"Siapa?" Arumi kembali menoleh sembari membawakan nampan kecil berisi bolu untukku. Tak lupa sebotol air mineral untuk penghilang dahaga. "Mama mertuamu yang bawel binti cerewet itu ya? Ngomong apalagi dia, Va?" cerocos Arumi lagi. Aku menarik napas lalu menghembuskannya saat teman terbaikku itu menatapku lekat.Arumi tak sekadar sahabat terbaik, tapi dia sudah kuanggap bagian dari keluarga. Hanya dia yang tahu banyak hal tentang hidupku. Apalagi sejak Mas Amran berencana menikah lagi, dialah satu-satunya orang yang mendengar semua keluh kesah dan isak tangisku. Arumi tahu semua yang terjadi dalam hidupku, termasuk soal aku yang hanya anak adopsi dari panti asuhan itu. "Dasar mertua dzalim. Sudah memberikan madu pahit untuk menantunya, sekarang kembali mengusik soal honeymoon segala. Apa urusannya honeymoon mereka denganmu. Mau pamer kalau anaknya bermesraan sama menantu kesayangan? Nggak punya hati, benar-benar keterlaluan. Sama-sama perempuan, tapi nggak punya empati." Arumi terli
POV : ZILVA[Sayang, lagi ngapain? Maaf ya tak bisa menemanimu dua malam belakangan. Lima malam lagi aku akan pulang dan kita bisa menghabiskan waktu bersama lagi. Berdua. Terserah kamu mau ke mana, aku ikut saja] Pesan dari Mas Amran muncul tiba-tiba saat aku dan Arumi keluar penginapan untuk mencari udara segar. Dia mengajakku makan nasi goreng yang katanya cukup viral di sekitar penginapan. Aku mengekor saja dan tak banyak tanya. [Kamu pasti kesepian sekarang. Apa Arumi selalu menemanimu? Kamu liburan di daerah mana, Sayang?]Lagi, pesan itu muncul di layar. Aku hanya membaca, tapi belum membalasnya sedari tadi. Jujur, sebenarnya aku juga ingin menceritakan banyak hal pada Mas Amran, seperti biasanya. Namun, aku berusaha menekan ego dan keinginan kuatku itu agar dia tahu jika aku tak lagi bergantung padanya. Jika cintaku bisa saja patah kapan saja. Setidaknya Mas Amran harus tahu jika aku baik-baik saja sekalipun tanpanya. Aku foto pemandangan di depan mata. Ramainya orang men
POV : ZILVAEntah berapa lama aku melamun. Yang pasti, aku pun tak tahu kapan nasi goreng seafood ini tersedia di meja lengkap dengan jus jambu yang kupesan. Lamunanku terhenti setelah Arumi menyenggol lenganku."Kang nasgornya ganteng, Va," lirih Arumi sembari melirik laki-laki yang menjadi koki di warung kaki lima ini. "Kayanya anak kuliahan deh dia. Barusan kudengar pada bahas SKS kok," ucapnya lagi lalu menyiapkan sesendok nasi goreng ke mulutnya. "Ingat umur, jangan ngeliring berondong terus," sahutku asal, sementara Arumi hanya mencebik sebal. "Wajahku imut, Va. Kamu tahu itu kan? Meski umurku lebih dari seperempat abad, tetap saja seperti baru lulus SMA." Aku menumpuknya dengan segumpal tisu yang baru kuambil di meja. Arumi kembali terkekeh lalu kembali menikmati nasi goreng yang katanya viral itu. Mungkin viral karena kokinya tampan, bisa jadi begitu. Kalau dinilai dari rasa, memang enak, tapi kupikir warung lain yang lebih enak dibandingkan ini banyak. Arumi yang mentrak
"Ya Allah, Mas Zain makin tampan aja sih!" seru Arumi lagi. Dia tak lagi peduli dengan cubitanku yang berulang kali. "Masih ingat aku kan, Mas? Atau yang Mas Zain ingat cuma Zilva aja?" Arumi kembali melirikku, menyebalkan memang. Jika dia mau ngobrol dengan Mas Zain, harusnya tak perlu mencolek-colek namaku segala. Apalagi volume suaranya nggak bisa diperkecil, membuat banyak mata terheran menatapnya. "Ingat dong, nggak mungkin lupa." Mas Zain tersenyum tipis."Serius, Mas? Wow!" Seperti kejatuhan durian runtuh, Arumi begitu terharu sekaligus shock saat mendengar pengakuan Mas Zain yang masih mengingatnya. Anak itu memang lebay!"Sejak kuliah sampai sekarang kalian masih akur saja ya? Benar-benar sahabat sejati." Arumi kembali tersenyum lebar. "Iya, Mas. Tahu sendiri Zilva, mana bisa dia bersahabat dekat dengan yang lain. Terlalu kaku kaya kanebo kering begitu memang cocoknya cuma sama aku yang bawel ini," sambung Arumi cepat. Nyadar juga kalau selama ini dia memang sangat bawel.
"Va ... kenalkan ini Zikri, adikku," ujar Mas Zain membuyarkan lamunan. Laki-laki itu pun tersenyum kembali sembari sedikit mengangguk saat tak sengaja bersirobok denganku. Tatapannya masih sama seperti dulu, begitu meneduhkan. Aku buru-buru mengalihkan pandangan darinya lalu menganggukkan kepala menatap laki-laki di samping Mas Zain. Laki-laki yang bernama Zikri, yang tak lain adik Mas Zain sekaligus pemilik kedai nasi goreng yang Arumi bilang tampan itu. Tak ada jabat tangan, karena dia bukan mahram. Hanya sebuah anggukan dengan seulas senyum saja sebagai tanda perkenalan di antara kami. Zikri pun paham. Laki-laki itu mengatupkan kedua tangannya ke dada sembari mengangguk pelan menatapku balik. Arumi, sekalipun cukup tengil dan centil begitu, tapi dia juga paham syariat. Hanya saja dia belum bisa mengurangi kadar kecentilannya saja yang kadang membuatku malu berada di sampingnya. "Zilva." Aku menyebutkan nama yang membuat laki-laki muda di depanku itu sedikit terkejut saat mend
"Kenapa, Va? Ada masalah apa kok wajahmu mendadak tegang begitu?" Arumi mengernyitkan dahinya menatapku. "Nggak. Biasalah si biang kerok," sahutku asal. Arumi tahu siapa yang kusebut biang kerok itu, justru dia yang memberi julukan spesial untuk perempuan itu."Ngomong apa dia? Sini biar aku yang balas. Aku lawan yang sepadan buat dia. Biar aku maki-maki saja perempuan tak tahu diri itu. Ngapain coba terus-terusan neror kamu. Sengaja buat kamu cemburu begitu?" sahut Arumi dengan kekesalannya lalu meminta handphone di tanganku. "Sudah nggak apa-apa, Mi. Aku bisa handle sendiri masalah ini." Aku hanya tersenyum tipis, lebih tepatnya memaksa bibirku untuk tersenyum. "Aku antar kalian pulang saja ya?" Mas Zain mengulang tawarannya. Mungkin karena melihatku dan Arumi belum juga mendapatkan taksi seperti yang kukatakan sebelumnya. "Jangan, Mas. Aku sudah pesan taksinya kok. Mungkin sebentar lagi sampai." Kulirik Arumi dan Mas Zain bergantian. Arumi hanya mengangkat bahu saat Mas Zain m
Dering handphone kembali terdengar. Mau nggak mau aku menerima panggilan itu jika tak ingin terus diteror Mas Amran. Untungnya sudah sampai penginapan, jadi aku bisa lebih bebas menerima panggilan Mas Amran itu. Aku mengangkat panggilannya setelah sampai kamar dan Arumi menutup pintunya perlahan. Salam terdengar dari seberang. Mas Amran sepertinya memang benar-benar mengkhawatirkanku. Suaranya terdengar begitu gugup dan sedikit serak saat mengucapkan salam. "Kamu kemana aja, Sayang? Kamu nggak apa-apa kan?" tanyanya dengan suara berbeda, seperti masih berusaha menahan kecemasan yang membelenggu dadanya sedari tadi. "Aku makan sama Arumi di luar kok, Mas. Tak perlu khawatir, aku baik-baik saja," balasku sambil membaringkan badan di pembaringan. "Berdua saja?" tanyanya singkat. "Iyalah, Mas. Kami menginap di sini juga cuma berdua. Ke sana sini pun berdua. Tanya saja sama Arumi kalau kurang percaya. "Nggak perlu. Aku lebih percaya sama kamu, Sayang." "Jelas-jelas makan malam sama
Alarm berbunyi begitu nyaring dan berisik, pertanda malam telah berganti pagi. Jam setengah lima alarm keduaku terdengar sedangkan alarm pertama setengah tiga dini hari sama sekali tak terdengar telinga. Entah. Mungkin karena aku cukup kecapekan, jadi tidur terlalu lelap sampai bunyi alarm di samping telinga pun terlewat begitu saja. Bersyukur alarm kedua ini aku mulai terjaga. Jadi, masih banyak waktu menjalankan perintahNya. Setelah itu ingin menikmati semilirnya angin pagi di balkon penginapan sembari minum teh hangat. "Sudah subuhan, Mi?" tanyaku saat Arumi keluar kamar lalu ikut duduk di sampingku dengan wajah lesunya. "Sudah, Va. Mimpi buruk aku. Astaghfirullah, horor." Aku menoleh sesaat lalu tersenyum tipis ke arahnya. "Makanya baca doa kalau mau tidur, bukan baca mantra," balasku asal. Arumi mencebik. "Iya, mantra biar Mas Zain jatuh cinta sama aku, sayangnya dia justru jatuh cinta sama kamu yang terlalu bucin sama Mas Amran. Dasar cinta segitiga yang ribet," sambungnya