Mulai sekarang, sebaiknya dia lebih bersikap tenang dalam menghadapi masalah."Citra, ada apa?"Bayu dan Yuni yang sudah berjalan cukup jauh menoleh ke belakang dan menemukan bahwa Citra masih berdiri diam di tempat. Kedua orang tua itu pun menghentikan langkah mereka dan menatap wanita tersebut.Mendengar suara mereka, Citra tersadar kembali dan hanya tersenyum."Apa kamu nggak mau berpisah dengan Alya? Aduh, sekarang kalian anak muda bisa tinggal naik pesawat saja kalau ingin bertemu. Jangan bersedih."Yuni menghampiri untuk menghiburnya."Aku tahu, Bibi. Jangan khawatir. Kalau aku merindukannya, aku akan pergi menemuinya.""Ayo kita pergi."Sebelum pergi, Citra tidak bisa menahan dirinya dan menoleh lagi untuk melihat tempat pemeriksaan.Dia harus memastikan bahwa Alya tidak bertemu dengan Rizki.Biarkanlah takdir buruk ini berlalu seperti di toilet tadi....Setelah melewati pemeriksaan, Alya membawa kedua anaknya berjalan ke depan. Dia sama sekali tidak perlu membawa koper dan bar
Maya menjilat bibirnya, dia merasa sangat lapar.Namun, karena mamanya bilang dia tidak boleh makan, dia hanya bisa memikirkan minuman di pesawat nanti.Dia mengedipkan matanya, menatap gambar-gambar minuman dingin yang digantung di pintu toko.Hasan yang melihat dari samping merasa bahwa Maya sangat menggemaskan. Hanya melihatnya saja, Hasan ingin memberinya makan.Oleh karena itu dia pun berkata, "Bu Alya, terkadang anak-anak menyukai hal semacam ini. Bagaimana kalau aku membelikan kedua anak ini segelas saja?"Alya tersenyum tipis."Pak Hasan, bukankah kamu pelayan kami? Bagaimana kalau kami yang membelikanmu segelas minuman? Lagi pula, kamu sudah bekerja keras membantu kami."Hasan menjawab, ".... Kalau begitu sebaiknya lupakan saja, aku nggak perlu.""Oh ya, Pak Hasan. Mulai sekarang kamu nggak usah memanggilku Bu Alya lagi. Sekarang aku sudah bukan manajer perusahaannya Irfan."Hasan berpikir sejenak, lalu mengangguk."Baik, Nona Alya."Semua orang pun melanjutkan perjalanan mere
"Nona Alya?" Hasan sudah lama berada di sisi Irfan dan telah belajar untuk mengamati ekspresi orang. Melihat raut wajah Alya yang kurang baik, dia pun bertanya, "Ada apa?"Hasan adalah seorang pria. Di hadapan pria sepertinya, Alya masih merasa agak malu.Namun,dalam situasi sekarang ini, Alya harus segera pergi ke toilet untuk menangani masalahnya.Dia merapatkan bibirnya, lalu berkata, "Maaf, aku mau ke toilet sebentar. Kalian pergi ke tempat duduk kalian dulu bersama Pak Hasan. Nanti aku akan menyusul."Setelah Alya pergi, Hasan melirik kedua anak kecil tersebut."Kalau begitu, ayo kita pergi dulu?"Wajah kecil Satya yang tampan menunjukkan ekspresi khawatir.Dia teringat sesuatu dan bertanya pada Hasan, "Paman Hasan, hari ini tanggal berapa?"Hasan melirik ponselnya dan memberi tahu tanggal hari ini."Memangnya ada apa dengan tanggal ini?" tanya Hasan.Begitu mendengar tanggal berapa hari ini, Satya pun mengerti. Dia menghitung dengan jarinya, lalu berkata, "Sepertinya hari ini tan
"Baik, tiga gelas cokelat panas. Mohon ditunggu sebentar. Bapak bisa menunggu sambil duduk dulu.""Oke."Hasan melihat-lihat dan menemukan sebuah tempat di sebelah jendela. Dia pun membawa kedua anak kecil itu ke sana."Ayo, ikut Paman Hasan ke sana."Maya cepat-cepat berlari ke depan dan memegangi baju Hasan.Hasan menunduk dan melihat sebuah tangan merah mudah yang kecil memegangi bajunya. Tangan itu sangat kecil, bahkan tidak sampai sepertiga tangannya sendiri.Meskipun kecil, tangan itu memegang bajunya dengan erat-erat.Hasan, seorang pria yang besar dan kekar, dalam sekejap merasa hatinya menjadi lunak.Pantas saja banyak orang yang menyukai anak kecil.Jadi dia pun melambatkan langkahnya supaya Maya dapat mengikutinya. Kemudian, dia memandang Satya.Anak laki-laki masihlah anak laki-laki. Satya dengan hati-hati menjaga jaraknya. Anak laki-laki itu berjalan di samping adiknya dengan wajah serius, seperti orang dewasa kecil.Sejak diperingati oleh Rizki tadi, Cahya tidak berani un
Wanita itu tertegun dan seketika mengerti. "Kalau begitu jagalah dirimu baik-baik, ya.""Terima kasih." Alya memaksakan sebuah senyum pucat untuk berterima kasih padanya.Setelah keluar dari toilet, Alya melihat sebuah pintu keberangkatan di depannya. Dia pun berjalan ke sana dan menemukan sebuah kursi. Kemudian dia mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan sebuah pesan pada Hasan: "Pak Hasan, apa kalian sudah di pintu keberangkatan?"Ketika menerima pesan Alya, Hasan sudah cukup lama menunggu di dalam kafe tersebut. Dia masih belum menerima tiga gelas cokelat panasnya, sehingga dia pun mulai agak tidak sabar.Bukankah efisiensi toko ini terlalu rendah?Tepat pada saat itu, Hasan menerima pesan dari Alya.Hasan refleks membalas, "Kami berada di dalam kafe barusan ....""Pak, tiga gelas cokelat panasnya sudah siap."Hasan belum selesai mengetik balasannya ketika pelayan kafe tersebut memanggilnya."Oke." Hasan terpaksa menyimpan kembali ponselnya. Dia memegang kembali koper-kopernya, lalu
Kebetulan yang menelepon adalah rekan kerja sama bisnis yang tadi.Ketika percakapan mereka kurang lebih telah selesai, Rizki langsung menutup teleponnya begitu saja. Menyerahkan semua sisa urusannya pada Cahya.Cahya hanya bisa menangani sisa urusan tersebut dengan pasrah. Akan tetapi, dia masih memikirkan kedua anak kecil yang dia lihat barusan.Setelah memikirkannya dengan hati-hati, Cahya memutuskan untuk mengambil risiko dan berkata pada Rizki, "Itu ... Pak Rizki, barusan aku melihat dua anak kecil."Sebelum dia selesai berbicara, RIzki sudah memberinya tatapan peringatan.Menerima tatapannya, Cahya hanya bisa melanjutkan dengan enggan, "Kedua anak itu sepertinya adalah anak-anak yang biasanya kamu tonton siaran langsungnya."Rizki tertegun dan berhenti mengemasi tas kerjanya.Kemudan, dia tiba-tiba mendongak."Apa katamu?"Cahya menggaruk kepalanya dengan canggung. "Aku nggak yakin, lagi pula aku hanya melihat wajahnya dari samping. Tetapi kedua anak itu sangat mirip, mereka sepa
Menggunakan kesempatan tersebut untuk bertemu?Sebenarnya Rizki sendiri tidak mengerti kenapa dia begitu menyukai kedua anak itu, mungkin karena senyum mereka terlalu menyilaukan.Melihat mereka bagaikan melihat cahaya matahari.Cerah, lucu, bersemangat, juga penuh dengan kehidupan.Mereka benar-benar berbeda dari dirinya yang berada di dalam kegelapan.Dia penuh dengan kebencian dan ketidakpedulian. Sifatnya buruk, selain itu dia juga sulit untuk didekati.Namun, ini adalah hal yang aneh. Di mata orang lain dia mungkin terasa seperti seseorang yang memiliki masalah, kenapa dia bisa menyukai kedua anak ini tanpa alasan?Dengan memikirkan hal tersebut, Rizki pun memejamkan matanya. Dia berkata dengan suaranya yang berat, "Nggak usah."Menonton mereka melalui ponsel saja sudah cukup.Kedua anak itu hidup dengan amat bersemangat, menandakan bahwa mereka hidup di lingkungan yang baik. Dia hanya seorang penonton yang mendapat sedikit kehangatan melalui siaran langsung mereka. Jadi, dia tida
"Nggak, nggak usah."Alya menolaknya dengan berkata, "Benar-benar nggak usah, Pak Hasan."Namun Hasan masih memaksa. "Nona Alya, aku cukup kuat untuk mendorongmu sambil membawa koper-koper ini."".... Kalau kamu bersikeras ingin mendorong, Maya, kamu saja yang duduk di atas koper. Biarkan Paman Hasan mendorongmu.""Oke, Mama."Maya adalah anak yang pintar. Begitu mendengar ucapan Alyya, dia segera memanjat ke atas koper. Dia kurang bisa memanjatnya, sehingga dia mengulurkan tangan kecilnya pada Hasan dan berkata dengan suara lembut, "Paman Hasan, tolong Maya."Hasan refleks mengulurkan tangannya dan membantu Maya duduk di atas koper.Setelah Maya duduk, Hasan baru menyadari sesuatu."Nggak, Nona Alya, maksudku adalah ....""Maya sudah capek jalan. Jadi Pak Hasan, tolong dorong dia ya. Satya, bawa koper kecilmu ke sini dan bawa sendiri.""Oke."Kedua anak kecil itu sangat menurut pada Alya. Apa pun yang Alya katakan, mereka berdua akan melakukannya.Pada akhirnya, Hasan pun hanya bisa m
Biasanya dalam situasi seperti ini, Hana akan berbalik dan pergi.Namun, sekarang Hana tidak punya apa-apa lagi. Dia maju beberapa langkah, lalu menggigit bibirnya dan berkata, "Apa maksudmu dengan bercanda menggunakan perasaanmu? Kamu nggak berpikir kalau perasaanmu padanya tulus, 'kan? Begitu tulus sampai-sampai kamu nggak peduli kalau dia jatuh ke dalam pelukan pria lain?"Irfan melihat ke arah asistennya. "Bawa dia keluar.""Irfan, Alya akan bersama dengan Rizki. Apa kamu akan membiarkan mereka bersama begitu saja? Aku tahu bahwa selama 5 tahun ini kamu terus menemani Alya, kamu telah menunggunya selama 5 tahun. Bukankah kamu ingin bersama dengannya? Apa kamu bersedia kalau hari ini dia diambil oleh orang lain?"Hana berteriak seperti orang gila dan hampir histeris, tetapi orang di depannya masih tetap tenang."Sudah cukup bicaranya?"Hana tercengang.Apa maksudnya? Dia sudah berbicara panjang lebar, tetapi Irfan bahkan tidak peduli sedikit pun?Ini tidak masuk akal. Bukankah pria
Setelah ibunya pergi, Hana jatuh ke tempat tidur rumah sakit, menutupi pipinya yang memar dan menangis kesakitan.Jangankan ibunya, dia bahkan ingin menampar dirinya sendiri.Baru sekaranglah dia sadar, bahwa dia harusnya berhenti sejak dulu ....Namun, tampaknya, sekarang sudah terlambat untuk melakukan apa pun.Apakah ada seseorang yang bisa menolongnya?Mungkin ... ada seseorang yang bisa menolongnya.Hana terpikirkan seseorang dan melompat turun dari tempat tidur. "Nanda, cepat, bawa aku mencari taksi."Malam ini adalah malam yang sibuk.Di teras yang hening.Hasan menuangkan secangkir teh panas untuk Irfan, uap teh mengepul di udara yang dingin. Hana berdiri di hadapannya, dengan Nanda yang menopangnya di samping.Dia sudah cukup lama berdiri sana, tetapi Irfan sama sekali tidak berbicara ataupun mempersilakannya duduk.Bahkan Hasan yang berada di sisinya hanya menuangkan secangkir teh panas.Dia berlari keluar dengan terburu-buru, sehingga dia masih mengenakan gaun rumah sakit da
"Sebenarnya apa yang terjadi?"Nanda secara singkat menjelaskan apa yang dia tahu."Apa? Rizki datang?" Kegembiraan melintas di mata Tesa, dia maju dan menggenggam tangan Hana. "Hana, kenapa kamu nggak memberitahuku kalau Rizki datang? Dia datang menjengukmu, 'kan?"Sayangnya, mata Hana penuh dengan keputusasaan. Dia terlihat seperti pecundang. Tesa memanggilnya berkali-kali, tetapi dia tidak merespons."Hana? Cepat bicara!"Melihatnya yang seperti ini membuat Tesa kesal.Kemudian barulah Hana mendongak, matanya penuh dengan air mata."Ibu, dia tahu, dia sudah tahu. Selanjutnya dia nggak akan membiarkanku, dia juga nggak akan membiarkan Keluarga Adelia."Tesa mengerutkan keningnya."Tahu apa? Bicaralah yang jelas.""Alya, Alya Kartika, ingatan dia sudah kembali. Dia memberi tahu Rizki kebenarannya. Sekarang Rizki sudah tahu bahwa bukan aku yang menyelamatkannya. Dia akan membereskanku, selanjutnya dia pasti akan membereskan kita. Ibu, kita harus bagaimana?"Meskipun perkataan Hana agak
Sekarang Hana pun gelisah.Namun, sekarang dia sudah menenangkan dirinya. Malam ini Rizki datang untuk mempermainkannya.Selama dia menolak untuk mengakuinya, tidak ada yang bisa melakukan apa pun padanya.Memikirkan hal ini, Hana menatap Rizki dan berkata, "Bukankah kamu nggak tahu terima kasih? Apa kamu ke sini untuk mempermainkanku dan memberikan bukti pada Alya? Rizki, biar kuberi tahu kamu, aku nggak akan memberimu apa yang kamu mau. Kamu diselamatkan olehku yang telah mempertaruhkan nyawa. Waktu itu, aku hampir tenggelam di sungai demi menyelamatkanmu. Sementara mengenai Alya, dia bukan urusanku. Tapi, nggak ada satu pun orang yang bisa merebut jasaku. Kalau kamu mau menjadi orang yang nggak tahu terima kasih, silakan. Tapi jangan harap kamu bisa memaksa atau menyogokku untuk mendapatkan bukti apa pun."Setelah mengatakan itu, Hana langsung berbalik dan berjalan ke tepi tempat tidur, dia melepaskan sepatunya, lalu naik ke tempat tidur."Selama belasan tahun ini, akulah yang telah
Jawaban ini membuat Hana benar-benar panik.Tadinya, dia kira Rizki menanyakan hal ini karena ingin mendengarnya menceritakan ulang kejadiannya. Namun, ternyata ....Begitu menyadari betapa buruknya nasib yang harus dia hadapi bila Rizki sampai mengetahui kebenarannya, Hana pun seketika menjadi panik dan mulai berbicara dengan tidak jelas."Rizki, waktu itu benar-benar aku yang menyelamatkanmu. Jangan dengarkan omong kosong Alya, dia hanya ingin membohongimu dan membuatmu membuangku."Dari ucapannya ini, Rizki akhirnya mendapatkan kata kunci yang dia cari-cari. Matanya menyipit dengan mengancam, suaranya juga menjadi sangat dingin."Memangnya aku sudah bilang siapa yang mengatakannya?"Hana pun tercengang."Waktu itu, bukankah hanya ada aku dan kamu di tepi sungai? Kenapa kamu mengira Alya yang mengatakan sesuatu padaku? Kalau dia nggak di sana, apa perkataannya itu penting?"Sampai di sini, nada bicara Rizki seketika berubah menjadi tajam."Atau maksudmu, waktu itu bukan hanya ada kit
Hana tertegun oleh pertanyaannya dan membeku di tempat, dia menatap Rizki dengan bingung.Setelah waktu yang lama, barulah dia menyadari sesuatu.Mungkinkah Rizki sudah mengetahui kebohongannya?Tidak, itu tidak mungkin.Saat diselamatkan, Rizki masih tidak sadarkan diri. Alya juga telah kehilangan ingatannya. Rizki tidak mungkin mengetahuinya, kecuali Alya mendapatkan ingatannya kembali.Namun, bertahun-tahun telah berlalu, jika Alya ingin mendapatkan kembali ingatannya dia pasti sudah lama melakukannya, kenapa harus menunggu sampai sekarang?Apalagi, jika Alya benar-benar telah mendapatkan kembali ingatannya, apakah dia bisa menahan diri untuk tidak segera datang ke sini dan menemuinya? Dia mungkin sudah memberi tahu seluruh dunia bahwa dialah yang menyelamatkan Rizki.Setelah memikirkan hal ini, Hana merasa bahwa dirinya mungkin hanya terlalu sensitif dan curiga karena mimpinya.Rizki yang sekarang menanyakan hal-hal ini, sebenarnya memberikan kesempatan yang sangat bagus untuknya.
Karena di depan Rizki, dia selalu tampil ramah dan lembut, tidak pernah bertingkah seperti perempuan jahat seperti sekarang.Hana panik, dia segera menyibakkan selimutnya dan turun dari tempat tidur."Rizki, kenapa kamu ke sini?"Sebelum Hana selesai bicara, air mata sudah mengalir di pipinya. Dia menangis dan bergegas menghampiri Rizki."Aku kira kamu nggak mau berbicara denganku lagi."Rizki menurunkan matanya, memandang pergelangan tangan Hana."Kenapa kamu marah sekali?"Mendengar ini, Hana buru-buru menjelaskan, "A ... aku kira kamu mengabaikanku, jadi suasana hatiku sangat jelek. Maaf ... aku nggak bermaksud begitu. Nanda, apa kamu baik-baik saja?"Nanda menggeleng. Sambil melangkah mundur, dia membenci Hana yang bermuka dua ini di dalam hatinya. "Kalau begitu aku keluar dulu, kalian berdua silakan mengobrol."Dia segera pergi, bahkan menutup pintu kamar tersebut untuk Hana.Hana tidak tahu sekarang pukul berapa, tetapi seharusnya sudah malam sekali. Dia tidak menyangka Rizki aka
Setelah Rizki pergi, Alya berdiri seorang diri di depan pintu, berusaha menenangkan napas dan perasaannya.Beberapa waktu kemudian, dia mengangkat tangan dan menyentuh pipinya.Masih hangat ....Jelas-jelas tadi hanya sebuah pelukan.Akan tetapi, dia tidak menyangka Rizki benar-benar memercayainya dan sama sekali tidak mempertanyakannya.Bukankah ini artinya, hati Rizki selalu lebih condong kepadanya?"Mama?"Tiba-tiba, terdengar suara anak kecil dari belakangnya.Alya kaget dan berbalik, menemukan bahwa Satya sudah bangun entah sejak kapan dan sedang berdiri di sana menatapnya.Melihat putranya, Alya pun terkejut."Satya, kenapa kamu bangun?"Bukankah dia sudah tidur?Mata Alya menghindari putranya. Sudah berapa lama Satya berdiri di sana? Barusan dia tidak melihatnya, 'kan?Sambil memikirkan hal itu, Alya berjalan menghampiri Satya, lalu berjongkok di depannya dan menggendongnya. "Kamu keluar tanpa pakai baju tebal, bagaimana kalau nanti kamu sakit?"Setelah digendong, Satya memeluk
"Ya sudahlah." Alya berbalik. "Lagi pula kejadian itu sudah sangat lama berlalu. Kalau aku nggak mengingatnya, siapa pun pasti akan mengira dia yang menyelamatkanmu."Melihat punggungnya, Rizki merapatkan bibir."Kamu tenang saja, aku nggak akan membiarkan pencapaianmu dicuri oleh orang lain tanpa alasan."Alya tertawa dengan dingin."Apa gunanya kamu mengatakan itu sekarang? Semua orang sudah mengira dia yang menyelamatkanmu, kejadiannya juga terjadi bertahun-tahun yang lalu. Apa sekarang kamu akan keluar dan berkata bahwa yang menyelamatkanmu adalah aku dan bukan dia? Apa kamu punya bukti?""Nggak.""Jadi ...."Bahunya terasa berat, Rizki tiba-tiba memegang bahunya dan menariknya, membuatnya bertatap muka dengan pria itu."Bukti adalah sesuatu yang, selama aku inginkan, pasti ada."Alya tertegun. "Apa?"Rizki berkata, "Tadinya, aku hanya ingin memutus hubungan dengannya, lagi pula dia telah menyelamatkanku. Tapi sekarang karena dia nggak menyelamatkanku, ini bukan lagi hanya tentang