POV : ZILVADua tahun pernikahan, tak pernah sekalipun Mas Amran menghardik. Tak pernah pula menyakiti fisik dan batinku. Dia adalah lelaki yang nyaris sempurna di mataku. Aku bangga memilikinya dan aku pernah berjanji pada almarhum ibu untuk berbakti padanya sampai akhir hayat. Tak hanya padaku, Mas Amran juga begitu menyayangi ibu dan menganggapnya seperti ibu kandung sendiri. Cintanya yang tulus membuat ibu begitu mempercayainya, mengasihinya dan menjadi menantu kesayangannya. Tak hanya soal cinta yang terus tumbuh untukku, tapi Mas Amran juga bertanggungjawab lahir batin atas diriku. Tiada hari tanpa kata cinta darinya. Sejak aku membuka mata di pagi hari hingga terlelap di malam hari, Mas Amran seolah menjadikanku ratu dalam hati dan hidupnya. Dia bukan tipe suami yang hanya suka menyuruh ini dan itu, tapi dia ikut serta membantu banyak hal dalam urusan rumah tangga secapek apapun itu. Semua pekerjaan terasa ringan meski tak ada asisten di rumah ini karena ada dia yang selalu
Tak lama setelah mengancam, dua perempuan itu pergi begitu saja dari hadapanku. Kata-kata yang mama ucapkan tadi begitu menyakitkan, menancap tajam ke ulu hati dan membuat nyeri tak tertahankan. Entah sudah berapa banyak aku menangis dalam diam sejak pagi di kamar ini tiap kali mengingat kejadian itu kembali. Aku benar-benar tak menyangka jika mama tega akan mengirimkan madu untukku. Kupikir selama ini dia hanya memaksaku segera memiliki momongan saja, tapi dugaanku keliru. Mama benar-benar tak sabar memiliki cucu hingga melakukan banyak cara agar cinta Mas Amran tak lagi milikku.Mama berusaha keras agar anak lelaki semata wayangnya itu tak terlalu mencintaiku. Mama cemburu melihat tulus dan besarnya cinta Mas Amran padaku, perempuan biasa yang mama bilang tak pantas menjadi menantunya.Kecemburuan mama itulah hingga akhirnya merembet ke hal lain hingga sengaja mengompori anak lelakinya sendiri agar mau menikah lagi dengan alasan demi mendapatkan keturunan terbaik untuk keluarganya.
"Kenapa, Va? Mikirin Mas Amran lagi?" Arumi yang baru saja keluar dari kamar mandi ikut duduk bersamaku di balkon. Dia membawakanku secangkir kopi untuk sedikit menghalau gundah. "Entah, Mi. Aku memang mengizinkan dia menikah lagi, tapi rasa takut itu sering muncul tiba-tiba. Untuk saat ini, aku takut dia pergi dari hidupku selamanya. Kamu tahu kan, Mi? Bagaimana cintaku pada Mas Amran?" Arumi menghela napas lalu mengusap punggungku pelan."Cintai dia 20 % saja, Zilva. Selebihnya perkuat cintamu padaNya. Mungkin 99% laki-laki di dunia ini memang tak jauh beda, sama-sama buaya. Hanya saja ada versi brutal dan versi syar'i. Nah, Mas Amran itu versi syar'inya." Arumi mulai berceloteh. Aku hanya tersenyum tipis mendengar celotehannya, yang mungkin memang ada benarnya. "Aku benar-benar tak menyangka jika hubunganmu dengan Mas Amran yang membuat banyak orang cemburu karena terlalu romantis, harmonis dan manis itu harus berujung seperti ini, Va. Gimana nggak takut nikah coba, lihat Mas Amr
"Siapa?" Arumi kembali menoleh sembari membawakan nampan kecil berisi bolu untukku. Tak lupa sebotol air mineral untuk penghilang dahaga. "Mama mertuamu yang bawel binti cerewet itu ya? Ngomong apalagi dia, Va?" cerocos Arumi lagi. Aku menarik napas lalu menghembuskannya saat teman terbaikku itu menatapku lekat.Arumi tak sekadar sahabat terbaik, tapi dia sudah kuanggap bagian dari keluarga. Hanya dia yang tahu banyak hal tentang hidupku. Apalagi sejak Mas Amran berencana menikah lagi, dialah satu-satunya orang yang mendengar semua keluh kesah dan isak tangisku. Arumi tahu semua yang terjadi dalam hidupku, termasuk soal aku yang hanya anak adopsi dari panti asuhan itu. "Dasar mertua dzalim. Sudah memberikan madu pahit untuk menantunya, sekarang kembali mengusik soal honeymoon segala. Apa urusannya honeymoon mereka denganmu. Mau pamer kalau anaknya bermesraan sama menantu kesayangan? Nggak punya hati, benar-benar keterlaluan. Sama-sama perempuan, tapi nggak punya empati." Arumi terli
POV : ZILVA[Sayang, lagi ngapain? Maaf ya tak bisa menemanimu dua malam belakangan. Lima malam lagi aku akan pulang dan kita bisa menghabiskan waktu bersama lagi. Berdua. Terserah kamu mau ke mana, aku ikut saja] Pesan dari Mas Amran muncul tiba-tiba saat aku dan Arumi keluar penginapan untuk mencari udara segar. Dia mengajakku makan nasi goreng yang katanya cukup viral di sekitar penginapan. Aku mengekor saja dan tak banyak tanya. [Kamu pasti kesepian sekarang. Apa Arumi selalu menemanimu? Kamu liburan di daerah mana, Sayang?]Lagi, pesan itu muncul di layar. Aku hanya membaca, tapi belum membalasnya sedari tadi. Jujur, sebenarnya aku juga ingin menceritakan banyak hal pada Mas Amran, seperti biasanya. Namun, aku berusaha menekan ego dan keinginan kuatku itu agar dia tahu jika aku tak lagi bergantung padanya. Jika cintaku bisa saja patah kapan saja. Setidaknya Mas Amran harus tahu jika aku baik-baik saja sekalipun tanpanya. Aku foto pemandangan di depan mata. Ramainya orang men
POV : ZILVAEntah berapa lama aku melamun. Yang pasti, aku pun tak tahu kapan nasi goreng seafood ini tersedia di meja lengkap dengan jus jambu yang kupesan. Lamunanku terhenti setelah Arumi menyenggol lenganku."Kang nasgornya ganteng, Va," lirih Arumi sembari melirik laki-laki yang menjadi koki di warung kaki lima ini. "Kayanya anak kuliahan deh dia. Barusan kudengar pada bahas SKS kok," ucapnya lagi lalu menyiapkan sesendok nasi goreng ke mulutnya. "Ingat umur, jangan ngeliring berondong terus," sahutku asal, sementara Arumi hanya mencebik sebal. "Wajahku imut, Va. Kamu tahu itu kan? Meski umurku lebih dari seperempat abad, tetap saja seperti baru lulus SMA." Aku menumpuknya dengan segumpal tisu yang baru kuambil di meja. Arumi kembali terkekeh lalu kembali menikmati nasi goreng yang katanya viral itu. Mungkin viral karena kokinya tampan, bisa jadi begitu. Kalau dinilai dari rasa, memang enak, tapi kupikir warung lain yang lebih enak dibandingkan ini banyak. Arumi yang mentrak
"Ya Allah, Mas Zain makin tampan aja sih!" seru Arumi lagi. Dia tak lagi peduli dengan cubitanku yang berulang kali. "Masih ingat aku kan, Mas? Atau yang Mas Zain ingat cuma Zilva aja?" Arumi kembali melirikku, menyebalkan memang. Jika dia mau ngobrol dengan Mas Zain, harusnya tak perlu mencolek-colek namaku segala. Apalagi volume suaranya nggak bisa diperkecil, membuat banyak mata terheran menatapnya. "Ingat dong, nggak mungkin lupa." Mas Zain tersenyum tipis."Serius, Mas? Wow!" Seperti kejatuhan durian runtuh, Arumi begitu terharu sekaligus shock saat mendengar pengakuan Mas Zain yang masih mengingatnya. Anak itu memang lebay!"Sejak kuliah sampai sekarang kalian masih akur saja ya? Benar-benar sahabat sejati." Arumi kembali tersenyum lebar. "Iya, Mas. Tahu sendiri Zilva, mana bisa dia bersahabat dekat dengan yang lain. Terlalu kaku kaya kanebo kering begitu memang cocoknya cuma sama aku yang bawel ini," sambung Arumi cepat. Nyadar juga kalau selama ini dia memang sangat bawel.
"Va ... kenalkan ini Zikri, adikku," ujar Mas Zain membuyarkan lamunan. Laki-laki itu pun tersenyum kembali sembari sedikit mengangguk saat tak sengaja bersirobok denganku. Tatapannya masih sama seperti dulu, begitu meneduhkan. Aku buru-buru mengalihkan pandangan darinya lalu menganggukkan kepala menatap laki-laki di samping Mas Zain. Laki-laki yang bernama Zikri, yang tak lain adik Mas Zain sekaligus pemilik kedai nasi goreng yang Arumi bilang tampan itu. Tak ada jabat tangan, karena dia bukan mahram. Hanya sebuah anggukan dengan seulas senyum saja sebagai tanda perkenalan di antara kami. Zikri pun paham. Laki-laki itu mengatupkan kedua tangannya ke dada sembari mengangguk pelan menatapku balik. Arumi, sekalipun cukup tengil dan centil begitu, tapi dia juga paham syariat. Hanya saja dia belum bisa mengurangi kadar kecentilannya saja yang kadang membuatku malu berada di sampingnya. "Zilva." Aku menyebutkan nama yang membuat laki-laki muda di depanku itu sedikit terkejut saat mend