin kopi?” cetus Rawa yang kini berdiri di hadapan Arsha, membuat Arsha menaikkan pandangannya, matanya yang sedari awal nyaris padam, kini terang menyala karena dipenuhi kekesalan yang mendalam.
“Bikin sendiri sana, sialan!” protes Arsha kesal.
“Nah, ini baru sahabat kita, Rhe!” ucap Rawa kepada Rhea sambil menunjuk Arsha dengan dua jari telunjuk di dua tangannya, Rawa menyeringai lebar sampai terlihat semua gigi depannya.
“Baca situasi kenapa sih begooo!” tegur Rhea, tak habis pikir dengan manusia yang satu itu.
“Tenang, tenang! Kalo gini kan enak kita ngobrolnya,” balas Rawa,
“Huft…, kamu gapapa, Sha?” tanya Rhea kepada Arsha.
“Tiga tahun, Rhe…,” jawab Arsha pelan, “Tiga tahun kuhabiskan untuk bangun hidupku yang dulu runtuh, merajut kembali mimpiku yang dulu kusut,” lanjutnya lagi lirih.
“Kamu masih benci dia?” tanya Rhea serius.
Arsha tersenyum, “Aku nggak pernah membenci dia, Rhe,” jawabnya.
“Hah?! Nggak membencinya? Setelah semua yang dia lakukan?! Yang bener aja!” teriak Rawa tiba-tiba memotong pembicaraan mereka, kali ini ia berkata dengan wajah serius dan tanpa candaan seperti biasa.
“Emangnya apa yang dia lakukan, Wa?” tanya Arsha.
Mendengar pertanyaan Arsha membuat Rawa terlihat semakin serius, “Dia kan—”
“Nggak ada!” potong Arsha, “Dia nggak bicara, dia nggak bertingkah, dia nggak melakukan apa-apa!” lanjutnya.
Rhea dan Rawa hanya terdiam mendengar perkataan Arsha.
“Tapi karena nggak ada apa-apa darinya itu, yang membuatku juga nggak bisa apa-apa, kalian pikir aku begini hanya karena ketemu seorang perempuan yang dulu pernah hadir di hidupku? Nggak! Aku nggak berhenti bertanya kepada Tuhan sejak pagi tadi, bukan bertanya kenapa aku dipertemukan dengannya, tapi kenapa harus sekarang, di waktu dan tempat yang sangat nggak kuinginkan,” paparnya lebih jelas.
“Kalau kamu nggak masalah dengan pertemuan itu, kenapa bisa seterpuruk ini?” tanya Rawa.
“Aku nggak membencinya, tapi bukan berarti aku bisa begitu saja kembali hidup di dekatnya. Aku masih bisa terima jika hanya untuk bertemu, tapi nggak bisa kalau untuk menetap ataupun hanya sekadar bertamu. Aku harus bekerja di tempat itu. Aku mempersiapkan banyak hal agar bisa bekerja di sana, tapi kini, untuk berharap diterima saja aku nggak tahu apa aku mau, aku nggak bisa kalau harus bekerja dan melihat dia setiap waktu, tapi di sisi lain ada mimpi yang harus ku tuju,” jawab Arsha.
“Aku ngerti,” balas Rawa singkat.
“Rasanya seperti dihempaskan dari atas jembatan gantung ketika aku baru saja menemukan keberanian untuk kembali berlari menuju ke bagian ujung,” ujar Arsha, “Ujung mimpiku,” pungkasnya.
Mendengar penjelasan Arsha, Rawa dan Rhea tak bisa lagi berkata-kata, mereka yang sejak awal hanya mengira ia muram karena bertemu Niskala, telah lupa bahwa Arsha bukanlah seorang pria lemah yang bisa runtuh begitu saja, hanya karena kemunculan seorang perempuan dari masa lalunya secara tiba-tiba. Mereka terlalu meremehkan seorang anak manusia yang begitu gigih mempertahankan apa yang ingin ia capai dalam hidupnya.
Mereka bertiga berakhir diam, Rawa dan Rhea yang sedari tadi berdiri memutuskan untuk duduk, menempatkan Arsha di tengah-tengah mereka, sambil sama-sama menghadap ke arah Pantai Renjana. Mereka semua kehabisan bahan untuk melanjutkan pembicaraan. Rasanya juga begitu berat bagi Rawa dan Rhea untuk melihat sahabat mereka yang kesulitan, dihadapkan dengan sesuatu yang tak bisa mereka bayangkan. Mereka bertiga duduk mematung selama beberapa detik, sampai sebuah suara tiba-tiba terdengar dan memaksa mereka untuk menoleh ke belakang.
“Percaya diri sekali awak, bicara seenaknya seolah tahu rencana Tuhan!” cetus seorang pria tua bertopi bucket yang muncul tanpa aba-aba, siapa lagi kalau bukan Koh Banar sang sesepuh kedai.
“Koh?!” teriak mereka bertiga kaget.
“Saya dengar pembicaraan kalian semua, terutama awak!” tunjuk Koh Banar kepada Arsha, “Awak bicara seolah tahu Tuhan sedang apa, awak bilang tak ada masalah dengan sang gadis, tapi bicara seolah menyatakan bahwa masalahnya ada di Tuhan yang awak sembah!” lanjutnya.
Arsha, Rawa dan Rhea kembali terdiam, kali ini bukan karena kehabisan bahan pembicaraan, melainkan karena tertegun mendengar ucapan yang begitu serius dan tajam, dari seorang pria tua yang biasanya selalu penuh canda.
“Hanya karena sebuah pertemuan, awak langsung merasa dihempaskan dari atas jembatan? Awak bicara apa?! Seolah menekankan bahwa Tuhan membuat gadis itu hanya untuk menjadi hambatan, memangnya apa salah dia?” lanjut Koh Banar dengan sebuah pertanyaan.
Tak ada satu pun di antara ketiga anak muda itu yang bisa memberikan jawaban, terutama Arsha yang kini menjadi semakin diam, seolah memiliki segudang pikiran yang sedang ia olah dalam waktu bersamaan.
“Siapa tahu, gadis tu adalah orang yang akan membantu awak menyeberangi jembatan, menuntun awak agar tak berlari sendirian, membantu awak untuk mencapai tujuan,” lanjut Koh Banar, “Awak dan kita semua, tak pernah tahu rencana Tuhan!” pungkas Koh Banar.
Arsha yang mendengar kalimat terakhir dari Koh Banar, langsung merasa bersalah kepada sosok Niskala, kalau dipikir-pikir, Niskala memang tak salah apa-apa. Namun semua perkataan Arsha yang ia lontarkan kepada kedua sahabatnya menekankan seolah-olah hal yang begitu buruk telah terjadi karena pertemuan mereka.
“Terimakasih, Koh,” ucap Arsha tiba-tiba, “Aku sadar sekarang, memang tak ada hal buruk yang terjadi hanya karena keberadaannya, kami hanya bertemu dan aku sendiri yang murung dan merasa takdirku tak mujur, padahal benar kata Koh Banar, ia tak salah apa-apa dan tak melakukan apa-apa,” jelasnya.
“Sama-sama, nak. Awak ni masih muda, kejarlah mimpi sejauh mungkin, jangan berhenti hanya karena asumsi yang awak buat sendiri,” balas Koh Banar.
“Baik Koh!” angguk Arsha.
“Sebentar Koh, ada yang buat aku penasaran, kenapa Koh Banar bisa mendengar semua pembicaraan kami?” tanya Rawa tiba-tiba.
“Awak serius ke tanya begitu? Kalian ni bising, bicara keras-keras, kalian pikir kenapa saya datang ke sini? Karena satu pegawai saya tu memberi tahu, dia pikir kalian sedang bertengkar, terutama mulut awak tu Rawa! Awak yang paling bising lebih-lebih dari mereka berdua,” papar Koh Banar.
Wajah Arsha dan Rhea padam memerah karena malu di depan Koh Banar, berbeda dengan wajah sang biang onar, Rawa, ia sendirian yang bukannya merah padam, tapi merah menyala. Arsha dan Rhea yang melihat ke arahnya lantas spontan tertawa, jarang sekali mereka melihat temannya malu dan gelisah sendirian.
“Tapi Koh, Koh Banar yang tiba-tiba muncul di belakang gazebo itu mengingatkanku akan sesuatu…,” pikir Arsha, “Ah! Hari kedua Niskala di rumahku, di pagi yang dingin dia paksa aku ke sini, kalian ingat ceritaku, ‘kan? Wa? Rhe?” tanya Arsha kepada kedua sahabatnya.
“Aku ingat!” jawab Rhea antusias.
“Kalau aku … sepertinya lupa, hehe,” timpal Rawa.
“Udah nggak aneh!” balas Rhea.
“Berarti, ini kedua kalinya Koh Banar tiba-tiba muncul di belakang gazebo dan menolongku, ya,” ucap Arsha.
“Awak salah, ini yang ketiga kalinya,” bantah Koh Banar.
“Hah? Terus yang kedua kapan?” tanya Arsha penasaran.
“Bukan yang kedua, tapi yang pertama,” jawab Koh Banar.
Arsha semakin bingung mendengar jawaban Koh Banar, seingatnya hanya dua kali saja ia dikagetkan oleh Koh Banar di tempat ini, yang pertama baginya adalah saat hari kedua Niskala di desa, kenangan itu tak akan hilang begitu saja, ia mengingat betul saat sedang kedinginan di tempat ini, pagi-pagi meringkuk di atas gazebo tua bersama seorang perempuan keras kepala yang menyeretnya secara paksa.
“Saya tak tahu apa hubungan awak, perempuan itu dan gazebo tua ni, tapi dulu sekali, saat awak masih kecil, kalian berdua pernah bertikai di sini, memperebutkan sebuah cangkang kerang. Awak menarik paksa cangkang kerang tu dari tangan dia, membuat gadis kecil tu menangis tak henti-henti, sementara bapak awak yang juga berada di sini sedang pergi ke kamar mandi. Terpaksa lah saya datangi kalian, saya tak sengaja mengagetkan, namun reaksi dari gadis tu tak disangka, dia yang awalnya menangis malah menjadi tertawa,” papar Koh Banar.
Mendengar cerita Koh Banar, tentu membuat Arsha, Rawa dan Rhea kembali terdiam, Arsha mendengarkan dengan seksama dan penuh ketertarikan, ia merasakan sekujur tubuhnya kaku karena hampir tak percaya dengan apa yang Koh Banar sampaikan, sementara Rawa dan Rhea hanya bisa terus mendengarkan karena ikut menjadi penasaran.
“Di hari saat awak berdua kedinginan, saya sudah sadar kalau gadis itu adalah gadis yang sama, dia seperti datang kembali ke tempat ni, dengan orang yang sama dan lagi-lagi bertikai berdua pula,” lanjut Koh Banar.
Arsha dan kedua sahabatnya semakin terdiam.
“Sekarang, ketiga kalinya saya melihat kejadian yang sama, gadis tu memang tak ada di sini, tapi awak sedari tadi ribut karena dia juga, ‘kan?” tanya Koh Banar.
Arsha menelan ludahnya.
“Awak ngerti sekarang? Itulah rencana Tuhan. Mungkin saja dia memang ditakdirkan untuk datang di saat-saat tertentu, datang untuk awak,” pungkas Koh Banar.
Tidak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulut Koh Banar setelahnya, ia berpaling dan kembali ke kedai, meninggalkan tiga orang anak manusia dalam keadaan setengah sadar.
Kamis, 29 agustus 2013Lima hari setelah kedatangan Niskala, Arsha tak hentinya mengeluh karena perlakuan perempuan jahil itu, ia selalu saja menemukan cara untuk membuat Arsha kesal. Untungnya, belum ada kejadian yang lebih buruk dibanding saat ia dipaksa pergi ke pantai saat pagi buta. Arsha sudah membawa perempuan itu dalam sebuah perjalanan menyusuri seluk beluk desa, bersama Rawa juga Rhea, mereka mengenalkannya ke tempat-tempat penting yang mungkin nanti ia butuhkan.Desa ini memang tidak begitu ketinggalan zaman, namun bukan berarti semua hal ada di sini, seperti toko kelontong contohnya, hanya ada dua toko yang cukup besar di desa, toko pertama hanya berjarak tak lebih dari tiga ratus meter dari rumah Arsha. Sementara toko kedua, berjarak kurang lebih dua kilometer, sangat repot jika harus berjalan kaki menuju ke sana, Arsha biasa menggunakan sepedanya jika ia
Clermont adalah nama dari kapal uap pertama yang secara komersial telah sukses menjalankan tugasnya di atas air tanpa masalah, kapal rancangan Robert Fulton itu merupakan kapal berbahan bakar batu bara yang pertama kali dipakai di daerah Clermont, New York dan berhasil menaklukkan Sungai Hudson sejak tahun 1807 sampai 1814. Kapal itu dipersenjatai dengan mesin berkekuatan dua puluh tenaga kuda yang Robert impor dari Birmingham, Inggris. Mesin impor itu menggerakkan sepasang roda berpedal dengan diameter 450 sentimeter yang dipasang di tiap sisi kapal Clermont, sehingga membuatnya bisa bergerak di atas air tanpa bantuan layar dan angin seperti kapal-kapal lain di masanya.Hasil ciptaan Robert Fulton itu menjadikannya salah satu penemu Amerika yang paling berpengaruh dalam perkembangan teknologi transportasi, pria kelahiran tahun 1765 itu berhasil me
Potongan kertas tersebar menghiasi bagian atas amben yang berada di belakang rumah Arsha, amben yang sebelumnya digunakan untuk acara makan bersama saat hari kedatangan Niskala, kini kembali digunakan di hari keenam perempuan itu di sana. Amben yang sebelumnya dihiasi oleh daun pisang yang Arsha potong telah tergantikan oleh kardus bekas dan kertas-kertas karton. Kedua benda itu Arsha pungut dari sudut-sudut rumah, bukan untuk menjadi alas makan bersama, melainkan untuk kebutuhan Ospek di kampusnya. Arsha, Niskala, Rhea dan Rawa sudah berkumpul sejak pukul sepuluh pagi, rasa hangat dari cahaya mentari telah menyelimuti permukaan kulit mereka nyaris di setiap inci. Empat buah tanda nama berukuran tiga puluh kali sepuluh sentimeter yang terbuat dari potongan kardus telah selesai mereka rangkai, tanda nama pertama bertuliskan Antariksha Bumisakti dan nama jurusan tanpa sedikit pun hiasan
Hukuman berupa pengucilan dari masyarakat telah diterima oleh seorang pria tua pada tanggal 22 juni tahun 1633, setidaknya itulah hasil dari putusan pengadilan gereja masa itu di Italia. Pria tua itu disidang karena dianggap telah melenceng dari kepercayaan masyarakat, ia mempercayai sebuah teori yang mengatakan bahwa bumi mengelilingi matahari, teori yang pada akhirnya ternyata benar dan terbukti. Galileo Galilei adalah seorang fisikawan terkemuka yang hidup di pertengahan abad ke enam belas. Beliau adalah orang yang menyempurnakan teropong bintang, benda ajaib yang memiliki kemampuan untuk melihat dan menembus lapisan langit, salah satu benda yang juga sangat digemari oleh seorang laki-laki bernama Antariksha Bumisakti. Gumpalan sampah berwujud potongan kertas bak limbah kembali terlihat di depan sekumpulan anak manusia,
Hari pertama di bulan september tahun 2013 bukan hanya menjadi hari yang berbeda untuk Niskala yang akan segera ditinggal pergi oleh ayahnya. Hari ini juga menjadi titik temu bagi Arsha yang baru diberitahu sesuatu oleh ayah Niskala, sesuatu tentang anaknya yang membuat Arsha langsung begitu saja menjadi orang yang berbeda. “Sha…, kamu kenapa?” tanya dengan lirih seorang perempuan. Tak butuh waktu lama bagi orang yang ditanya untuk menjawabnya. “Maksudnya? Aku nggak kenapa-kenapa.” “Kamu agak beda gitu,” balas Niskala. “Itu perasaanmu aja kali,” timpal Arsha. Niskala maupun Arsha tak lagi melanjutkan kata-katanya, mereka kembali duduk di atas sofa
Siang hari yang terik harusnya dimanfaatkan untuk istirahat bagi orang-orang yang sedang tak memiliki kegiatan, itu adalah pemikiran yang normal bagi kebanyakan manusia. Namun tidak untuk kedua sahabat berusia paruh baya bernama Khalid dan Rohim, yang sedang asik memainkan sebuah konsol gim generasi kedua buatan sebuah perusahaan asal negeri sakura. Konsol gim itu sebenarnya adalah hadiah ulang tahun Arsha yang keempat belas, namun benda itu lebih sering berada di tangan Pak Khalid, karena Arsha sudah lama berhenti memainkannya. Arsha hanya memainkannya sesekali jika Rawa sedang berada di sana, tentu saja pemuda penuh euforia itulah yang mengajaknya bermain bersama. Permainan di layar kaca yang telah berlangsung beberapa lama, harus terpaksa dijeda karena suara tertawa keras yang tak perlu ditanya dari mana asalnya.
Suara mesin mobil hitam milik Pak Rohim yang baru menyala menjadi pertanda perpisahan seorang ayah dengan anaknya, kendati perpisahan ini hanya berlangsung sementara, tetaplah bukan hal yang mudah bagi keduanya. Niskala akan mengenyam pendidikan di pelosok daerah antah berantah, jauh dari kedua orang tua yang selalu menemaninya selama ia hidup di dunia. Niskala tentu akan pulang ke Bandung setiap liburan semester atau setiap hari raya, ia bak tokoh utama dalam lagu karya Ade Irma, lagu tentang seorang pria yang tak kunjung pulang jua setelah tiga kali lebaran dan puasa. Untungnya, Niskala bukanlah sosok yang sama dengan pria di lagu tersebut, ia pasti akan pulang dan bertemu kedua orang tua yang menunggunya, kedua orang tua yang akan menjadi sebaik-baiknya penyambut. Seluruh penghuni rumah kini berbaris tak jauh di pinggir jalan,
Udara dingin menyelimuti sekujur tubuh perempuan asal Bandung tatkala pemuda yang tak jelas asalnya tiba-tiba menarik tangannya secara paksa, Antariksha Bumisakti mendadak berubah menjadi agresif beberapa jam setelah seorang perempuan muda ditinggal sendiri oleh ayahnya. Jarum dari jam dinding yang membentuk sudut sembilan puluh derajat ke arah kanan, atau tepat pukul tiga pagi menjadi pusat perhatian kedua bagi sang perempuan setelah melihat wajah Arsha yang menjadi pusat perhatian pertamanya.Kaki telanjang yang dipaksa menginjak lantai bersuhu rendah, tak membuat Niskala Kirani Alnair bisa begitu saja marah. Meskipun apa yang dilakukan oleh Arsha bisa jadi adalah hal yang mampu membuat sebagian besar manusia murka, Niskala masih menanggapi pemuda itu dengan penuh percaya. Kesan paksa yang tersemat pada lakon yang sedang Arsha perankan, tak bisa didukung sepenuhnya karena Arsha masih memper