Share

Paksaan

---

Di ruang tamu yang luas dengan nuansa klasik, Hadasa duduk di sofa berhadapan dengan ibunya, Bu Erlangga. Wajah ibunya tampak tegang, dengan sorot mata yang penuh desakan. Sementara itu, Pak Erlangga duduk di kursi sebelah, diam tak bergeming, seperti biasanya.

"Hadasa, kamu harus mempertimbangkan untuk menikah dengan Riz," kata ibunya dengan nada terburu-buru. "Kita butuh dukungan dari keluarganya untuk menyelamatkan bisnis kita. Ini demi kebaikan keluarga."

Hadasa menatap ibunya dengan tajam, hatinya penuh dengan ketidakpercayaan. "Ibu, Riz sudah mengkhianati aku. Dia tidak bisa dipercaya," jawabnya dengan suara yang tegas, berusaha mengendalikan emosinya.

"Pengkhianatan itu bukan masalah besar jika dibandingkan dengan apa yang bisa dia lakukan untuk keluarga kita," balas ibunya tanpa ragu. "Aku tidak peduli apa yang dia lakukan, yang penting adalah kita bisa menyelamatkan bisnis keluarga ini."

Hadasa merasakan amarah yang perlahan naik ke dadanya. "Ibu, bagaimana Ibu bisa begitu tega? Aku bukan pion yang bisa dikorbankan demi bisnis keluarga! Lagi pula, mengapa harus aku? Kenapa bukan Eliana yang disuruh menikah dengan Riz? Dia kakakku dan lebih tua dari aku!" serunya, menatap ibunya dengan penuh kekecewaan.

Pak Erlangga yang sejak tadi hanya diam, akhirnya mengangkat wajahnya. Ia menatap Hadasa dengan pandangan tajam. "Eliana tidak akan menikah dengan Riz," ujarnya dengan nada tegas, seolah keputusannya sudah final.

Hadasa menatap ayahnya dengan bingung. "Kenapa, Ayah? Eliana lebih pantas dibandingkan aku! Kalau ini semua demi keluarga, kenapa bukan dia yang melakukannya?"

Pak Erlangga mendesah, dan suaranya berubah menjadi lebih lembut, meski tetap dingin. "Eliana terlalu rapuh. Aku tidak akan membiarkan dia menikah dengan pria seperti Riz, seorang pengkhianat yang tidak bisa dipercaya. Eliana selalu menjadi anak kesayanganku, dan aku tidak akan membiarkan dia menjalani kehidupan yang penuh dengan penderitaan."

Hadasa merasa dadanya sesak mendengar penjelasan ayahnya. "Jadi, Ayah lebih memilih aku untuk menderita, begitu?" suaranya nyaris pecah, penuh dengan rasa sakit yang terpendam.

Ibunya menggeleng, berusaha menenangkan Hadasa, tapi tatapannya tetap keras. "Ini bukan soal siapa yang harus menderita, Hadasa. Ini soal siapa yang paling kuat untuk menghadapi kenyataan. Eliana tidak sekuat kamu. Kamu tahu itu."

Hadasa merasa seolah-olah dikhianati oleh keluarganya sendiri. Dengan napas yang tertahan, ia bangkit dari sofa. "Aku tidak akan menikah dengan Riz, apapun yang terjadi," katanya tegas, memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan itu.

Ibunya tampak ingin berkata sesuatu, tapi Hadasa sudah berbalik, meninggalkan ruang tamu dengan langkah cepat, menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di matanya.

Pak Erlangga menatap kepergian putrinya dengan ekspresi datar, namun di balik ketegasan itu, ada sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan. Sementara Bu Erlangga hanya bisa mendesah, menyadari bahwa rencana mereka mungkin tidak akan berjalan seperti yang diharapkan.

---

Setelah Hadasa meninggalkan ruang tamu, Pak Erlangga dan Bu Erlangga saling berpandangan dengan kekhawatiran yang jelas terlihat di wajah mereka. Bu Erlangga mendesah pelan, mencoba menenangkan dirinya sebelum berbicara.

"Kita tidak bisa membiarkan Hadasa begitu saja menolak pernikahan ini," kata Bu Erlangga, suaranya penuh dengan kecemasan. "Riz adalah satu-satunya cara kita bisa menyelamatkan bisnis keluarga. Apa yang harus kita lakukan sekarang?"

Pak Erlangga menghela napas panjang, matanya tampak menerawang jauh. "Aku tidak tahu, tapi kita harus mencari cara agar dia mau mempertimbangkan hal ini. Mungkin kita bisa mencoba pendekatan yang lebih halus, lebih personal."

Bu Erlangga menggeleng pelan. "Aku sudah mencoba berbicara padanya dengan lembut, tapi dia tetap keras kepala. Mungkin kita bisa melibatkan Eliana? Dia selalu bisa meyakinkan Hadasa untuk melihat hal dari sudut pandang yang berbeda."

Pak Erlangga mengangguk setuju, meskipun ragu. "Tapi Eliana masih di Amerika, menyelesaikan S2-nya. Aku tidak ingin mengganggu studinya dengan masalah ini."

Bu Erlangga mendesah lagi, tatapannya penuh dengan ketegangan. "Eliana adalah satu-satunya yang Hadasa dengarkan. Mungkin jika Eliana yang berbicara padanya, Hadasa akan lebih terbuka untuk mendengarkan. Kita bisa menghubungi Eliana, meminta dia untuk bicara dengan adiknya."

Pak Erlangga merenung sejenak sebelum akhirnya setuju. "Baiklah, kita bisa mencoba. Tapi ingat, ini harus dilakukan dengan hati-hati. Aku tidak ingin Hadasa merasa kita memaksanya terlalu keras. Jika dia merasa terpojok, dia akan semakin menolak."

Bu Erlangga mengangguk, meskipun matanya masih menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. "Kita harus segera melakukan ini. Situasi bisnis semakin mendesak, dan kita tidak punya banyak waktu."

Pak Erlangga diam sejenak, kemudian mengangguk setuju. "Kita akan melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan bisnis ini, tapi kita juga harus memastikan bahwa kita tidak menghancurkan hubungan kita dengan Hadasa dalam prosesnya."

---

Di kamar tidurnya, Hadasa duduk di dekat jendela, menatap keluar dengan pikiran yang berputar-putar. Ucapan orang tuanya masih terngiang di telinganya, dan hatinya terasa semakin berat.

Sejak kecil, Hadasa selalu merasa menjadi bayangan dari kakaknya, Eliana. Jika Eliana adalah permata yang berharga dalam keluarga, Hadasa merasa dirinya hanyalah batu biasa yang tak dilirik. Eliana selalu mendapatkan yang terbaik—perhatian, kasih sayang, dan segala dukungan yang bisa diberikan orang tua mereka.

Eliana yang diterbangkan ke Amerika untuk melanjutkan studi S2, sementara Hadasa hanya sampai pendidikan S1 di dalam negeri. Meskipun dia juga memiliki mimpi besar, mimpi itu seolah selalu berada di bawah bayang-bayang harapan orang tua mereka terhadap Eliana.

Rasa di-anaktirikan itulah yang mendorong Hadasa untuk menjauh dari perusahaan keluarga dan memilih bekerja di DawnTech Industries, tempat yang memberinya kesempatan untuk membuktikan dirinya sendiri tanpa embel-embel nama besar keluarga Erlangga.

Namun, meskipun sudah berusaha keras untuk menemukan jalannya sendiri, rasa sakit karena selalu dinomorduakan itu tak pernah benar-benar hilang. Sekarang, orang tuanya meminta dia untuk mengorbankan kebahagiaannya demi menyelamatkan bisnis keluarga. Hadasa merasa seolah-olah mereka hanya melihatnya sebagai alat untuk mencapai tujuan, bukan sebagai putri yang pantas mendapatkan cinta dan dukungan yang tulus.

Air mata menggenang di mata Hadasa saat dia merenungkan semua ini. Kenyataan bahwa orang tuanya lebih peduli pada bisnis daripada kebahagiaannya sendiri membuat luka lama itu terbuka kembali, semakin dalam dan semakin menyakitkan. Mereka mengorbankan dirinya, sementara sang kakak begitu di jaga agar tak terluka.

Eliana yang cantik, Eliana yang seperti peri, Eliana yang rapuh. Kakaknya adalah mutiara keluarga yang berharga. Dia seperti ditakdirkan terlahir untuk di cintai orang orang di sekelilingnya.

Hadasa menoleh pada pigura yang menempel di dinding kamarnya, di sana ada dirinya dan Eliana yang saat itu baru berusia enam belas tahun, sang kakak memeluk lehernya dan tersenyum lebar, terlihat begitu sempurna dan cantik.

Tanpa terasa, airmata pun kembali menggenang di pipinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status