Dering handphone kembali terdengar. Mau nggak mau aku menerima panggilan itu jika tak ingin terus diteror Mas Amran. Untungnya sudah sampai penginapan, jadi aku bisa lebih bebas menerima panggilan Mas Amran itu. Aku mengangkat panggilannya setelah sampai kamar dan Arumi menutup pintunya perlahan. Salam terdengar dari seberang. Mas Amran sepertinya memang benar-benar mengkhawatirkanku. Suaranya terdengar begitu gugup dan sedikit serak saat mengucapkan salam. "Kamu kemana aja, Sayang? Kamu nggak apa-apa kan?" tanyanya dengan suara berbeda, seperti masih berusaha menahan kecemasan yang membelenggu dadanya sedari tadi. "Aku makan sama Arumi di luar kok, Mas. Tak perlu khawatir, aku baik-baik saja," balasku sambil membaringkan badan di pembaringan. "Berdua saja?" tanyanya singkat. "Iyalah, Mas. Kami menginap di sini juga cuma berdua. Ke sana sini pun berdua. Tanya saja sama Arumi kalau kurang percaya. "Nggak perlu. Aku lebih percaya sama kamu, Sayang." "Jelas-jelas makan malam sama
Alarm berbunyi begitu nyaring dan berisik, pertanda malam telah berganti pagi. Jam setengah lima alarm keduaku terdengar sedangkan alarm pertama setengah tiga dini hari sama sekali tak terdengar telinga. Entah. Mungkin karena aku cukup kecapekan, jadi tidur terlalu lelap sampai bunyi alarm di samping telinga pun terlewat begitu saja. Bersyukur alarm kedua ini aku mulai terjaga. Jadi, masih banyak waktu menjalankan perintahNya. Setelah itu ingin menikmati semilirnya angin pagi di balkon penginapan sembari minum teh hangat. "Sudah subuhan, Mi?" tanyaku saat Arumi keluar kamar lalu ikut duduk di sampingku dengan wajah lesunya. "Sudah, Va. Mimpi buruk aku. Astaghfirullah, horor." Aku menoleh sesaat lalu tersenyum tipis ke arahnya. "Makanya baca doa kalau mau tidur, bukan baca mantra," balasku asal. Arumi mencebik. "Iya, mantra biar Mas Zain jatuh cinta sama aku, sayangnya dia justru jatuh cinta sama kamu yang terlalu bucin sama Mas Amran. Dasar cinta segitiga yang ribet," sambungnya
[Aku mau cari sarapan sama Arumi, Mas. Jangan keseringan telepon karena aku juga nggak mau istri barumu mengganggu waktuku saat kita bersama nanti. Aku baik-baik saja, kamu tak perlu khawatir, Mas]Kukirimkan balasan pesan untuk Mas Amran setelah dia beberapa kali menelpon dan mengirimiku tiga pesan pagi ini. "Bilang sama pangeran kalau kita mau keluar, Va. Mau cari sarapan dulu gitu. Takutnya dia kebingungan dan takut kehilangan lagi." Arumi membenarkan hijabnya di depan cermin. "Iya, sudah aku balas pesannya kok, Mi. Lama banget dandannya, kaya mau ketemu calon suami aja." Aku berucap asal sebab biasanya Arumi tak seribet ini, pakai rok segala. Tumben-tumbenan. Biasanya juga cuma pakai kulot sama kaos panjang dan hijab simpel. "Mau feminim kaya kamu sesekali biar dilirik cowok tampan," balasnya asal. "Nah, mulai kan." Arumi tertawa mendengar balasanku. "Canda tampan." Dia kembali terkekeh sembari menatapku sekilas lalu kembali menatap cermin. Setelah selesai membenarkan hijab,
"Eh, Mas Amran. Kok bisa di sini?" Arumi tahu apa yang harus dia lakukan tanpa kuperintah. Jika terjadi kesalahpahaman di antara aku dan Mas Amran, dia pula yang harus bertanggungjawab sebab dia yang sengaja merencanakan ini semua. Dia yang meminta Mas Zain untuk datang tanpa sepengetahuanku. "Arumi, kalian liburan di sini ternyata," ucap Mas Amran sembari menatapku lalu beralih ke Arumi dan terakhir Mas Zain. "Iya, Mas. Aku sama Zilva memang ke Bandung. Kok kalian honeymoon di sini sih? Oh, kamu sengaja membuntuti Zilva? Supaya dia cemburu melihat kemesraan kalian berdua?" Arumi mensejajariku sembari melipat tangan ke dada. Perempuan di samping Mas Amran itu semakin mengeratkan tangannya, tak peduli meski laki-laki di sampingnya terlihat risih. "Terserah aku dong mau honeymoon di mana. Nggak ada urusannya sama kamu. Lagian kamu siapa? Jangan sok ikut campur urusan orang lain!" sentak perempuan itu dengan sinisnya. "Jaga bicaramu, La. Dia Arumi, sahabat baiknya Zilva." Mas Amran
Arumi kembali melirikku lalu tersenyum tipis saat melihat keterkejutan di wajah Mas Amran."Mas Zain memang masih jomblo kok, Mas. Lebih tepatnya, aku dan dia sama-sama masih jomblo. Jadi, nggak masalah 'kan misal kami berdua saling dekat? Gimana, Mas?" Mas Zain pun tersenyum lalu mengangguk lagi saat Arumi menoleh ke arahnya. "Kalau buatku sih nggak masalah, Mi. Lagipula kamu teman ngobrol yang asyik dan seru. Ada banyak hal yang ingin kita obrolkan, makanya hari ini kamu ajak aku buat jadi tour guide. Bukannya begitu, Mi?" Mas Zain seolah paham ke arah mana jalan pikiran Arumi. Mereka memang cocok dan kompak. Arumi pun tersenyum lagi lalu mengangguk tepat saat Mas Amran menatapnya. "Aku sama Mas Zain cocok nggak sih, Mas?" Lagi, Arumi sengaja minta pendapat Mas Amran soal kecocokannya dengan Mas Zain. Tak hanya sekali tapi dua kali sebab Mas Amran belum jua memberikan jawaban saat pertanyaan pertama terdengar. "Iya, cocok. Serasi," balas Mas Amran singkat seolah setengah terpaks
[Sayang, hati-hati di jalan. Semoga liburanmu kali ini bisa membuatmu tenang dan senang. Jaga diri dan hati ya. Sebagai lelaki aku tahu apa yang ada dalam benak laki-laki yang kini bersamamu. Zain, dia masih mengharapkanmu]Pesan dari Mas Amran baru kubaca saat aku dan Arumi sudah sampai di Tangkuban Perahu. Dia masih berfoto ria, sementara aku entah mengapa mendadak tak bersemangat sama sekali. Ada perasaan berbeda setelah melihat Mas Amran juga liburan di kota yang sama denganku. Perempuan itu sepertinya memang sengaja merusak mood liburanku dan membuatku terbakar cemburu.Dia sengaja memilih kota ini untuk honeymoon, sekadar ingin memamerkan bulan madunya yang tak kalah seru dengan liburanku. Sengaja memperlihatkan kemesraannya dengan suaminya yang tak lain suamiku juga. "Va, ayo foto!" teriak Arumi sembari melambaikan tangannya padaku. Mas Zain pun menoleh, memintaku foto bersama Arumi dengan background Tangkuban Perahu yang kental dengan cerita Sangkuriangnya itu. "Ayo, Va.
Hening sesaat. Terdengar hembusan panjang Mas Amran dari seberang. "Maafkan aku, Sayang. Kamu tahu sendiri mama kambuh waktu itu kan?" Aku malas membahas soal mama dan penyakit dadakannya itu."Maafkan aku yang terlalu takut kehilanganmu, apalagi saat ini kamu bersama Zain yang jelas dulu pernah melamarmu." Mas Amran kembali menghela napas panjang dan aku mendengarnya cukup jelas."Sudahlah, Mas. Kalau soal itu, kamu tak perlu khawatir. Sekalipun Mas Zain pernah melamarku atau mungkin sampai detik ini dia masih mengharapkan kehadiranku, tapi aku tahu kodratku, Mas. Aku tahu jika statusku saat ini masih sah menjadi istrimu. Tak mungkin aku melanggar prinsipku sendiri untuk setia dengan satu cinta. Aku tak seperti mereka yang mudah mendua, Mas. Apalagi saat tersakiti. Jadi, aku rasa kamu tak perlu setakut itu karena bisa jadi ketakutanmu hanya akan menyulitkanmu sendiri." Aku sedikit berbisik, tak enak jika didengar orang lain apalagi Mas Zain. "Janji ya? Kamu nggak akan meninggalkank
Aku menghela napas, kembali menatap Arumi yang masih mengomel lirih setelah mengirimkan pesan menohok itu pada Mbak Selly. Entah apa yang diucapkannya, tapi aku tahu itu hanyalah bentuk kekesalannya pada kakak iparku itu. "Va, nggak apa-apa 'kan aku kirim messenger begitu buat ipar kamu yang rese itu?" Mendadak Arumi menoleh lalu menatapku beberapa saat, seolah ada rasa tak enak sebab tak menunggu persetujuanku lebih dulu sebelum mengirimkan pesan itu untuk Mbak Selly. Padahal, dia tak perlu izin juga sebab hak setiap orang untuk berbalas pesan bukan? "Sorry kalau keceplosan, Va. Kira-kira nanti kamu kena masalah nggak ya kalau aku balas begitu? Aku baru kepikiran gimana kalau nanti dia melampiaskan kemarahannya sama kamu?" Lagi, Arumi kembali merasa bersalah. Dia mendadak gelisah karena takut jika balasan menohoknya tadi berdampak besar padaku. Aku pun merasa begitu. Mbak Selly pasti akan menyeretku dan menyalahkanku dalam masalah ini. Namun, lagi-lagi aku tak peduli sebab dia me