Mentari mulai meninggi di pukul delapan lewat tiga puluh menit pagi, dua orang bak tentara baru pulang dari medan perang terlihat dari kejauhan, terbirit-birit di atas sepeda berjok belakang. Ketika kebanyakan tentara lain pulang dengan bekas luka, kedua tentara muda ini pulang dengan kedinginan, bertempur habis-habisan dengan hukum alam. Tak ada penghargaan semacam medali seperti di zaman kepahlawanan, yang ada hanya sambutan dari kedua orang tua yang sedari pagi bertanya kemana anak-anaknya.
30 menit sebelumnya.
“Sha, teh angetnya tinggal segini…,” lirih seorang perempuan berselimut jaket hitam, sambil menunjukkan isi termos kecil kepada orang di sebelahnya.
“Kamu abisin aja pelan-pelan, kita tunggu matahari naik sedikit lagi, abis itu baru pulang. Kalau pulang sekarang aku khawatir kamu hipotermia,” balas seorang pemuda sedikit bercanda.
“Ya nggak bakal hipotermia juga kali, kamu pikir ini kutub selatan!” protes sang perempuan.
Arsha dan Niskala masih terpojok di atas gazebo tua, dua buah kotak bekal sudah kembali ke dalam tas jinjing, bersih tanpa satu biji pun nasi. Teh hangat yang menjadi harapan hidup mereka berdua hanya tersisa satu gelas kecil, menempatkan mereka di keadaan yang sama sebelum harapan itu ada.
Arsha yang sebenarnya sedikit kedinginan tak mungkin tega ikut meminum teh hangat di depannya, ia tak ingin melihat perempuan di sampingnya kembali terpojok dan menggigil, Arsha mungkin sering dibuat kesal oleh Niskala, tapi bagaimanapun juga ia adalah seorang pria. Arsha mungkin terlihat cuek dan tak peduli dengan wanita, tapi bukan berarti ia tak punya hati.
Di sisi lain, Niskala yang mengakui dirinya menyebalkan pun bukan berarti ia adalah orang yang jahat, meskipun ia egois namun ia tahu batas dan peka dengan keadaan. Melihat orang yang ia buat susah sedikit menggigil di dekatnya, sementara ia merasa hangat karena jaket orang itu, tidaklah semerta membuatnya tega, “Akan menjadi hal yang sangat keterlaluan jika aku menghabiskan teh hangat itu sendirian,” pikirnya.
“Nih, kamu juga minum,” tawar Niskala sambil menyerahkan gelas berisi teh hangatnya.
“Ah nggak mau, buat kamu aja,” tolak Arsha.
“Kalau kamu nggak mau minum, aku juga nggak minum!” balas Niskala dengan nada tegas dan sedikit meninggi.
“Eh, dia marah?” batin Arsha. “Kenapa harus gitu?” tanyanya kepada Niskala.
“Jangan banyak tanya, kamu juga harus minum pokoknya!” lanjut Niskala tanpa menurunkan suaranya.
“Kenapa sih? Kan aku udah bilang itu buat kamu, tinggal minum aja apa susahnya,” timpal Arsha dengan santai.
Mendengar ucapan Arsha yang begitu mudah ia lontarkan, membuat Niskala sesaat terdiam tanpa sepatah kata, sampai ketika ekspresi Niskala berubah semakin serius dan kedua bibirnya mulai terbuka, pertanda ia akan mulai bicara.
“‘Apa susahnya?’ Serius kamu nanya begitu? Kamu pikir mudah untuk minum ini?!” tanyanya tegas sambil menunjuk gelas berisi teh hangat miliknya, “Kamu pikir mudah untuk menerima kehangatan sendirian sementara aku lihat kamu kedinginan? Kamu pikir mudah untuk aku mendekap jaketmu sambil lihat kamu menggigil di balik satu helai pakaian? Nggak mudah sama sekali, Sha! Aku sadar dan merasa bersalah karena maksa kamu ke sini, aku tahu aku egois dan nyusahin. Makanya, aku nggak mau ngabisin ini sendirian, aku nggak bisa, aku pengen kamu minum juga!” jelasnya dengan nada serius.
Arsha tersentak dengan penjelasan panjang yang baru ia dengar dari mulut Niskala, perkataan Niskala membuat Arsha menyadari bahwa sebenarnya dirinya tak kalah egois juga, dia seakan melihat Niskala hanya sebagai objek yang harus ia jaga, objek tanpa ada hati di dalamnya. Ia hanya memikirkan cara agar Niskala baik-baik saja secara fisik, tanpa memikirkan perasaannya. Arsha menyadari bahwa kalimat yang ia lontarkan sebelumnya pasti telah menyakiti Niskala, Arsha juga menyadari bahwa Niskala bukan hanya sekadar perempuan manja yang hanya memikirkan dirinya sendiri.
“Yaudah iya aku minum juga,” ujar Arsha, “Sini,” lanjutnya sambil meraih gelas dari tangan Niskala.
“Nah gitu kan pacar yang baik,” timpal Niskala yang mendadak kembali santai, senyum tipis juga terukir di wajahnya.
“Terserah kamu lah,” balas Arsha seadanya sambil mulai meneguk sedikit teh hangat, menempatkan gelas plastik itu di antara genggaman tangan dan bibirnya.
“Oh iya kalau di Jepang, minum dari satu gelas yang sama itu disebut ciuman tidak langsung lho!” celetuk Niskala tiba-tiba, dengan pupil mata membesar dan menatap lurus ke arah Arsha.
“Pffftt!” hentak Arsha kaget sambil menarik gelas itu dari bibirnya, “Apa sih tiba-tiba?! Kan kamu yang minta aku minum ini?!” tanyanya sedikit agak kesal.
“Kan kamu bisa aja mindahin sebagian tehnya ke gelasmu yang kosong itu,” balas Niskala santai, “Sengaja ya minum bekas bibirku?” lanjutnya dengan gestur menggoda.
“Hah?!! Kamu berkepribadian ganda, ya?!” balas Arsha dengan sedikit gelisah dan wajah yang memerah.
“Mukamu jadi merah lho, emang dasar cowok,” lanjut Niskala, gestur tubuhnya sangat jelas menandakan bahwa perempuan ini sangat menikmati waktunya saat menggoda Arsha yang pada dasarnya hanyalah laki-laki biasa, ekspresi wajah Niskala juga tak kalah menekankan bahwa ia tengah bergembira melihat orang di sebelahnya tersipu malu dengan wajah merah menyala.
“Bodo amat! Nih ku tuang nih!” balas Arsha kesal sambil menuangkan sebagian teh hangat dari gelas plastik milik Niskala ke gelas plastik miliknya.
“Hahaha! Ekspresimu itu…, nggak nahan, Sha! Hahahaha!” timpal Niskala sedikit keras, ia melepas semua gelak tawa yang sedari tadi ia jaga dalam kepalanya.
Menyadari bahwa dirinya sedang ditertawakan habis-habisan, Arsha lebih memilih untuk diam. Kali ini sudah jelas bahwa ia masuk ke dalam perangkap perempuan itu dengan mudahnya, ia lebih memilih untuk tidak melanjutkan apa yang saat ini ia sebut sebagai ajang unjuk kebodohan, kemudian memutuskan untuk menunggu matahari naik dengan tenang.
Ditengah keributan yang sedari tadi disebabkan oleh dua orang itu, sayup-sayup terdengar suara langkah dari belakang gazebo tua, Arsha dan Niskala tak menyadari kedatangan seseorang yang kini berdiri persis di belakang mereka.
“Loh? Arsha bin Bapak Khalid? Tumben pagi-pagi udah mojok sama cewek je, mana cantik pula, saya laporin ke bapakmu ya! Hahaha!” ucap seorang pria tua dengan topi bucket khas yang selalu rapi terpajang di atas kepalanya, dilanjutkan dengan tawanya yang terdengar persis seperti bapak-bapak pos ronda.
“Eh, Koh?!” tengok Arsha kaget.
“Hahaha! Anak muda zaman sekarang pacaran tak tahu waktu, jam segini tak dingin ke?” tanya Koh Banar, pemilik Kedai Kasih yang lagi-lagi tertawa.
“Kita nggak pacar—” jawab Arsha.
“Dingin!!” potong Niskala, “Assalamualaikum, Pak. Saya Niskala,” lanjutnya lagi dengan memperkenalkan diri secara spontan.
“Waalaikumsalam, saya Banar, panggil je Koh Banar seperti anak-anak sini,” balas Koh Banar dengan senyuman, “Wah, Sha…, hebat juga awak, bisa-bisanya menggaet gadis cantik dan sopan ni sampai mau sama awak yang kurus dan berwajah standar, padahal pemuda seperti awak ni banyak ditemukan di Pasar Ikan! Hahaha!” lanjut Koh Banar dengan ejekan.
Koh Banar memang bapak-bapak gaul dan senang bercanda dengan anak-anak desa, bahkan jika Rawa ada di sini, ia pasti sudah tertawa puas sambil terpingkal-pingkal mendengar Arsha diejek di depannya.
“Enak aja, muka saya nggak se-pasaran itu juga, koh!” balas Arsha dengan sedikit protes namun masih disertai canda, tak lupa Niskala yang ikut tertawa melihat mereka berdua.
Arsha yang sudah terpojok mau tak mau harus menjelaskan kepada Koh Banar siapa perempuan yang sedang bersamanya, ia hanya menjelaskan garis besarnya bahwa Niskala akan tinggal di rumahnya dan berkuliah bersamanya.
Melihat Koh Banar di pagi hari adalah hal yang langka, ia biasa meninggalkan kedai ketika sudah tengah malam dan pulang ke rumahnya yang tak jauh dari sana. Beruntung bagi Arsha dan Niskala, rupanya Koh Banar menginap di kedai tadi malam, ia yang iba melihat mereka berdua kedinginan lantas kembali ke dalam kedai untuk mengambil termos miliknya, memberi mereka berdua sisa teh hangat yang ia masak di dalam Kedai Kasih tadi malam, di atas tungku berbahan kayu bakar. Kedai Kasih juga menjual minuman saset seduh seperti kopi, susu dan teh. Teh hangat yang dimasak di atas kayu bakar memiliki aroma yang lebih harum dan nikmat, aroma yang tak hanya memanjakan salah satu indera namun juga membuat mereka lagi-lagi selamat.
Melihat teh hangat yang dirasa masih kurang untuk menghangatkan dua orang, Koh Banar tak diduga juga mengambil beberapa balok bara yang masih menyala, menempatkannya di dalam sebuah baskom ukuran 34 sentimeter berbahan enamel warna putih dengan corak hijau dan motif bunga mawar merah di bagian tengahnya, baskom legendaris yang dimiliki hampir oleh semua orang desa, baskom yang biasa diisi dengan seserahan berupa beras atau makanan di tiap acara perhelatan pernikahan.
Baskom panas itu Koh Banar letakkan di atas gazebo yang ditempati Arsha dan Niskala, mereka menatap bara api yang menyala terang bak dua orang nelayan melihat cahaya mercusuar dari tengah lautan yang gelap, antusias penuh harap untuk menjejakkan kaki di darat.
Ucapan terimakasih dan rasa syukur tak henti-hentinya terdengar dari mulut Arsha dan Niskala, setelah semua kebaikan dirasakan oleh mereka berdua. Koh Banar yang sedari awal berencana untuk pulang ke rumahnya lantas pamit, ia baru bisa meninggalkan kedua nelayan itu dengan tenang setelah melihat pancaran wajah mereka yang memantulkan cahaya terang.
“Huft, kita selamat, Koh Banar baik banget ya, jadi anget sekarang hehe,” ujar Niskala.
“Iya Alhamdulillah, kalau nggak ada beliau bisa hipotermia kamu,” timpal Arsha.
“Heh! Ada juga kamu!” protes Niskala.
“Eh tapi ada yang bikin aku nggak habis pikir, kalau kamu sekarang bisa sebegitu kedinginan, kenapa nggak kerasa dari pagi?” tanya Arsha penasaran.
“Hmm…, aku juga nggak ngerti, mungkin karena … “ jelas Niskala terhenti.
“Karena apa?” tanya Arsha makin penasaran.
“Karena … Aku udah lama banget pengen ke sini. Dari awal aku sampai di rumahmu, aku kepikiran pengen ke sini terus. Tadi pagi setelah bangun, aku ngerasa … terlalu semangat, sampai nggak mikir apa-apa lagi, tahu-tahu aku udah rapi, udah bikin bekal nasi dan telur, udah bikin teh,” jelas Niskala.
“Hah? Cuma karena pengen lihat pantai?” tanya Arsha bingung.
“Huft…, kamu nggak bakal ngerti ah!” jawab Niskala sedikit ketus, “Kamu kan tahu pantai ini punya sejarah, ada kenanganku di sini, kenangan sama kamu!” lanjutnya sedikit keras.
“Ya kan udah ku bilang aku nggak ingat semua itu!” balas Arsha, “Lagipula kenapa kamu bisa segitu terikatnya dengan kenangan pas masih bocah, sih?!” tanya Arsha.
“Harusnya aku yang tanya, kenapa kamu bisa lupa gitu aja?! Aneh!” balas Niskala.
“Kamu yang aneh! Kebanyakan orang nggak akan ingat kenangan dari saat umurnya tujuh tahun, Niskala Kirani Alnair!” teriak Arsha.
“Eh? Kok … Kamu tahu nama lengkapku?” tanya Niskala yang terkejut, mengingat ia tak pernah memberi tahu Arsha nama lengkapnya.
“Heh?!!” balas Arsha yang tak kalah terkejut dan sedikit panik.
Arsha bukanlah orang yang bisa menerima begitu saja ketika ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, ia akan mencari begitu banyak cara untuk menemukan sisi terang dari kegelapan yang menyelimuti kepalanya. Keberadaan Niskala adalah salah satu hal yang sampai kini tak bisa ia mengerti, seorang perempuan kota tiba-tiba datang dan tinggal di desa yang jauh dari tempat asalnya, memilih melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi yang tidak lebih baik dari Perguruan Tinggi di tempat asalnya, akan masuk akal jika Perguruan Tinggi di sini jauh lebih baik, tapi Universitas Sultan Maulana Yusuf yang akan Niskala tuju bersama Arsha bukanlah Perguruan Tinggi yang besar, hanya ada beberapa fakultas di sana, hal ini menjadi salah satu penyebab kebingungan Arsha terhadap Niskala.
Sayang seribu sayang, segudang pertanyaan yang tertanam di kepala Arsha tak bisa begitu saja ia dapatkan jawabannya, ia telah bertanya ke Ayah dan Ibunya, tapi tak ada jawaban yang pasti. Ia tak berani untuk langsung bertanya kepada Pak Rohim, karena menurutnya itu akan sedikit kurang sopan, ia juga masih segan untuk bertanya kepada Niskala, karena jika ia melakukannya, ia akan terdengar seperti “Mengapa kau ada di sini? Mengapa tidak di sana?” yang malah bisa berarti bahwa Arsha tak menginginkan keberadaannya. Salah satu cara yang ditempuh Arsha adalah mencari tahu sendiri, melewati sebuah perantara yang disebut sebagai sosial media.
Di malam pertama Niskala datang ke rumahnya, setelah perhelatan liwetan atau makan bersama, Arsha tidak langsung mengubur diri dalam selimut dan mencoba tidur, ia sibuk dengan ponsel berfitur internet yang ia punya, mencari-cari informasi seseorang di sebuah platform yang nyaris digunakan oleh semua anak muda di kota, sebuah jejaring sosial berwarna biru yang biasa disebut dengan Efbi.
Beruntung, “Niskala” bukanlah nama yang banyak dimiliki orang, Arsha hanya perlu mengetik namanya dan menyaring hasil pencarian khusus untuk orang yang tinggal di Kota Bandung.
Sebuah akun dengan nama Niskala Kirani Alnair muncul di barisan ke tiga hasil pencarian pemuda penasaran, dengan foto profil berupa sosok seorang perempuan muda dan cantik, berdiri di pinggir sebuah tiang kecil di tepi jalan, sebuah plang terpasang di bagian atasnya, berupa papan hijau bertuliskan “JL. Asia-Afrika.” Benar saja, itu adalah akun dari orang yang Arsha cari, Niskala. Namun sayang, yang ia dapatkan dari beranda sosial media perempuan itu hanyalah nama dan asal sekolahnya. Arsha tak bisa melihat hal lain karena terbelenggu oleh privasi, ia harus menjadikan Niskala teman jika ingin mencari informasi lebih lanjut, namun hal itu tak mungkin ia lakukan.
Hinggap bak langau, titik bak hujan, Arsha berada di kondisi yang tak pernah ia duga, Arsha dengan lantang menyebut nama lengkap Niskala, yang membuat perempuan itu kebingungan karena ia tak pernah memberitahukan nama lengkapnya. Kondisi ini tentu membuat kecanggungan di antara keduanya, mereka berdua pun berakhir dengan diam, Niskala diam mengharap jawaban, sementara Arsha diam mencari penjelasan.
“Hey, kok diam? kamu tahu nama lengkapku dari mana?” tanya Niskala lagi, semakin penasaran.
“Efbi…,” jawab Arsha pelan.
“Efbi? Wah! Kamu mencariku di Efbi?! Ciee stalking!” balas Niskala lagi-lagi menggoda.
“Nggak! Itu cuma sekilas ku cari namamu!” sanggah Arsha.
“Haha, cowo ketangkap basah pasti susah ngaku. Lagian apa yang kamu cari di sana? Padahal kalau mau tau tentangku tinggal tanya ke orangnya,” balas Niskala.
“Aku boleh tanya apapun?” tanya Arsha.
“Ya boleh, tanya aja,” angguk Niskala.
“Kalau begitu, ada yang bikin aku penasaran, apa alasanmu datang ke sini? Maksudku, kenapa memilih tinggal dan kuliah di tempat sepi seperti desa ini?” tanya Arsha serius.
“Hmm…,” gumam Niskala agak lama. “Kalau itu aku belum bisa jawab,” lanjutnya santai.
“Hah?! Kan kamu bilang aku boleh tanya apapun!” protes Arsha.
“Ya kan aku bilang kamu boleh tanya apa aja, aku nggak bilang aku bakal jawab semua,” ujar Niskala lagi.
“SIAAAAL!!” batin Arsha berteriak, menyadari bahwa ia baru saja dibodohi untuk ke sekian kalinya. “Lagi-lagi aku berharap terlalu banyak kepadamu,” cetus Arsha.
“Haha, suruh siapa?! Wlee!” ledek Niskala dengan menjulurkan lidahnya, “Tapi aku bilang ‘belum bisa jawab’ lho, bukan ‘nggak bisa jawab’, kamu bakal tahu jawabannya kok, Sha. Tapi nggak sekarang, nanti ada waktunya,” lanjut Niskala yang kini berkata dengan wajah serius.
“Ya ya yaaa, terserah kamu,” ketus Arsha. “Aku mau pulang deh, udah lumayan anget, kamu mau ikut?” tanya Arsha.
“Iyalah! Emang kamu tega ninggalin aku di sini?!” protes Niskala.
“Tega,” timpal Arsha singkat.
Niskala menatapnya dengan mata yang setengah menutup dan ujung kelopak yang menajam, tanpa mengucapkan apa-apa. Arsha yang melihatnya dengan kengerian lantas menyerah dan mengajaknya pulang juga. Mereka berdua mengembalikan baskom legendaris milik Koh Banar ke tempat semula, dekat pintu belakang Kedai Kasih sesuai arahan Koh Banar sebelumnya. Setelah kembali berada di atas sepeda, Niskala yang tak tega melihat Arsha, memutuskan mengembalikan jaket yang ia pakai, karena Arsha akan mengayuh sepeda dan pastinya akan diterpa angin yang dingin.
Belum dua puluh empat jam Niskala tiba, Arsha sudah dibuat hampir gila. Arsha tak berhenti berharap di sepanjang jalan pulang, meminta agar hari-harinya bersama Niskala tak menjadi semakin sulit untuk ia terpa. Arsha memiliki tujuan hidupnya sendiri, mimpi yang telah ia bangun semenjak dulu, mimpi yang ia tuju dengan menapaki jalan penuh liku. Baginya, kuliah adalah hal yang akan ia jalani dengan serius dan penuh ambisi, penting baginya untuk memastikan bahwa Niskala bukanlah salah satu hambatan yang akan membuat jalannya terhalangi.
Sepuluh menit terlewati dalam kayuhan sepeda tanpa henti, mereka berdua akhirnya tiba di depan rumah, disambut oleh Pak Khalid dan Pak Rohim yang sedang asik minum kopi, tentu saja kedua bapak tersebut langsung bertanya dari mana anak-anaknya, Pak Rohim tak hentinya tertawa ketika Arsha bercerita bahwa anak perempuannya memaksa untuk pergi ke pantai saat matahari pagi masih terselimuti kabut, respon yang sudah Arsha duga. Arsha dan Niskala lantas masuk ke dalam rumah, mereka berpisah di tengah-tengah ruang tamu. Arsha bergegas menuju banyak anak tangga untuk kembali ke daerah kekuasaannya, namun sebuah suara terdengar ketika ia baru melangkahi beberapa di antaranya.
“Sha, lain kali jangan lupa ya!” cetus Niskala tiba-tiba.
“Hah? Jangan lupa apa lagi?!” tanya Arsha sambil menoleh dan terlihat sedikit kesal.
“Klik tombol tambahkan pertemanan,” jawab Niskala menyeringai.
Arsha terdiam, melihat ke arah perempuan yang kini tersenyum tajam dengan tatapan licik tak terduga, aura di sekitarnya sangat jelas menandakan bahwa Niskala sedang mengejeknya.
“Sial!” sautnya spontan, Arsha langsung pergi dengan kecepatan cahaya, melintasi ruang dan waktu untuk sampai ke dalam kamarnya, kemudian memutuskan untuk menambah jam tidur di dalam dekapan selimut tebal nan hangat.
Senin sore, 3 Agustus 2020 Payung-payung besar terlihat ramai berjajar, gagangnya tertanam di dalam pasir dekat bibir pantai, suara gerombolan anak kecil berlari saling mengejar, suara orang dewasa yang saling bicara dan tertawa, keheningan pasangan muda-mudi yang memilih bicara melewati hati sembari menunggu senja, ingar-bingar kebisingan tanpa batas menyelimuti nyaris setiap lingkup sudut Pantai Renjana. Seorang pria muda lesu berpakaian formal tanpa dasi, kucal kulit gelap aura, terduduk diam sendirian di atas sebuah gazebo tua yang baru di pernis ulang, membelakangi meja-meja penuh terisi manusia, di belakang sebuah kedai es kelapa berpegawai tiga. Sorot matanya nyaris padam dengan pandangan tenggelam ke bawah, bagai seekor lembu ditinggal induknya. Deburan ombak dan derap langkah kaki tanpa henti di sekitar tak membuatnya sadar, kegelapan sudah telanjur menyeli
Kamis, 29 agustus 2013Lima hari setelah kedatangan Niskala, Arsha tak hentinya mengeluh karena perlakuan perempuan jahil itu, ia selalu saja menemukan cara untuk membuat Arsha kesal. Untungnya, belum ada kejadian yang lebih buruk dibanding saat ia dipaksa pergi ke pantai saat pagi buta. Arsha sudah membawa perempuan itu dalam sebuah perjalanan menyusuri seluk beluk desa, bersama Rawa juga Rhea, mereka mengenalkannya ke tempat-tempat penting yang mungkin nanti ia butuhkan.Desa ini memang tidak begitu ketinggalan zaman, namun bukan berarti semua hal ada di sini, seperti toko kelontong contohnya, hanya ada dua toko yang cukup besar di desa, toko pertama hanya berjarak tak lebih dari tiga ratus meter dari rumah Arsha. Sementara toko kedua, berjarak kurang lebih dua kilometer, sangat repot jika harus berjalan kaki menuju ke sana, Arsha biasa menggunakan sepedanya jika ia
Clermont adalah nama dari kapal uap pertama yang secara komersial telah sukses menjalankan tugasnya di atas air tanpa masalah, kapal rancangan Robert Fulton itu merupakan kapal berbahan bakar batu bara yang pertama kali dipakai di daerah Clermont, New York dan berhasil menaklukkan Sungai Hudson sejak tahun 1807 sampai 1814. Kapal itu dipersenjatai dengan mesin berkekuatan dua puluh tenaga kuda yang Robert impor dari Birmingham, Inggris. Mesin impor itu menggerakkan sepasang roda berpedal dengan diameter 450 sentimeter yang dipasang di tiap sisi kapal Clermont, sehingga membuatnya bisa bergerak di atas air tanpa bantuan layar dan angin seperti kapal-kapal lain di masanya.Hasil ciptaan Robert Fulton itu menjadikannya salah satu penemu Amerika yang paling berpengaruh dalam perkembangan teknologi transportasi, pria kelahiran tahun 1765 itu berhasil me
Potongan kertas tersebar menghiasi bagian atas amben yang berada di belakang rumah Arsha, amben yang sebelumnya digunakan untuk acara makan bersama saat hari kedatangan Niskala, kini kembali digunakan di hari keenam perempuan itu di sana. Amben yang sebelumnya dihiasi oleh daun pisang yang Arsha potong telah tergantikan oleh kardus bekas dan kertas-kertas karton. Kedua benda itu Arsha pungut dari sudut-sudut rumah, bukan untuk menjadi alas makan bersama, melainkan untuk kebutuhan Ospek di kampusnya. Arsha, Niskala, Rhea dan Rawa sudah berkumpul sejak pukul sepuluh pagi, rasa hangat dari cahaya mentari telah menyelimuti permukaan kulit mereka nyaris di setiap inci. Empat buah tanda nama berukuran tiga puluh kali sepuluh sentimeter yang terbuat dari potongan kardus telah selesai mereka rangkai, tanda nama pertama bertuliskan Antariksha Bumisakti dan nama jurusan tanpa sedikit pun hiasan
Hukuman berupa pengucilan dari masyarakat telah diterima oleh seorang pria tua pada tanggal 22 juni tahun 1633, setidaknya itulah hasil dari putusan pengadilan gereja masa itu di Italia. Pria tua itu disidang karena dianggap telah melenceng dari kepercayaan masyarakat, ia mempercayai sebuah teori yang mengatakan bahwa bumi mengelilingi matahari, teori yang pada akhirnya ternyata benar dan terbukti. Galileo Galilei adalah seorang fisikawan terkemuka yang hidup di pertengahan abad ke enam belas. Beliau adalah orang yang menyempurnakan teropong bintang, benda ajaib yang memiliki kemampuan untuk melihat dan menembus lapisan langit, salah satu benda yang juga sangat digemari oleh seorang laki-laki bernama Antariksha Bumisakti. Gumpalan sampah berwujud potongan kertas bak limbah kembali terlihat di depan sekumpulan anak manusia,
Hari pertama di bulan september tahun 2013 bukan hanya menjadi hari yang berbeda untuk Niskala yang akan segera ditinggal pergi oleh ayahnya. Hari ini juga menjadi titik temu bagi Arsha yang baru diberitahu sesuatu oleh ayah Niskala, sesuatu tentang anaknya yang membuat Arsha langsung begitu saja menjadi orang yang berbeda. “Sha…, kamu kenapa?” tanya dengan lirih seorang perempuan. Tak butuh waktu lama bagi orang yang ditanya untuk menjawabnya. “Maksudnya? Aku nggak kenapa-kenapa.” “Kamu agak beda gitu,” balas Niskala. “Itu perasaanmu aja kali,” timpal Arsha. Niskala maupun Arsha tak lagi melanjutkan kata-katanya, mereka kembali duduk di atas sofa
Siang hari yang terik harusnya dimanfaatkan untuk istirahat bagi orang-orang yang sedang tak memiliki kegiatan, itu adalah pemikiran yang normal bagi kebanyakan manusia. Namun tidak untuk kedua sahabat berusia paruh baya bernama Khalid dan Rohim, yang sedang asik memainkan sebuah konsol gim generasi kedua buatan sebuah perusahaan asal negeri sakura. Konsol gim itu sebenarnya adalah hadiah ulang tahun Arsha yang keempat belas, namun benda itu lebih sering berada di tangan Pak Khalid, karena Arsha sudah lama berhenti memainkannya. Arsha hanya memainkannya sesekali jika Rawa sedang berada di sana, tentu saja pemuda penuh euforia itulah yang mengajaknya bermain bersama. Permainan di layar kaca yang telah berlangsung beberapa lama, harus terpaksa dijeda karena suara tertawa keras yang tak perlu ditanya dari mana asalnya.
Suara mesin mobil hitam milik Pak Rohim yang baru menyala menjadi pertanda perpisahan seorang ayah dengan anaknya, kendati perpisahan ini hanya berlangsung sementara, tetaplah bukan hal yang mudah bagi keduanya. Niskala akan mengenyam pendidikan di pelosok daerah antah berantah, jauh dari kedua orang tua yang selalu menemaninya selama ia hidup di dunia. Niskala tentu akan pulang ke Bandung setiap liburan semester atau setiap hari raya, ia bak tokoh utama dalam lagu karya Ade Irma, lagu tentang seorang pria yang tak kunjung pulang jua setelah tiga kali lebaran dan puasa. Untungnya, Niskala bukanlah sosok yang sama dengan pria di lagu tersebut, ia pasti akan pulang dan bertemu kedua orang tua yang menunggunya, kedua orang tua yang akan menjadi sebaik-baiknya penyambut. Seluruh penghuni rumah kini berbaris tak jauh di pinggir jalan,