"Tamu yang kamu tunggu datang tuh, Mas," ucap Arumi saat melihat Lana dan Dikta datang dari pintu utama. Berliana adalah perempuan yang disukai Radit sejak dulu, namun cintanya bertepuk sebelah tangan. Dia justru menikah dengan Dikta, cinta pertamanya saat di sekolah putih abu-abu dulu. "Apa kamu bilang?" tanya Radit yang tak terlalu mendengar ucapan istrinya. Radit sempat melamun beberapa saat, jadi tak fokus dengan pembicaraan Arumi. "Tamu yang kamu tunggu sudah datang. Lihatlah, biar hatimu senang," ucap Arumi lagi dengan menahan sesak di dada. Radit cukup kaget saat melihat Lana datang bersama suaminya, lebih kaget lagi saat mendengar ucapan sang istri perihal masa lalunya. Dia memang sempat cerita soal Lana sekilas, tapi tak menyangka jika Arumi mengenali wajah perempuan itu. Tanpa Radit tahu jika Arumi sempat melihat Lana di album foto mertuanya bahkan ada foto perempuan itu di dompet suaminya. "Kamu tahu darimana kalau dia Lana?" tanya Radit gugup. Dia menatap Arumi beber
"Assalamualaikum, Jeng Ratna. Gimana kabarnya?" Ratna, mamanya Amran menerima panggilan telepon. "Wa'alaikumsalam, Jeng Mayang. Alhamdulillah kabar saya dan keluarga baik. Kabar Jeng May sama Wita bagaimana?" balas Ratna dengan senyum tipis. Ternyata yang menelepon saat ini adalah Mayang, mamanya Deswita. Wanita paruh baya itupun gegas mencuci tangan di wastafel. Suara Mayang terdengar cukup keras saat loud speaker di handphone Ratna diaktifkan. "Alhamdulillah kami juga baik, Jeng. Kebetulan Wita sama suaminya baru pulang dari Singapure. Mereka bawa oleh-oleh lumayan banyak, sudah dibagi-bagi ke tetangga. Tadi pagi kami ke rumah Jeng Ratna, sayangnya nggak ada di rumah. Memangnya Jeng Ratna sekeluarga ke mana?" tanya Mayang perlahan. "Oh iya, Jeng. Sejak kemarin kami memang pergi hajatan ke rumah saudara. InsyaAllah sore nanti pulang, sengaja menginap semalam di sini. Wita baru pulang honeymoon ya, Jeng?" balas Ratna lagi. "Benar, Jeng. Mereka baru pulang honeymoon di Singapure.
"Aku nggak mandul, Mas. Kenapa kamu bersikeras menikah lagi?" tanyanya seminggu yang lalu saat aku izin untuk menikah dengan Lala. Aku memang sengaja izin padanya untuk menghindari segala resiko yang akan terjadi di kemudian hari. Padahal jika aku mau, tak ada kewajiban seorang suami untuk izin pada istri pertamanya jika ingin menikah lagi bukan? Yang penting siap berlaku adil soal waktu dan materi, tak terkecuali tentang cinta.Namun, aku memilih mengambil resiko terkecil dengan meminta izin Zilva, istri pertamaku. Aku tahu dia akan menuruti keinginanku untuk menikah lagi, sebab cintanya padaku terlampau besar. Apalagi saat ini dia tak memiliki siapa-siapa selain aku dan keluargaku tentunya. Ibu angkatnya telah tiada setahun lalu, menyusul bapak angkat yang dipanggil Allah lebih dulu. Sementara sanak saudara dia tak punya. "Aku tahu, Sayang. Kamu memang tak mandul. Kita sama-sama subur, tapi-- "Tapi apa, Mas?" tanyanya lagi dengan ekspresi begitu cemas. Telapak tangannya sangat di
"Rumah, cafe dan mobil itu harus atas namamu? Yang benar saja dong, Sayang. Masa isi perjanjiannya seperti ini?" Aku membulatkan mata saat membaca inti dari surat perjanjian yang disodorkan Zilva. Betapa tidak? Semua aset yang kupunya harus atas namanya, padahal selama ini justru dialah yang meminta untuk menuliskan namaku saja. Zilva terlalu penurut bahkan dia tak pernah menolak apapun yang kuperintahkan asalkan tak melanggar aturanNya. Oleh karena itulah aku sangat mencintainya dan tak rela ada lelaki lain yang dekat dengannya. Keputusanku untuk memintanya keluar dari pekerjaannya dulu kurasa adalah hal yang tepat. Mata lelaki di luar sana terlalu berbahaya untuk seorang Zilva yang cantik, pintar dan energik. Namun, sebagai anak lelaki satu-satunya aku tak bisa menolak permintaan mama begitu saja. Apalagi aku menyadari jika Zilva belum bisa menghadirkan buah hati seperti permintaan mama selama ini. Dua tahun memang waktu yang singkat bagiku, masih ada banyak waktu untuk mencoba
"Kamu yakin dengan keputusan ini, Mas? Yakin lebih memilih memberikan semua aset itu padaku daripada membatalkan pernikahan keduamu itu?" Pertanyaan Zilva kemarin kembali mengusik hatiku."Aku sudah mengingatkanmu berulang kali ya, Mas. Jangan sampai suatu hari nanti kamu menyesal atas keputusanmu sendiri."Kalimat terakhir yang diucapkan Zilva kemarin benar-benar membuatku tak tenang hingga detik ini. Namun, aku berusaha menepisnya. Yang penting sekarang urusan dengan Zilva sudah kelar dan pernikahanku dengan Lala hari ini pun akan digelar.Awalnya aku meminta Zilva untuk datang, setidaknya agar orang-orang tahu jika istri pertamaku itu menyetujui pernikahan ini. Kehadirannya juga akan meredam emosi para ibu yang biasanya akan menghujat istri kedua dengan sebutan pelakor.Solidaritas perempuan di negeri ini cukup kuat jika membahas soal madu dan dimadu. Biasanya mereka akan mendukung penuh istri pertama dan menghujat habis-habisan istri kedua. Sebagian perempuan tetap tak menyukai p
"Mas Amran sudah siap?" Penghulu kembali bertanya untuk kedua kalinya padaku. Mungkin dia menyadari ada sesuatu yang tak beres dariku hingga membuatnya mengulang pertanyaan yang sama. "InsyaAllah siap, Pak," balasku dengan sedikit gugup. Penghulu kembali mengangguk pelan lalu mengedarkan pandangan. Entah siapa yang dia cari, sepertinya sedang mengamati beberapa tamu yang datang. "Mas Amran bilang, istri pertama sudah setuju dengan pernikahan ini kan?" tanyanya lagi. Aku mendongak, lalu kembali mengangguk. Penghulu kembali tersenyum lalu menepuk lenganku pelan. "Saya boleh tahu yang mana perempuan hebat itu? Perempuan yang rela dimadu demi menyenangkan hati suaminya." Lagi, penghulu tersenyum lalu menoleh ke area tamu yang hadir. Apa dia bilang? Menyenangkan suaminya? Mungkin bagi lelaki lain, memiliki istri lebih dari satu adalah hal yang menyenangkan. Apalagi jika istri pertama merestui pernikahan kedua suaminya dengan istri barunya yang tak kalah rupawan. Sayangnya, aku nggak
Zilva. Istri tercintaku itu akhirnya datang dengan gamis terbarunya. Pakaian syar'i yang membuatnya semakin terlihat cantik dan mempesona. Sungguh, dia memang istri terbaik dan nyaris sempurna andai bisa segera memberikan keturunan untukku. Namun, takdir berkata lain dan aku tak berhak menyalahkannya. Bukankah tiap manusia memang digariskan memiliki dua sisi hingga tak ada satupun yang utuh dan sempurna? "Silakan dilanjutkan, Mas. Aku akan di sini dan ikut menyaksikan pernikahan keduamu." Zilva tersenyum tipis lalu duduk di deretan paling ujung bersama tamu yang lain. Mama melotot tajam ke arahnya, tapi Zilva masih tetap tenang seolah tak ada kesedihan yang dia rasakan. Mungkinkah dia sudah berdamai dengan keputusanku ini? Entah mengapa, ketenangan Zilva justru membuatku semakin tak tenang. Aku tahu bagaimana dia yang terlalu mencintaiku. Bagaimana bisa saat aku ingin berbagi hati dengan perempuan lain, dia bisa setenang ini? Aku yakin ada sesuatu yang terjadi padanya hingga bi
"Sayang, mau ke mana?" Aku mencegah Zilva yang akan pergi begitu saja setelah mama mengusirnya dari gedung yang kusewa untuk acara pernikahan ini. Mama memang keterlaluan dan seolah tak memiliki perasaan.Seharusnya mama menyambut Zilva dengan tangan terbuka karena dia sudah merelakanku untuk menikah lagi. Itu artinya dia rela dimadu demi mengabulkan impian mama yang berharap segera mendapatkan cucu pada pernikahan keduaku ini. Zilva menghentikan langkah lalu membalikkan badan. Sesaat dia bergeming, menatapku cukup lekat lalu tersenyum tipis sembari menunjuk ke belakangku dengan dagunya. Aku tahu di belakang sana ada pesta penuh tawa dan bahagia setelah para saksi dan penghulu mengatakan pernikahan ini sah di mata agama. Aku mengerti jika masih banyak tamu yang begitu euforia dengan pernikahan keduaku ini. Mungkin mereka mengira aku juga sebahagia itu. Menikah dengan perempuan cantik dan seksi yang disetujui bahkan disaksikan oleh istri pertamanya sendiri tentu menjadi hal yang ber
"Assalamualaikum, Jeng Ratna. Gimana kabarnya?" Ratna, mamanya Amran menerima panggilan telepon. "Wa'alaikumsalam, Jeng Mayang. Alhamdulillah kabar saya dan keluarga baik. Kabar Jeng May sama Wita bagaimana?" balas Ratna dengan senyum tipis. Ternyata yang menelepon saat ini adalah Mayang, mamanya Deswita. Wanita paruh baya itupun gegas mencuci tangan di wastafel. Suara Mayang terdengar cukup keras saat loud speaker di handphone Ratna diaktifkan. "Alhamdulillah kami juga baik, Jeng. Kebetulan Wita sama suaminya baru pulang dari Singapure. Mereka bawa oleh-oleh lumayan banyak, sudah dibagi-bagi ke tetangga. Tadi pagi kami ke rumah Jeng Ratna, sayangnya nggak ada di rumah. Memangnya Jeng Ratna sekeluarga ke mana?" tanya Mayang perlahan. "Oh iya, Jeng. Sejak kemarin kami memang pergi hajatan ke rumah saudara. InsyaAllah sore nanti pulang, sengaja menginap semalam di sini. Wita baru pulang honeymoon ya, Jeng?" balas Ratna lagi. "Benar, Jeng. Mereka baru pulang honeymoon di Singapure.
"Tamu yang kamu tunggu datang tuh, Mas," ucap Arumi saat melihat Lana dan Dikta datang dari pintu utama. Berliana adalah perempuan yang disukai Radit sejak dulu, namun cintanya bertepuk sebelah tangan. Dia justru menikah dengan Dikta, cinta pertamanya saat di sekolah putih abu-abu dulu. "Apa kamu bilang?" tanya Radit yang tak terlalu mendengar ucapan istrinya. Radit sempat melamun beberapa saat, jadi tak fokus dengan pembicaraan Arumi. "Tamu yang kamu tunggu sudah datang. Lihatlah, biar hatimu senang," ucap Arumi lagi dengan menahan sesak di dada. Radit cukup kaget saat melihat Lana datang bersama suaminya, lebih kaget lagi saat mendengar ucapan sang istri perihal masa lalunya. Dia memang sempat cerita soal Lana sekilas, tapi tak menyangka jika Arumi mengenali wajah perempuan itu. Tanpa Radit tahu jika Arumi sempat melihat Lana di album foto mertuanya bahkan ada foto perempuan itu di dompet suaminya. "Kamu tahu darimana kalau dia Lana?" tanya Radit gugup. Dia menatap Arumi beber
Suasana begitu meriah saat keluarga Amran sampai ke gedung tempat pernikahan Arumi dan Radit digelar. Sepasang pengantin sudah duduk di pelaminan. Arumi tampak cantik dan anggun dengan kebaya berwarna biru mudanya. Radit pun terlihat lebih tampan dan menawan dengan warna jas yang sama."Zilva!" Arumi melambaikan tangan pada Zilva yang baru memasuki gedung. Zilva tersenyum sembari memberikan kode agar sahabatnya itu bisa menjaga sikap karena banyak tamu yang datang. "Mas, aku ke sana sebentar ya?" ucap Zilva saat ingin menghampiri Arumi di pelaminan. "Iya, Sayang. Aku tunggu di sini sama mama. Mbak Selly juga mau ikut itu," balas Amran sembari menunjuk kakaknya yang melangkah paling belakang. "Iya, Mas. Mbak Selly juga mau ngucapin selamat." Zilva tersenyum tipis. "Kenapa nggak sekalian nanti aja pas mau pulang?""Kelamaan, Mas. Arumi sudah lihat tadi, lagipula cuma salaman aja, nanti ke sini lagi," bisik Zilva dibalas dengan anggukan suaminya. Zilva pun menggandeng Rafka lalu men
Robby, tangan kanan Amran itu tiba-tiba datang tanpa mengirimkan pesan terlebih dahulu. Sepertinya ada kabar penting yang dia bawa, makanya buru-buru datang meski dia juga tahu kalau Amran dan keluarganya ada acara saat ini. "Maaf mengganggu, Mas. Ada berita penting yang harus saya sampaikan secepatnya," ucap Robby sembari mengikuti langkah bosnya ke teras rumah. Amran duduk di salah satu kursi teras lalu disusul oleh Robby yang menduduki kursi lain. "Soal apa? Kecelakaan Prilly?" tebak Amran seketika. Namun, Robby menggeleng pelan membuat Amran mengernyit. "Kalau bukan itu, lantas soal apa?" tanyanya penasaran karena tebakan yang diyakininya benar justru salah besar. "Soal lelaki berjaket kulit yang selama ini meneror keluarga bos." Robby mengangguk pelan berusaha meyakinkan saat Amran menatapnya lekat. "Kenapa dia? Sudah tertangkap?" Kali ini Robby menggeleng. "Lantas? Lincah sekali dia, bisa-bisanya kamu dan anak buahmu tak mampu menangkapnya setelah sekian lama berusaha mel
Zilva merahasiakan permasalahan Arumi dengan calon suaminya dari Amran. Dia ingin menjaga perasaan sahabatnya, meskipun Amran sedikit tahu tentang kisah percintaan Arumi saat ini. Kisah cinta yang datang dari sebuah perjodohan, sementara Radit belum selesai dengan masa lalunya. "Cantik," puji Amran saat melihat istrinya keluar dari kamar dengan gamis abu-abunya. Rafka dan Amran pun memakai kemeja dengan warna yang sama. "Bukannya dari dulu memang cantik, Mas? Lupa?" Zilva sedikit mencibir saat digoda suaminya. "Nggak lupa dong. Lagipula kalau nggak cantik, mana mungkin jadi istri seorang Amran." "Oo ... jadi, kriteria menjadi istri Amran itu hanya cantik saja?" Zilva melirik malas. "Cantik wajahnya memang banyak, tapi yang cantik wajah dan hatinya itu nggak akan banyak." Amran menarik pelan dagu istrinya lalu mencium kening dan bibirnya."Kalian sudah siap?" Tiba-tiba mama Amran muncul dari ruang tamu. Sepertinya dia baru saja datang bersama Selly dan Ruri. "Astaghfirullah!" pek
"Om Galih ya, Mas?" tanya Zilva setelah Amran mengakhiri panggilan. Laki-laki itu pun mengangguk lalu meletakkan kembali benda pipih kecil berwarna hitam itu ke meja. "Om Galih bilang kalau Lala akan segera bebas sekitar enam bulan lagi." Zilva manggut-manggut. "Lala masih berharap kalau kamu bakal jenguk dia?" tebak Zilva yang tahu apa inti pembicaraan itu. Zilva paham bagaimana keinginan Lala, tapi dia juga mengerti bagaimana keputusan suaminya yang tak ingin berhubungan dengan mantan istrinya itu lagi. "Biar sajalah, Sayang. Makin ribet kalau nanti berurusan dengan dia lagi. Kita nggak tahu apakah tiga tahun penahanannya itu membuatnya benar-benar jera atau justru menimbulkan dendam semakin dalam." "Jenguk saja sekali, Mas. Nggak ada salahnya kan?" bujuk Zilva lagi. Namun, Amran justru hanya membalas dengan hembusan napas kasar lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Kamu lupa bagaimana sepak terjangnya selama ini? Dia nyaris memisahkan kita dan membuat kita selalu ribut, Saya
"Assalamualaikum. Bagaimana kabarmu, Ran?" Suara dari seberang mengingatkan Amran dengan seseorang yang begitu dia kenal. Amran mengernyit. Dia tak tahu mengapa tiba-tiba laki-laki itu meneleponnya dengan nomor baru. "Wa'alaikumsalam, Pa. Alhamdulillah kabar baik. Papa sama mama gimana?" tanya Amran pada Galih, orang tua Lala yang tak lain mantan istri keduanya. "Alhamdulillah kami baik, Ran." Amran mengucap Hamdallah saat mendengar berita baik itu. "Sudah lama tak kasih kabar, papa hanya mau bilang kalau nomor yang lama hilang. Ini nomor baru papa." "Iya, Pa. Nanti Amran simpan nomornya. Maaf belum bisa jenguk papa dan mama. Akhir-akhir ini cukup banyak masalah dan Amran harus menyelesaikannya satu persatu." Amran menghela napas panjang. Sejak perceraiannya dengan Lala beberapa bulan silam, Amran memang hanya dua atau tiga kali menjenguk mertuanya. Itupun karena mama mertuanya sakit. Setelahnya, dia tak pernah ke sana lagi karena memang banyak masalah yang menimpa keluarganya.
"Fika, sini sama Tante." Zilva menyambut Fika dengan hangat. Gadis cantik itu dititipkan pada Zilva dan Amran selama Prilly masih di klinik. Romi yang bekerja sebagai karyawan swasta tak mungkin bisa menjaga Fika 24 jam. Dia harus bekerja dan menjenguk istrinya. Oleh karena itulah, pilihan terakhir dan terbaik memang menitipkan Fika pada Zilva karena dia yang selalu di rumah. "Tante, maaf kalau Fika ganggu Tante Zilva ya," ucap Fika dengan polosnya. "Nggak ganggu, Sayang. Tante justru senang Fika di sini. Adik Rafka ada yang nemenin main. Iya kan?" Zilva jongkok, mensejajari Fika yang berdiri di depannya. Dia pun tersenyum lalu mengusap puncak kepala Fika yang menatapnya dengan berbinar. "Iya, Tante. Fika mau ajak adik Rafka main," balas Fika sembari berlari kecil ke arah Rafka yang bermain bola di ruang tengah. Zilva dan Amran saling tatap lalu sama-sama tersenyum. Amran merangkul istrinya saat melangkah beriringan mendekati Rafka dan Fika. Mereka membicarakan tentang keadaan Pr
"Gimana keadaan Prilly, Ma?" tanya Amran saat mamanya menjemput di depan pintu utama klinik Amal Sehat. "Alhamdulillah Prilly membaik, Ran. Dia cuma agak trauma saja." Amran menatap mamanya lekat."Trauma gimana, Ma?" lirih Amran sembari melangkah ke kamar inap Prilly. "Dia bilang beberapa kali tak sengaja lihat ada yang mengikutinya. Sebelum ke pasar tadi dia juga sudah lihat laki-laki yang menabraknya itu, tapi Prilly mencoba berbaik sangka. Ternyata, firasatnya memang benar kalau laki-laki itu ingin mencelakainya." Ratna menjelaskan semuanya pada Amran. "Jadi, Prilly memang sengaja ditabrak?" tanya Amran lagi saat berhenti di depan kamar inap Prilly. Ratna pun mengangguk. "Dia kabur setelah melihat Prilly tergeletak di trotoar." "Kurang ajar," gumam Amran begitu geram. Jemari-jemarinya mengepal. Dia tak akan tinggal diam melihat adiknya diperlakukan semena-mena seperti itu. "Sudahlah, Ran. Yang penting sekarang kesembuhan Prilly dulu. Soal pelakunya kita urus belakangan." "N