Beranda / Romansa / Kelana Nirbatas / Bab 6 - Pria Bertopi Bucket

Share

Bab 6 - Pria Bertopi Bucket

Senin sore, 3 Agustus 2020

Payung-payung besar terlihat ramai berjajar, gagangnya tertanam di dalam pasir dekat bibir pantai, suara gerombolan anak kecil berlari saling mengejar, suara orang dewasa yang saling bicara dan tertawa, keheningan pasangan muda-mudi yang memilih bicara melewati hati sembari menunggu senja, ingar-bingar kebisingan tanpa batas menyelimuti nyaris setiap lingkup sudut Pantai Renjana.

Seorang pria muda lesu berpakaian formal tanpa dasi, kucal kulit gelap aura, terduduk diam sendirian di atas sebuah gazebo tua yang baru di pernis ulang, membelakangi meja-meja penuh terisi manusia, di belakang sebuah kedai es kelapa berpegawai tiga. Sorot matanya nyaris padam dengan pandangan tenggelam ke bawah, bagai seekor lembu ditinggal induknya. Deburan ombak dan derap langkah kaki tanpa henti di sekitar tak membuatnya sadar, kegelapan sudah telanjur menyelimuti mata dan telinganya, ia tak bisa merasakan apa-apa, sunyi senyap di kepalanya.

Delapan jam telah ia habiskan sepeninggalnya dari tempat yang muram, enam jam ia pakai untuk murung di rumah, dua jam sisanya menguap di atas gazebo tua, ia habiskan untuk duduk diam. PT Ekowisata Bahari yang ia harapkan akan menjadi tempatnya menaungkan mimpi untuk pertama kali, malah mendatangkan kenangan yang tak sekalipun ingin ia undang. 

Seorang pria tua dengan topi bucket khas telah berulang kali menghampirinya, menanyakan padanya apa yang sedang terjadi, namun tak ada jawaban yang benar-benar pria muda itu berikan. ia terus berkata tidak ada apa-apa sambil berdalih bahwa ia hanya sekadar menunggu teman, tentu saja perkataannya berbanding terbalik dengan sorot matanya yang hampir seperti kehilangan cahaya.

Jalan kecil di depan kedai kini sudah perlahan diperlebar oleh pemerintah daerah kabupaten, sudah ramai diisi lalu-lalang orang dan kendaraan, sebuah mobil pabrikan Jepang berwarna biru tua terlihat tiba-tiba berhenti di bagian pinggirnya. Dari dalamnya keluar dua orang pria dan wanita, sigap bergegas menuju pria tua bertopi bucket yang kini sedang sibuk memotong kelapa muda, melakukan pekerjaan yang sebenarnya bukan lagi tugasnya. 

“Sore Koh,” sapa si pria dan wanita secara bersamaan.

“Sore juga, kompaknya kalian ye,” balas si pria tua, “Teman awak berdua, si Arsha, sedang bertangkar di gazebo kesukaan dia, tak biasanya ku tengok anak muda tu murung seperti badak jawa kehilangan berat badan,” lanjutnya lagi dengan candaan.

“Hahaha…, dia sih lebih mirip badak jawa ketemu mantan!” timpal si pria yang tak lain adalah Rawa.

Meskipun tahu sahabatnya sedang dalam kondisi murung dan gundah gulana, tak membuat Rawa menahan diri untuk tidak mengejeknya, ia tertawa dengan bebas bersama Koh Banar, menyamakan Arsha dengan hewan langka yang terkenal sebagai maskot Provinsi Banten itu.

“Hus!” pungkas Rhea sambil menyenggol lengan Rawa, “Lagi galau dia Koh, baru aja dihinggapi kenangan masa lalu,” lanjutnya kepada Koh Banar.

“Urusan perempuan, ke?” balas Koh Banar.

“Benar, Koh. Urusan perempuan, udah ku suruh dia dekati cewek dari dulu, biar nggak kaget kalau patah hati, eh dia nggak dengar. Sekarang dia galau berlarut-larut karena satu orang, itulah akibat karena tidak menghiraukan perkataan sahabatnya yang baik ini,” sosor Rawa membanggakan dirinya sendiri.

“Ngomong udah kayak banyak pengalaman sama cewek aja, padahal lebih banyak patah hatinya!” Sanggah Rhea sedikit kesal.

“Galau karena satu orang? Ah, maksud awak gadis cantik bernama Niskala itu, ke? masih belum berpindah hati juga pemuda tu ye,” balas Koh Banar.

“Iya koh, siapa lagi kalau bukan Niskala, hahaha!” lanjut Rawa tertawa.

Niskala bukanlah orang asing lagi bagi sebagian besar warga desa, ia dikenal sebagai seorang putri raja yang tersesat di negeri antah berantah, hari-harinya selalu dijaga oleh seorang kesatria, namun dalam hal ini, kesatria yang dimaksud bukanlah seorang perwira gagah perkasa yang menunggang kuda, melainkan hanya pemuda biasa penunggang sepeda bernama Antariksha.

“Ah, syukurlah. Sebenarnya saya agak khawatir melihat dia, gelagatnya mirip seperti ‘hari itu’, ngerti awak?” tanya Koh Banar tanpa sedikit pun canda di dalamnya.

“Ah, iya Koh, ngerti,” jawab Rawa yang juga menjadi lebih serius.

“Masih untunglah kali ni cuma masalah perempuan je, masih cetek itu, tapi lebih elok awak temani lah dia sana,” sambung Koh Banar.

“Iya Koh, yaudah kita pamit ke belakang ya, Koh. Ayo Wa!” cetus Rhea yang sudah peka dengan keadaan, memutuskan untuk langsung menemui Arsha tanpa lupa menyeret Rawa, ia juga pamit kepada Koh Banar, mereka bergegas menuju tempat bertangkar sang badak jawa.

Bagian punggung dari kemeja pria muda itu sudah terlihat dari kejauhan, ia tak hanya mengenakan pakaian yang berbeda dari kebanyakan orang di kerumunan, namun juga memiliki aura yang muram sendirian, kepala bagian belakangnya nyaris tak terlihat karena tertunduk begitu dalam.

“Permisi, Mas. Anak magang, ‘kan? Bisa tolong bikinin kopi?” cetus Rawa yang kini berdiri di hadapan Arsha, membuat Arsha menaikkan pandangannya, matanya yang sedari awal nyaris padam, kini terang menyala karena dipenuhi kekesalan yang mendalam.

“Bikin sendiri sana, sialan!” protes Arsha kesal.

“Nah, ini baru sahabat kita, Rhe!” ucap Rawa kepada Rhea sambil menunjuk Arsha dengan dua jari telunjuk di dua tangannya, Rawa menyeringai lebar sampai terlihat semua gigi depannya. 

“Baca situasi kenapa sih begooo!” tegur Rhea, tak habis pikir dengan manusia yang satu itu.

“Tenang, tenang! Kalo gini kan enak kita ngobrolnya,” balas Rawa,

“Huft…, kamu gapapa, Sha?” tanya Rhea kepada Arsha.

“Tiga tahun, Rhe…,” jawab Arsha pelan, “Tiga tahun kuhabiskan untuk bangun hidupku yang dulu runtuh, merajut kembali mimpiku yang dulu kusut,” lanjutnya lagi lirih.

“Kamu masih benci dia?” tanya Rhea serius.

Arsha tersenyum, “Aku nggak pernah membenci dia, Rhe,” jawabnya.

“Hah?! Nggak membencinya? Setelah semua yang dia lakukan?! Yang bener aja!” teriak Rawa tiba-tiba memotong pembicaraan mereka, kali ini ia berkata dengan wajah serius dan tanpa candaan seperti biasa.

“Emangnya apa yang dia lakukan, Wa?” tanya Arsha.

Mendengar pertanyaan Arsha membuat Rawa terlihat semakin serius, “Dia kan—”

“Nggak ada!” potong Arsha, “Dia nggak bicara, dia nggak bertingkah, dia nggak melakukan apa-apa!” lanjutnya.

Rhea dan Rawa hanya terdiam mendengar perkataan Arsha.

“Tapi karena nggak ada apa-apa darinya itu, yang membuatku juga nggak bisa apa-apa, kalian pikir aku begini hanya karena ketemu seorang perempuan yang dulu pernah hadir di hidupku? Nggak! Aku nggak berhenti bertanya kepada Tuhan sejak pagi tadi, bukan bertanya kenapa aku dipertemukan dengannya, tapi kenapa harus sekarang, di waktu dan tempat yang sangat nggak kuinginkan,” paparnya lebih jelas. 

“Kalau kamu nggak masalah dengan pertemuan itu, kenapa bisa seterpuruk ini?” tanya Rawa.

“Aku nggak membencinya, tapi bukan berarti aku bisa begitu saja kembali hidup di dekatnya. Aku masih bisa terima jika hanya untuk bertemu, tapi nggak bisa kalau untuk menetap ataupun hanya sekadar bertamu. Aku harus bekerja di tempat itu. Aku mempersiapkan banyak hal agar bisa bekerja di sana, tapi kini, untuk berharap diterima saja aku nggak tahu apa aku mau, aku nggak bisa kalau harus bekerja dan melihat dia setiap waktu, tapi di sisi lain ada mimpi yang harus ku tuju,” jawab Arsha.

“Aku ngerti,” balas Rawa singkat.

“Rasanya seperti dihempaskan dari atas jembatan gantung ketika aku baru saja menemukan keberanian untuk kembali berlari menuju ke bagian ujung,” ujar Arsha, “Ujung mimpiku,” pungkasnya.

 Mendengar penjelasan Arsha, Rawa dan Rhea tak bisa lagi berkata-kata, mereka yang sejak awal hanya mengira ia muram karena bertemu Niskala, telah lupa bahwa Arsha bukanlah seorang pria lemah yang bisa runtuh begitu saja, hanya karena kemunculan seorang perempuan dari masa lalunya secara tiba-tiba. Mereka terlalu meremehkan seorang anak manusia yang begitu gigih mempertahankan apa yang ingin ia capai dalam hidupnya.

Mereka bertiga berakhir diam, Rawa dan Rhea yang sedari tadi berdiri memutuskan untuk duduk, menempatkan Arsha di tengah-tengah mereka, sambil sama-sama menghadap ke arah Pantai Renjana. Mereka semua kehabisan bahan untuk melanjutkan pembicaraan. Rasanya juga begitu berat bagi Rawa dan Rhea untuk melihat sahabat mereka yang kesulitan, dihadapkan dengan sesuatu yang tak bisa mereka bayangkan. Mereka bertiga duduk mematung selama beberapa detik, sampai sebuah suara tiba-tiba terdengar dan memaksa mereka untuk menoleh ke belakang.

“Percaya diri sekali awak, bicara seenaknya seolah tahu rencana Tuhan!” cetus seorang pria tua bertopi bucket yang muncul tanpa aba-aba, siapa lagi kalau bukan Koh Banar sang sesepuh kedai.

“Koh?!” teriak mereka bertiga kaget.

“Saya dengar pembicaraan kalian semua, terutama awak!” tunjuk Koh Banar kepada Arsha, “Awak bicara seolah tahu Tuhan sedang apa, awak bilang tak ada masalah dengan sang gadis, tapi bicara seolah menyatakan bahwa masalahnya ada di Tuhan yang awak sembah!” lanjutnya.

Arsha, Rawa dan Rhea kembali terdiam, kali ini bukan karena kehabisan bahan pembicaraan, melainkan karena tertegun mendengar ucapan yang begitu serius dan tajam, dari seorang pria tua yang biasanya selalu penuh canda.

“Hanya karena sebuah pertemuan, awak langsung merasa dihempaskan dari atas jembatan? Awak bicara apa?! Seolah menekankan bahwa Tuhan membuat gadis itu hanya untuk menjadi hambatan, memangnya apa salah dia?” lanjut Koh Banar dengan sebuah pertanyaan.

Tak ada satu pun di antara ketiga anak muda itu yang bisa memberikan jawaban, terutama Arsha yang kini menjadi semakin diam, seolah memiliki segudang pikiran yang sedang ia olah dalam waktu bersamaan.

“Siapa tahu, gadis tu adalah orang yang akan membantu awak menyeberangi jembatan, menuntun awak agar tak berlari sendirian, membantu awak untuk mencapai tujuan,” lanjut Koh Banar, “Awak dan kita semua, tak pernah tahu rencana Tuhan!” pungkas Koh Banar.

Arsha yang mendengar kalimat terakhir dari Koh Banar, langsung merasa bersalah kepada sosok Niskala, kalau dipikir-pikir, Niskala memang tak salah apa-apa. Namun semua perkataan Arsha yang ia lontarkan kepada kedua sahabatnya menekankan seolah-olah hal yang begitu buruk telah terjadi karena pertemuan mereka.

“Terimakasih, Koh,” ucap Arsha tiba-tiba, “Aku sadar sekarang, memang tak ada hal buruk yang terjadi hanya karena keberadaannya, kami hanya bertemu dan aku sendiri yang murung dan merasa takdirku tak mujur, padahal benar kata Koh Banar, ia tak salah apa-apa dan tak melakukan apa-apa,” jelasnya.

“Sama-sama, nak. Awak ni masih muda, kejarlah mimpi sejauh mungkin, jangan berhenti hanya karena asumsi yang awak buat sendiri,” balas Koh Banar.

“Baik Koh!” angguk Arsha.

“Sebentar Koh, ada yang buat aku penasaran, kenapa Koh Banar bisa mendengar semua pembicaraan kami?” tanya Rawa tiba-tiba.

“Awak serius ke tanya begitu? Kalian ni bising, bicara keras-keras, kalian pikir kenapa saya datang ke sini? Karena satu pegawai saya tu memberi tahu, dia pikir kalian sedang bertengkar, terutama mulut awak tu Rawa! Awak yang paling bising lebih-lebih dari mereka berdua,” papar Koh Banar.

Wajah Arsha dan Rhea padam memerah karena malu di depan Koh Banar, berbeda dengan wajah sang biang onar, Rawa, ia sendirian yang bukannya merah padam, tapi merah menyala. Arsha dan Rhea yang melihat ke arahnya lantas spontan tertawa, jarang sekali mereka melihat temannya malu dan gelisah sendirian.

“Tapi Koh, Koh Banar yang tiba-tiba muncul di belakang gazebo itu mengingatkanku akan sesuatu…,” pikir Arsha, “Ah! Hari kedua Niskala di rumahku, di pagi yang dingin dia paksa aku ke sini, kalian ingat ceritaku, ‘kan? Wa? Rhe?” tanya Arsha kepada kedua sahabatnya.

“Aku ingat!” jawab Rhea antusias.

“Kalau aku … sepertinya lupa, hehe,” timpal Rawa.

“Udah nggak aneh!” balas Rhea.

“Berarti, ini kedua kalinya Koh Banar tiba-tiba muncul di belakang gazebo dan menolongku, ya,” ucap Arsha.

“Awak salah, ini yang ketiga kalinya,” bantah Koh Banar.

“Hah? Terus yang kedua kapan?” tanya Arsha penasaran.

“Bukan yang kedua, tapi yang pertama,” jawab Koh Banar. 

Arsha semakin bingung mendengar jawaban Koh Banar, seingatnya hanya dua kali saja ia dikagetkan oleh Koh Banar di tempat ini, yang pertama baginya adalah saat hari kedua Niskala di desa, kenangan itu tak akan hilang begitu saja, ia mengingat betul saat sedang kedinginan di tempat ini, pagi-pagi meringkuk di atas gazebo tua bersama seorang perempuan keras kepala yang menyeretnya secara paksa.

“Saya tak tahu apa hubungan awak, perempuan itu dan gazebo tua ni, tapi dulu sekali, saat awak masih kecil, kalian berdua pernah bertikai di sini, memperebutkan sebuah cangkang kerang. Awak menarik paksa cangkang kerang tu dari tangan dia, membuat gadis kecil tu menangis tak henti-henti, sementara bapak awak yang juga berada di sini sedang pergi ke kamar mandi. Terpaksa lah saya datangi kalian, saya tak sengaja mengagetkan, namun reaksi dari gadis tu tak disangka, dia yang awalnya menangis malah menjadi tertawa,” papar Koh Banar.

Mendengar cerita Koh Banar, tentu membuat Arsha, Rawa dan Rhea kembali terdiam, Arsha mendengarkan dengan seksama dan penuh ketertarikan, ia merasakan sekujur tubuhnya kaku karena hampir tak percaya dengan apa yang Koh Banar sampaikan, sementara Rawa dan Rhea hanya bisa terus mendengarkan karena ikut menjadi penasaran.

“Di hari saat awak berdua kedinginan, saya sudah sadar kalau gadis itu adalah gadis yang sama, dia seperti datang kembali ke tempat ni, dengan orang yang sama dan lagi-lagi bertikai berdua pula,” lanjut Koh Banar.

Arsha dan kedua sahabatnya semakin terdiam.

“Sekarang, ketiga kalinya saya melihat kejadian yang sama, gadis tu memang tak ada di sini, tapi awak sedari tadi ribut karena dia juga, ‘kan?” tanya Koh Banar.

Arsha menelan ludahnya.

“Awak ngerti sekarang? Itulah rencana Tuhan. Mungkin saja dia memang ditakdirkan untuk datang di saat-saat tertentu, datang untuk awak,” pungkas Koh Banar.

Tidak ada lagi kata-kata yang keluar dari mulut Koh Banar setelahnya, ia berpaling dan kembali ke kedai, meninggalkan tiga orang anak manusia dalam keadaan setengah sadar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status