"Gimana keadaanmu, By?" tanya Amran saat menjenguk Roby di rumahnya. Tangan kanan Amran itu sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Keadaannya mulai membaik meski masih ada memar di beberapa tempat. "Alhamdulillah membaik, Mas. Makasih banyak sudah mengurus administrasinya," balas laki-laki itu. Amran mengangguk lalu menepuk pelan lengan Roby beberapa kali. "Sudah menjadi kewajiban saya. Soal teror itu, kamu nggak perlu risau. InsyaAllah sebentar lagi akan menemukan titik terang." "Benar, Mas?" tanya Roby sedikit terkejut."Iya. Ada seorang teman yang berhasil menyelidikinya, tapi pelaku sepertinya tahu soal itu. Sekarang dia kabur ke Semarang," balas Amran lagi. "Syukurlah kalau begitu, Mas. Saya ikut senang kalau pelaku teror itu berhasil ditangkap. Maaf kalau sementara waktu belum bisa membantu apa-apa. Saya janji setelah pulih akan segera kembali bekerja seperti biasanya." Roby menunduk. Dia merasa bersalah karena tak bisa membantu Amran menyelidiki pelaku teror yang sela
"Mantan rivalku mau married, Sayang," ucap Amran saat makan siang bersama istrinya. Zilva menghentikan aktivitasnya menggoreng ayam beberapa saat lalu membalikkan badan. Perempuan itu mengernyit sembari menatap suaminya lekat. "Lupa?" tanya Amran singkat sembari menaik turunkan kedua alisnya. "Mas Zain?" tebak Zilva saat meniriskan ayamnya lalu kembali memasukkan ayam lain yang sudah dimarinasi. "Masih ingat rupanya," balas Amran lagi. Zilva tersenyum tipis. Dia tahu, di antara banyak lelaki yang mendekatinya, Amran hanya cemburu pada Zain. Amran merasa jika Zain rival yang cukup berat baginya. "Cemburu?" goda Zilva dengan cibiran kecil. "Nggak. Ngapain cemburu? Jelas aku pemenang hatimu kan?" "Di bibir memang bilang begitu, tapi ekspresinya menjelaskan kalau kamu itu cemburu, Mas," balas Zilva cepat. Dia merasa senang saat melihat kecemburuan Amran karena Zilva tahu cemburunya tanda cinta. "Cemburu kan?" Zilva kembali bertanya. "Nggak." "Oh ...." "Memangnya kalian sudah ng
"Deswita, Mas?" Zilva ikut menyebut nama itu. Zilva tak menyangka jika perempuan itu akan kembali mengusiknya setelah kabar pertunangannya waktu itu. Zilva mendadak banyak pikiran. Wajar jika dia mulai berburuk sangka dan menduga-duga karena selama ini Deswita memang tak pernah berhenti meneror keluarganya bahkan terang-terangan meminta Amran untuk menjadikannya istri kedua. "Mungkin calon suaminya nggak ada di sini, Sayang. Makanya dia minta bantuanku," balas Amran berusaha menenangkan Zilva. Dia tahu jika saat ini Zilva mulai tak tenang. "Tetangganya pasti ada, Mas. Saudaranya juga, kenapa harus kamu?" lirih Zilva tak terima alasan Amran. "Dia nggak punya saudara di sini. Mungkin nggak enak sama tetangganya." Zilva mendengkus kesal. Dia masih tak terima dengan alasan tak masuk akal yang diungkapkan Amran. Entah mengapa Zilva berfirasat buruk soal ini. Dia benar-benar nggak mau Amran kenapa-kenapa."Diizinkan pergi atau nggak?" tanya Amran sembari membingkai wajah cantik Zilva.
Mayang masih membisu. Tak selang lama, dia kembali memejamkan kedua matanya. Deswita merasa ada sesuatu hal berat yang sedang disembunyikan dan dipikirkan oleh mamanya. Namun, dia tak ingin memaksa. Wita paham bagaimana karakter sang mama. Semakin dipaksa, Mayang akan semakin bungkam dan merahasiakan semuanya. "Kita ke rumah sakit ya, Ma? Sudah ada Mas Amran yang akan membantu mama ke sana," lirih Wita sembari menoleh ke arah Amran yang duduk di sofa lain. Laki-laki itu hanya menatap sekilas lalu mengalihkan pandangannya pada Mayang yang masih menutup kedua matanya. "Kamu kenapa merepotkan Amran lagi, Wita? Mama sudah bilang berulang kali, jangan bikin ulah lagi. Mama malu sama Tante Ratna." Wita menghela napas panjang. "Mau minta bantuan siapa kalau bukan Mas Amran, Ma? Mama tahu Mas Panji masih di luar kota. Dia nggak mungkin bisa membantu kita," ucap Wita beralasan. "Tetangga kita juga ada. Nggak seharusnya kamu terus mengganggu Amran dan Zilva, apalagi sebentar lagi kamu ak
Mayang kembali bergeming lalu menatap anak semata wayangnya beberapa saat. "Papa. Papamu yang pergi. Papa kecelakaan tadi pagi saat berangkat ke bandara," ucap Mayang dengan isak yang tertahan. Deswita shock. Badannya luruh begitu saja di lantai. Dia benar-benar lemas seolah tulangnya lolos begitu saja dari engselnya. Wita memejamkan kedua matanya beberapa saat lalu menutup wajahnya dengan telapak tangan. Meskipun dia begitu membenci papanya setelah menikah lagi dengan selingkuhannya, tapi Wita tak menyangka jika papanya benar-benar pergi selamanya. Dia belum sempat minta maaf, belum sempat juga mengiyakan permintaan maaf papanya. Kini, semua telah berbeda dan Wita tak bisa mengulang semua yang telah terjadi. "Siapa yang memberi tahu mama soal ini?" lirih Wita di sela isaknya. "Tante-- "Oh. Kalau begitu kita ke pemakaman papa sekarang." Wita buru-buru memotong ucapan mamanya karena tak ingin mendengar nama perempuan itu disebut. Mayang begitu memahami sikap anak2nya. Wajar jika
"Kenapa kamu diam saja, Mas? Apa ada sesuatu yang kamu pikirkan?" tanya Zilva saat duduk di samping Amran sembari menyuapi buah untuk Rafka. Zilva sudah mengamati sikap Amran sejak pulang dari pemakaman papanya Deswita kemarin. Zilva yakin ada sesuatu yang mengusik pikiran suaminya. "Sejak pulang dari takziah kemarin, kamu sering murung dan diam. Apa terjadi sesuatu di sana, Mas?" tanya Zilva lagi. Dia menatap suaminya lekat. Tanpa diminta, Zilva memijit lengannya pelan untuk sedikit menenangkan. Amran menghela napas lalu mengambil handphonenya dari meja. Beberapa saat kemudian dia memperlihatkan foto di layar handphone itu pada istrinya. Zilva mengernyit. Dia menatap layar handphone itu lalu bergantian menatap suaminya karena belum juga paham apa yang dikhawatirkan Amran saat ini. "Dia yang meneror kita, Mas? Laki-laki berjaket kulit itu mengikuti kamu sampai makam?" tanya Zilva dengan mimik penasaran. "Bukankah tempo hari kamu bilang dia kabur ke Semarang karena dicari polisi?
[By, tolong selidiki Deswita. Kamu masih ingat dia kan? Aku curiga peneror selama ini ada hubungannya dengan dia. Kemarin aku tak sengaja bertemu laki-laki itu di pemakaman papanya]Pesan Amran terkirim ke aplikasi hijau Roby. Laki-laki itu sudah sehat dan bisa beraktivitas seperti semula. Dia juga lebih cekatan saat Amran memerintahkan sesuatu. Roby merasa memiliki banyak hutang budi pada bosnya. Oleh karena itulah, selain ingin mendapatkan gaji bulanan, Roby juga ingin membantu keluarga Amran dan menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati. Dia tak ingin mengecewakan dua orang yang selama ini selalu membantunya banyak hal di saat dia mendapatkan kesulitan.[Baik, Mas. Nanti saya kabari kalau sudah mendapatkan infonya] Amran membaca balasan dari Roby. Dia kembali mengetik balasan. [Bawa anak buahmu. Jangan jalan sendiri. Saya nggak mau kejadian lalu terulang lagi. Kamu harus lebih berhati-hati] Roby mengiyakan pesan dari Amran. Rencananya, dia akan mengajak salah satu anak buahnya u
"Siapa, Mas?" tanya Zilva beranjak dari sofa sembari menggendong Rafka. Dia mendekati Amran yang berjalan ke pintu utama. "Mbak Selly, Sayang. Tumben dia ke sini pagi-pagi," lirih Amran dengan mimik curiga. Selly masuk ke rumah setelah Pak Joko membukakan gerbang. Mereka berbicara entah apa di dekat post satpam lalu Selly melangkah tergesa ke arah teras. "Ran, Va!" Selly menyapa adik dan iparnya yang baru saja keluar rumah. Seperti biasa, Amran menyalami Selly sementara Zilva cipika cipiki. Rafka pun mencium punggung tangan budenya lalu Selly mencium kedua pipi keponakannya itu. "Masuk, Mbak. Tumben datang nggak bilang-bilang," ucap Zilva saat mereka melangkah ke ruang keluarga. "Nggak bawa handphone, Va. Tadi buru-buru soalnya," balas Selly setelah duduk di sofa. Zilva mengangsurkan minuman kemasan untuk kakak iparnya lalu beranjak ke dapur ingin membuatkan minuman dingin. "Nggak usah repot, Va. Aku ke sini cuma mau kasih kabar kalau Prilly dibawa ke klinik Amal Sehat. Tadi kes
"Assalamualaikum, Jeng Ratna. Gimana kabarnya?" Ratna, mamanya Amran menerima panggilan telepon. "Wa'alaikumsalam, Jeng Mayang. Alhamdulillah kabar saya dan keluarga baik. Kabar Jeng May sama Wita bagaimana?" balas Ratna dengan senyum tipis. Ternyata yang menelepon saat ini adalah Mayang, mamanya Deswita. Wanita paruh baya itupun gegas mencuci tangan di wastafel. Suara Mayang terdengar cukup keras saat loud speaker di handphone Ratna diaktifkan. "Alhamdulillah kami juga baik, Jeng. Kebetulan Wita sama suaminya baru pulang dari Singapure. Mereka bawa oleh-oleh lumayan banyak, sudah dibagi-bagi ke tetangga. Tadi pagi kami ke rumah Jeng Ratna, sayangnya nggak ada di rumah. Memangnya Jeng Ratna sekeluarga ke mana?" tanya Mayang perlahan. "Oh iya, Jeng. Sejak kemarin kami memang pergi hajatan ke rumah saudara. InsyaAllah sore nanti pulang, sengaja menginap semalam di sini. Wita baru pulang honeymoon ya, Jeng?" balas Ratna lagi. "Benar, Jeng. Mereka baru pulang honeymoon di Singapure.
"Tamu yang kamu tunggu datang tuh, Mas," ucap Arumi saat melihat Lana dan Dikta datang dari pintu utama. Berliana adalah perempuan yang disukai Radit sejak dulu, namun cintanya bertepuk sebelah tangan. Dia justru menikah dengan Dikta, cinta pertamanya saat di sekolah putih abu-abu dulu. "Apa kamu bilang?" tanya Radit yang tak terlalu mendengar ucapan istrinya. Radit sempat melamun beberapa saat, jadi tak fokus dengan pembicaraan Arumi. "Tamu yang kamu tunggu sudah datang. Lihatlah, biar hatimu senang," ucap Arumi lagi dengan menahan sesak di dada. Radit cukup kaget saat melihat Lana datang bersama suaminya, lebih kaget lagi saat mendengar ucapan sang istri perihal masa lalunya. Dia memang sempat cerita soal Lana sekilas, tapi tak menyangka jika Arumi mengenali wajah perempuan itu. Tanpa Radit tahu jika Arumi sempat melihat Lana di album foto mertuanya bahkan ada foto perempuan itu di dompet suaminya. "Kamu tahu darimana kalau dia Lana?" tanya Radit gugup. Dia menatap Arumi beber
Suasana begitu meriah saat keluarga Amran sampai ke gedung tempat pernikahan Arumi dan Radit digelar. Sepasang pengantin sudah duduk di pelaminan. Arumi tampak cantik dan anggun dengan kebaya berwarna biru mudanya. Radit pun terlihat lebih tampan dan menawan dengan warna jas yang sama."Zilva!" Arumi melambaikan tangan pada Zilva yang baru memasuki gedung. Zilva tersenyum sembari memberikan kode agar sahabatnya itu bisa menjaga sikap karena banyak tamu yang datang. "Mas, aku ke sana sebentar ya?" ucap Zilva saat ingin menghampiri Arumi di pelaminan. "Iya, Sayang. Aku tunggu di sini sama mama. Mbak Selly juga mau ikut itu," balas Amran sembari menunjuk kakaknya yang melangkah paling belakang. "Iya, Mas. Mbak Selly juga mau ngucapin selamat." Zilva tersenyum tipis. "Kenapa nggak sekalian nanti aja pas mau pulang?""Kelamaan, Mas. Arumi sudah lihat tadi, lagipula cuma salaman aja, nanti ke sini lagi," bisik Zilva dibalas dengan anggukan suaminya. Zilva pun menggandeng Rafka lalu men
Robby, tangan kanan Amran itu tiba-tiba datang tanpa mengirimkan pesan terlebih dahulu. Sepertinya ada kabar penting yang dia bawa, makanya buru-buru datang meski dia juga tahu kalau Amran dan keluarganya ada acara saat ini. "Maaf mengganggu, Mas. Ada berita penting yang harus saya sampaikan secepatnya," ucap Robby sembari mengikuti langkah bosnya ke teras rumah. Amran duduk di salah satu kursi teras lalu disusul oleh Robby yang menduduki kursi lain. "Soal apa? Kecelakaan Prilly?" tebak Amran seketika. Namun, Robby menggeleng pelan membuat Amran mengernyit. "Kalau bukan itu, lantas soal apa?" tanyanya penasaran karena tebakan yang diyakininya benar justru salah besar. "Soal lelaki berjaket kulit yang selama ini meneror keluarga bos." Robby mengangguk pelan berusaha meyakinkan saat Amran menatapnya lekat. "Kenapa dia? Sudah tertangkap?" Kali ini Robby menggeleng. "Lantas? Lincah sekali dia, bisa-bisanya kamu dan anak buahmu tak mampu menangkapnya setelah sekian lama berusaha mel
Zilva merahasiakan permasalahan Arumi dengan calon suaminya dari Amran. Dia ingin menjaga perasaan sahabatnya, meskipun Amran sedikit tahu tentang kisah percintaan Arumi saat ini. Kisah cinta yang datang dari sebuah perjodohan, sementara Radit belum selesai dengan masa lalunya. "Cantik," puji Amran saat melihat istrinya keluar dari kamar dengan gamis abu-abunya. Rafka dan Amran pun memakai kemeja dengan warna yang sama. "Bukannya dari dulu memang cantik, Mas? Lupa?" Zilva sedikit mencibir saat digoda suaminya. "Nggak lupa dong. Lagipula kalau nggak cantik, mana mungkin jadi istri seorang Amran." "Oo ... jadi, kriteria menjadi istri Amran itu hanya cantik saja?" Zilva melirik malas. "Cantik wajahnya memang banyak, tapi yang cantik wajah dan hatinya itu nggak akan banyak." Amran menarik pelan dagu istrinya lalu mencium kening dan bibirnya."Kalian sudah siap?" Tiba-tiba mama Amran muncul dari ruang tamu. Sepertinya dia baru saja datang bersama Selly dan Ruri. "Astaghfirullah!" pek
"Om Galih ya, Mas?" tanya Zilva setelah Amran mengakhiri panggilan. Laki-laki itu pun mengangguk lalu meletakkan kembali benda pipih kecil berwarna hitam itu ke meja. "Om Galih bilang kalau Lala akan segera bebas sekitar enam bulan lagi." Zilva manggut-manggut. "Lala masih berharap kalau kamu bakal jenguk dia?" tebak Zilva yang tahu apa inti pembicaraan itu. Zilva paham bagaimana keinginan Lala, tapi dia juga mengerti bagaimana keputusan suaminya yang tak ingin berhubungan dengan mantan istrinya itu lagi. "Biar sajalah, Sayang. Makin ribet kalau nanti berurusan dengan dia lagi. Kita nggak tahu apakah tiga tahun penahanannya itu membuatnya benar-benar jera atau justru menimbulkan dendam semakin dalam." "Jenguk saja sekali, Mas. Nggak ada salahnya kan?" bujuk Zilva lagi. Namun, Amran justru hanya membalas dengan hembusan napas kasar lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Kamu lupa bagaimana sepak terjangnya selama ini? Dia nyaris memisahkan kita dan membuat kita selalu ribut, Saya
"Assalamualaikum. Bagaimana kabarmu, Ran?" Suara dari seberang mengingatkan Amran dengan seseorang yang begitu dia kenal. Amran mengernyit. Dia tak tahu mengapa tiba-tiba laki-laki itu meneleponnya dengan nomor baru. "Wa'alaikumsalam, Pa. Alhamdulillah kabar baik. Papa sama mama gimana?" tanya Amran pada Galih, orang tua Lala yang tak lain mantan istri keduanya. "Alhamdulillah kami baik, Ran." Amran mengucap Hamdallah saat mendengar berita baik itu. "Sudah lama tak kasih kabar, papa hanya mau bilang kalau nomor yang lama hilang. Ini nomor baru papa." "Iya, Pa. Nanti Amran simpan nomornya. Maaf belum bisa jenguk papa dan mama. Akhir-akhir ini cukup banyak masalah dan Amran harus menyelesaikannya satu persatu." Amran menghela napas panjang. Sejak perceraiannya dengan Lala beberapa bulan silam, Amran memang hanya dua atau tiga kali menjenguk mertuanya. Itupun karena mama mertuanya sakit. Setelahnya, dia tak pernah ke sana lagi karena memang banyak masalah yang menimpa keluarganya.
"Fika, sini sama Tante." Zilva menyambut Fika dengan hangat. Gadis cantik itu dititipkan pada Zilva dan Amran selama Prilly masih di klinik. Romi yang bekerja sebagai karyawan swasta tak mungkin bisa menjaga Fika 24 jam. Dia harus bekerja dan menjenguk istrinya. Oleh karena itulah, pilihan terakhir dan terbaik memang menitipkan Fika pada Zilva karena dia yang selalu di rumah. "Tante, maaf kalau Fika ganggu Tante Zilva ya," ucap Fika dengan polosnya. "Nggak ganggu, Sayang. Tante justru senang Fika di sini. Adik Rafka ada yang nemenin main. Iya kan?" Zilva jongkok, mensejajari Fika yang berdiri di depannya. Dia pun tersenyum lalu mengusap puncak kepala Fika yang menatapnya dengan berbinar. "Iya, Tante. Fika mau ajak adik Rafka main," balas Fika sembari berlari kecil ke arah Rafka yang bermain bola di ruang tengah. Zilva dan Amran saling tatap lalu sama-sama tersenyum. Amran merangkul istrinya saat melangkah beriringan mendekati Rafka dan Fika. Mereka membicarakan tentang keadaan Pr
"Gimana keadaan Prilly, Ma?" tanya Amran saat mamanya menjemput di depan pintu utama klinik Amal Sehat. "Alhamdulillah Prilly membaik, Ran. Dia cuma agak trauma saja." Amran menatap mamanya lekat."Trauma gimana, Ma?" lirih Amran sembari melangkah ke kamar inap Prilly. "Dia bilang beberapa kali tak sengaja lihat ada yang mengikutinya. Sebelum ke pasar tadi dia juga sudah lihat laki-laki yang menabraknya itu, tapi Prilly mencoba berbaik sangka. Ternyata, firasatnya memang benar kalau laki-laki itu ingin mencelakainya." Ratna menjelaskan semuanya pada Amran. "Jadi, Prilly memang sengaja ditabrak?" tanya Amran lagi saat berhenti di depan kamar inap Prilly. Ratna pun mengangguk. "Dia kabur setelah melihat Prilly tergeletak di trotoar." "Kurang ajar," gumam Amran begitu geram. Jemari-jemarinya mengepal. Dia tak akan tinggal diam melihat adiknya diperlakukan semena-mena seperti itu. "Sudahlah, Ran. Yang penting sekarang kesembuhan Prilly dulu. Soal pelakunya kita urus belakangan." "N