Share

Lembur

Hadasa menatap layar komputernya dengan perasaan campur aduk. Arjun baru saja memberinya setumpuk data untuk dianalisis, dan itu bukanlah pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Sebagai analis riset pasar, tugas itu memang bagian dari pekerjaannya, tetapi volume kali ini terasa sangat berlebihan. Dia menghela napas dalam-dalam, memikirkan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan semuanya.

Lisa, teman satu timnya, melongok ke ruang kerja Hadasa, melihat tumpukan dokumen di mejanya. "Das, kamu masih harus menyelesaikan semua ini?" tanyanya dengan nada prihatin.

Hadasa tersenyum lemah, mencoba menyembunyikan rasa lelahnya. "Iya, kelihatannya aku akan lembur malam ini. Kamu sendiri sudah selesai?"

Lisa mengangguk. "Iya, aku sudah selesai. Aku mau pulang sekarang. Cuaca di luar juga kelihatannya semakin buruk. Jangan lupa istirahat, ya. Jangan terlalu memaksakan diri."

Hadasa mengangguk, tetapi di dalam hati dia tahu bahwa istirahat bukanlah pilihan malam ini. "Kamu hati-hati di jalan, ya."

Lisa tersenyum hangat sebelum melangkah keluar dari ruangan. "Kamu juga, Das. Jangan sampai terlalu larut, ya."

Waktu terus berjalan, dan suasana kantor semakin sepi. Hadasa tetap fokus pada pekerjaannya, berusaha menyingkirkan rasa cemas yang perlahan muncul di benaknya. Petir mulai menyambar-nyambar di luar, membuat jendela bergetar setiap kali kilat menyambar langit.

"Kenapa cuacanya jadi buruk begini," gumamnya, merasa sedikit tidak nyaman. Namun, dia menepis perasaan itu dan kembali berkutat dengan data.

Satu per satu rekan kerjanya pamit pulang, dan akhirnya, hanya Hadasa yang tersisa di lantai kantor. Kantor yang biasanya penuh dengan obrolan dan aktivitas kini berubah menjadi tempat sunyi yang hanya diisi oleh suara gemuruh petir di luar. Ketika dia memeriksa jam di layar komputer, waktu sudah menunjukkan lewat pukul sembilan malam.

Tiba-tiba, lampu kantor berkedip, dan dalam sekejap semuanya menjadi gelap gulita. Hadasa membeku di tempatnya, jantungnya berdegup kencang. Seluruh ruangan yang tadinya cukup terang kini berubah menjadi kegelapan total, dan rasa takut mulai menyelimuti dirinya. Hadasa memiliki fobia terhadap kegelapan—hal yang selalu membuatnya merasa tak berdaya.

"Ya Tuhan... tidak, tolong jangan mati lampu sekarang," bisiknya, suaranya hampir tak terdengar. Dia meraba-raba meja, berusaha mencari ponselnya, tetapi tangannya gemetar hebat.

Kegelapan yang menyelimutinya semakin membuat Hadasa panik. Ingatan tentang masa kecilnya ketika terjebak dalam kegelapan yang sama mulai menghantui pikirannya. Dia merasa sesak, seolah-olah dinding-dinding ruangan itu mulai mendekat dan menghimpitnya. Napasnya semakin tak teratur, dan air mata mulai menggenangi matanya.

Di tengah kepanikannya, suara pintu terbuka terdengar, disusul oleh langkah kaki yang mantap. Hadasa berusaha keras untuk tidak terisak, tetapi rasa takut membuat suaranya terdengar jelas.

"Hadasa, kamu di sini?" Suara berat yang sangat dikenalnya memecah kegelapan.

"Arjun?" Suara Hadasa terdengar gemetar, nyaris tak percaya bahwa Arjun benar-benar datang.

Arjun melangkah mendekat, dan Hadasa bisa merasakan kehadirannya sebelum akhirnya melihat bayangannya samar-samar di kegelapan. "Tenang, aku di sini," katanya dengan suara tenang, mencoba menenangkan Hadasa.

Begitu melihat Arjun, Hadasa tanpa berpikir panjang segera meraih pria itu dan memeluknya erat. Tubuhnya gemetar hebat, dan dia mencengkeram pakaian Arjun seolah-olah itu adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkannya dari kegelapan. Napasnya tersengal-sengal di dada Arjun, dan meskipun dia berusaha keras untuk menenangkan dirinya, rasa takut yang begitu dalam membuatnya sulit berpikir jernih.

Arjun tampak terkejut dengan reaksi Hadasa, tetapi dia segera membalas pelukan itu, menepuk punggung Hadasa dengan lembut. "Tenang saja, semuanya akan baik-baik saja. Aku akan membawamu keluar dari sini," ujarnya pelan.

Dengan hati-hati, Arjun membimbing Hadasa keluar dari ruangan yang gelap itu. Hadasa terus mencengkeram baju Arjun, tidak peduli dengan rasa malu atau canggung yang mungkin akan datang nanti. Yang dia tahu, dia butuh berada dekat dengan seseorang untuk bisa merasa aman di tengah kegelapan ini.

Setiap langkah terasa seperti beban, bukan hanya karena kegelapan yang menyesakkan, tetapi juga karena betapa eratnya Hadasa mencengkeram Arjun. Dia merasa seolah-olah seluruh tubuhnya menolak untuk melepaskan pria itu, karena di tengah kegelapan ini, hanya Arjun yang memberinya rasa aman. Mereka melangkah melewati lorong-lorong yang panjang dan gelap, suara hujan yang semakin deras terdengar memecah keheningan.

Sesampainya mereka di luar kantor, lampu akhirnya menyala kembali, menerangi sekeliling mereka. Hadasa masih memejamkan mata erat-erat, tak menyadari bahwa mereka sudah berada di tempat yang lebih aman. Arjun berhenti dan menatap Hadasa yang masih berpegangan erat pada bajunya.

"Hadasa, lampunya sudah menyala," kata Arjun dengan nada datar namun lembut. "Kamu bisa melepaskan cengkeramanmu sekarang."

Hadasa tersentak, membuka matanya dan menyadari betapa eratnya dia memeluk Arjun. Wajahnya seketika memerah, dan dia segera melepaskan tangannya, merasa sangat salah tingkah. "Maaf, saya... saya tidak bermaksud..."

Arjun hanya tersenyum samar. "Tidak apa-apa, Hadasa. Kamu sudah aman sekarang."

Suasana di antara mereka menjadi canggung. Hadasa merasa sangat malu, sementara Arjun tetap tenang, seolah-olah kejadian itu bukanlah hal yang besar. Dia menundukkan kepalanya, mencoba menata kembali perasaannya. Ketakutan yang tadi begitu mendominasi pikirannya perlahan-lahan mereda, berganti dengan rasa malu yang tidak bisa dia tahan.

"Terima kasih, Sir. Saya benar-benar ketakutan tadi," ucapnya pelan, mencoba untuk menahan rasa malu yang terus menyergapnya.

Arjun mengangguk pelan. "Aku mengerti. "

Mereka diam, tak ada yang bicara, semakin menekankan situasi yang canggung di antara mereka. Hadasa masih bisa merasakan detak jantungnya yang belum sepenuhnya kembali normal. Dia memandang Arjun dari sudut matanya, berusaha mencari tahu apa yang pria itu pikirkan. Namun, seperti biasa, ekspresi Arjun sulit ditebak.

"Kamu sudah mau pulang?" tanya Arjun akhirnya, setelah menepis kecanggungan yang dirasakannya. Suaranya terdengar datar, tanpa emosi yang kentara.

Hadasa mengangguk pelan, merasa bibirnya kaku untuk berkata lebih banyak.

"Bawa mobil?" tanya Arjun lagi. Hadasa menggeleng. "Mobil saya masih dalam servis mekanik, saya akan menggunakan taksi."

"Biar aku mengantarmu," ucap Arjun tanpa ragu, suaranya terdengar tegas namun lembut.

Hadasa menoleh menatap Arjun dengan bingung, namun ada juga secercah rasa hangat yang tiba-tiba menyelinap di hatinya. "Tidak usah, Sir, saya tidak ingin merepotkan Anda."

"Kamu seorang perempuan. Tidak usah menatapku seperti melihat hantu. Aku juga tidak akan membiarkan seorang wanita sepertimu naik taksi malam-malam begini," jawab Arjun, menatap Hadasa dengan pandangan serius yang tak terbantahkan.

Hadasa meremas tangannya sendiri, bingung harus merespon bagaimana. Tawaran Arjun begitu tulus, dan meskipun dia merasa canggung, dia juga tahu bahwa menolak mungkin akan dianggap tidak sopan. "Terima kasih, Sir. Saya akan mengambil tas saya," katanya akhirnya, dengan suara yang nyaris berbisik.

Dia membalikkan badan hendak masuk ke kantor. Namun sebelum langkahnya semakin jauh, Arjun menambahkan, "Tidak butuh ditemani?"

Dengan mantap, Hadasa menggeleng. "Tidak, Sir. Saya bisa ambil sendiri."

Arjun mengangguk, namun sebelum Hadasa melangkah lebih jauh, dia melontarkan pertanyaan yang membuat Hadasa berhenti di tempat. "Bagaimana jika lampunya mati lagi saat kamu sendirian di dalam?" Arjun berkata dengan wajah serius, meski ada kilatan jahil di matanya.

Ekspresi mantap Hadasa berubah ragu-ragu. ketakutan tadi masih membekas di benaknya. Ia meremas tangannya lalu mengangguk, "Jika tidak merepotkan Anda Sir. "

Jawaban itu membuat Arjun tersenyum geli lalu berjalan menyeimbangkan langkahnya dengan Hadasa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status