Desa Bitung memang terletak di daerah dekat pesisir pantai, tapi bukan berarti desa ini tertinggal, tempat tinggal Arsha contohnya, jarak antar rumah warga tidak terlalu dekat dan hampir semua penduduk hidup di atas tanah milik sendiri, rumah-rumah warga pun sudah mengikuti zaman, memang ada beberapa yang masih berbentuk seperti bangunan tempo dulu, namun biasanya rumah tersebut dimiliki oleh penduduk yang sudah sepuh dan ditinggal pergi anak-anaknya yang merantau dan jarang pulang ke desa.
Rumah Arsha sendiri merupakan bangunan permanen modern dengan pondasi yang kokoh seperti kebanyakan bangunan di kota-kota kecil. Rumah ini memiliki dua lantai dan sebuah garasi untuk mobil Kijang kebanggaan Pak Khalid, di lantai pertama terdapat empat buah ruangan, satu kamar Pak Khalid dan Bu Ani, satu kamar dengan pintu berhiaskan tirai cangkang kerang yang kini menjadi kamar Niskala, satu kamar tamu yang kini dipakai Pak Rohim dan Sopir, terakhir satu ruang besar untuk dapur beserta kamar mandi. Sementara itu, lantai kedua sudah seperti daerah kekuasaan sang anak lelaki satu-satunya. Daerah ini hanya memiliki dua ruangan, kamar Arsha dan sebuah gudang yang berisi semua barang-barang miliknya, dua ruangan ini hanya mencakup setengah dari luas lantai, karena sisanya dijadikan balkon tanpa atap.
Arsha masih tak percaya dengan sepucuk surat yang ia baca, pagi hari ia sudah pontang-panting mengganti baju dan memakai jaket, berlari keluar kamar menyusuri tangga untuk ke lantai bawah, dua buah sepeda yang masih terparkir aman di ruang tamu membuatnya semakin bergeliat, kesal sekaligus khawatir dengan hilangnya seorang penghuni baru yang belum dua puluh empat jam berada di rumahnya, Arsha bergegas keluar dari rumah dengan membawa sepeda yang biasa ia pakai untuk membawa barang, dilengkapi jok tambahan di bagian belakang.
Sandal jepit berwarna biru Arsha pilih untuk menemaninya mengayuh pedal sepeda, dengan sedikit tergesa-gesa ia mulai pergi menyusuri jalan menuju pantai yang disebut oleh Niskala. Arsha yang juga merasa kesal terhadap perempuan itu, melampiaskannya dengan berteriak di atas tunggangannya.
“Siaaaaaaaal!!” teriaknya.
Ia yang sudah mengayuh dan menjauh sekitar dua puluh meter dari rumah, harus menurunkan kecepatan karena di depannya ada sebuah tikungan curam, perlahan Arsha melewati tikungan itu dengan aman, setidaknya itu yang ia pikirkan sampai akhirnya laju sepedanya harus terpaksa ia hentikan sepenuhnya.
“Stop!!!” teriak seorang perempuan yang berdiri tak jauh di depannya, dengan tangan kanan membentang ke depan membentuk isyarat meminta berhenti.
Arsha yang kaget melihat perempuan itu tiba-tiba berada di jalur sepedanya sudah tak tahu harus berkata apa, perempuan itu tidak lain adalah Niskala, Niskala yang ia kira sedang tersesat di suatu tempat di daerah yang masih diselimuti pepohonan ini. Perempuan itu terlihat baik-baik saja, itulah yang dipikirkan Arsha pertama kali, sebelum ia akhirnya benar-benar sadar dengan situasi.
“Woy! Kamu ngapain, sih? Minta ditabrak?!” tanya Arsha tegas.
“Hehe…, maaf. Aku udah lama nunggu kamu,” jawab Niskala dengan senyum tanpa dosa.
“Oh iya, kamu gila! Ngapain pagi-pagi ke pantai?! Untung bisa ketemu jalan pulang!” gerutu Arsha.
“Anu, aku belum ke sana…,” balas Niskala singkat.
“Hah?” tanya Arsha kebingungan.
“Aku nggak pernah bertujuan ke sana sendirian. Aku sengaja bikin surat itu biar kamu ikut keluar rumah, terus kita bisa ke sana bareng,” jelasnya dengan santai.
Arsha yang mendengar penjelasannya menjadi semakin kesal dengan Niskala, ia melakukan hal seenaknya untuk kepentingan pribadi, ia membuat orang lain memenuhi permintaanya tanpa orang itu sadari, ia berpikir bahwa dirinya bisa mengendalikan orang di sekitarnya dengan mudah, “perempuan ini sangat berbahaya,” pikir Arsha.
Di sisi lain, Niskala mengenakan pakaian berupa satu potong dress putih panjang tanpa lengan, dipadukan dengan cardigan motif bunga berwarna biru, sebuah topi pantai bahan rajut menghiasi kepalanya, melindungi rambut indahnya yang terurai ke belakang dan tak lupa kakinya juga diselimuti oleh sepasang sneakers jenis slip on yang juga berwarna putih dan biru menyesuaikan warna pakaiannya. Citranya sebagai seorang perempuan kota sangat terlihat. Niskala juga menenteng sebuah tas jinjing yang tampak terisi sesuatu. Arsha yang memperhatikannya sedari tadi sudah menyadari bahwa perempuan ini memang bertujuan untuk piknik sejak awal.
“Kamu pikir aku bakal ikut kamu gitu aja? enak aja, ngapain juga pagi-pagi ke pantai yang dingin, mending aku pulang terus lanjutin tidur!” ketus Arsha.
“Aku udah nungguin kamu sejam lebih,” balas Niskala.
“Emang aku minta ditungguin?” tanya Arsha.
“Yaudah…, aku ke sana sendirian aja,” lanjut Niskala.
“Yaudah kalo kamu keras kepala, nih pake sepeda, jaraknya jauh kalo jalan kaki,” balas Arsha sambil berusaha menyerahkan sepeda miliknya.
Niskala melihat upaya Arsha yang mencoba meminjamkan sepeda kepadanya, namun ia memilih untuk tidak mengiyakan tawaran Arsha, “Nggak usah, aku nggak bisa naik sepeda,” ujar Niskala, yang kemudian mulai memalingkan tubuhnya dan berjalan perlahan menjauhi Arsha.
Mendengar perkataan Niskala, tentu Arsha tidak percaya begitu saja, sangat sulit untuk menerima fakta bahwa Niskala tidak bisa naik sepeda, dia berasal dari kota besar, keluarganya juga mampu secara finansial, aneh rasanya jika seumur hidupnya ia tidak pernah punya sepeda, ditambah sifatnya yang sulit ditebak, ia bisa saja berkelakar tidak bisa bersepeda agar Arsha mau mengantarkannya, sebuah cara yang menurut Arsha sedikit cerdik, di titik ini Arsha mulai berpikir bahwa Niskala sudah seperti seekor kancil yang sedang berusaha membodohinya.
“Nggak bisa naik sepeda? Yang bener aja! Aku tahu kamu bohong biar aku bisa anterin!” cetus Arsha kepada Niskala yang mulai semakin jauh darinya.
“Kalo aku bisa naik sepeda, aku udah pergi duluan dari pagi, nggak perlu nungguin kamu sampe satu jam lebih,” balas Niskala tanpa memalingkan wajah dan terus berjalan.
Isi kepala Arsha bergejolak mencerna perkataan Niskala, dengan pernyataan seperti itu, Arsha sudah tidak bisa menemukan jalan lain untuk membongkar kenyataan apakah Niskala berbohong atau tidak, ia dipaksa untuk menerima dua pilihan, meninggalkan Niskala karena tidak mempercayainya, yang artinya membiarkan orang asing berkeliaran sendirian menuju tempat yang dia sendiri tidak yakin kemana arahnya, atau mempercayai apa yang ia katakan dan ikut mengantarnya menuju tujuan.
Setelah beberapa saat mengalami perang batin di kepalanya, Arsha kemudian teringat dengan tawa dari Pak Rohim yang begitu santai menitipkan anaknya kepada Arsha untuk dijaga. Arsha seketika sadar bahwa bagaimanapun Niskala adalah tanggung jawabnya juga, iya telah mengiyakan permintaan dari dua orang pria yang ia hormati, yaitu Pak Rohim dan Ayahnya sendiri. Tanpa pikir panjang lagi, Arsha memutuskan untuk kembali mengayuh sepedanya, ia berhenti di sebelah Niskala yang sedari tadi berjalan tanpa mempedulikan orang di belakangnya.
“Ayo naik,” ajak Arsha.
Perempuan yang sedari tadi ia kira sedang merajuk, ikut berhenti melangkahkan kaki, ia berdiri di sebelah Arsha dan sepedanya, melihat Arsha dan kemudian memasang senyum manis seperti layaknya seekor kancil yang merasa senang karena telah berhasil membodohi seekor buaya, “Hehe…,” kekehnya lagi-lagi seperti tanpa dosa.
“Aku bilang naik, bukan nyengir!” desak Arsha.
“Iyaaaaa!” jawab Niskala sambil berusaha naik dan duduk menyamping mengisi jok belakang sepeda Arsha.
Sang kancil semakin kegirangan seraya sepeda yang ia tumpangi bersama buaya yang ia bodohi mulai berjalan pelan menuju tempat yang sangat ingin ia datangi.
“Adeeeem…,” ujar Niskala dengan senyum melebar dan mata tertutup menikmati hiliran angin pagi.
“Adem? Orang normal bakal bilang ‘dingin’ di situasi kayak gini,” cetus Arsha.
“Aku kan bukan orang normal,” celetuk Niskala.
“Lah dia ngaku sendiri?!” batin Arsha merasa heran, “Aku penasaran, kamu beneran nggak bisa naik sepeda? Jawab jujur aja, kalaupun tadi bohong aku nggak akan ninggalin kamu sekarang,” tanya Arsha.
“Hmm … Apa aku kelihatan kayak pembohong?” tanya balik Niskala.
“...” Arsha terdiam.
“Aku mungkin kadang nggak jelas dan nyebelin, tapi aku bukan pembohong,” jelas Niskala.
“Yaudah iya aku percaya…,” balas Arsha.
“Bagus, udah seharusnya percaya sama pacar sendiri,” pungkas Niskala.
“Dia mulai lagi…,” batin Arsha.
Arsha tidak menjawab perkataan Niskala dan memutuskan untuk mengayuh pedal sepedanya lebih cepat, sepuluh menit telah mereka habiskan di perjalanan, sepuluh menit milik Niskala dihabiskannya untuk mengucap rasa kagum dengan apapun yang ia lihat, sementara sepuluh menit milik Arsha habis untuk fokus mengayuh sepeda dan menahan dinginnya angin yang menghempas langsung ke wajahnya.
Perjalanan mereka terhenti ketika mereka mulai melihat beberapa perahu milik nelayan terikat di bibir pantai, beberapa perahu baru saja kembali dari aktivitas menangkap ikan di malam hari, suasana masih ramai karena dipenuhi oleh para nelayan yang sedang mengikat ikan-ikan hasil tangkapannya, untuk kemudian di jual di tempat pelelangan ikan berukuran kecil yang berjarak sekitar lima ratus meter dari bibir pantai.
Niskala kembali merasa kagum saat melihat-lihat pemandangan yang ada di sekitar, Pantai Renjana yang ia ingat nyaris tidak berubah dan masih terlihat sama seperti di foto masa kecilnya. Arsha kembali mengayuh sepedanya pelan dan mengarahkannya ke sebuah kedai es kelapa berbentuk gubug tua yang tersusun dari kayu jati berusia puluhan tahun, tempat ini adalah Kedai Kasih, tempat favorit Arsha dan kedua sahabatnya ketika sedang berada di pantai, Kedai Kasih dimiliki oleh seorang pria tua keturunan Tiongkok-Melayu bernama Koh Banar.
Kedai Kasih berada di sebelah kanan jalan dari arah datangnya Arsha, sementara Pantai Renjana berada di belakangnya. Daerah ini masih dipenuhi dengan pepohonan, termasuk di bagian belakang kedai yang menghadap langsung ke bibir pantai, terdapat beberapa meja dan tiga buah gazebo yang bisa digunakan untuk bersantai dan menikmati minuman segar yang dibuat di kedai. Arsha dan kedua sahabatnya biasa menghabiskan waktu di gazebo yang paling dekat dengan pepohonan, gazebo ini lebih sejuk dan nyaman dibanding dua gazebo lainnya.
Pantai Renjana bukanlah tujuan akhir dari jalan yang dilewati Arsha, jalan ini masih terus berlanjut sampai ke desa lain. Kedai Kasih baru dibuka sekitar pukul sepuluh pagi, jadi saat ini tak ada siapapun disana. Arsha langsung mengajak Niskala ke gazebo yang biasa ia tempati bersama Rawa dan Rhea. Niskala kembali dibuat terlena dengan pemandangan indah dan udara sejuk, Pantai Renjana memang tak kalah indah dengan pantai terkenal lain di Pulau Jawa, hanya saja pantai ini tidak terlalu dikenal karena daerahnya yang jauh dan jarang ada wisatawan yang datang, kurangnya infrastruktur yang mendukung juga membuatnya tertinggal kendati pantai ini memiliki potensi untuk menjadi sektor wisata yang besar.
“Waaah…, indahnya,” ujar Niskala kagum, “Aku pengen main air!” lanjutnya antusias sambil mencoba menanggalkan sepatu yang ia kenakan, ia melakukannya tanpa pikir panjang.
“Ahhh dingin!!” celetuknya setelah beberapa detik berdiri dengan kaki telanjang, ia melompat ke atas gazebo dan menutupi kakinya dengan tangan dan mencoba memakai sepatunya kembali.
“Kan udah kubilang! Siapa juga yang ke pantai jam segini untuk main air!” timpal Arsha, “Lagian kamu pakai pakaian kayak gitu emang nggak dingin?” lanjutnya sambil melihat ke arah Niskala.
Alih-alih menjawab pertanyaan Arsha, Niskala justru menunduk sambil memperhatikan pakaian yang ia kenakan, tangannya yang tadi menutupi kaki, kini mulai berpindah mendekati tubuhnya, melingkar perlahan mencari kehangatan. Niskala terpojok dengan posisi duduk sambil memeluk dirinya sendiri. Ternyata, kancil yang berhasil membodohi buaya tidak cukup cerdik untuk memikirkan keselamatannya sendiri, “Hehe…, ternyata dingin,” jawabnya dengan bibir yang sedikit gemetar.
“Huft…, sudah kuduga,” keluh Arsha, “Nih pake,” lanjutnya sambil menanggalkan jaket kesayangannya dan menyerahkannya kepada Niskala.
“Kamu nggak kedinginan?” tanya Niskala.
“Aku kan orang sini, jadi udah terbiasa sama dingin,” jawab Arsha percaya diri meskipun sebenarnya ia juga sedikit menggigil, “Dibanding kedinginan, aku lebih merasa kelaparan,” lanjutnya lagi.
“Kamu laper? Kenapa nggak bilang? Itu aku bawa bekal nasi sama telur ceplok spesial khas Niskala!” ucap Niskala lantang dan bangga.
Mata Arsha sedikit berbinar karena telah menemukan harapan hidupnya lagi, “Wih, kayaknya enak banget! Bedanya telur ceplok kamu sama yang biasa apa?!” tanya Arsha antusias.
“Nggak ada bedanya, cuma karena aku yang bikin jadinya kan khas aku,” jawab Niskala datar.
“Ya Tuhan, sepertinya aku terlalu berharap kepada perempuan ini,” cetus Arsha.
“Heh jahatnyaaa!” protes Niskala.
“Iya iyaaa maaf, setidaknya ada yang bisa dimakan,” balas Arsha sambil menjulurkan tangan ke dalam tas jinjing Niskala dan mencoba mengambil bekalnya, tangannya berhasil meraih dua buah kotak bekal, namun ada benda lain di dalam tas jinjing itu yang lebih menarik perhatian Arsha, “Hmm…, Niskala? Ini isinya apa ya?” tanya Arsha sambil menyodorkan sebuah termos kecil dari dalam tas jinjing kepada Niskala.
“Oh itu, teh anget,” jawab Niskala singkat.
“Teh anget?” tanya Arsha sekali lagi dengan ekspresi yang sedikit berubah, alis matanya meninggi, sorot matanya fokus kepada Niskala.
“Iya, emang kenap— Eh?!!” jawab Niskala kaget karena baru menyadari sesuatu.
“Teh anget!!!!” teriak mereka berdua bersamaan.
Termos yang ditemukan Arsha membuat mereka berdua antusias dan merasa ingin melompat kegirangan, teh hangat adalah sesuatu yang paling mereka butuhkan saat ini, Niskala yang lupa dengan minuman buatannya sendiri juga tidak kalah ingin menangis bahagia. Mereka berdua tak ayalnya seperti Orville Wright dan Wilbur Wright yang baru saja berhasil menemukan formula untuk menciptakan pesawat terbang.
Harapan hidup yang baru mereka temukan langsung dituangkan ke dalam dua buah gelas plastik yang Niskala bawa tanpa pikir panjang, pagi yang dingin ditambah minuman hangat memang kombinasi yang tak ada dua. Arsha juga tidak melupakan perutnya yang sebenarnya telah merengek meminta diberi makan, Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk menyantap bekal yang Niskala bawa, Arsha terlihat sangat lahap memasukkan suap demi suap nasi dan telur ceplok ke dalam mulutnya.
Pada akhirnya sang buaya lupa bahwa ia merasa kesal karena dibodohi sejak pagi, sementara sang kancil lupa bahwa ia cerdik dan malah terlihat bodoh sejak tadi, kancil dan buaya telah benar-benar melupakan peran masing-masing. Namun bagian terbaiknya adalah mereka berdua berhasil menikmati waktu dengan sukacita, setidaknya itulah yang mereka rasakan sampai akhirnya teh hangat yang menjadi harapan perlahan menghilang karena mereka telan.
Mentari mulai meninggi di pukul delapan lewat tiga puluh menit pagi, dua orang bak tentara baru pulang dari medan perang terlihat dari kejauhan, terbirit-birit di atas sepeda berjok belakang. Ketika kebanyakan tentara lain pulang dengan bekas luka, kedua tentara muda ini pulang dengan kedinginan, bertempur habis-habisan dengan hukum alam. Tak ada penghargaan semacam medali seperti di zaman kepahlawanan, yang ada hanya sambutan dari kedua orang tua yang sedari pagi bertanya kemana anak-anaknya.30 menit sebelumnya.“Sha, teh angetnya tinggal segini…,” lirih seorang perempuan berselimut jaket hitam, sambil menunjukkan isi termos kecil kepada orang di sebelahnya.“Kamu abisin aja pelan-pelan, kita tunggu matahari naik sedikit lagi, abis itu baru pulang. Kalau pulang sekarang
Senin sore, 3 Agustus 2020 Payung-payung besar terlihat ramai berjajar, gagangnya tertanam di dalam pasir dekat bibir pantai, suara gerombolan anak kecil berlari saling mengejar, suara orang dewasa yang saling bicara dan tertawa, keheningan pasangan muda-mudi yang memilih bicara melewati hati sembari menunggu senja, ingar-bingar kebisingan tanpa batas menyelimuti nyaris setiap lingkup sudut Pantai Renjana. Seorang pria muda lesu berpakaian formal tanpa dasi, kucal kulit gelap aura, terduduk diam sendirian di atas sebuah gazebo tua yang baru di pernis ulang, membelakangi meja-meja penuh terisi manusia, di belakang sebuah kedai es kelapa berpegawai tiga. Sorot matanya nyaris padam dengan pandangan tenggelam ke bawah, bagai seekor lembu ditinggal induknya. Deburan ombak dan derap langkah kaki tanpa henti di sekitar tak membuatnya sadar, kegelapan sudah telanjur menyeli
Kamis, 29 agustus 2013Lima hari setelah kedatangan Niskala, Arsha tak hentinya mengeluh karena perlakuan perempuan jahil itu, ia selalu saja menemukan cara untuk membuat Arsha kesal. Untungnya, belum ada kejadian yang lebih buruk dibanding saat ia dipaksa pergi ke pantai saat pagi buta. Arsha sudah membawa perempuan itu dalam sebuah perjalanan menyusuri seluk beluk desa, bersama Rawa juga Rhea, mereka mengenalkannya ke tempat-tempat penting yang mungkin nanti ia butuhkan.Desa ini memang tidak begitu ketinggalan zaman, namun bukan berarti semua hal ada di sini, seperti toko kelontong contohnya, hanya ada dua toko yang cukup besar di desa, toko pertama hanya berjarak tak lebih dari tiga ratus meter dari rumah Arsha. Sementara toko kedua, berjarak kurang lebih dua kilometer, sangat repot jika harus berjalan kaki menuju ke sana, Arsha biasa menggunakan sepedanya jika ia
Clermont adalah nama dari kapal uap pertama yang secara komersial telah sukses menjalankan tugasnya di atas air tanpa masalah, kapal rancangan Robert Fulton itu merupakan kapal berbahan bakar batu bara yang pertama kali dipakai di daerah Clermont, New York dan berhasil menaklukkan Sungai Hudson sejak tahun 1807 sampai 1814. Kapal itu dipersenjatai dengan mesin berkekuatan dua puluh tenaga kuda yang Robert impor dari Birmingham, Inggris. Mesin impor itu menggerakkan sepasang roda berpedal dengan diameter 450 sentimeter yang dipasang di tiap sisi kapal Clermont, sehingga membuatnya bisa bergerak di atas air tanpa bantuan layar dan angin seperti kapal-kapal lain di masanya.Hasil ciptaan Robert Fulton itu menjadikannya salah satu penemu Amerika yang paling berpengaruh dalam perkembangan teknologi transportasi, pria kelahiran tahun 1765 itu berhasil me
Potongan kertas tersebar menghiasi bagian atas amben yang berada di belakang rumah Arsha, amben yang sebelumnya digunakan untuk acara makan bersama saat hari kedatangan Niskala, kini kembali digunakan di hari keenam perempuan itu di sana. Amben yang sebelumnya dihiasi oleh daun pisang yang Arsha potong telah tergantikan oleh kardus bekas dan kertas-kertas karton. Kedua benda itu Arsha pungut dari sudut-sudut rumah, bukan untuk menjadi alas makan bersama, melainkan untuk kebutuhan Ospek di kampusnya. Arsha, Niskala, Rhea dan Rawa sudah berkumpul sejak pukul sepuluh pagi, rasa hangat dari cahaya mentari telah menyelimuti permukaan kulit mereka nyaris di setiap inci. Empat buah tanda nama berukuran tiga puluh kali sepuluh sentimeter yang terbuat dari potongan kardus telah selesai mereka rangkai, tanda nama pertama bertuliskan Antariksha Bumisakti dan nama jurusan tanpa sedikit pun hiasan
Hukuman berupa pengucilan dari masyarakat telah diterima oleh seorang pria tua pada tanggal 22 juni tahun 1633, setidaknya itulah hasil dari putusan pengadilan gereja masa itu di Italia. Pria tua itu disidang karena dianggap telah melenceng dari kepercayaan masyarakat, ia mempercayai sebuah teori yang mengatakan bahwa bumi mengelilingi matahari, teori yang pada akhirnya ternyata benar dan terbukti. Galileo Galilei adalah seorang fisikawan terkemuka yang hidup di pertengahan abad ke enam belas. Beliau adalah orang yang menyempurnakan teropong bintang, benda ajaib yang memiliki kemampuan untuk melihat dan menembus lapisan langit, salah satu benda yang juga sangat digemari oleh seorang laki-laki bernama Antariksha Bumisakti. Gumpalan sampah berwujud potongan kertas bak limbah kembali terlihat di depan sekumpulan anak manusia,
Hari pertama di bulan september tahun 2013 bukan hanya menjadi hari yang berbeda untuk Niskala yang akan segera ditinggal pergi oleh ayahnya. Hari ini juga menjadi titik temu bagi Arsha yang baru diberitahu sesuatu oleh ayah Niskala, sesuatu tentang anaknya yang membuat Arsha langsung begitu saja menjadi orang yang berbeda. “Sha…, kamu kenapa?” tanya dengan lirih seorang perempuan. Tak butuh waktu lama bagi orang yang ditanya untuk menjawabnya. “Maksudnya? Aku nggak kenapa-kenapa.” “Kamu agak beda gitu,” balas Niskala. “Itu perasaanmu aja kali,” timpal Arsha. Niskala maupun Arsha tak lagi melanjutkan kata-katanya, mereka kembali duduk di atas sofa
Siang hari yang terik harusnya dimanfaatkan untuk istirahat bagi orang-orang yang sedang tak memiliki kegiatan, itu adalah pemikiran yang normal bagi kebanyakan manusia. Namun tidak untuk kedua sahabat berusia paruh baya bernama Khalid dan Rohim, yang sedang asik memainkan sebuah konsol gim generasi kedua buatan sebuah perusahaan asal negeri sakura. Konsol gim itu sebenarnya adalah hadiah ulang tahun Arsha yang keempat belas, namun benda itu lebih sering berada di tangan Pak Khalid, karena Arsha sudah lama berhenti memainkannya. Arsha hanya memainkannya sesekali jika Rawa sedang berada di sana, tentu saja pemuda penuh euforia itulah yang mengajaknya bermain bersama. Permainan di layar kaca yang telah berlangsung beberapa lama, harus terpaksa dijeda karena suara tertawa keras yang tak perlu ditanya dari mana asalnya.