"Nona Alya?" Hasan sudah lama berada di sisi Irfan dan telah belajar untuk mengamati ekspresi orang. Melihat raut wajah Alya yang kurang baik, dia pun bertanya, "Ada apa?"Hasan adalah seorang pria. Di hadapan pria sepertinya, Alya masih merasa agak malu.Namun,dalam situasi sekarang ini, Alya harus segera pergi ke toilet untuk menangani masalahnya.Dia merapatkan bibirnya, lalu berkata, "Maaf, aku mau ke toilet sebentar. Kalian pergi ke tempat duduk kalian dulu bersama Pak Hasan. Nanti aku akan menyusul."Setelah Alya pergi, Hasan melirik kedua anak kecil tersebut."Kalau begitu, ayo kita pergi dulu?"Wajah kecil Satya yang tampan menunjukkan ekspresi khawatir.Dia teringat sesuatu dan bertanya pada Hasan, "Paman Hasan, hari ini tanggal berapa?"Hasan melirik ponselnya dan memberi tahu tanggal hari ini."Memangnya ada apa dengan tanggal ini?" tanya Hasan.Begitu mendengar tanggal berapa hari ini, Satya pun mengerti. Dia menghitung dengan jarinya, lalu berkata, "Sepertinya hari ini tan
"Baik, tiga gelas cokelat panas. Mohon ditunggu sebentar. Bapak bisa menunggu sambil duduk dulu.""Oke."Hasan melihat-lihat dan menemukan sebuah tempat di sebelah jendela. Dia pun membawa kedua anak kecil itu ke sana."Ayo, ikut Paman Hasan ke sana."Maya cepat-cepat berlari ke depan dan memegangi baju Hasan.Hasan menunduk dan melihat sebuah tangan merah mudah yang kecil memegangi bajunya. Tangan itu sangat kecil, bahkan tidak sampai sepertiga tangannya sendiri.Meskipun kecil, tangan itu memegang bajunya dengan erat-erat.Hasan, seorang pria yang besar dan kekar, dalam sekejap merasa hatinya menjadi lunak.Pantas saja banyak orang yang menyukai anak kecil.Jadi dia pun melambatkan langkahnya supaya Maya dapat mengikutinya. Kemudian, dia memandang Satya.Anak laki-laki masihlah anak laki-laki. Satya dengan hati-hati menjaga jaraknya. Anak laki-laki itu berjalan di samping adiknya dengan wajah serius, seperti orang dewasa kecil.Sejak diperingati oleh Rizki tadi, Cahya tidak berani un
Wanita itu tertegun dan seketika mengerti. "Kalau begitu jagalah dirimu baik-baik, ya.""Terima kasih." Alya memaksakan sebuah senyum pucat untuk berterima kasih padanya.Setelah keluar dari toilet, Alya melihat sebuah pintu keberangkatan di depannya. Dia pun berjalan ke sana dan menemukan sebuah kursi. Kemudian dia mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan sebuah pesan pada Hasan: "Pak Hasan, apa kalian sudah di pintu keberangkatan?"Ketika menerima pesan Alya, Hasan sudah cukup lama menunggu di dalam kafe tersebut. Dia masih belum menerima tiga gelas cokelat panasnya, sehingga dia pun mulai agak tidak sabar.Bukankah efisiensi toko ini terlalu rendah?Tepat pada saat itu, Hasan menerima pesan dari Alya.Hasan refleks membalas, "Kami berada di dalam kafe barusan ....""Pak, tiga gelas cokelat panasnya sudah siap."Hasan belum selesai mengetik balasannya ketika pelayan kafe tersebut memanggilnya."Oke." Hasan terpaksa menyimpan kembali ponselnya. Dia memegang kembali koper-kopernya, lalu
Kebetulan yang menelepon adalah rekan kerja sama bisnis yang tadi.Ketika percakapan mereka kurang lebih telah selesai, Rizki langsung menutup teleponnya begitu saja. Menyerahkan semua sisa urusannya pada Cahya.Cahya hanya bisa menangani sisa urusan tersebut dengan pasrah. Akan tetapi, dia masih memikirkan kedua anak kecil yang dia lihat barusan.Setelah memikirkannya dengan hati-hati, Cahya memutuskan untuk mengambil risiko dan berkata pada Rizki, "Itu ... Pak Rizki, barusan aku melihat dua anak kecil."Sebelum dia selesai berbicara, RIzki sudah memberinya tatapan peringatan.Menerima tatapannya, Cahya hanya bisa melanjutkan dengan enggan, "Kedua anak itu sepertinya adalah anak-anak yang biasanya kamu tonton siaran langsungnya."Rizki tertegun dan berhenti mengemasi tas kerjanya.Kemudan, dia tiba-tiba mendongak."Apa katamu?"Cahya menggaruk kepalanya dengan canggung. "Aku nggak yakin, lagi pula aku hanya melihat wajahnya dari samping. Tetapi kedua anak itu sangat mirip, mereka sepa
Menggunakan kesempatan tersebut untuk bertemu?Sebenarnya Rizki sendiri tidak mengerti kenapa dia begitu menyukai kedua anak itu, mungkin karena senyum mereka terlalu menyilaukan.Melihat mereka bagaikan melihat cahaya matahari.Cerah, lucu, bersemangat, juga penuh dengan kehidupan.Mereka benar-benar berbeda dari dirinya yang berada di dalam kegelapan.Dia penuh dengan kebencian dan ketidakpedulian. Sifatnya buruk, selain itu dia juga sulit untuk didekati.Namun, ini adalah hal yang aneh. Di mata orang lain dia mungkin terasa seperti seseorang yang memiliki masalah, kenapa dia bisa menyukai kedua anak ini tanpa alasan?Dengan memikirkan hal tersebut, Rizki pun memejamkan matanya. Dia berkata dengan suaranya yang berat, "Nggak usah."Menonton mereka melalui ponsel saja sudah cukup.Kedua anak itu hidup dengan amat bersemangat, menandakan bahwa mereka hidup di lingkungan yang baik. Dia hanya seorang penonton yang mendapat sedikit kehangatan melalui siaran langsung mereka. Jadi, dia tida
"Nggak, nggak usah."Alya menolaknya dengan berkata, "Benar-benar nggak usah, Pak Hasan."Namun Hasan masih memaksa. "Nona Alya, aku cukup kuat untuk mendorongmu sambil membawa koper-koper ini."".... Kalau kamu bersikeras ingin mendorong, Maya, kamu saja yang duduk di atas koper. Biarkan Paman Hasan mendorongmu.""Oke, Mama."Maya adalah anak yang pintar. Begitu mendengar ucapan Alyya, dia segera memanjat ke atas koper. Dia kurang bisa memanjatnya, sehingga dia mengulurkan tangan kecilnya pada Hasan dan berkata dengan suara lembut, "Paman Hasan, tolong Maya."Hasan refleks mengulurkan tangannya dan membantu Maya duduk di atas koper.Setelah Maya duduk, Hasan baru menyadari sesuatu."Nggak, Nona Alya, maksudku adalah ....""Maya sudah capek jalan. Jadi Pak Hasan, tolong dorong dia ya. Satya, bawa koper kecilmu ke sini dan bawa sendiri.""Oke."Kedua anak kecil itu sangat menurut pada Alya. Apa pun yang Alya katakan, mereka berdua akan melakukannya.Pada akhirnya, Hasan pun hanya bisa m
"Pak Rizki, untuk kali ini aku sungguh minta maaf. Ini kelalaianku. Aku juga nggak menyangka penerbangan ini akan penuh."Mendengar perkataan asistennya, langkah Rizki tiba-tiba terhenti. Tatapannya tampak setajam pisau."Cahya, kalau hal ini terjadi lagi, kamu bisa langsung pergi.""Baik, baik. Nggak akan terjadi lagi, Pak Rizki. Aku berjanji. Kali ini adalah kecelakaan."Setelah naik ke pesawat, karena sudah menjadi kebiasaan, Rizki langsung berjalan ke arah kursi kelas satu."Selamat datang."Seorang pramugari menyambut para penumpang pesawat. Saat pandangannya jatuh pada Rizki, seketika matanya berbinar."Pak, tiketmu ...."Begitu pramugari itu berbicara, Cahya yang berada di belakang Rizki segera memberikan tiket mereka.Sang pramugari menerima tiket tersebut dan melihatnya. Kemudian, dia menghentikan Rizki yang sedang berjalan ke arah kabin kelas satu. "Maaf, Pak. Kursi Anda di sebelah sini."Langkah Rizki seketika berhenti.Sang pramugari tersenyum dengan ramah dan mengarahkanny
Begitu memasuki area kelas satu, mata Cahya segera memindai tempat tersebut, berharap ada seseorang yang bersedia untuk bertukar kursi.Akhirnya, dia menargetkan seorang pria paruh baya."Permisi, Pak."Cahya menghampiri pria tersebut dan langsung memberikan kartu namanya.Pria paruh baya itu tertegun. Namun saat melihat kartu nama Cahya, dia menunjukkan senyum terkejut."Pak Cahya?"Cahya pun terkejut dan bingung."Kamu mengenalku?""Kenal. Pak Cahya, aku Manajer Bima dari Perusahaan Pranata. Waktu itu kita pernah bertemu."Cahya memandang pria dengan wajah kotak, mata kecil, serta hidung pesek di depannya. Dia berusaha mencari-cari di dalam ingatannya, tetapi dia tidak ingat kalau dia pernah menemui pria ini.Melihat ekspresi Cahya yang tampak tidak mengingatnya, Bima sama sekali tidak keberatan. Dia hanya mengetuk hidung Cahya dan berkata, "Nggak apa-apa, Pak Cahya. kamu adalah orang yang sangat sibuk, wajar saja kalau kamu nggak mengingatku."Cahya hanya bisa mengangguk"Omong-omon