Share

Secuil Masa Lalu

Pagi itu, kantor masih sepi ketika Hadasa tiba lebih awal dari biasanya. Setelah kejadian mati lampu malam itu, dia merasa perlu menjaga jarak dari Arjun. Namun, semakin dia mencoba menghindari pria itu, semakin sering dia merasa Arjun selalu ada di sekitarnya—di lorong, di ruang kopi, bahkan di lift. Seolah-olah takdir mempermainkan mereka.

Sambil mengerjakan tugas di meja, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Arjun:

> *Datang ke ruanganku. Ada yang ingin kubicarakan.*

Jantung Hadasa berdegup kencang. Dia menatap pesan itu beberapa saat, merasakan campuran antara rasa takut dan penasaran. Dengan langkah ragu, dia akhirnya menuju ke ruang kerja Arjun. Pintu terbuka saat dia mengetuk, dan suara tegas Arjun menyambutnya.

"Masuk, Hadasa," ujar Arjun dari balik mejanya, matanya masih terpaku pada dokumen yang sedang dibacanya. Suaranya tenang, tapi ada nada otoritas yang tak bisa diabaikan.

Hadasa melangkah masuk, berdiri dengan gelisah di depan mejanya. "Ada yang bisa saya bantu, Sir?" tanyanya pelan, mencoba menyembunyikan kegugupan yang merayap di hatinya.

Arjun menutup dokumen di tangannya dan menatap Hadasa. Tatapannya intens, seolah-olah dia sedang mempelajari setiap detail wajahnya. "Aku ingin membahas tentang proyek baru yang akan kamu kerjakan," katanya sambil menyerahkan setumpuk dokumen kepada Hadasa.

Hadasa mengambil dokumen-dokumen itu dengan tangan gemetar. "Proyek ini sangat penting, dan aku ingin kamu yang memimpin timnya," lanjut Arjun. "Ini akan menjadi tantangan besar, tapi aku yakin kamu bisa melakukannya."

Hadasa terkejut. Dia menatap Arjun, berusaha membaca maksud di balik perkataan pria itu. "Saya? Memimpin tim?" tanyanya dengan nada ragu. "Apakah tidak sebaiknya diberikan kepada seseorang yang lebih berpengalaman?"

Arjun menggeleng pelan, masih menatapnya dengan tajam. "Aku tidak meragukan kemampuanmu, Hadasa. Kamu adalah analis terbaik yang kita miliki, dan ini adalah kesempatan untuk membuktikan itu."

Rasa bangga bercampur ketakutan mulai muncul di hati Hadasa. "Terima kasih atas kepercayaan Anda, Sir. Saya akan berusaha sebaik mungkin," jawabnya, meski suaranya masih bergetar.

Arjun tersenyum tipis, tapi ekspresinya tetap serius. "Aku tahu kamu bisa melakukannya."

Setelah membahas detail proyek, suasana di ruangan itu berubah tegang. Arjun menurunkan nada suaranya, dan tatapannya menjadi lebih lembut, bahkan sedikit rentan. "Hadasa, ada hal lain yang ingin kubicarakan," katanya, membuat Hadasa menegang. "Tentang malam itu... di bar."

Hadasa merasakan detak jantungnya semakin cepat. "Malam itu?" ulangnya, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. Dia menundukkan pandangannya, seolah takut jika Arjun bisa membaca semua perasaannya hanya dari tatapannya.

Arjun mengangguk, dan dia mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Aku tahu ini mungkin tidak nyaman bagimu, tapi aku merasa kita harus membicarakannya. Apakah kamu menyesali apa yang terjadi?"

Hadasa terdiam. Malam itu kembali berputar di kepalanya—malam penuh emosi, kebingungan, dan ketertarikan yang tak terduga. "Saya...," suaranya hampir tak terdengar, dia berusaha mengumpulkan keberanian. "Saya tidak tahu harus mengatakan apa, Sir. Malam itu... terjadi begitu saja."

Arjun memandangnya lebih dalam, seolah mencoba menggali perasaannya melalui tatapannya. "Aku tidak menyesalinya," katanya dengan suara tenang namun tegas. "Dan aku ingin tahu bagaimana perasaanmu."

Hadasa merasakan hatinya mencelos. Rasa bersalah karena mengkhianati Riz bercampur dengan perasaan yang tak terduga terhadap Arjun. "Saya masih mencoba memahami perasaan saya sendiri, Sir. Ini semua terlalu cepat," jawabnya, suaranya penuh ketidakpastian.

Arjun mengangguk, tidak memaksa jawaban lebih lanjut. "Aku mengerti. Yang paling penting sekarang adalah bagaimana kita melanjutkan semuanya."

Hadasa mengangguk pelan, merasa lega sekaligus bingung dengan perasaannya. Dia merasa bahwa pembicaraan ini, meskipun singkat, akan mengubah segalanya. Ada sesuatu yang tumbuh di antara mereka, dan meskipun dia berusaha bersikap profesional, hatinya tidak bisa sepenuhnya mengabaikan kenyataan bahwa Arjun telah menjadi lebih dari sekadar atasannya.

***

Beberapa hari kemudian, di tengah kesibukannya dengan proyek baru, Hadasa menerima pesan dari Riz. Pesan yang dia tidak harapkan, tetapi juga tidak bisa diabaikan:

> *Kita perlu bicara. Aku merindukanmu, Das.*

Hadasa menatap pesan itu dengan perasaan campur aduk. Riz, pria yang pernah ia cintai, telah mengkhianatinya. Namun, meskipun begitu, ada bagian dari dirinya yang masih menyimpan perasaan untuknya. Di saat yang sama, kedekatannya dengan Arjun mulai menggoyahkan keyakinannya tentang apa yang sebenarnya ia inginkan.

Ketika Riz muncul di kantornya suatu sore, wajahnya penuh dengan penyesalan yang mendalam. Mereka memutuskan untuk bertemu di kafe terdekat.

"Das, aku tahu aku telah berbuat salah," ujar Riz, suaranya penuh dengan penyesalan. "Aku bodoh karena mengkhianatimu. Aku tidak bisa hidup tanpamu."

Hadasa menatap Riz, mencoba membaca ketulusan di balik kata-katanya. "Riz, kamu sudah menyakiti aku dengan sangat dalam," jawabnya, suaranya penuh emosi yang tertahan. "Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu."

Riz menggenggam tangan Hadasa erat-erat, tatapannya penuh dengan harapan yang putus asa. "Tolong, Das. Beri aku kesempatan lagi. Aku akan melakukan apa saja untuk menebus kesalahanku."

Hadasa merasa terombang-ambing. Di satu sisi, dia masih merasakan perasaan lama yang pernah ada untuk Riz, tetapi di sisi lain, ada perasaan baru yang tumbuh untuk Arjun—perasaan yang dia tahu tidak bisa dia abaikan begitu saja. "Riz, aku butuh waktu untuk berpikir," jawabnya akhirnya, suaranya hampir berbisik.

Riz mengangguk dengan penuh pengertian. "Aku akan menunggu selama apapun yang kamu butuhkan, Das. Aku tidak akan menyerah. "

Tak lama setelah pertemuannya dengan Riz, Hadasa dan Arjun ditugaskan untuk melakukan perjalanan bisnis ke luar kota. Perjalanan itu tampaknya biasa saja, sampai mereka mengalami insiden kecil yang membuat mereka terjebak di sebuah kota kecil karena mobil mereka mogok.

Saat mereka duduk di kursi di teras sebuah penginapan sederhana, malam mulai merayap masuk, dan suasana menjadi lebih tenang. Arjun, yang biasanya pendiam dan terkontrol, tampak sedikit lebih terbuka.

"Ini mengingatkanku pada masa lalu," kata Arjun, tatapannya menerawang ke arah kegelapan yang mulai menyelimuti desa kecil itu. Hadasa menatapnya, merasakan bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kenangan biasa.

"Masa lalu, Sir?" tanya Hadasa lembut, mencoba mendorongnya untuk bercerita lebih banyak.

Arjun terdiam sejenak, seolah sedang memilih kata-kata yang tepat. "Aku kehilangan seseorang yang sangat kucintai," akhirnya dia berkata, suaranya pelan dan penuh dengan kesedihan yang tertahan. "Dia adalah cinta pertama dan terakhirku."

Hadasa merasakan simpati yang mendalam muncul di hatinya. Dia tidak tahu banyak tentang kehidupan pribadi Arjun, tapi sekarang dia bisa melihat bahwa di balik sikap dinginnya, ada bekas luka yang dalam.

"Apa yang terjadi?" tanya Hadasa, suaranya nyaris berbisik.

Arjun menghela napas panjang, tatapannya tetap terfokus pada kegelapan di depan mereka. "Dia pergi... dan aku tidak pernah bisa benar-benar melupakannya. Kehilangan dia mengubah segalanya. Sejak itu, aku menjadi orang yang berbeda. Aku menjadi... lebih dingin, lebih tertutup. Aku tidak pernah berpikir aku akan bisa merasakan cinta lagi."

Hadasa terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Dia bisa merasakan kesedihan yang begitu mendalam dalam suara Arjun, dan itu membuat hatinya tersentuh. "Aku... maaf mendengarnya, Sir," kata Hadasa, meskipun dia tahu kata-katanya tidak cukup untuk menghapus rasa sakit yang dirasakan Arjun.

Arjun akhirnya menoleh, menatap Hadasa dengan mata yang penuh dengan emosi yang dia coba sembunyikan. Lelaki itu menatap Hadasa cukup lama, membuat yang di tatap rikuh sendiri.

"Apa ada yang salah dengan wajah saya, Sir? " tanya Hadasa pelan.

Arjun Vikram memalingkan wajahnya. Dia menggeleng. Sejenak kemudian mereka di telan kebisuan, bahkan laki-laki itu tak bicara lagi sampai ia masuk di kamar penginapannya sendiri, diikuti pandangan Hadasa yang bingung.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status