Share

Melampaui Batasan

Hadasa duduk sendirian di meja pojok bar Midnight Haven, tempat yang dikenal dengan suasana temaram dan musik jazz lembut yang mengalun di latar belakang. Minuman keras di depannya, segelas martini hijau dengan zaitun di dalamnya, menggoda dengan warna cerahnya. Tapi, Hadasa tidak benar-benar melihatnya; matanya menatap kosong ke arah meja.

Dia telah meneguk martini ketiganya, dan pengaruh alkohol mulai terasa lebih kuat. Pandangannya menjadi kabur, dan suasana bar seakan bergetar di sekelilingnya. Hadasa tahu bahwa ini bukanlah ide yang baik, namun emosi dan alkohol membuatnya sulit berpikir jernih. Dia bergegas bangkit dengan terburu-buru dan terhuyung, namun langkahnya tidak stabil. Tanpa disengaja, dia menabrak seseorang yang melintas di sampingnya, dan martini yang dipegang pria itu tumpah, menetes di lantai dan menodai pakaian gelapnya.

Pria itu menoleh dengan tatapan dingin dan penuh kejutan. Wajahnya tampan dan tegas, dengan mata hitam yang tajam dan penuh intensitas. Dia mengenakan jas hitam yang sempurna dan dasi yang rapi, seolah baru saja datang dari acara formal. “Apa yang kau lakukan?” suaranya terdengar tajam, dan Hadasa bisa merasakan aura dinginnya bahkan sebelum dia berusaha menjelaskan.

Hadasa, dengan pandangan mata yang kabur, mencoba menatap pria itu. “Maaf… aku tidak sengaja,” ujarnya dengan nada serak, berusaha menjaga keseimbangannya. “Aku… aku hanya... terlalu mabuk.”

Pria itu memandang Hadasa dengan tatapan penuh penilaian, seolah mencoba memahami situasinya. “Kau tidak dalam keadaan yang baik, Nona. Tempat ini terlalu berbahaya untuk perempuan sepertimu.” Ujarnya akhirnya. Dia bisa melihat bahwa perempuan dihadapannya adalah wanita cantik yang bisa mengundang para hidung belang seperti bunga mengundang lebah, apalagi di situasinya yang terlalu rapuh saat ini.

“Kamu... Mengkhawatirkanku?” Hadasa, yang akal sehatnya sudah menipis, tersenyum lembut. Dengan mata yang tidak fokus ia menatap laki-laki itu, “Ah, kamu sangat baik, kekasihku sendiri mengkhianatiku di belakang, sementara orang asing peduli padaku...” Lalu ia tertawa kecil, suaranya tersendat-sendat.

Lelaki dihadapannya tersenyum sinis, “Sangat typical. Seorang wanita mabuk karena patah hati.” Nada sinis itu tidak mengurangi ketampanan dan karisma yang terpancar dari dirinya.

Hadasa melihat senyuman yang menawan itu, lalu melupakan tata krama dan harga dirinya sendiri. Dalam kemabukannya, dia menggayutkan tangannya di leher lelaki tampan tersebut. Jika Riz bisa mengkhianatinya, bukankah ia harus membalasnya? Lagipula, lelaki dihadapannya adalah kandidat yang menjanjikan untuk menjadi pelampiasan. Akal sehatnya yang telah berkabut oleh alkohol dan sakit hatinya membuat Hadasa melupakan prinsip-prinsipnya sendiri.

“Aku benar-benar tidak tahu harus kemana. Mungkin... kau bisa membantu aku merasa lebih baik, malam ini.” Tanya Hadasa yang mabuk, jarinya menelusuri wajah tampan pria itu, “Kamu sangat tampan, rasanya aku bisa jatuh cinta padamu.”

Pria itu mengamati Hadasa dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Nona, aku peringatkan kamu untuk melepaskan tanganmu,” ujarnya, suaranya tegas namun mengandung nada peringatan.

“Kalau aku tidak mau?” Hadasa tersenyum dengan penuh rayuan. Pria di depannya membalas senyum itu dan menunduk menatap wajah Hadasa, “Kau sedang dalam keadaan emosional dan mabuk. Ini bukan keputusan yang tepat. Kamu akan menyesal.”

“Tidak akan, tidak ada lagi yang perlu kusesali,” jawab Hadasa dengan penuh keyakinan. “Pria yang kucinta telah memilih wanita lain, maka tidak perlu ada yang kusesali lagi. Aku hanya butuh seseorang malam ini,” katanya dengan penuh rayuan. “Aku tidak ingin sendirian.”

Dengan dorongan alkohol yang impulsif, Hadasa menarik laki-laki itu dan menciumnya dengan panas. Saat bibir mereka bersentuhan, pria itu awalnya terkejut, namun segera merespons dengan dorongan yang sama, membalas ciuman Hadasa dengan penuh gairah. Sesaat, lelaki itu melepaskan tautan itu dan menatap Hadasa dengan tatapan tegas namun juga membara, “Kamu benar-benar melampaui batasmu, Nona. Kamu akan menyesalinya.”

“Tidak akan,” tegas Hadasa pula, sebelum akhirnya dia kembali menarik lelaki itu lagi. Semua terasa begitu memabukkan dan membuatnya lupa akan sekelilingnya.

“Jika ini yang kamu mau, Nona, maka jangan menyalahkan aku.” ujar pria itu dengan nada tegas, sambil menggendong Hadasa, matanya dipenuhi kabut yang mendalam. “Bawa aku ke tempat yang nyaman. Aku merasa begitu buruk di sini. Aku menginginkanmu,” racau Hadasa yang tidak sepenuhnya menyadari perbuatannya.

Pria itu membawa Hadasa ke salah satu kamar VIP di Midnight Haven, di mana suasana yang lebih tenang dan gelap menyelimuti mereka. Hadasa, dalam keadaan setengah sadar, merasa nyaman dan terlindungi dalam pelukan pria tersebut, meskipun kesadarannya sedikit demi sedikit menghilang.

***

Hadasa mengernyit, ia membuka matanya dengan berat, masih merasakan efek pusing yang tertahan. Dia melihat langit-langit kamar yang asing. Di luar, dentuman musik jazz masih terdengar, memudar jauh di kejauhan. “Di mana ini?” gumamnya dengan bingung.

Ia menoleh ke samping dan tersiraplah darahnya. Di sampingnya, terbaring laki-laki tampan itu, dengan bagian atas tubuh yang polos. Wajahnya tertidur dengan tenang, alisnya tajam dan teratur, membingkai wajah maskulin dan tenang. Hadasa menjadi pucat seketika. Ia ingat semalam telah melampaui batasan, memaksa mencumbui lelaki itu, sebelum akhirnya rayuan panasnya berakhir di salah satu kamar VIP di Midnight Haven.

Hadasa menggigit bibirnya keras-keras oleh rasa malu. Dengan perlahan ia turun dari ranjang itu, merasakan nyeri di tubuhnya, dan memungut serta memakai pakaiannya dengan terburu-buru. Ia melihat pada lelaki di atas ranjang yang masih terlelap. Lelaki itu tampan sekali, dan Hadasa merasa hatinya bergetar oleh rasa bersalah yang mendalam. Lelaki itu adalah lelaki pertamanya, dan perbuatannya semalam membuatnya merasa malu dan hancur. Hadasa menelan ludah dengan gugup, bergegas keluar dari kamar itu dengan perasaan yang campur aduk, tak mengira bahwa dorongan impulsifnya telah membuatnya benar-benar keluar dari batasan.

****

Lelaki tampan itu terbangun dari tidurnya, mendapati sisi ranjang yang kosong namun masih menyisakan kehangatan semalam.

Dia menghela napas keras, bergegas bangkit, dan menyadari bahwa perempuan yang melewati malam bersamanya telah pergi. “Kemana dia?” tanya pria itu, memeriksa sekeliling kamar dengan ekspresi kebingungan.

Lelaki itu gegas mengenakan pakaiannya. Ketika ia hendak melangkah keluar, kakinya menginjak sesuatu yang sedikit tajam. Dia membungkuk dan memungut benda itu—sebuah anting perak sterling dengan lambang campuran mahkota dan motif floral yang elegan, dihiasi batu berlian kecil. Ia ingat, itu adalah anting wanita yang semalam merayunya melewati malam bersama. Dengan ekspresi yang tak terbaca, pria itu menyimpan anting itu dalam sebuah saputangan, membungkusnya dengan hati-hati.

“Ke manapun kamu pergi, aku akan mencarimu,” ucapnya pelan, mata penuh tekad dan rasa penasaran.

Wanita itu telah berhasil naik ke ranjangnya, maka ia tak akan membiarkannya pergi begitu saja.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status