Hadasa tak pernah menyangka bahwa malam yang penuh kekacauan di Midnight Haven akan kembali menghantuinya. Sebagai analis riset pasar di DawnTech Industries, hidupnya berubah ketika mengetahui Arjun Vikram, pria tampan yang menghabiskan malam bersamanya, kini adalah CEO barunya. Arjun, dengan sikap dingin dan karisma yang memukau, tampaknya tak mengenali Hadasa. Namun, setiap kali tatapan mereka bertemu, ketegangan tak terelakkan. Terjebak antara rasa malu dan ketertarikan, Hadasa harus menavigasi dunia kerja yang penuh intrik, sambil menghadapi kenyataan bahwa pria yang ia kira hanyalah sebuah kecelakaan kini menjadi pusat hidupnya. Mampukah mereka menghadapi masa lalu dan membangun sesuatu yang lebih, atau akankah kisah cinta mereka menjadi romansa yang tak tergapai?
View MoreDi sebuah restoran hotel mewah yang terletak di puncak gedung pencakar langit, Arjun Vikram dan Hadasa dari DawnTech Industries, duduk bersama beberapa eksekutif terkemuka. Di sekeliling meja terdapat Rakesh Sharma dari Surya Group, Amit Rao dari Triad Tech, dan Priya Verma dari Zenith Capital. Mereka adalah para eksekutif yang disamping bekerjasama juga merupakan sahabat. Hadasa, analis Vikram Holdings, juga turut hadir, duduk di ujung meja dengan sikap tenang namun penuh perhatian. Mereka sedang mendiskusikan proyek besar yang melibatkan kolaborasi lintas perusahaan. "Jadi, Arjun,"Rakesh Sharma membuka pembicaraan dengan nada ingin tahu, "kami mendengar Vikram Holdings telah membuat terobosan baru dalam teknologi pengolahan data. Bagaimana dengan proyek kolaborasi kita? Aku ingin tahu lebih dalam tentang analisis yang Hadasa dan timnya kerjakan."* Arjun menatap Hadasa sejenak sebelum menjawab, "Tentu, Rakesh. Tim kami, dengan bantuan Hadasa, telah mengembangkan algoritma yan
--- Di sebuah kamar hotel mewah yang terletak di puncak gedung pencakar langit, Riz dan Azalea terbaring di ranjang besar dengan lampu temaram yang menyinari suasana intim mereka. Suara bisikan lembut dan tawa ringan mengisi ruang, menandakan kemesraan yang sedang berlangsung. Azalea, dengan mata yang bersinar penuh hasrat, memandang Riz dengan penuh perhatian. “Kau benar-benar membuat malam ini istimewa,” bisiknya sambil mengelus rambut Riz. “Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya.” Riz tersenyum tipis, tetapi pikirannya terasa terjaga dari suasana romantis yang ada. “Aku senang kau menikmatinya,” jawabnya dengan nada datar, meskipun senyumnya tampak dipaksakan. Namun, meski mulutnya mengatakan satu hal, pikirannya terus melayang pada Hadasa. Azalea adalah wanita yang manja dan selalu membuat hatinya terasa memiliki warna dan dibutuhkan. wanita itu, yang ia temui kembali setelah dua tahun berpacaran dengan Hadasa, memiliki cara yang lembut dan memanjakan yang tidak per
--- Di ruang tamu yang luas dengan nuansa klasik, Hadasa duduk di sofa berhadapan dengan ibunya, Bu Erlangga. Wajah ibunya tampak tegang, dengan sorot mata yang penuh desakan. Sementara itu, Pak Erlangga duduk di kursi sebelah, diam tak bergeming, seperti biasanya. "Hadasa, kamu harus mempertimbangkan untuk menikah dengan Riz," kata ibunya dengan nada terburu-buru. "Kita butuh dukungan dari keluarganya untuk menyelamatkan bisnis kita. Ini demi kebaikan keluarga." Hadasa menatap ibunya dengan tajam, hatinya penuh dengan ketidakpercayaan. "Ibu, Riz sudah mengkhianati aku. Dia tidak bisa dipercaya," jawabnya dengan suara yang tegas, berusaha mengendalikan emosinya. "Pengkhianatan itu bukan masalah besar jika dibandingkan dengan apa yang bisa dia lakukan untuk keluarga kita," balas ibunya tanpa ragu. "Aku tidak peduli apa yang dia lakukan, yang penting adalah kita bisa menyelamatkan bisnis keluarga ini." Hadasa merasakan amarah yang perlahan naik ke dadanya. "Ibu, bagaimana Ibu
Pagi itu, kantor masih sepi ketika Hadasa tiba lebih awal dari biasanya. Setelah kejadian mati lampu malam itu, dia merasa perlu menjaga jarak dari Arjun. Namun, semakin dia mencoba menghindari pria itu, semakin sering dia merasa Arjun selalu ada di sekitarnya—di lorong, di ruang kopi, bahkan di lift. Seolah-olah takdir mempermainkan mereka.Sambil mengerjakan tugas di meja, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Arjun:> *Datang ke ruanganku. Ada yang ingin kubicarakan.*Jantung Hadasa berdegup kencang. Dia menatap pesan itu beberapa saat, merasakan campuran antara rasa takut dan penasaran. Dengan langkah ragu, dia akhirnya menuju ke ruang kerja Arjun. Pintu terbuka saat dia mengetuk, dan suara tegas Arjun menyambutnya."Masuk, Hadasa," ujar Arjun dari balik mejanya, matanya masih terpaku pada dokumen yang sedang dibacanya. Suaranya tenang, tapi ada nada otoritas yang tak bisa diabaikan.Hadasa melangkah masuk, berdiri dengan gelisah di depan mejanya. "Ada yang bisa saya bantu,
Hadasa menatap layar komputernya dengan perasaan campur aduk. Arjun baru saja memberinya setumpuk data untuk dianalisis, dan itu bukanlah pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Sebagai analis riset pasar, tugas itu memang bagian dari pekerjaannya, tetapi volume kali ini terasa sangat berlebihan. Dia menghela napas dalam-dalam, memikirkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan semuanya.Lisa, teman satu timnya, melongok ke ruang kerja Hadasa, melihat tumpukan dokumen di mejanya. "Das, kamu masih harus menyelesaikan semua ini?" tanyanya dengan nada prihatin.Hadasa tersenyum lemah, mencoba menyembunyikan rasa lelahnya. "Iya, kelihatannya aku akan lembur malam ini. Kamu sendiri sudah selesai?"Lisa mengangguk. "Iya, aku sudah selesai. Aku mau pulang sekarang. Cuaca di luar juga kelihatannya semakin buruk. Jangan lupa istirahat, ya. Jangan terlalu memaksakan diri."Hadasa mengangguk, tetapi di dalam hati dia tahu bahwa istirahat bukanlah pilihan malam ini. "K
Hadasa mengetuk pintu ruangan CEO dengan tangan gemetar. Pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan buruk tentang apa yang akan terjadi. Setelah kejadian di ruang rapat tadi, dia tahu bahwa tidak ada jalan untuk menghindari situasi ini lebih lama lagi. Pintu terbuka, dan dia melangkah masuk dengan hati-hati, berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang meskipun dadanya terasa sesak. Arjun berdiri di dekat jendela, memandang keluar dengan tangan terlipat di belakang punggung. Sosoknya tampak begitu berbeda dari pria yang Hadasa temui di malam itu—lebih dingin, lebih mengancam. Suasana ruangan itu begitu sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki Hadasa yang terasa berat. "Masuk," ucap Arjun dengan nada datar, tanpa berbalik. "Tutup pintunya." Hadasa menuruti perintahnya, menutup pintu dengan pelan, dan berdiri canggung di dekat meja. Perasaannya bercampur aduk antara takut dan penasaran, terutama karena dia tidak tahu apa yang ada di benak Arjun saat ini. "Ada yang ingin saya bicara
Hari itu, Hadasa merasa berat untuk bangkit dari tempat tidurnya. Pagi ini terasa sangat sulit setelah malam yang penuh kekacauan. Dalam keadaan masih pusing dan penuh rasa malu, Hadasa menyelesaikan rutinitas paginya di apartemen dengan cepat, berusaha mengabaikan rasa sakit yang menyelimutinya, dan gegas menuju kantor.Hadasa bekerja sebagai analis riset pasar di DawnTech Industries, sebuah perusahaan teknologi yang dikenal dengan inovasi perangkat lunak dan solusi TI terdepan. Pekerjaannya melibatkan analisis data pasar, tren industri, dan memberikan wawasan strategis untuk membantu perusahaan dalam pengembangan produk dan strategi pemasaran. Sebagai salah satu anggota kunci tim analisis, Hadasa sering terlibat dalam pertemuan-pertemuan penting dan berhubungan langsung dengan berbagai departemen untuk mendukung pengambilan keputusan yang berbasis data.Saat Hadasa tiba di kantor, suasana tampak berbeda. Para rekan kerja berkumpul di area pantry, berbicara dengan penuh antusiasme. H
Hadasa duduk sendirian di meja pojok bar Midnight Haven, tempat yang dikenal dengan suasana temaram dan musik jazz lembut yang mengalun di latar belakang. Minuman keras di depannya, segelas martini hijau dengan zaitun di dalamnya, menggoda dengan warna cerahnya. Tapi, Hadasa tidak benar-benar melihatnya; matanya menatap kosong ke arah meja.Dia telah meneguk martini ketiganya, dan pengaruh alkohol mulai terasa lebih kuat. Pandangannya menjadi kabur, dan suasana bar seakan bergetar di sekelilingnya. Hadasa tahu bahwa ini bukanlah ide yang baik, namun emosi dan alkohol membuatnya sulit berpikir jernih. Dia bergegas bangkit dengan terburu-buru dan terhuyung, namun langkahnya tidak stabil. Tanpa disengaja, dia menabrak seseorang yang melintas di sampingnya, dan martini yang dipegang pria itu tumpah, menetes di lantai dan menodai pakaian gelapnya.Pria itu menoleh dengan tatapan dingin dan penuh kejutan. Wajahnya tampan dan tegas, dengan mata hitam yang tajam dan penuh intensitas. Dia meng
"Apa yang kamu lakukan?" Hadasa merasa darahnya mendidih saat melihat pemandangan di depannya. Riz, kekasihnya yang selama ini dia bangga-banggakan, sedang mengelus kepala Azalea dengan lembut—gerakan yang sama yang dilakukannya pada Hadasa yang selalu membuat ia merasa istimewa. Hatinya retak. Dadanya mendadak sesak. Riz menoleh ke arahnya dengan ekspresi kaget dan sedikit bingung. Tanpa berpikir panjang, Hadasa melangkah maju dan menampar Riz dengan keras. Suara tamparan itu menggema di taman panti asuhan Bunga Lotus, mewakili rasa sakit dan cemburu yang di rasakannya “Brengs*k!” teriaknya dengan suara bergetar oleh emosi. “Ternyata kamu sama saja seperti laki-laki lain. Selama ini aku tertipu oleh sikap baikmu," Hadasa termundur, "Kamu benar-benar jahat padaku, Riz ..." Riz terperangah, memegang pipinya yang memerah. Azalea pun terkejut, langkahnya mundur beberapa langkah menjauh dari mereka. “Hadasa, tenang dulu! Ini tidak seperti yang kamu pikirkan.” ujar Riz pula. “Untuk
"Apa yang kamu lakukan?" Hadasa merasa darahnya mendidih saat melihat pemandangan di depannya. Riz, kekasihnya yang selama ini dia bangga-banggakan, sedang mengelus kepala Azalea dengan lembut—gerakan yang sama yang dilakukannya pada Hadasa yang selalu membuat ia merasa istimewa. Hatinya retak. Dadanya mendadak sesak. Riz menoleh ke arahnya dengan ekspresi kaget dan sedikit bingung. Tanpa berpikir panjang, Hadasa melangkah maju dan menampar Riz dengan keras. Suara tamparan itu menggema di taman panti asuhan Bunga Lotus, mewakili rasa sakit dan cemburu yang di rasakannya “Brengs*k!” teriaknya dengan suara bergetar oleh emosi. “Ternyata kamu sama saja seperti laki-laki lain. Selama ini aku tertipu oleh sikap baikmu," Hadasa termundur, "Kamu benar-benar jahat padaku, Riz ..." Riz terperangah, memegang pipinya yang memerah. Azalea pun terkejut, langkahnya mundur beberapa langkah menjauh dari mereka. “Hadasa, tenang dulu! Ini tidak seperti yang kamu pikirkan.” ujar Riz pula. “Untuk
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments