Share

Bab 2

"Rumah, cafe dan mobil itu harus atas namamu? Yang benar saja dong, Sayang. Masa isi perjanjiannya seperti ini?" Aku membulatkan mata saat membaca inti dari surat perjanjian yang disodorkan Zilva. 

Betapa tidak? Semua aset yang kupunya harus atas namanya, padahal selama ini justru dialah yang meminta untuk menuliskan namaku saja. Zilva terlalu penurut bahkan dia tak pernah menolak apapun yang kuperintahkan asalkan tak melanggar aturanNya. 

 

Oleh karena itulah aku sangat mencintainya dan tak rela ada lelaki lain yang dekat dengannya. Keputusanku untuk memintanya keluar dari pekerjaannya dulu kurasa adalah hal yang tepat. Mata lelaki di luar sana terlalu berbahaya untuk seorang Zilva yang cantik, pintar dan energik. 

 

Namun, sebagai anak lelaki satu-satunya aku tak bisa menolak permintaan mama begitu saja. Apalagi aku menyadari jika Zilva belum bisa menghadirkan buah hati seperti permintaan mama selama ini. 

 

Dua tahun memang waktu yang singkat bagiku, masih ada banyak waktu untuk mencoba lagi dan lagi, tapi bagi mama itu adalah waktu yang sangat lama hingga akhirnya aku terpaksa menyetujui permintaan mama untuk menikah dengan Lala sebagai permintaan terakhirnya.  

 

"Ini permintaan mama yang terakhir padamu, Ran. Apakah kamu tak jua bisa mengabulkannya? Zilva pasti mau berpoligami. Bukankah kamu bilang dia wanita yang taat beragama dan patuh pada suaminya? Poligami dibolehkan agama dan tak menentang syariat. Dia harus mematuhinya jika memang tak mau kamu ceraikan. Jangan selalu mengalah pada perempuan itu, Ran. Bisa besar kepala dia!" sentak mama seminggu lalu saat masih terbaring di ranjang rumah sakit. 

 

"Mama 'kan tahu kalau Amran sangat mencintai Zilva, Ma. Berpoligami tentu akan menyakiti hatinya. Zilva menantu dan istri yang baik. Dia penurut, tak pernah membangkang, setia dan selalu membuat Amran tenang dan bahagia. Rasanya memiliki Zilva saja sudah cukup, Ma," elakku saat itu. Namun, mama terlihat murka saat mendengar jawabanku. 

 

"Jangan bo doh, Ran. Hidup ini tak hanya sekadar cinta, tapi juga keturunan. Ingat masa depan, kamu akan kesepian tanpa celoteh riang anak-anak di rumahmu." Mama kembali meyakinkan dan mengusik gundahku perihal keturunan.

 

"Soal itu Amran juga tahu, Ma, tapi mama lihat sendiri tes kesuburan dari dokter waktu itu kan? Zilva dan Amran tak mandul, kami sama-sama subur. Hanya saja Allah memang masih menginginkan kami pacaran halal lebih lama. Jadi, DIA belum mengamanahkan keturunan pada kami berdua," balasku kembali meyakinkan mama yang mulai gelisah. 

 

"Jangan durhaka! Pikirkan baik-baik apa yang mama ucapkan, Amran. Nikah dengan Lala atau kamu harus kesepian bertahun-tahun dengan Zilva yang tak jua memberimu keturunan itu. Jika kamu memang menyayangi mama, tentu tak ada masalah jika hanya menuruti permintaan mama kali ini. Lagipula bukan permintaan buruk, justru permintaan enak buatmu," sambung mama tak mau kalah. 

 

Sehari, dua hari, tiga hari setelah mendengar permintaan mama itu akhirnya aku memberanikan diri untuk ngobrol empat mata dengan Zilva. Kemarin dia sudah mengizinkanku untuk menikah asalkan aku mau menandatangani perjanjian yang dibuatnya. 

 

Saat inilah aku membaca isi perjanjian yang tak terduga itu. Perjanjian yang terlalu menguntungkannya jika kelak kamu tak lagi bersama. Aku tak akan mungkin melepaskannya, tapi apakah Zilva juga akan berpikir yang sama sepertiku setelah aku benar-benar menikah dengan Lala?

 

"Zilva ... ini terlalu memberatkanku," ucapku lagi sembari menatap lekat wajah cantiknya yang berubah sendu sejak seminggu lalu. 

 

"Kenapa berat, Mas? Jika aku boleh meminta, aku hanya ingin dirimu saja. Namun, itu tak akan mungkin terjadi bukan? Jika kamu menikah dengan perempuan itu, tentu aku tak memiliki hak utuh atas dirimu. Oleh karena itulah aku sengaja menginginkan aset ini karena ada hakku di sana. Aku takut kamu khilaf dan memberikan semuanya pada istri barumu," ucap Zilva dengan mata berlinang. 

 

Sebenarnya aku tak tega melihatnya seperti saat ini. Aku tahu cintanya padaku teramat dalam. aku yakin dia sengaja melakukan ini agar aku berpikir ulang tentang poligami itu. Dia sangat mencintaiku, karena itulah tak ingin aku menduakan cintanya. Jika tetap nekat, maka inilah jalan yang harus kupilih. Menyerahkan semua aset yang kurintis selama dua tahun ini untuknya. 

 

Zilva tak salah. Dia memang berhak memiliki aset-aset itu sebab semuanya ada setelah aku hidup bersamanya. Wajar jika dia tak rela Lala ikut menguasai harta yang kami punya. 

 

"Kamu nggak mau poligami kan, Mas?" tanyanya lagi. Aku kembali menghela napas.

 

"Jika kamu tak bisa menolak permintaan mama, tanda tangani saja perjanjian ini, Mas. Dengan begitu, aku bisa lebih tenang karena perempuan itu tak akan mengusik harta dunia yang selama ini kita usahakan. Ingat, Mas. Meski aku tak bekerja, tapi aku tak lelah mendoakan keberhasilanmu. Bukankah kesuksesan suami tak lepas dari doa istrinya setiap hari?" Zilva kembali mengingatkan dan aku pun menyetujui ucapannya itu. 

 

"Maaf, Sayang. Aku benar-benar tak bisa menolak permintaan mama sebab itu adalah permintaan terakhirnya. Baiklah, jika memang perjanjian ini membuatmu lebih tenang, aku akan melakukannya. Berjanjilah padaku tak akan meninggalkanku sendirian, Sayang. Aku sangat mencintaimu, kamu pasti tahu itu." 

 

Zilva tak menjawab. Dia hanya tersenyum tipis lalu memberikan bolpoinnya padaku. Aku tanda tangani perjanjian itu dengan perasaan campur aduk. 

 

Setelah selesai, kulihat senyum tipis di bibir Zilva dan perempuan di sebelahnya. Dia bernama Arumi yang tak lain adalah sahabat Zilva dan seorang notaris yang mengesahkan perjanjian ini. 

 

***  

Comments (6)
goodnovel comment avatar
Ai Siti Rahmayati
menyimak dulu Thot
goodnovel comment avatar
Hansiana Siregar
bumer gila .. teganya...andai dulu njenengan dipoligami pripun?kualat mbahhhh!
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Istri sah pinter juga ambil semua hartanya sebagai pengganti poligami...biar istri baru nya ga dapat apa²
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status