Hening sesaat. Terdengar hembusan panjang Mas Amran dari seberang. "Maafkan aku, Sayang. Kamu tahu sendiri mama kambuh waktu itu kan?" Aku malas membahas soal mama dan penyakit dadakannya itu."Maafkan aku yang terlalu takut kehilanganmu, apalagi saat ini kamu bersama Zain yang jelas dulu pernah melamarmu." Mas Amran kembali menghela napas panjang dan aku mendengarnya cukup jelas."Sudahlah, Mas. Kalau soal itu, kamu tak perlu khawatir. Sekalipun Mas Zain pernah melamarku atau mungkin sampai detik ini dia masih mengharapkan kehadiranku, tapi aku tahu kodratku, Mas. Aku tahu jika statusku saat ini masih sah menjadi istrimu. Tak mungkin aku melanggar prinsipku sendiri untuk setia dengan satu cinta. Aku tak seperti mereka yang mudah mendua, Mas. Apalagi saat tersakiti. Jadi, aku rasa kamu tak perlu setakut itu karena bisa jadi ketakutanmu hanya akan menyulitkanmu sendiri." Aku sedikit berbisik, tak enak jika didengar orang lain apalagi Mas Zain. "Janji ya? Kamu nggak akan meninggalkank
Aku menghela napas, kembali menatap Arumi yang masih mengomel lirih setelah mengirimkan pesan menohok itu pada Mbak Selly. Entah apa yang diucapkannya, tapi aku tahu itu hanyalah bentuk kekesalannya pada kakak iparku itu. "Va, nggak apa-apa 'kan aku kirim messenger begitu buat ipar kamu yang rese itu?" Mendadak Arumi menoleh lalu menatapku beberapa saat, seolah ada rasa tak enak sebab tak menunggu persetujuanku lebih dulu sebelum mengirimkan pesan itu untuk Mbak Selly. Padahal, dia tak perlu izin juga sebab hak setiap orang untuk berbalas pesan bukan? "Sorry kalau keceplosan, Va. Kira-kira nanti kamu kena masalah nggak ya kalau aku balas begitu? Aku baru kepikiran gimana kalau nanti dia melampiaskan kemarahannya sama kamu?" Lagi, Arumi kembali merasa bersalah. Dia mendadak gelisah karena takut jika balasan menohoknya tadi berdampak besar padaku. Aku pun merasa begitu. Mbak Selly pasti akan menyeretku dan menyalahkanku dalam masalah ini. Namun, lagi-lagi aku tak peduli sebab dia me
[Kamu nggak cemburu melihat kemesraan suamimu 'kan, Va? Mama heran deh sama Amran. Bisa-bisanya dia mempertahankan perempuan yang tak bisa memberinya keturunan. Bahkan dia janji pula nggak mau berpisah dari kamu. Memangnya apa spesialnya kamu sih, Va? Karir nggak punya, wajah biasa saja dibandingkan Lala, mandul pula. Kalau nggak main pelet, mana mungkin anak lelaki mama itu cinta mati begitu sama kamu. Nggak mungkin deh. Cari pelet di mana kamu?] Kedua mataku berkaca saat membaca pesan menyakitkan itu. Dari dulu, mama memang tak pernah menghargaiku sebagai menantu, tapi kata-katanya kali ini benar-benar keterlaluan. Dia bahkan sampai menuduhku syirik dan bermain pelet hanya karena melihat kadar cinta anak lelakinya yang mungkin di atas rata-rata untukku. Seolah sengaja memamerkan kemesraan pasangan itu padaku, agar aku yang memilih mundur. Mungkin mama sudah kehabisan akal untuk membujuk anak lelakinya agar mau menceraikanku. Sampai kapan pun Mas Amran sepertinya tak ingin aku per
"Kamu nggak apa-apa, Va?" Aku tersenyum tipis lalu menggeleng pelan. Tak ingin kutunjukkan pada mereka berdua rasa sakit yang kurasakan detik ini. Aku harus bisa menepisnya dan tak perlu mengotori pikiranku dengan pesan menyesakkan dada itu. "Makan dulu, Va. Setelah ini kita ke masjid sholat dzuhur." Aku kembali mengangguk. Mulai menikmati kepiting saos Padang, udang tepung dengan segelas es jeruk. Berusaha keras melepaskan beban di pundak, tapi tetap saja bayangan Mas Amran sedang honeymoon di sana, kegenitan Lala, murka ibu mertua dan kekesalan Mbak Selly kembali menyesaki benak. Setelah selesai makan siang, seperti biasa Arumi pasti akan mereview makanan yang dia pesan. Ini enaklah, itu kurang enak, keasinan, kepedesan, terlalu lembek tepungnya, terlalu asam kuahnya dan lain sebagainya. Namun, di akhir kalimat dia bilang," Not badlah ya, Va. Lain kali bisa ke sini lagi kalau ada waktu dan kesempatan." Kembali bersyukur memiliki sahabat sepertinya, dia yang pantang menyerah memb
[Sayang, kenapa nggak balas pesan-pesanku? Sudah sampai penginapan kan? Besok aku susul ke sana ya? Aku kangen. Rasanya sakit sekali menahan rindu ini. Aku ingin peluk kamu, ngobrol banyak hal seperti biasa sebelum tidur, menatap wajah cantik dengan senyum manismu setelah bangun dan menikmati kopi buatanmu. Empat hari lagi bersama Lala terasa begitu lama, Sayang. Berbeda denganmu yang selalu merasa waktu berputar terlalu cepat. Sudah tiga hari aku meninggalkanmu sendirian, rasanya tiap berganti jam aku semakin tak tenang. Aku takut kehilanganmu. Aku tak ingin kamu pergi meninggalkanku sendiri menghadapi ini semua. Aku bisa berdiri di sini karena kerelaan hatimu, Sayang. Karena janji kita untuk tetap bersama meski ada banyak masalah menghantam. Boleh ya, besok aku bertemu kamu di penginapan?] Pesan Mas Amran kali ini membuat dadaku kembali terasa sesak. Apakah dia memang sesakit itu? Bukankah foto-foto yang dikirimkan mama tadi siang justru menunjukkan sebaliknya? Dia jelas sadar kame
Lima hari liburan di Bandung membuat otakku sedikit segar. Tak lagi kusut seperti sebelumnya. Mas Amran pun sudah pulang sejak kemarin. Dia mengirimiku pesan berulang kali, jika dia akan pulang bakda isya ke rumah sebab sudah seminggu dia di rumah mama. Dua hari sebelum menikah ditambah lima hari pasca menikah. Kini, ada waktu seminggu dia bersamaku. Entah mengapa tiap membahas waktu, rasa nyeri itu kembali melesak dalam dada. Sakitnya tak terkira karena kembali disadarkan bahwa Mas Amran tak sepenuhnya milikku. Ada dua cinta di hatinya. Ada dua hati yang harus dia jaga. Ada dua istri yang harus mendapatkan nafkah yang sama. Sakit, iya begitu, tapi lagi-lagi aku belum menyerah. Ada banyak waktu dan rencana yang ingin kulakukan. Bukan untuk mencari kejelekan perempuan itu, tapi untuk menunjukkan pada mereka siapa aku. Aku pernah berprestasi dan mendapatkan predikat cumlaude di kampus dengan IPK yang tinggi. Hanya demi baktimu pada suami memilih tak berkarir dan fokus di rumah. Namun
Kurasa mengalah dan sakit hati hanya akan membuat perempuan itu dan keluarga Mas Amran merasa di atas awan. Sepertinya aku harus menunjukkan pada mereka jika cintaku dan cinta Mas Amran justru semakin erat dan kuat setelah kehadiran Lala. Aku tak akan membuat mereka senang dan merasa menang telah berhasil mencabik-cabik hatiku dan menghancurkan impianku. Aku akan buktikan bisa menjadi perempuan mandiri dan kuat dengan kemampuan yang kumiliki agar mereka ternganga melihat kebangkitanku yang mungkin tak pernah mereka kira. Kuangkat panggilan Mas Amran lalu membalas salam yang dia ucapkan. Suaranya jelas berbeda, terdengar begitu ceria dan penuh semangat. Sesemangat itulah Mas Amran yang akan bertemu denganku? Atau dia semangat karena Lala sudah berhasil memuaskan hatinya? Entah, aku pun tak tahu. Yang pasti detik ini Mas Amran begitu menggebu saat bilang kalau aku tak perlu masak sebab dia akan beli dari luar untuk makan malamku dengannya. Ada rasa haru yang tiba-tiba menelusup dala
Dering handphone tak jua berhenti sedari tadi. Aku buru-buru mematikan kompor lalu melangkah tergesa ke kamar untuk mengambil handphone di meja rias. Panggilan dari nomor baru muncul di layar. Sedikit mengernyit aku mengeja kembali nomor itu. Nomor yang tak terlalu asing dalam ingatan sebab aku sempat mengeja nomor yang sama sebelumnya. Iya, nomor perempuan itu. Beberapa kali dia memang mengirimiku pesan, menelpon bahkan mengirimkan foto kebersamaannya dengan Mas Amran. Dia pikir aku akan tersulut emosi setelah melihat pesan-pesan atau foto-foto yang dikirimkannya, tapi sayangnya aku justru tak ingin membuang energi meladeni perempuan sepertinya. Kenikmatan seperti apa yang dia rasakan? Toh, aku lebih dulu merasakannya. Aku yakin kali ini dia sengaja mengganggu waktu Mas Amran saat bersamaku. Mungkin berulang kali menelpon Mas Amran, tapi tak bisa dihubungi, makanya dia sampai meneleponku berulang kali. Handphone Mas Amran memang sengaja dinonaktifkan dan aku sendiri yang menyimpann